Jumat, 15 Oktober 2010

Dari Ketiadaan Aku Ada Part II

Millennium baru jalan baru

Setelah hampir dua tahun terpenjara dalam rumah sendiri, ku bulatkan tekad untuk mengubah diri melawan keterpurukan. Hari itu hari senin tanggal 7 Februari. Pagi hari tepatnya. Dengan terbata-bata ku sampaikan niatku untuk mendalami ilmu agama. Sesuai dengan salah satu keinginan mereka. 

Tanpa keraguan sedikitpun ku katakan bahwa besok, hari rabu aku mau berangkat menuju salah satu pesantren terkenal di kota ini, aku tidak ambil pusing apakah nanti mereka berdua akan membiayai atau tidak, yang penting aku mendapat restu dari keduanya dan mendapatkan uang saku untuk berangkat. Tekadku sudah bulat. Kerasan atau tidak kerasan aku tidak mau pulang. Aku tidak ingin mengecewakan mereka untuk ketiga kalinya. Pertama dengan aku keluar dari pesantren bahasa yang telah ku ceritakan sebelumnya. Kedua, sebelum aku memutuskan untuk berangkat esok hari, aku telah meminta keduanya mengantarkanku pada sebuah pesantren ternama di Jawa Timur, nyatanya aku hanya mampu bertahan selama 19 hari. Dan ini ini adalah yang ketiga kalinya. Sudah terlalu sering aku membuat kecewa, imbas dari jiwaku yang terlalu berperasaan, perasaan selalu membuat repot yang malah akhirnya benar-benar membuat repot dan kecewa pada keduanya. Ah… aku sungguh berdosa…. Maafkan aku ya rabb!!! Semoga ini jalan yang kau ridhoi.

Sehari sebelum aku berangkat, ku sempatkan pamitan kepada saudara- saudara dekat dan tak lupa pula berziarah kepada makam leluhur, supaya langkah yang ku tempuh mendapat ridho dari Nya dan dapat menjadikanku ke arah yang lebih baik. Tak ku sangka, sambutan antusias terpancar dari sanak saudara, hingga esok harinya banyak yang melepas kepergianku dan tak lupa pula memberikan uang saku ala kadarnya.

Pesantren, pembentuk karakterku

Tanggal 9 Februari rabu pagi, aku bersama bapak dan adiku yang paling kecil saat itu (punya adik lagi setelah beberapa tahun di pesantren) berangkat menuju pesantren yang telah ku tuju. Sebuah pesantren yang telah berhasil mencetak kader-kader penerus perjuangan islam. Hingga pengasuh pesantren ini terkenal dengan gelar gurunya para guru, karena beliau menjadi guru dari setiap kyai dari daerah sekitar. Dimasa itu dapat dipastikan semua kyai pernah belajar kepada beliau. Setidak-tidaknya pernah bertabarukan. Itulah yang dapat ku rekam dari cerita para alumni dari daerah sekitar dan tak jarang pula dari pulau-pulau lain, setelah aku menetap lumayan lama disitu.

Beraneka ragam cerita seputar kehidupanku di pesantren masih tergambar dengan jelas dalam memori otaku, baik suka maupun duka, dari cerita melompat jendela Karena di oprak jama’ah, berendam dalam lumpur Karena takut ketahuan main sepak bola, mancing gurame milik sang kyai, malu disebabkan ketauan metik kangkung milik kyai, di perintah beli wafer malah dapat Whisper, beli neo reumachil dapat gula pasir dan seabreg cerita yang tidak mungkin terlupakan. Tak ketinggalan kisah kasih tak sampai kepada seorang santri putri, belajar bertani, berdagang dan keterampilan-keterampilan lain, serta belajar bermasyarakat dan berorganisasi. Semuanya masih tercatat rapi.

Begitulah secara ringkas kehidupanku di pesantren. Disamping ngaji kitab kuning sebagai makanan pokok, aku juga belajar tentang kemandirian. Bagaimana kita hidup tanpa terlalu bergantung kepada orang lain, hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari seorang santri, dimulai dari mencuci baju sendiri, masak dan hal-hal yang dapat dikerjakan sendiri. Dilatih agar mencintai kebersihan dengan kegiatan piket dan kerja bakti setiap hari jum’at, belajar bekerja di berbagai bidang lapangan kerja, misalkan di ladang, belajar pertukangan, belajar berwira usaha, belajar menjadi arsitek, belajar berorganisasi dan belajar bertanggung jawab atas semua yang sudah dibebankan. Tak kalah dari itu semua adalah belajar tentang keikhlasan dan pengabdian yang biasanya direfleksikan dalam pengabdian menjadi pengurus dan ikut serta membantu ndalem sesuai dengan bidang yang dikuasai.

Untuk 4 tahun pertama, aku berkonsentrasi pada belajar dan hanya sedikit dari waktuku untuk urusan lain. Dan untuk paruh kedua malah sebaliknya. Dari waktu 24 jam sehari semalam, hanya 3 jam yang terpakai untuk belajar, selebihnya untuk mengerjakan hal-hal lain, walaupun hal tersebut masih ada kaitannya dengan dunia pendidikan. Belajar tidak hanya ngaji, pikirku saat itu. Sungguh aku merasa sangat rugi pada awal mulanya, akan tetapi justru hal inilah yang akan menuntunku hingga aku bisa belajar di negeri seribu menara ini. Ah.. tak perlu kusesali, toh semuanya sudah berlalu dan tak mungkin untuk dapat diputar kembali. 

Dalam waktu kurang lebih lima tahun itu, waktu terasa begitu sempit.Aku harus bangun paling telat jam 04.15 dan baru bisa tidur pukul 01.00 dinihari. Diawali dengan sholat berjamaah serta tadarus sampai jam 05.00, kemudian menemani belajar salah satu putra kyai sampai jam 06.00, istirahat sebentar, ngaji sampai jam 07.45, istirahat 15 menit, menemani kang santri belajar sampai pukul 10.00, sarapan pagi, kalau ada jadwal meneruskan kegiatan tadi, atau kalau tidak ikut bantu-bantu di ndalem, sholat szuhur, tidur siang sampai jam13.30, ke ndalem lagi, sholat ashar, menemani belajar putra kyai, ngaji sore, makan sore, sholat maghrib, ngorek (ngaji shorogan), sholat isya, meneruskan ngorek, jam 20.00 ngaji sampai jam 21.00, istirahat, jam 21.30 membimbing musyawarah sampai jam 23.00 dan dilanjutkan dengan ngobrol berbagai hal, kadang sampai jam12.00 dan seringnya sampai jam 01.00. Dan ahirnya setelah kurang lebih Sembilan tahun menetap di pesantren, aku memutuskan untuk pulang, kembali menjadi anak penderes gula kelapa sambil mengabdikan sedikit ilmu yang didapat dari pesantren.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar