Jumat, 22 Oktober 2010

Sewa Rahim Dalam Islam

Saya terusik dengan salah satu berita yang terpampang pada harian Kompas tanggal 7 Oktober 2010 dengan waktu posting pukul 05.10 dengan judul “Vatikan Kecam Nobel Untuk Bayi Tabung”.

Karena kebetulan juga saya sedang membaca Qodoya Fiqhiyah Mu’ashiroh (masalah-masalah Fiqh kontemporer) karya Dr. Muhammad Ro’fat Utsman salah satu guru besar fiqh muqorin (Fiqh lintas madzhab) di Al Azhar University maka saya ingin menuliskan sedikit tentang hal yang berkaitan dengan bayi tabung yang biasanya dalam istilah fiqhnya disebut dengan isti’jarul arham (penyewaan rahim).

Telah kita ketahui bersama bahwa prosedur penciptaan bayi tabung diawali dengan pembuahan sel telur diluar tubuh dan kemudian ditanam didalam kandungan. Dan topic yang akan kita bahas adalah pembuahan sel telur oleh sperma dari pasangan suami istri yang nantinya akan ditanam pada wanita lain. Karena kalau terjadinya pembuahan antara ovum dan sperma dari selain pasutri maka hukumnya sudah jelas-jelas haram. Makanya kita prsempit pembahasan pada pembuahan yang terjadi dari pasangan suami istri di luar rahim yang kemudian di tanam pada rahim perempuan lain.

Penyewaan rahim baik dengan suka rela atau dengan imbalan berupa materi dan dengan tujuan apapun di hukumi haram dalam islam. Pendapat tersebut mengacu kepada salah satu kitab turots karya Imam Al Barmawy yang berjudul Hasyiyah Al Barmawy ‘Ala Syarhi Ghoyati Libni Qosim Al Ghuzzy (selesai th. 1074 H.) dan pendapat Imam Romly (W. 1004 H.).

Dalam hasyiyah Al Barmawy disebutkan bahwa:jika ada seorang sayid menggauli salah satu amat (budak perempuan) yang ia miliki dan ternyata terjadi pembuahan, kemudian setelah terjadi pembuahan bakal orok tersebut dipindahkan kepada amatnya yang lain, maka apakah amat yang kedua menjadi amat mustauladah yang nanti apabila tuannya meninggal dengan otomatis ia merdeka? Untuk pertanyaan tadi Imam Syibromalisy mengatakan bahwa amat yang kedua (yang hamil dan melahirkan) tidak dihukumi mustauladah, karena asal muasal anak yang ia kandung berasal dari sel telur dan sperma orang lain.

Berkaitan dengan pernyataan tadi, Imam Romly juga mengatakan bahwa: jika ada seorang sayid (pemilik amat) meninggal dengan meninggalkan amat yang tidak hamil akan tetapi si amat telah menyimpan mani sayidnya dan dimasukan kedealam rahim agar terjadi pembuahan dengan tujuan dia dapat memerdekakan dirinya dengan lantaran kehamilannya, maka si amat tidak dihukumi mustauladah (merdeka selepas kematian sayidnya), dengan alasan si amat tadi tidak lagi dimiliki oleh sayid yang telah meninggal, akan tetapi telah berpindah tangan kepada ahli waris dari sayidnya, walaupun nasab dari anak yang dikandungnya tetap kepada si sayid.
Terinspirasi dari dua buah fatwa ulama masa pertengahan tersebut, ulama-ulama kontemporer banyak mendapatkan pencerahan mengenai hukum-hukum islam kontemporer, hususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan ilmu kesehatan. Tak terkecuali dengan masalah yang kita bahas kali ini.

Untuk masalah penyewaan rahim, ulama bersepakat bahwa masalah ini merupakan masalah yang terlarang dalam islam dengan menimbang beberapa alasan. Yaitu:

1). Tidak adanya tali pernikahan diantara pemilik sperma dan pemilik rahim.
Dalam syariat islam, syarat mutlak atas status legal/sah dari kelahiran seorang anak ke alam semesta adalah dengan melalui jalur resmi, yaitu pernikahan. Jika ada seorang perempuan hamil diluar tali pernikahan, maka kehamilannya dihukumi kehamilan yang tidak sah, begitu juga anak yang nanti akan lahir. Dengan adanya penyewaan rahim, maka dihawatirkan akan timbul fitnah kepada perempuan yang dijadikan tempat penanaman janin. Padahal islam sangat mengecam adanya perbuatan fitnah dan pencemaran nama baik. Disamping itu juga dihawatirkan akan terjadi ketidak jelasan nasab dari anak yang dilahirkan. Dan lagi-lagi islam sangat-sangat menjaga kesucian nasab.

2). Adanya hubungan syar’I (nikah) diantara hak punya anak dari rahim tertentu dengan diperbolehkannya berhubungan badan dengan pemilik rahim tersebut.
Mungkin anda bingung memahami kalimat tersebut diatas. Begini gambarannya jika seseorang mempunyai hak berhubungan badan dengan seorang perempuan maka ia berhak menabur benihnya ke dalam rahim perempuan tersebut, dan jika ia tidak berhak berhubungan badan dengannya maka ia juga terlarang memanfaatkan rahimnya untuk menabur benih. Lah.. dalam kasus yang kita bicarakan ini masuk dalam kategori terlarang memanfaatkan rahimnya, karena perempuan tadi tidak boleh di jamah dikarenakan tidak ada ikatan resmi (nikah).

Kalau si laki-laki punya dua istri bagaimana? Misalkan istri yang pertama tidak bisa hamil dan meminta istri yang kedua untuk mengandung benihnya. Dalam contoh ini kan terdapat hubungan syar’I diantara laki-laki yang punya sperma dan wanita yang diminta untuk menjadi tempat penanaman benih. Yaitu selaras dengan kaidah diatas (Jika seseorang mempunyai hak untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan, maka ia juga berhak menabur benih dalam rahim perempuan tersebut). Apakah dalam contoh ini penyewaan rahim dapat dibenarkan?
Untuk masalah seperti ini, ulama berpendapat bahwa hukum dari penanaman benih kedalam rahim istri kedua (penyewaan rahim) tetap dihukumi tidak boleh dengan alasan mungkin disuatu saat nanti akan menimbulkan masalah diantara keduanya. Misal saja pertengkaran dan lain sebagainya. Padahal Al Qur’an jelas-jelas melarang pertengkaran. Wala tanaza’u fatafsyalu. Artinya janganlah kalian semua bertengkar, hal itu akan menjadikan kerugian besar (Al Anfal:46).

Jika memang sudah terjadi kesepakatan diantara kedua istri laki-laki tersebut, hukumnya bagaimana. Tetap saja dihukumi haram. Karena walaupun bagaimana pasti nanti akan muncul rasa kehilangan dari perempuan yang mengandung dan melahirkan.Dan juga kita dihadapkan pada hukum pemisahan anak dengan ibunya yang nyata-nyata telah di hukumi haram juga. Untuk menggambarkan rasa kehilangan dari perempuan yang pada awal mulanya merasa ikhlas melepas anak yang kan dilahirkannya, mungkin anda bisa nonton film india yang diperankan oleh Salman Khan, Karisma Kapoor dan Pretty Zinta dengan cerita yang hampir mirip dengan deskripsi masalah diatas.

3). Rahim tidak termasuk dalam barang yang bisa diserah terimakan dengan imbalan materi misalkan dengan disewa atau diperjual belikan atau dengan tanpa imbalan misalkan dipinjamkan atau diserahkan dengan sukarela.

4). Syara’ mengharamkan setiap perbuatan yang dapat menimbulkan terjadinya persengketaan.

5). Adanya larangan agama atas hal yang dapat menimbulkan ketidak jelasan nasab.

6). Terkadang dapat terjadi penyia-nyiaan terhadap anak yang dihasilkan dari penyewaan rahim, misalkan saja kalau terjadi cacat pada anak tersebut atau hal-hal yang tidak dapat diterima oleh pihak penyewa, dan pihak yang disewa juga tidak mau merawatnya karena tidak termasuk dalam perjanjian.

mohon koreksinya. terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar