Senin, 22 Agustus 2016

Ketika Syekh Mutawalli Sya'rawi Memusuhi Cucu Nabi

Suatu malam, setelah berbincang-bincang tentang masalah sufisme dan para auliya-Nya, Syaikh Sya'rawi bertanya padaku, "Sudahkah aku bercerita tentang Sayyida Zainab kepadamu?” "Saya belum pernah dengar, Maulana". Jawabku.

Syaikh Sya'rawi bercerita, "Aku hidup bertetangga dengan Sayida Zainab selama 7 tahun. Dari tahun 1936 sampai 1942. Waktu itu, aku tinggal di Jalan Prince Aziz dekat Benteng al-Kabsh, Distrik Sayyida Zainab. Statusku pada waktu itu adalah mahasiswa S1 dan kebetulan sedang menyiapkan diri untuk mengikuti ujian. Singkat cerita aku jatuh sakit. Sakit parah yang tak kunjung sembuh. Sehingga hal itu membuatku tidak bisa mengikuti imtihan (ujian). Ujian semester awal tidak dapat kuikuti, begitu juga dengan ujian semester kedua. Jengkel bercampur sedih. Lha, wong aku selama ini sudah berusaha mati-matian untuk ikut imtihan malah pas hari itu datang aku tergelat sakit. Aku mengadu kepada Sayyida Zainab, "Kita (saya) tinggal di sini, di sampingmu, Sittina! Imtihan sudah terlewati, dua semester pula! Hilang sudah kesempatanku untuk menyelesaikan kuliah dalam setahun ini."

Sejak saat itu aku membenci Sayyida Zainab. Aku tak lagi shalat di masjidnya. Aku lebih memilih untuk melaksanakannya di sebuah Zawiyah (pusat kegiatan tasawuf), Namanya Zawiyah al-Habiba.
****


Muhammmad Mutawalli Sya'rawi
(Sumber: Mazika2day.com)
Syaikh Sya'rawi melanjutkan ceritanya. "Kala itu aku mempunyai seorang teman. Dia itu salah seorang yang mempunyai daya linuwih dan terkenal sebagai al-Arif Billah. Namanya adalah Syaikh Muhammad 'Abdul Fattah. Beliau seorang guru besar di Fakultas Syariah Universitas al-Azhar, Kairo. Tanpa ada badai dan hujan beliau tiba-tiba saja mendatangiku. Waktu kedatangannya  bertepatan dengan maulid Sayyida Zainab. Perayaan akan kelahiran cucu Muhammad Saw. ini biasanya gegap gempita.”

Ia bilang padaku dengan nada memerintah, "Segera berdiri dan pakai bajumu!" Aku tanya, "Buat apa? Lagian mau ke mana?" Ia tetap menyuruhku segera berdiri dan bersiap-siap. "Baiklah kalau begitu. Kita mau pergi ke mana?". Tanyaku kepadanya. "Ke hadapan Sayyida Zainab. Akan kuhadapkan kau kepada beliau untuk berdamai (islah).

Aku terperanjat. Bagaimana ia tahu aku masih jengkel pada Sayida Zainab? Bagaimana ia tahu aku sekarang membencinya? Ia membawaku pergi bersamanya menuju makam Sayyida Zainab.

Setelah masuk masjid, kita shalat dua rakaat dan dilanjutkan dengan berziarah; mengucap salam kepadanya dan menghabiskan malam di dalam masjid. Ketika matahari sudah terbit kami pulang ke rumah. Kami tidur dan istirahat barang sejenak.

Di rumah, Syaikh Abdul Fattah tidur diatas kasur sedangkan aku merebahkan badan di kursi ruang tamu. Belum lama berlalu, aku mendengar suara pintu diketuk. Suara itu membangunkanku dari mimpi indah. “Siapa yang datang sepagi ini?!” Aku bangun dan membuka pintu.

Ternyata orang yang mengetuk pintu itu adalah orang tuaku. Beliau sengaja datang dari kampung untuk menjengukku dan membawakan bekal. Aku persilakan beliau masuk. Setelah duduk, kusampaikan  kepada beliau bahwa saat beliau mengetuk pintu tadi, saya sedang bermimpi indah.

"Aku tadi mimpi indah, Pak. Saat bapak tadi mengetuk pintu.”
"Mimpi apa, mimpi apa, nak?" Tanya bapak dengan mimik serius.
Kujawab, "Mimpi bertemu dengan Sayida Zainab. Ya. Sayida Zainab.”
Bapak bertanya lebih serius lagi. Kedua tangannya digunakan untuk mengguncang-guncang pundakku. "Kamu tadi melihatnya? Wajahnya terbuka atau ditutup dengan kain?
"Apa maksudnya wajahnya terbuka atau memakai niqab (cadar)? Pertanyaan itu menggumpal di kepalaku.
Bapak mengulangi pertanyaannya lagi, "Wajah Sittina Zainab dalam mimpimu itu terbuka atau pakai niqab?"
"Terbuka". Jawabku

Bapak memeluk dan menciumku. Aku penasaran, "Maksudnya apa kalau wajahnya terbuka, Pak?"
"Itu berarti kita memang benar termasuk keluarganya, termasuk mahramnya, Nak!" "Sittina pesan apa padamu?", Tanya Bapak.
Kujawab sambil memegang tangannya. Kujelaskan bahwa ada orang yang sedang tidur di kamar itu. Agar tidak membangunkannya, lebih baik kita ke kamar yang lain saja.

Belum sempat aku bicara, kami dibuat kaget oleh Syaikh Abdul Fattah yang terbangun dari tidurnya.  Dia memanggilku. Ia tahu bahwa orang yang bersamakaku adalah bapakku yang baru datang dari kampung. Ia melayangkan pertanyaan padaku dari atas kasur.

"Sittina bilang apa padamu? Coba ke sini ceritakan padaku!"
Kujawab, "Sittina bertanya apakah aku masih marah padanya?"
"Bapakmu bilang apa tadi?" Tanya Syekh Abdul Fattah.
 "Bapakku menanyakan apakah wajah Sittina Zainab terbuka atau memakai niqab”. Jawabku.  
"Dan, kamu bilang apa?" Tanya Syaikh Abdul Fattah.
"Terbuka." Jawabku.
 "Lalu Bapakmu bilang apa lagi?"
 "Mimpiku pertanda bahwa kita (saya dan bapak) benar-benar termasuk mahramnya, termasuk keluarganya."
Syaikh Abdul Fattah menyahut, "Benar. Memang benar. Kamu masih Ahlul Bait. Sittina Zainab berpesan apa lagi?"
Kujawab, "Setelah bertanya apakah aku masih marah padanya, Sittina melanjutkan: Satu tahunmu yang lewat itu akan kami ganti menjadi lima."
 "Lima ini maksudnya apa?" Tanya Syaikh Abdul Fattah.
"Wallahu a'lam." Jawabku.


Syaikh Sya'rawi menegaskan ia tidak tahu apa maksud kalimat: “Akan kami ganti menjadi 5 untukmu suatu saat nanti.” Syaikh Sya'rawi melanjutkan ceritanya. "Kejadiannya setelah aku lulus dari Al-Azhar dan bekerja sebagai pegawai golongan (eselon) VI.

Makam Sayeda Zainab binti Ali
(Sumber: Wikipedia)

Saat itu aturannya: “Promosi jabatan hanya dapat dilaksanakan dengan menilai; berapa lama pengabdian, bagaimana kinerja di instansi terkait dan melihat 25% kuota pegawai yang kosong. Aku terkejut saat kenaikan golonganku dari eselon VI ke eselon V. Kenaikan itu dilaksanakan murni hanya dengan rekomendasi, tidak dengan syarat lamanya pengabdian. Hari itu, aku langsung teringat kalimat Sayyida Zainab, "Kami akan menggantinya dengan 5". Hari itu juga aku izin dari tempat kerjaku di kota Zaqaziq untuk bertolak ke Kairo untuk  berziarah kepada Sayida Zainab.

Di akhir cerita, Syaikh Sya'rawi berpesan, "Ada orang yang tidak percaya hal semacam ini, bahkan menganggap orang yang menyampaikannya itu tidak waras, gila. Hal itu dapat dimengerti sebab mereka belum pernah melihat sendiri."

***
Note: Sayida Zainab (sebagaimana penduduk Mesir menyebut beliau) adalah putri Sayidna Ali KW dengan Fathimah binti Rasul Saw.  Beliau adalah adik dari Hasan dan Husein bin Ali. Perempuan hebat dari suku Quraisy (nama julukan beliau) ini merupakan penyelamat keturunan Rasul Saw. Kegigihannya menentang hukuman terhadap Ali Zainal Abidin, keturunan yang masih tersisa dari Husein bin Ali sewaktu tragedi Karbala menjadikan dzuriyah Rasul Saw. dapat lestari sampai sekarang. Habaib di Indonesia juga keturunan beliau melalui jalur Isa bin al-Muhajir.

Syekh Mutawalli Sya’rawi (Ejaan Mesir: Metwalli Sharawi) merupakan ulama, shufi, da’i kondang dan macan panggung. Beliau juga tokoh oposan terhadap pemerintah. Kepopuleran beliau setara (bahkan ada yang bilang melebihi) kepopuleran Ummu Kulsum. Poster, suara dan petuah beliau gampang kita ketemukan dalam bus-bus umum, lapak toko, terminal, gedung pemerintahan dan rumah-rumah masyarakakat. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar