Jumat, 15 Oktober 2010

Dari Ketiadaan Aku Ada Part IV

Menunggu berangkat ke Kairo


Tepat setelah sholat ‘ied dan bermaaf-maafan dengan seluruh masyayikh dan warga sekitar pondok aku pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, bukan Cuma kegembiraan yang ada dalam dada, malah sebagian besar dada ini dipenuhi perasaan tak menentu. Perasaan yang dari semalam belum ku ungkapkan kepada siapapun. Pikiranku sibuk mencari cara agar dapat menyampaikan anjuran dari sang kyai dan dapat di terima dengan baik oleh kedua orang tua beserta kakak dan adik-adikku. Tau sendiri, adiku gagal kuliah Karena terbentur biaya. Dan sekarang, aku yang seharusnya tetap berusaha mencarikan jalan agar dia tetap bisa melanjutkan pendidikannya dan dapat membantu dalam segi pembiayaan malah harus memeras keuangan keluarga. Pening tujuh keliling…. Ah.. mumet…………………
Adzan ashar berkumandang tepat ketika aku menginjakan kaki di rumah. Seisi rumah sedang berkumpul di tambah dengan paman, bibi serta saudara-saudara sepupu dari pihak ibu. Maklum, ibuku merupakan kakak tertua dari mereka yang semuanya berjumlah delapan orang plus sudah berkeluarga dan beranak-pinak, bahkan ada yang punya cucu, dan telah lama menggantikan posisi ibu mereka karena meninggal ketika ibuku baru berusia 18 tahun, otomatis ibukulah yang mengurus mereka. Itulah yang menjadikan kedekatan mereka dengan kami sekeluarga. Dan sudah pasti pada saat lebaran mereka berkumpul di rumahku dengan anak-anak dan cucu mereka, wong di hari-hari biasa juga mereka kerap berkumpul. Saudara-saudara sepupuku juga sering menginap di rumahku. Pokoknya rumah ini tidak pernah sepi dari canda tawa anak-anak dan suara tangisan bayi. Walaupun kami lima bersaudara belum ada yang menikah.

Suasana sudah agak sepi, mereka sudah kembali ke rumah mereka masing-masing, hanya beberapa saudara sepupuku saja yang tersisa, agar keesokan harinya tidak perlu repot-repot ke rumahku untuk melanjutkan silaturahmi ke saudara-saudara yang lain secara berombongan. Kurasa ini waktu yang tepat untuk membicarakan hal itu. Ku kumpulkan semuanya tak terkecuali, hal ini ku lakukan agar hatiku mantap dalam mengambil keputusan. Karena hal ini bukan semata-mata berhubungan antara aku dengan kedua orang tua, akan tetapi menyangkut semuanya, adik-adik dan kakakku.

Begini pak, mbok, sebelum aku pulang ku utarakan niatan untuk mukim, dan Alhamdulillah semua masyayikh mengijinkan. Hanya saja ada satu hal yang menjadi syarat kepulanganku, yaitu aku dianjurkan untuk melanjutkan belajarku ke timur tengah, Al Azhar Mesir tepatnya.
Semua terdiam, aku tidak tau apa yang sedang mereka pikirkan saat itu. Aku pun ikut diam. Tak berani mengucapkan kata barang sepatah. 

Setelah kurang lebih sepuluh menit dalam keheningan ahirnya simbok angkat bicara: “Sebenarnya aku sendiri tidak merasa keberatan jika kau berangkat ke Al Azhar, akan tetapi kau tau sendiri kan bagaimana kondisi ekonomi keluarga ini, perjalanan pendidikan adik-adikmu masih sangat panjang, tentunya biaya yang selama ini harus dikeluarkan untukmu harus berpindah tangan kepada mereka. Rasa-rasanya kamu sudah lebih dari cukup mengenyam pendidikan, walaupun Cuma pesantren, tapi kurasa ada baiknya juga kau melanjutkan belajarmu, semakin banyak bekal yang kau punya insya Alloh akan menjadikanmu lebih matang dalam menghadapi kehidupan di kelak kemudian hari. Semoga saja ini adalah jalan untuk merubah harkat dan martabat keluarga ini.” 

Aku menangis tersedu mendengar perkataan simbok yang selama ini menjadi manager keluarga ini. Beliau memang sangat bijak dalam setiap keputusan yang ia ambil. Layak, dalam setiap masalah keluarga beliaulah yang selalu jadi rujukan aduk-adiknya. Dan dengan otomatis semua sepakat akan kelanjutan belajarku ke Al Azhar. Aku tau bahwa untuk menuju kesana tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan nantinya. Pun beliau masih mendukung dan memberikan semangat.

“Mengingat sudah bukan saatnya aku meminta pembiayaan dari bapak dan simbok maka untuk pembiayaan kesana anggap saja sebagai hutang, dan insya Alloh setelah aku punya uang untuk mengembalikan aku akan mengembalikannya, ataupun kalau dalam jarak waktu yang telah ditentukan ternyata tidak mampu membayar, maka jaminannya adalah sepetak tanah yang baru-baru ini mereka alih namakan padaku sebagai modal usaha, biarlah tanah itu sebagi kompensasi atas biaya yang sudah dikeluarkan untuk pemberangkatanku ke Al Azhar.” Ucapku menimpali keputusan simbok. 

Mengapa langkah ini ku tempuh? Pertama agar nanti tidak ada kecemburuan diantara saudara-saudaraku, kedua menjaga perasaan adiku yang tidak dapat melanjutkan ke bangku kuliah karena tidak di sanggupi orang tua, ketiga minimal ada sedikit borg untuk kelanjutan pendidikan adik-adiku yang masih kecil dan ke empat adalah sebagai ungkapan rasa tanggung jawab dari seorang anak yang seharusnya tidak di biayai lagi dan sekarang harus dibiayai dalam jumlah yang sangat besar untuk ukuran keluarga kami.

Begitulah, tahap pertama berjalan dengan mulus. Semuanya mendukung dan kedua orang tuaku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengumpulkan biaya. Singkat cerita, setelah aku dinyatakan lolos tes depag, uang yang akan ku gunakan membiayai perjalananku ke Al Azhar baru mencapai 20%, padahal waktu yang tersisa untuk melunasi tinggal setengah bulan lagi. Penawaran tanah kepada orang yang berminat tidak membuahkan hasil, begitu juga usaha-usaha yang lain. Waktu semakin mepet. Batas ahir pelunasan tinggal satu minggu lagi, tak ada usaha yang dapat ku lakukan kecuali memperbanyak doa. Menagih janji kepada kyai yang dulu menawarkan bantuan rasa-rasanya tidak mungkin. Malu.. walaupun beliau sering menanyakan apakah aku sudah melunasi biaya pemberangkatan apa belum. Dan tepat satu hari sebelum batas ahir pelunasan ahirnya uang itu terkumpul, ndilalah ada yang mau menghutangi dengan tempo yag lama, uang nganggur dalam istilah masyarakat kami. Alhamdulillah, ahirnya lunas juga.

Setelah biaya keberangkatan lunas, hati ini sedikit lega. Tinggal memikirkan bekal untuk hidup disana. Lagi-lagi sang pencipta mengujiku. Orang tuaku tidak sanggup lagi mengusahakan uang untuk bekal hidupku di Kairo kelak. Mereka sudah kehabisan energi untuk mendapatkannya. Apa yang harus aku laukan ya rab… sungguh aku bingung, seakan tidak ada jalan yang dapat mengeluarakanku dari masalah ini. Ya Alloh… kalau aku dtakdirkan sampai ke Kairo maka mudahkanlah jalanku, walaupun nanti dalam keberangkatan aku tidak membawa bekal yang cukup. Hanya do’a itu yang tak henti-hentinya ku lantunkan disetiap waktu. Dan Alloh tidak sekali-kali berpaling dari rintihan hambanya. Disaat kritis keajaiban itu terjadi lagi. Tak disangka tak dinyana ada seorang dermawan yang mengulurkan bantuan, banyak sekali jumlahnya, dan sejak beliau sang dermawan memberikan bantuan, bantuan-bantuan yang lain tak henti-hentinya mengalir. Hingga terkumpul dalam jumlah yang tidak terduga sebelumnya. Puji syukur kehadiratmu ya Alloh, atas segala yang telah kau karuniakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar