Senin, 04 Maret 2013

Dakwah Ala NU


Dakwah Ala NU
Oleh: Adhi Maftuhin
Pengertian Manhaj Dakwah
Kata da’wah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi da’a, yad’u, da’wan, da’watan, du’aan, da’wa  dan mempunyai makna mengharapkan kehadiran seseorang, perintah mengerjakan sesuatu, dan mengajak dengan suara lantang.[1]  

Kata da’wah dalam bahasa Al Qur’an tampil dengan beragam bentuk (shighot). Ada  yang berbentuk shighot fi’il amar sepeti dalam surat An Naml:,  ada yang tampil dalam bentuk fi’il madhi sepeerti terdapat dalam surat fushilat:33, bentuk fi’il mudhori’ seperti tertuang dalam surat Yusuf : 108, dalam bentuk isim fa’il sperti dalam surat Al Ahqaf:31, dan dalam bentuk mashdar seperti dalam surat Ar Ra’d: 14. Melihat bervariasinya penggunaan kata yang berakar pada kata da’wah[2] dalam Al Qura’an para ulama juga memberikan makna yang beragam pula diantaranya adalah 1). bermakna memohon dengan sangat, pengharapan, dan permintaan. 2) bermakna peribadahan yang dilaksanakan oleh manusia kepada dzat yang diyakini sebagai Tuhannya. 3). Menisbatkan sesuatu.4). Memberikan anjuran kepada manusia untuk mengikuti agama Allah. 5). Memberikan bimbingan kepada manusia(da’i) agar berupaya menyampaikan agama Allah dan mengarahkannya untuk menempuh jalan yang diridhai oleh Alloh.  

Dari beragam makna yang terkandung dalam kata yang berakar dari kata dakwah ini, jika kata dakwah diucapkan secara muthlak, tanpa ada keterpengaruhan oleh kata yang lain maka akan mengarah kepada makna islam. Yakni, sebuah kata yang mempunyai pengertian kepasrahan dan berserah secara penuh  kepada Allah dengan keimanan yang sempurna akan risalah yang datang dari-Nya tanpa melihat siapa utusan yang membawanyam risalah yang dibawa dan tempat dimana wahyu itu diserukan. [3] sedang dalam pengertian terkini islam adalah risalah yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw.
Sedangkan manhaj adalah  sinonim dari kata minhaj yang bermakna jalan (sistem) yang terang[4].  Dari dua pengertian diatas dapat kita tar ik kesimpulan bahwa manhaj dakwah adalah sistem -yang digunakan para da’I -  dalam membumikan risalah Muhammad.

Siapakah yang berkewajiban untuk berdakwah.

Mata rantai dakwah akan sebuah risalah tentunya dibebankan pertama kali kepada rasul dan nabi[5], Setelah itu tugas dakwah dipikulkan kepada umatnya. Pertanyaannya, apakah semua komponen umat mempunyai tanggung jawab dan kewajiban untuk berdakwah atau cuma sebagian saja  ?

Untuk menjawab pertanyaan tadi, mari kita bermain dengan dua teks syara’ yang berkaitan dengan tanggung jawab dan kewajiban untuk membumikan agama Allah di muka bumi ini. Pertama, adalah firman Allah dalam Al Qur’an Surat An Naml ayat  “Serulah ke jalan tuhanmu dengan hikmah, mauidhoh hasanah dan ajaklah mereka berdiskusi dengan cara yang baik”. Dalam ayat tadi, seruan untuk berdakwah adalah kepada nabi Muhammad, karena redaksi amar dari kata ud’u (ajaklah) adalah khithob kepada mufrod mudzakar mukhotob yaitu  hanya Nabi Muhamad saja sebagai satu-satunya makhluk yang mendapat khitob. Memang, Kalau dipahami secara linguistik khitob  yang ada pada amar ud’u  hanya tertuju kepada satu orang mukhotob. Akan tetapi sangat naïf  jika risalah Allah yang bertujuan untuk membawa seluruh umat manusia kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat sampai hari kiamat tiba hanya dibebankan hanya kepada satu orang. Maka para mufassirin dan ushuly mengatakan bahwa khitob yang ada dalam kata  ud’u adalah Al Khusush wa urida bihi al ‘umum, tidak hanya terpaku pada nabi saja, akan tetapi berlaku juga kepada umatnya. Sekali lagi, benak kita bertanya umat nabi yang bagaimanakah yang terkena khitob Alloh itu? Apakah bersifat umum sehingga mencakup seluruh umatnya, atau hanya sebagiannya saja sehinga sebagian yang lain terbebas dari kewajiban berdakwah.

Kedua, adalah hadits Nabi yang artinya “Barang siapa diantara kalian yang menjumpai kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya (kekuasaannya), jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu merubah dengan lisannya maka satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah mengingkari dengan hatinya”.
Redaksi ‘Man” dalam hadis[6] diatas mengggiring  kita untuk mengamini bahwa siapa saja yang melihat kemunkaran maka berkewajiban untuk menghentikan dan mengarahkannya pada kebaikan. Kata man adalah isim maushul musytarak yang dapat memasukan siapa saja, baik laki-laki, perempuan, tua, muda, baligh, shobiy, berakal sempurna, gila, dan seterusnya.  

Merujuk keumuman makna yang terkandung dalam kata “man” maka semua manusia berkewajiban untuk berdakwah. Akan tetapi tunggu dulu, kita harus merujuk kaidah yang berbunyi “tidak ada taklif  hukum kecuali hanya pada manusia yang sudah akil dan baligh”. Makanya anak kecil yang belum baligh dan tidak berakal sempurna tidak berkewajiban untuk berdakwah. Lebih lanjut, tanggung jawab dan kewajiban berdakwah secara husus hanya dibebankan kepada kaum muslimin yang punya kapasitas sebagai juru dakwah . Dalam bahasa ushuli ditembungkan dengan ‘aam fil Asykhosh makhshuhsun biman la taklifa ‘alaih[7] atau dalam kata lain bersifat umum(mencakup semuanya) dan ditakhsis dengan orang yang belum ditaklif .

Walhasil, kewajiban berdakwah tidak hanya dibebankan kepada nabi pembawa risalah akan tetapi juga dibebankan kepada umatnya. Hanya saja kewajiban itu tidak berlaku kepada seluruh umatnya, akan tetapi berlaku bagi segolongan orang yang mempunyai kredibilitas untuk berdakwah. Sedangkan tanggung jawab untuk berdakwah berlaku bagi setiap muslim. Mengingat jika tidak ada satupun dari kaum muslimin berdakwah maka setiap muslim akan terkena dosa.

Hal ini juga merujuk kepada tugas dakwah yang dibebankan kepada beberapa sahabat di zaman nabi. Diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib yang ditugaskan untuk berdakwah di daerah Yaman. Sahabat Abdullah bin mas’ud yang ditugaskan di daerah Irak dan seterusnya. Dari sini jelas sudah bahwa tugas dakwah tidak dibebankan kepada semua kaum muslimin, akan tetapi hanya kepada orang-orang tertentu yang punya kecakapan dan berkompeten dibidang ini.

Dalam bukunya[8], Muhammad Al Ghazaly mengatakan bahwa diabad ini setiap orang islam setidak-tidaknya harus berperan dalam pengembangan dan penyebar luasan agama. Contoh yang paling sederhana adalah berdakwah dengan lisannya. Menurut hemat penulis  kalimat tersebut adalah suatu ungkapan hiperbolis dari Al Ghazaly agar setiap kaum muslim merasa bertanggung jawab akan kelestarian islam dan selalu ingat akan adanya kewajiban berdakwah bagi mereka yang berkompeten.

NU dan Dakwah

NU adalah organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang sosial keaagamaan. Mengingat tujuan mendasar dari organissai ini adalah berkiprah dalam sektor sosial keagamaan makas udah barang tentu   dalam tubuh organisasai ini terdapat satu lembaga yang menaungi aktifisnya dalam aktifitas keagamaan (baca: dakwah). Lembagai ini dalam oraganisasi NU dinamakan LDNU, kependekan dari Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama.

Sebenarnya, tanpa adanya lembaga inipun para aktifis NU sudah menjalankan kewajibannya, akan tetapi agar dalam setiap gerakan dakwahnya  terorganisir dengan baik, scenario dan strategi dakwah dapat tepat sasaran maka lahirlah  LDNU ini. 

Dalam perjalanan sejarahnya, NU selalu pro aktif dalam berdakwah. Karena embrio kelahiran NU juga berasal dari ekses kegiatan dakwah.  Yakni, ajakan dan seruan kepada pemerintah hijaz pada waktu itu agar memberikan toleransi kepada umat islam dibelahan bumi lain agar dapat menjalankan keyakinan dan ibadah sesuai dengan madzhab yang dianut.

Gerakan dakwah  yang dimotori oleh para ulama pesantren merasa sudah saatnya menampakan  identitasnya. Hal ini merupakan reaksi dari keberhasilan yang telah dicapai oleh komite Hijaz yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah. Maka, dibentuklah satu wadah pada  tanggal 26 Januari 1926 M.  bertepatan dengan 14 Rajab 1344 H dengan nama Nahdlatul Ulama. Mungkin perlu dicatat disini bahwa NU berhasil mewadahi mayoritas kaum muslimin di Indoneesia. Hal ini tidak terlepas dari kerja keras para missionaries NU yang dengan gigih berjuang dan mengorbankan apa saja yang dimiliki untuk kejayaan NU. Disisi lain NU merupakan kepanjangan tangan dari gerakan dakwah beberapa abad sebelumnya, yaitu gerakan dakwah yang dimotori oleh Wali songo.

Tidak berbeda jauh dengan system yang dianut kembangkan oleh para pendahulunya, NU berusaha untuk melestarikan system yang dipakai oleh Wali songo dan ditambah dengan membuka diri dengan modifikasi aplikasi dakwah tanpa harus meninggalkan pakem aslinya. Sadar bahwa kunci keberhasilan dakwah adalah terletak pada juru dakwah maka, hal pertama yang dilakukan Para ulama NU adalah dengan kaderisasi  para da’I yang dilaksanakan pada beberapa pesantren induk. Salah satu pesantren yang berperan dalam kaderisasi para jurudakwah NU  adalah pesantren Tebu Ireng, Jombang  yang di asuh oleh maha guru ulama nusantara yaitu hadratu syeikh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau dengan telaten dan penuh dedikasi tinggi mendermakan seluruh energi, harta dan waktunya untuk mengkader santri-santri yang akan menjadi corong NU di daerahnya masing-masing. Santri mbah Hasyim berasal dari hampir seluruh wilayah nusantara maka, secara otomatis NU juga tumbuh diseluruh pelosoknya. Pola kaderisasi ini adalah adopsi dari kaderisasi yang telah dilakukan oleh Sunan Ampel. Pada waktu itu Sunan Ampel mengkader santri-santrinya untuk ditugaskan berdakwah ke pelosok nusantara, bahkan sampai menyeberang ke negri tetangga.

Bukan tanpa dasar mbah Hasyim memberikan perhatian khusus pada aspek  kaderisasi.  Beliau paham betul  bahwa sebelum seseorang mengemban tugas untuk mendakwahkan risalah ketuhanan ia akan melewati fase penggemblengan, tak terkecuali pada diri para rasul dan nabi. Muhammad sebelum menjadi seorang rasul melewati fase penyucian dan penggemblengan batin di goa Hira. Hal ini diskenariokan Allah supaya kuat dalam menghadapi segala tantangan dan rintangan yang akan dihadapi dalam medan dakwah. Allah berfirman: Tha Haa. Tidaklah aku turunkan Al Qur’an kepadamu agar kamu celaka. Mengenai tafsir kata Tha Haa Syeikh Fathi Hijazy dalam salah satu Muhadhorohnya mengatakan bahwa Tha Haa adalah Ya Thahir, Ya Hadi, atau thuhr dan huda yang bermakna sebelum Al Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad Saw beliau disucikan terlebih dahulu dengan tujuan utama agar dapat memberikan petunjuk kepada umatnya.[9] Senada dengan penafsiran ulama-ulama tasawuf semisal Al Ghazaly, Ibnu Athaillah dan ulama-ulama sepaham yang lain.

KH. Chudory [10] mengatakan bahwa ada tiga aspek yang membuat NU dapat diterima dengan cepat oleh masyarakat Indonesia.  Ketiga aspek tersebut adalah adanya prinsip tasamuh, tawazun, dan tawasuth dalam berdakwah. Tasamuh adalah adanya sikap  toleran pada adat istiadat dan ritual yang ada pada setiap daerah yang dijadikan lahan dakwah. Yakni, berusaha meluruskan adat istiadat dan ritual yang berseberangan dengan ajaran islam secara bertahap, tidak memberangusnya secara langsung. Strategi inilah yang kadang disalah artikan sebagai biangnya bid’ah. Tawazun adalah adanya keseimbangan dalam mendudukan kepentingan  dunia dan akhirat secara proporsional. Terahir  adalah tawasuth yang berarti moderat.
Adanya kecakapan seorang da’I dalam berda’wah, strategi dalam menjalankan misi, mental dan etos dalam berdawah adalah empat sekawan yang tidak dapat terpisah agar dakwah dapat mencapai hasil yang memuaskan. 

NU dan strategi dakwah di abad 21   

Sesempit analisa penulis terhadap fenomena yang berkembang pada era setelah KH. Wahab Hasbullah[11] dan KH. Bisyri Musthafa[12], gelombang dakwah yang digaungkan oleh anak-anak muda NU seakan statis dan defensive. Perkataan tadi seakan menyiratkan nada skeptis dalam diri penulis. Benar adanya bahwa ulama dengan pesantrennya pada dekade 50-an sampai ahir dekade  70-an masih menjalankan tugasnya sebagai kamp kaderisasi. Hanya saja, situasi politik dan kecendrungan untuk ikut memperjuangkan hak-hak kaum nahdliyyin melalui partai malah melemahkan konsentrasi dakwah disisi yang lain. Sampai akhirnya pada tahun 1984 NU secara organisatoris menarik diri dari gelanggang politik praktis dan kembali dalam pemberdayan umat.

Sadar dengan ketertinggalan dari organisasi lain dalam hal pendidikan dan pelayanan kepada umat dalam bidang yang lain, NU secara bertahap menata diri untuk menyongsong abad 21 dengan memberdayakan lembaga, badan otonom dan Lajnah yang ada dalam tubuh ini agar dapat merespon gerak laju zaman. Dalam bidang pendidikan, LP Ma’arif bekerja sama dengan Ansor sebagai tenaga muda NU mendirikan sekolah-sekolah formal yang berafiliasi ke NU. Mereka bahu-membahu dengan warga nahdhiyin -secara mandiri-  mendirikan sekolah-sekolah di daerah kantong-kanting nahdliyin. Kaum muda berperan sebagai pelaksana, Sedang kaum tua memberikan arahan kepada yang muda. Adanya bagi tugas yang harmonis ini menjadikan perkembangan dalam pendidikan cukup signifikan. Era ini dimulai pada akhir dekade 60-an sampai sekarang. 

Dibelahan lain, ulama pesantren juga tidak mau duduk asik menyaksikan menjamurnya sekolah formal tanpa melakukan modifikasi pendidikan dalam pesantrennya. Pesantren yang diawal perkembangan NU menempati posisi paling strategis dalam aksi dakwah kini juga sama sekali tidak kekurangan perannya. Maka, munculah pesantren modern dan semi modern. Sedang pesantren yang masih berpegang teguh pada metode tradisonal juga tetap dipertahankan. 

Sadar bahwa benteng pertahanan NU adalah di pesantren maka ulama pesantren dengan seksama mengikuti gerak laju perkembangan zaman untuk kemudian diimplementasikan dalam kurikilum pesantrennya. Tujuannya tak lain adalah mencetak kader muda NU yang siap menjadi penerus perjuangan dan mampu mencari solusi dalam setiap permasalahan kekinian dalam perspektif syariat. Dari  kerajaan-kerajaan kecil inilah imperium NU dapat bertahan dari goncangan sana-sini.

Goncangan dari sana adalah gelombang yang datang dari arah luar dan biasanya bersifat sebagai tamu yang berkeinginan menduduki sebagian petak kamar dari rumah besar NU. Sedang goncangan dari sini adalah dinamika ilmiah yang berkembang dalam internal NU. Kedua goncangan ini dewasa ini dinetralisir oleh Lembaga Bahtsul Masail NU atau yang lebih terkenal dengan LBM NU. Salah satu gerakan dalam LBM yang berperan aktif dalam membentengi NU dari goncangan luar dalam adalah forum kyai muda yang dipandegani oleh Abdullah Syamsul Arifin dan Idrus Ramly di daerah Tulangan, Sidoarjo. 

Melihat jumlah kaum nahdliyin yang mencapai kisaran 40 jutaan[13],  dan katanya ormas islam dengan jumlah pengikut paling besar di dunia sudah barang tentu ormas ini punya kiat-kiat husus agar pengikutnya selalu loyal kepadanya. Strategi yang digunakan dalam dakwah NU dewasa ini menurut penulis mengguna1kan strategi defensive ala catenacio. Berusaha membentengi para pengikutnya dalam lingkaran NU agar tidak sampai menyeberang ke rumah tetangga dan disaat yang bersamaan berusaha menambah anggota.

Bukan tanpa alasan strategi itu yang dipilih. Bukankah ada adagium “lebih sulit menjaga dan memelihara daripada membangun”. Fase perkembangan sudah lewat dan mengalami jaman keemasan pada masa awal sampai zaman pertengahan, yaitu sampai pada era KH. Wahab Hasbullah. 

Tapi jangan disalah artikan bahwa aktifitas dakwah dalam NU mentok sampai disitu. Bukankah pengertian dakwah tidak terbatas hanya dalam ajakan secara lisan dan propaganda lain untuk masuk dalam lingkaran yang dimaksud. Dakwah hakiki adalah ajakan dan seruan  dengan perbuatan, melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Alloh dimuka bumi sesuai dengan yang diharapkan oleh sang Khaliq. 

Dakwah bil hal dalam NU diimplementasikan oleh NU secara organisasi dalam upaya mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi para anggotanya secara khusus dan memberikan pelayanan kepada masyarakat keseluruhan secara umum. Upaya untuk meningkatkan taraf hidup anggotnya tercermin dari pemberdayaan zakat sebagaiman telah dilakukan oleh KH. Sahal Mahfudz dan pendirian BMT di pesantren Sidogiri, Sidoarjo. Langkah konkret lain adalah denga mendirikan rumah sakit, rumah bersalin dan tempat pelayanan social yang lain.

Akhirnya, karena keterbatasan waktu penulis ingin menyampaikan bahwa keberhasilan dakwah sangat tergantung kepada kecakapan seorang da’I, strategi dakwah, tersedianya dana yang cukup, kesiapan mental dari seorang da’I, memberikan prosentase 25% untuk dakwah bil lisan dan 75% untuk dakwah bil hal , dan adanya kesinambungan kaderisasi.
          


[1] Al Mu’jam Al Wajiz hal. 228 cet. Haiah ammah
[2] Masdar merupakan akar dari kata yang dapat ditashrif. Hal ini menurut pendapat ulama Bashrah. Sedangkan menurut ulama kufah, akar kata adalah fi’il madhi
[3] Da’watu rusul ghoyatuha wa tarikhuha, hal. 19-21 Dr. Ragab Syitawy
[4] Al Mu’jam Al Wajiz 
[5] Nabi juga berkewajiban untuk menyebarkan risalah tuhan sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah. Ibid hal. 51
[6] Syarah Arbain nawawy najmudin al thufy hal 405 cet dar bashoir
[7] Ibid hal 407
[8] Humum da’iyah  Muhammad Al ghazaly cet. Al basyir,Hal.
[9] Muhadhoroh Dr. Fathy Hijazy pada kamis 28/2/2013
[10] Pendiri PP. API Tegalrejo Magelang
[11] Rais Aam PBNU setelah KH. Hasyim Asy’ari sampai wafat pada tahun 1974
[12] Singa Podium dari Rembang, Pengasuh PP. Raudhatut Tholibin leteh, Rembang
[13]Sensus warga nahdyiin belum pernah diadakan

1 komentar: