Dakwah Ala NU
Oleh: Adhi Maftuhin
Pengertian
Manhaj Dakwah
Kata
da’wah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi da’a, yad’u, da’wan, da’watan,
du’aan, da’wa dan mempunyai makna
mengharapkan kehadiran seseorang, perintah mengerjakan sesuatu, dan mengajak
dengan suara lantang.[1]
Kata
da’wah dalam bahasa Al Qur’an tampil dengan beragam bentuk (shighot). Ada yang berbentuk shighot fi’il amar sepeti dalam
surat An Naml:, ada yang tampil dalam bentuk fi’il
madhi sepeerti terdapat dalam surat fushilat:33, bentuk fi’il mudhori’ seperti
tertuang dalam surat Yusuf : 108, dalam bentuk isim fa’il sperti dalam surat Al
Ahqaf:31, dan dalam bentuk mashdar seperti dalam surat Ar Ra’d: 14. Melihat
bervariasinya penggunaan kata yang berakar pada kata da’wah[2]
dalam Al Qura’an para ulama juga memberikan makna yang beragam pula diantaranya
adalah 1). bermakna memohon dengan sangat, pengharapan, dan permintaan. 2)
bermakna peribadahan yang dilaksanakan oleh manusia kepada dzat yang diyakini sebagai
Tuhannya. 3). Menisbatkan sesuatu.4). Memberikan anjuran kepada manusia untuk
mengikuti agama Allah. 5). Memberikan bimbingan kepada manusia(da’i) agar
berupaya menyampaikan agama Allah dan mengarahkannya untuk menempuh jalan yang
diridhai oleh Alloh.
Dari beragam makna yang terkandung dalam kata yang
berakar dari kata dakwah ini, jika kata dakwah diucapkan secara muthlak, tanpa
ada keterpengaruhan oleh kata yang lain maka akan mengarah kepada makna islam.
Yakni, sebuah kata yang mempunyai pengertian kepasrahan dan berserah secara
penuh kepada Allah dengan keimanan yang
sempurna akan risalah yang datang dari-Nya tanpa melihat siapa utusan yang
membawanyam risalah yang dibawa dan tempat dimana wahyu itu diserukan. [3]
sedang dalam pengertian terkini islam adalah risalah yang dibawa oleh nabi
Muhammad Saw.
Sedangkan manhaj adalah sinonim dari kata minhaj yang bermakna jalan
(sistem) yang terang[4]. Dari dua pengertian diatas dapat kita tar ik
kesimpulan bahwa manhaj dakwah adalah sistem -yang digunakan para da’I - dalam membumikan risalah Muhammad.
Siapakah yang berkewajiban untuk berdakwah.
Mata rantai dakwah akan sebuah risalah tentunya
dibebankan pertama kali kepada rasul dan nabi[5],
Setelah itu tugas dakwah dipikulkan kepada umatnya. Pertanyaannya, apakah semua
komponen umat mempunyai tanggung jawab dan kewajiban untuk berdakwah atau cuma
sebagian saja ?
Untuk menjawab pertanyaan tadi, mari kita bermain
dengan dua teks syara’ yang berkaitan dengan tanggung jawab dan kewajiban untuk
membumikan agama Allah di muka bumi ini. Pertama, adalah firman Allah dalam Al
Qur’an Surat An Naml ayat “Serulah ke
jalan tuhanmu dengan hikmah, mauidhoh hasanah dan ajaklah mereka berdiskusi
dengan cara yang baik”. Dalam ayat tadi, seruan untuk berdakwah adalah kepada
nabi Muhammad, karena redaksi amar dari kata ud’u (ajaklah) adalah
khithob kepada mufrod mudzakar mukhotob yaitu hanya Nabi Muhamad saja sebagai satu-satunya
makhluk yang mendapat khitob. Memang, Kalau dipahami secara linguistik
khitob yang ada pada amar ud’u hanya tertuju kepada satu orang mukhotob.
Akan tetapi sangat naïf jika risalah
Allah yang bertujuan untuk membawa seluruh umat manusia kepada kebahagiaan di
dunia dan akhirat sampai hari kiamat tiba hanya dibebankan hanya kepada satu
orang. Maka para mufassirin dan ushuly mengatakan bahwa khitob
yang ada dalam kata ud’u adalah Al
Khusush wa urida bihi al ‘umum, tidak hanya terpaku pada nabi saja, akan
tetapi berlaku juga kepada umatnya. Sekali lagi, benak kita bertanya umat nabi
yang bagaimanakah yang terkena khitob Alloh itu? Apakah bersifat umum sehingga
mencakup seluruh umatnya, atau hanya sebagiannya saja sehinga sebagian yang
lain terbebas dari kewajiban berdakwah.
Kedua, adalah hadits Nabi yang artinya “Barang siapa
diantara kalian yang menjumpai kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya
(kekuasaannya), jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu
merubah dengan lisannya maka satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah
mengingkari dengan hatinya”.
Redaksi ‘Man” dalam hadis[6]
diatas mengggiring kita untuk mengamini
bahwa siapa saja yang melihat kemunkaran maka berkewajiban untuk menghentikan
dan mengarahkannya pada kebaikan. Kata man adalah isim maushul musytarak yang
dapat memasukan siapa saja, baik laki-laki, perempuan, tua, muda, baligh,
shobiy, berakal sempurna, gila, dan seterusnya.
Merujuk keumuman makna yang terkandung dalam kata
“man” maka semua manusia berkewajiban untuk berdakwah. Akan tetapi tunggu dulu,
kita harus merujuk kaidah yang berbunyi “tidak ada taklif hukum kecuali hanya pada manusia yang sudah
akil dan baligh”. Makanya anak kecil yang belum baligh dan tidak berakal
sempurna tidak berkewajiban untuk berdakwah. Lebih lanjut, tanggung jawab dan
kewajiban berdakwah secara husus hanya dibebankan kepada kaum muslimin yang
punya kapasitas sebagai juru dakwah . Dalam bahasa ushuli ditembungkan dengan ‘aam fil Asykhosh makhshuhsun biman
la taklifa ‘alaih[7]
atau dalam kata lain bersifat
umum(mencakup semuanya) dan ditakhsis dengan orang yang belum ditaklif .
Walhasil, kewajiban berdakwah tidak hanya dibebankan
kepada nabi pembawa risalah akan tetapi juga dibebankan kepada umatnya. Hanya
saja kewajiban itu tidak berlaku kepada seluruh umatnya, akan tetapi berlaku
bagi segolongan orang yang mempunyai kredibilitas untuk berdakwah. Sedangkan
tanggung jawab untuk berdakwah berlaku bagi setiap muslim. Mengingat jika tidak
ada satupun dari kaum muslimin berdakwah maka setiap muslim akan terkena dosa.
Hal ini juga merujuk kepada tugas dakwah yang
dibebankan kepada beberapa sahabat di zaman nabi. Diantaranya adalah Ali bin
Abi Thalib yang ditugaskan untuk berdakwah di daerah Yaman. Sahabat Abdullah
bin mas’ud yang ditugaskan di daerah Irak dan seterusnya. Dari sini jelas sudah
bahwa tugas dakwah tidak dibebankan kepada semua kaum muslimin, akan tetapi
hanya kepada orang-orang tertentu yang punya kecakapan dan berkompeten dibidang
ini.
Dalam bukunya[8],
Muhammad Al Ghazaly mengatakan bahwa diabad ini setiap orang islam
setidak-tidaknya harus berperan dalam pengembangan dan penyebar luasan agama.
Contoh yang paling sederhana adalah berdakwah dengan lisannya. Menurut hemat
penulis kalimat tersebut adalah suatu
ungkapan hiperbolis dari Al Ghazaly agar setiap kaum muslim merasa bertanggung
jawab akan kelestarian islam dan selalu ingat akan adanya kewajiban berdakwah
bagi mereka yang berkompeten.
NU dan Dakwah
NU adalah organisasi keagamaan yang bergerak dalam
bidang sosial keaagamaan. Mengingat tujuan mendasar dari organissai ini adalah
berkiprah dalam sektor sosial keagamaan makas udah barang tentu dalam
tubuh organisasai ini terdapat satu lembaga yang menaungi aktifisnya dalam aktifitas
keagamaan (baca: dakwah). Lembagai ini dalam oraganisasi NU dinamakan LDNU,
kependekan dari Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama.
Sebenarnya, tanpa adanya lembaga inipun para aktifis
NU sudah menjalankan kewajibannya, akan tetapi agar dalam setiap gerakan
dakwahnya terorganisir dengan baik,
scenario dan strategi dakwah dapat tepat sasaran maka lahirlah LDNU ini.
Dalam perjalanan sejarahnya, NU selalu pro aktif dalam
berdakwah. Karena embrio kelahiran NU juga berasal dari ekses kegiatan dakwah. Yakni, ajakan dan seruan kepada pemerintah
hijaz pada waktu itu agar memberikan toleransi kepada umat islam dibelahan bumi
lain agar dapat menjalankan keyakinan dan ibadah sesuai dengan madzhab yang
dianut.
Gerakan dakwah yang dimotori oleh para ulama pesantren merasa
sudah saatnya menampakan identitasnya. Hal
ini merupakan reaksi dari keberhasilan yang telah dicapai oleh komite Hijaz
yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah. Maka, dibentuklah satu wadah pada tanggal 26 Januari 1926 M. bertepatan dengan 14 Rajab 1344 H dengan nama
Nahdlatul Ulama. Mungkin perlu dicatat disini bahwa NU berhasil mewadahi
mayoritas kaum muslimin di Indoneesia. Hal ini tidak terlepas dari kerja keras
para missionaries NU yang dengan gigih berjuang dan mengorbankan apa saja yang
dimiliki untuk kejayaan NU. Disisi lain NU merupakan kepanjangan tangan dari
gerakan dakwah beberapa abad sebelumnya, yaitu gerakan dakwah yang dimotori
oleh Wali songo.
Tidak berbeda jauh dengan system yang dianut
kembangkan oleh para pendahulunya, NU berusaha untuk melestarikan system yang
dipakai oleh Wali songo dan ditambah dengan membuka diri dengan modifikasi
aplikasi dakwah tanpa harus meninggalkan pakem aslinya. Sadar bahwa kunci
keberhasilan dakwah adalah terletak pada juru dakwah maka, hal pertama yang
dilakukan Para ulama NU adalah dengan kaderisasi para da’I yang dilaksanakan pada beberapa
pesantren induk. Salah satu pesantren yang berperan dalam kaderisasi para
jurudakwah NU adalah pesantren Tebu
Ireng, Jombang yang di asuh oleh maha
guru ulama nusantara yaitu hadratu syeikh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau dengan
telaten dan penuh dedikasi tinggi mendermakan seluruh energi, harta dan
waktunya untuk mengkader santri-santri yang akan menjadi corong NU di daerahnya
masing-masing. Santri mbah Hasyim berasal dari hampir seluruh wilayah nusantara
maka, secara otomatis NU juga tumbuh diseluruh pelosoknya. Pola kaderisasi ini
adalah adopsi dari kaderisasi yang telah dilakukan oleh Sunan Ampel. Pada waktu
itu Sunan Ampel mengkader santri-santrinya untuk ditugaskan berdakwah ke
pelosok nusantara, bahkan sampai menyeberang ke negri tetangga.
Bukan tanpa dasar mbah Hasyim memberikan perhatian
khusus pada aspek kaderisasi. Beliau paham betul bahwa sebelum seseorang mengemban tugas untuk
mendakwahkan risalah ketuhanan ia akan melewati fase penggemblengan, tak
terkecuali pada diri para rasul dan nabi. Muhammad sebelum menjadi seorang
rasul melewati fase penyucian dan penggemblengan batin di goa Hira. Hal ini
diskenariokan Allah supaya kuat dalam menghadapi segala tantangan dan rintangan
yang akan dihadapi dalam medan dakwah. Allah berfirman: Tha Haa. Tidaklah aku
turunkan Al Qur’an kepadamu agar kamu celaka. Mengenai tafsir kata Tha Haa
Syeikh Fathi Hijazy dalam salah satu Muhadhorohnya mengatakan bahwa Tha Haa
adalah Ya Thahir, Ya Hadi, atau thuhr dan huda yang bermakna sebelum Al Qur’an
diturunkan kepada nabi Muhammad Saw beliau disucikan terlebih dahulu dengan
tujuan utama agar dapat memberikan petunjuk kepada umatnya.[9] Senada
dengan penafsiran ulama-ulama tasawuf semisal Al Ghazaly, Ibnu Athaillah dan
ulama-ulama sepaham yang lain.
KH. Chudory [10]
mengatakan bahwa ada tiga aspek yang membuat NU dapat diterima dengan cepat
oleh masyarakat Indonesia. Ketiga aspek
tersebut adalah adanya prinsip tasamuh, tawazun, dan tawasuth dalam berdakwah. Tasamuh
adalah adanya sikap toleran pada adat
istiadat dan ritual yang ada pada setiap daerah yang dijadikan lahan dakwah.
Yakni, berusaha meluruskan adat istiadat dan ritual yang berseberangan dengan
ajaran islam secara bertahap, tidak memberangusnya secara langsung. Strategi
inilah yang kadang disalah artikan sebagai biangnya bid’ah. Tawazun adalah adanya
keseimbangan dalam mendudukan kepentingan dunia dan akhirat secara proporsional. Terahir
adalah tawasuth yang berarti moderat.
Adanya kecakapan seorang da’I dalam berda’wah,
strategi dalam menjalankan misi, mental dan etos dalam berdawah adalah empat
sekawan yang tidak dapat terpisah agar dakwah dapat mencapai hasil yang
memuaskan.
NU dan strategi dakwah di abad 21
Sesempit analisa penulis terhadap fenomena yang berkembang
pada era setelah KH. Wahab Hasbullah[11]
dan KH. Bisyri Musthafa[12],
gelombang dakwah yang digaungkan oleh anak-anak muda NU seakan statis dan
defensive. Perkataan tadi seakan menyiratkan nada skeptis dalam diri penulis.
Benar adanya bahwa ulama dengan pesantrennya pada dekade 50-an sampai ahir
dekade 70-an masih menjalankan tugasnya
sebagai kamp kaderisasi. Hanya saja, situasi politik dan kecendrungan untuk
ikut memperjuangkan hak-hak kaum nahdliyyin melalui partai malah melemahkan
konsentrasi dakwah disisi yang lain. Sampai akhirnya pada tahun 1984 NU secara
organisatoris menarik diri dari gelanggang politik praktis dan kembali dalam
pemberdayan umat.
Sadar dengan ketertinggalan dari organisasi lain dalam
hal pendidikan dan pelayanan kepada umat dalam bidang yang lain, NU secara
bertahap menata diri untuk menyongsong abad 21 dengan memberdayakan lembaga,
badan otonom dan Lajnah yang ada dalam tubuh ini agar dapat merespon gerak laju
zaman. Dalam bidang pendidikan, LP Ma’arif bekerja sama dengan Ansor sebagai
tenaga muda NU mendirikan sekolah-sekolah formal yang berafiliasi ke NU. Mereka
bahu-membahu dengan warga nahdhiyin -secara mandiri- mendirikan sekolah-sekolah di daerah
kantong-kanting nahdliyin. Kaum muda berperan sebagai pelaksana, Sedang kaum
tua memberikan arahan kepada yang muda. Adanya bagi tugas yang harmonis ini
menjadikan perkembangan dalam pendidikan cukup signifikan. Era ini dimulai pada
akhir dekade 60-an sampai sekarang.
Dibelahan lain, ulama pesantren juga tidak mau duduk
asik menyaksikan menjamurnya sekolah formal tanpa melakukan modifikasi
pendidikan dalam pesantrennya. Pesantren yang diawal perkembangan NU menempati
posisi paling strategis dalam aksi dakwah kini juga sama sekali tidak
kekurangan perannya. Maka, munculah pesantren modern dan semi modern. Sedang
pesantren yang masih berpegang teguh pada metode tradisonal juga tetap
dipertahankan.
Sadar bahwa benteng pertahanan NU adalah di pesantren
maka ulama pesantren dengan seksama mengikuti gerak laju perkembangan zaman
untuk kemudian diimplementasikan dalam kurikilum pesantrennya. Tujuannya tak
lain adalah mencetak kader muda NU yang siap menjadi penerus perjuangan dan
mampu mencari solusi dalam setiap permasalahan kekinian dalam perspektif
syariat. Dari kerajaan-kerajaan kecil inilah
imperium NU dapat bertahan dari goncangan sana-sini.
Goncangan dari sana adalah gelombang yang datang dari
arah luar dan biasanya bersifat sebagai tamu yang berkeinginan menduduki
sebagian petak kamar dari rumah besar NU. Sedang goncangan dari sini adalah
dinamika ilmiah yang berkembang dalam internal NU. Kedua goncangan ini dewasa
ini dinetralisir oleh Lembaga Bahtsul Masail NU atau yang lebih terkenal dengan
LBM NU. Salah satu gerakan dalam LBM yang berperan aktif dalam membentengi NU
dari goncangan luar dalam adalah forum kyai muda yang dipandegani oleh Abdullah
Syamsul Arifin dan Idrus Ramly di daerah Tulangan, Sidoarjo.
Melihat jumlah kaum nahdliyin yang mencapai kisaran 40
jutaan[13], dan katanya ormas islam dengan jumlah
pengikut paling besar di dunia sudah barang tentu ormas ini punya kiat-kiat
husus agar pengikutnya selalu loyal kepadanya. Strategi yang digunakan dalam
dakwah NU dewasa ini menurut penulis mengguna1kan strategi defensive ala
catenacio. Berusaha membentengi para pengikutnya dalam lingkaran NU agar tidak
sampai menyeberang ke rumah tetangga dan disaat yang bersamaan berusaha
menambah anggota.
Bukan tanpa alasan strategi itu yang dipilih. Bukankah
ada adagium “lebih sulit menjaga dan memelihara daripada membangun”. Fase
perkembangan sudah lewat dan mengalami jaman keemasan pada masa awal sampai
zaman pertengahan, yaitu sampai pada era KH. Wahab Hasbullah.
Tapi jangan disalah artikan bahwa aktifitas dakwah
dalam NU mentok sampai disitu. Bukankah pengertian dakwah tidak terbatas hanya
dalam ajakan secara lisan dan propaganda lain untuk masuk dalam lingkaran yang
dimaksud. Dakwah hakiki adalah ajakan dan seruan dengan perbuatan, melaksanakan tugasnya
sebagai khalifah Alloh dimuka bumi sesuai dengan yang diharapkan oleh sang
Khaliq.
Dakwah bil hal dalam NU diimplementasikan oleh
NU secara organisasi dalam upaya mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi
para anggotanya secara khusus dan memberikan pelayanan kepada masyarakat
keseluruhan secara umum. Upaya untuk meningkatkan taraf hidup anggotnya
tercermin dari pemberdayaan zakat sebagaiman telah dilakukan oleh KH. Sahal
Mahfudz dan pendirian BMT di pesantren Sidogiri, Sidoarjo. Langkah konkret lain
adalah denga mendirikan rumah sakit, rumah bersalin dan tempat pelayanan social
yang lain.
Akhirnya, karena keterbatasan waktu penulis ingin
menyampaikan bahwa keberhasilan dakwah sangat tergantung kepada kecakapan
seorang da’I, strategi dakwah, tersedianya dana yang cukup, kesiapan mental
dari seorang da’I, memberikan prosentase 25% untuk dakwah bil lisan dan
75% untuk dakwah bil hal , dan adanya
kesinambungan kaderisasi.
[1] Al
Mu’jam Al Wajiz hal. 228 cet. Haiah ammah
[2] Masdar
merupakan akar dari kata yang dapat ditashrif. Hal ini menurut pendapat ulama
Bashrah. Sedangkan menurut ulama kufah, akar kata adalah fi’il madhi
[3]
Da’watu rusul ghoyatuha wa tarikhuha, hal. 19-21 Dr. Ragab Syitawy
[4] Al
Mu’jam Al Wajiz
[5]
Nabi juga berkewajiban untuk menyebarkan risalah tuhan sebagaimana pendapat
Ibnu Taimiyah. Ibid hal. 51
[6]
Syarah Arbain nawawy najmudin al thufy hal 405 cet dar bashoir
[7]
Ibid hal 407
[8]
Humum da’iyah Muhammad Al ghazaly cet.
Al basyir,Hal.
[9]
Muhadhoroh Dr. Fathy Hijazy pada kamis 28/2/2013
[10]
Pendiri PP. API Tegalrejo Magelang
[11]
Rais Aam PBNU setelah KH. Hasyim Asy’ari sampai wafat pada tahun 1974
[12]
Singa Podium dari Rembang, Pengasuh PP. Raudhatut Tholibin leteh, Rembang
[13]Sensus
warga nahdyiin belum pernah diadakan
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus