Kamis, 27 Oktober 2011

Kisah Andalusia

Bagian II



Manuskrip

“Bagaimana kamu menemukan manuskrip langka ini?”

Prof. Jose Casius memegang manuskrip yang sudah termakan usia itu dengan gembira. ia membolak-balik lembar demi lembar manuskrip yang terletak menumpuk dalam peti kayu itu dengan serius, ia tak pedulikan pemuda yang berdiri di depannya dan tak sedikitpun memperhatikan para peneliti yang sedang menyelidiki dan meneliti  tempat bersejarah -Ruang bawah tanah-  yang terlihat seperti kuburan. Salah satu dinding ruang bawah tanah tersebut terbuka untuk pertama kalinya setelah hampir lima ratus tahun tak pernah ditembus cahaya matahari.

“Mr. Martin merobohkan rumah tua yang dibelinya itu ketika para pekerja menemukan sebuah peti yang menyimpan manuskrip berharga tadi”

“Ini benar-benar harta karun”

“Mungkin saja seluruh area rumah ini menyimpan peninggalan-peninggalan bersejarah. Aku tidak habis pikir,  mengapa mereka memperbolehkan para pekerja itu menghancurkannya”

“Aku masih kecil ketika itu, Carlos… Seingatku rumah itu sudah mengalami beberapa kali renovasi, hal itu nampak jelas dari beberapa bagiannya, dan yang jelas tidak menyimpan peninggaln bersejarah kecuali manuskrip yang terkubur dalam ruang bawah tanahnya”

“Akan tetapi, bagaimana manuskrip ini tidak terjamah tangan kita sampai saat ini”

“Penulisnya sungguh cerdas, ia telah memanfaatkan bukit batu yang berada disamping rumah seakan-akan menjadi sandaran rumah dan menggali tanah itu kemudian menutupnya dengan dinding agar tidak terlihat dan disangka bahwa dibalik dinding itu ada satu ruangan. Aku tidak tahu bagaimana ia keluar dan masuk ruangan itu, akan tetapi yang jelas ruangan itu mempunyai jalan rahasia. Kamu pasti mengetahui situasi dan kondisi pada waktu itu, satu masa yang dipenuhi dengan gelimang darah dan fanatisme keagamaan, dan sang penulis telah berhasil menyembunyikan tulisannya selama ratusan tahun. Orang-orang  menyangka bahwa dinding ini bersandar pada batu besar, tidak terpikir sama sekali bahwa dinding itu sebagai pelindung ruang bawah tanah dengan segala isisnya”.

“Tentu saja pak, mungkin saja kalau mereka menemukan tempat ini pada masa itu, mereka akan menghancurkannya”.

“Shit……  fanatisme menyebabkan  sejarah kita menjadi terabaikan dan tersia-sia”

“Akan tetapi, hal ini akan mengusik ketentraman beragama dan kemurniannya setelah bertahun-tahun tenang dan damai”

“Carlos, apakah kau tahu bahwa walaupun perjalanan kehidupan beragama nampak adem ayem tanpa ada riak selama beberapa tahun ini akan tetapi fanatisme beragama dan rasisme masih mendarah daging pada orang-orang di negri ini. Apa yang kau katakan tadi merupakan tanda yang contoh nyata atasnya”

“Iya pak…”

“Benar, ucapanmu tentang kemurnian agama masih menyimpan fanitisme, bukankah begitu?”

“Apakah kau tahu, orang-orang arab yang dulu mendiami negri ini telah berlapang dada dan menerima dengan baik setiap orang yang berada dalam kekuasaannya?”

Carlos tersenyum kecut dan berkelakar:

“Hmmm… keliatannya anda masih memiliki darah arab…”

Dengan serius Profesor Jose menjawab:

“Tahukah kau… jika aku berhasil meneliti mnuskrip ini, maka aku akan mengumumkan  dengan bangga bahwa aku lahir dan tumbuh di negri yang dulunya punya peradaban besar, walaupun orang-orang tidak mengetahui kebesarannya.”

“Akan tetapi agama anda tidak sama dengan mereka”

“Ya.. tapi aku salut dan membenarkan pada ajaran mereka tentang asas-asas kemanusian, bahkan saya anggap hal itu merupakan bagian penting dalam sejarah Spanyol”

“Bukankan anda bersebrangan dengan mereka dalam berbagai masalah”

“Ya… tetapi saya menghargai metode ilmiahnya”

“Mungkin saya akan belajar banyak dari anda, prof…”

“Terima kasih, aku akan merapikan manuskrip ini terlebih dahulu”
“Ini cerita yang terputus-putus, hal itu nampak jelas dalam pendahuluannya, akan tetapi ada dua hal yang patut diperhatikan”

“Apa itu?”

“Pertama, dalam manuskrip ini tidak terlihat susunan yang tumpang tindih dan tersusupi aksen Kastilia”

“Kedua, Manuskrip ini tidak selalu mengikuti gaya bahasa atau cara-cara yang diketahui bangsa Arab dalam mendokumentasikan sejarah mereka”

“Oh.. tentu saja, kedua hal itu sudah dijelaskan sang penulis dalam pendahuluannya. Ia hanya ingin melestarikan bahasanya dan isinya hanya sebuah cerita, bukan sejarah.”

“Lembaran yang ada di tanganmu apa isinya?

“Jika kita mengamatinya dari awal, kita ketahui bahwa ceritanya adalah tentang seorang raja yang terusir”

“Raja yang terusir!!!”

Professor mengamati lembaran itu dengan seksama

“Benar, ini cerita tentang Alvonso VI, penakluk kota Toledo (Tulaytela:arab, Tulateum:latin). Prof….anda mendengarku?”

Salah satu pekerja menimpali: “Profesor larut dalam bacaannya”

Rabu, 26 Oktober 2011

Kisah Andalusia

Bagian I





Al MALIK AL HARIB
( Sang Raja Yang Terusir)

Prolog

Dia gemetaran di salah satu pojok ruang bawah tanah, telinganya menangkap derap langkah pasukan Kastilia (Castile:latin, Qosytalah:arab) diatasnya, sementara nafasnya memburu, seakan mau menunjukan keberadaannya, tubuhnya semakin bergetar, detak jantungnya tak terkendali, memacu aliran darah sampai ke ubun-ubun dan seketika itu pula serasa waktu terhenti,  tiada yang ia dengar kecuali suara degub jantung yang semakin memburu. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh deritan pintu, ia pejamkan mata, berlindung  dari semburat cahaya yang menerobos masuk.

“Jangan takut! Mereka sudah pergi,”

Ia membuka matanya perlahan. Seorang berwajah teduh berada dihadapannya.

“Pergi…..?”

“Benar, mereka telah pergi, saya telah memastikannya sebelum turun ke sini”

“Saya akan pergi sekarang, sebelum kalian terkena masalah”

“Mereka tersebar diseluruh penjuru kota, jika tuan keluar,  besar kemungkinan tuan akan jatuh ke tangan mereka.”

“Terus…. Sekarang apa yang sebaiknya ku perbuat”

“Sebaiknya tuan berdiam diri dulu disini, sampai keadaan benar-benar aman”

“Mungkin juga mereka akan menemukan tempat persembunyian ini?”

“Jangan kawatir! Ayah saya husus mendesain tempat ini untuk menyembunyikan buku-bukunya agar terlindung dari  tangan-tangan mereka. Pasti tempat ini aman dan tidak dapat diketahui oleh mereka”

“Akan tetapi ini akan merepotkan kalian”

“Sebaliknya, Tuan berhak mendapatkan yang lebih layak dari pada ini semua”

“Saya melihat ada kertas dan tinta”

“Itu punya ayah saya”

“Mungkin saya bisa menggunakannya?”

“Oh, Tentu… Anda suka menulis?”

“Tidak juga, hanya kadang-kadang saja, itupun untuk menjaga bahasa leluhurku agar tidak musnah tergerus bahasa orang-orang Kastilia”

“Apa yang akan tuan tulis?”

“Aku akan menulis beberapa cerita tentang sejarah kita yang ku dengar dari ayahku”

“Tentu saya akan senang membacanya”

“Sungguh ?”

“Saya akan tinggalkan tuan sekarang supaya bisa beristirahat, ini lentera untuk menerangi tuan”

Aku keluar. Sementara itu beliau memulai menuliskan ceritanya.

@@@@@@@

Nasehat Abu Aswad Ad Dualy


Nasehat Abu Aswad

Abu Aswad Ad Dualy berkata pada anaknya:

“Nak, aku telah berusaha berbuat biak pada kalian semenjak kamu lahir hingga dewasa, bahakan sebelum engaku dilahirkan kea lam dunia”

Anak: “Bagaimana bapak berbuat baik baik kepada kami sebelum kami terlahir di dunia?”

Abu: “Bapak telah memilihkan ibu yang baik buat kalian sehingga kalian mendapatkan kasih sayang dan pendidikan, tidak seperti teman-teman kalian. Makanya, kalian juga harus berusaha berbuat baik kepada calon anak-anak kalian".

Senin, 17 Oktober 2011

Gus Emen


Dewasa ini gelar Gus menempati posisi gelar kedua ter-ngetrend dalam ranah publik setelah gelar Kyai Haji. Nama-nama Gus yang berseliweran dalam media diantaranya adalah gus dur, gus mus, gus ipul, gus miek, gus sholah dan gus-gus yang lain. Tidak tau pasti dari mana istilah itu muncul, yang pasti gus adalah sebutan penghormatan kepada putra kyai.

Nama gus mungkin diambil dari bahasa arab yaitu Al Ghauts, nama bagi pemimpin para wali - sebagaimana dipaparkan oleh Ibnu ‘Araby dalam Futuhat al Makkiyah -dan kemudian menjadi istilah tersendiri dalam masyarakat Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Istilah gus ini pada awalnya diperuntukan bagi putra kyai pemangku pondok pesantren sebagai bentuk penghormatan, akan tetapi dewasa ini istilah itu seakan tereduksi, sampai-sampai ada orang yang hanya punya kemampuan pas-pasan dalam bidang perdukunan atau menyadarkan orang yang pingsan (baca;kesurupan) dipanggil dengan nama gus, anak kyai langgar cilik juga dipanggil dengan Gus Lc, anak guru ngaji alif, ba, ta yang kebetulan lama belajar di pesantren juga dipanggil dengan sebutan gus. Juga pada penamaan-penamaan lain yang menyimpang dari wadh’inya. Wal hasil istilah yang dulunya disematkan untuk penghormatan sekarang telah beralih fungsi menjadi bahan olok-olokan atau sebagai sebutan bagi orang yang berprofesi dalam bidang tertentu.

Gus yang akan kita sebut disini adalah gus asli, bukan gus iringan atau gus-gusan. Dia merupakan putra ragil dari salah satu ulama terkenal Banyumas yang wafat pada tahun 1987. Sebut saja namanya gus Emen (e diucapkan seperti pada kata sendok), panggilan akrab untuk beliau dikalangan kerabat, sahabat dan para santri abahnya.

Abah dari gus Emen yang bernama Kyai Muhammad mempunyai undang-undang tidak tertulis yang bersifat wajib, mengikat dan tidak dapat dilanggar sama sekali, satu peraturan yang pada zamannya secara umum diberlakukan oleh para Kyai kepada setiap putra dan putrinya dengan tujuan agar dapat meneruskan perjuangannya, peraturan tersebut adalah harus mondok*. Dalam tanda petik, untuk dapat dinobatkan sebagai salah seorang gus yang sebenar-benarnya, maka putra kyai harus mondok terlebih dahulu. Dan untuk menggugurkan kewajiban tadi serta mengukuhkan diri sebagai gus sejati maka dirinya berangkat mondok ke salah satu pondok yang masyhur pada waktu itu, yaitu pondok pesantren yang diasuh oleh Kyai Sanusi di daerah Langen, Jawa Barat.

“Namanya juga  mondok  untuk menghilangkan taklif, maka tidak perlu berlama-lama, cukuplah satu dua hari saja”. Kelakar gus Emen kepada saudara-saudaranya. Memang benar, ia hanya menghabiskan tujuh malam di pesantren Langen, hal itu tak lain dan tak bukan hanya  untuk melegalkan gelar gus yang sudah tersemat pada dirinya sejak lahir dan menghilangkan ora ilok sebagai putra kyai. “Bah, saya telah mondok, maka saya telah sah menjadi putra abah” Kyai Muhammad tersenyum simpul, beringsut meninggalkan putra ragilnya sembari berkata “Oalahhh…..”.

Dalam pencarian ilmunya yang hanya seumur mayflies ia telah menghatamkan surat Al Fatihah dan muqodimah Al Barzanji, maka pasti dapat dibayangkan seberapa dalam keilmuan gus Emen.   Akan tetapi dalam komunitas santri abahnya beliau malah dianggap mempunyai kemampuan yang lebih dibanding putra-putra abah Muhammad yang lain dan dicap sebagai putra abah Muhammad yang paling keramat. Anggapan ini berlangsung cukup lama, hingga pada suatu saat ada santri yang ingin mengaji kepadanya. Gus Emen berkata: “Kalau mau ngaji, jangan kepada saya. Sama kang mas saya saja..” . Dalam hati ia berujar:  “ Salah satu alasan mengapa dulu saya tidak mondok lama adalah agar saya tidak memiliki kemampuan setara dengan kang mas kang masku, dari sini saya bisa berkilah tidak mengajar dan santripun tidak bingung-bingung menentukan pilihan dalam mengaji.  Kang mas saya itu banyak, ada 6 orang, itu sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan ngaji kalian, makanya saya berinisiatif ambil bagian pada pos yang lain saja”. Naïf memang…

Pos yang  ingin beliau tempati adalah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Langkah awal untuk dapat menyatu dengan lingkungan sekitar adalah dengan cara menyunting gadis dari keluarga biasa. Pikirnya, dengan begitu ia akan dapat bergaul luas dengan masyarakat sekitar, tanpa sekat tanpa batas. Salah satu hal yang membuat dirinya tidak dapat bergaul lepas dengan masyarakat adalah karena ia merasa dirinya sebagai gus dan punya derajat sedikit lebih tinggi dari komunitas masyarakat dimana ia tinggal. Wal hasil ia memilih pasangan dari keluarga sederhana agar dapat mengenal seluk beluk masyarakatnya.

Tidak sulit bagi gus Emen untuk meminang gadis manapun di desanya. Dengan modal ke-gus-annya beliau berhasil meminang gadis ayu plus sholihah, santri dari abahnya sendiri. Pernikahanpun digelar dengan meriah. Dan patut dicatat dengan tinta emas bahwa beliau menikah dalam usia belia dan melangkahi 3 kang masnya.

Memang benar adanya, sifat gengsi yang dulu mengekang dirinya sewaktu bujangan kini luntur tak berbekas. Ia kini pandai bergaul dengan semua orang, bahkan Untuk menafkahi istri dan anaknya, beliau memilih bekerja sebagai supir angkutan umum. Sebuah profesi yang sangat biasa bahkan terkesan tidak terhormat dalam masyarakat, dan biasanya kami menyebut angkutan tersebut dengan nama  doyok** .

Sewaktu ditanya mengapa memilih profesi sebagai sopir angkot beliau menjawab: “Dari profesi ini saya selalu ingat pesan abah sewaktu beliau akan meninggal. Abah saya berkata bahwa ia tidak mewariskan banda dunya kepada putra-putranya, beliau hanya meninggalkan sebuah pesantren yang harus dipelihara dan dijaga. Beliau mengibaratkan pesantren dengan falsafah angkot, yaitu ada yang menyetir, ada yang merawat mesin, ada yang menjadi kondektur yang bertugas memasukan penumpang, mendorong jika macet atau menjadi tukang ganjal ban jika macet atau tidak kuat ditanjakan. Disamping itu dengan manjadi sopir angkot kita akan melihat dengan nyata kondisi sosial masayarakat dimana kita tinggal, bergaul dengan orang dari berbagai macam latar belakang dan banyak manfaat lain dari profesi ini. Dan yang paling penting kita telah berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab.”

Memang, pilihan menggantungkan hidup sebagai sopir angkot terlihat cukup aneh bagi keluarga dan masyarakat dimana ia tinggal, akan tetapi ia cuek bebek, ia menikmati profesi barunya dan untuk sementara waktu menanggalkan gelar yang selama ini ia sandang. Terus, dibagian mana ia melaksanakan wasiat abahnya?

Sesuai dengan falsafah angkot yang telah disebutkan diatas, ia memilih sebagai kenek yang bertugas memasukan penumpang kedalam angkot. Disela-sela obrolan ngalor-ngidulnya dengan sesama sopir, tukang ojek, kuli pasar dan para pedagang serta masyarakat bawah lainnya ia menyisipkan tentang pentingnya mencapai kebahagiaan setelah kehidupan di dunia ini. Ia selalu memberi iming-iming kehidupan yang lebih baik setelah kehidupan dunia ini. “Bukankah kalian tidak ingin sengsara untuk kedua kali? Sengsara di dunia sebagai orang yang kekurangan secara materi  dan sengsara di akhirat kelak?”  Dan yang patut diacungi jempol adalah cara gus Emen memberikan pencerahan tidak dengan cara berapi-api sperti macan panggung, tidak pula terkesan menggurui, akan tetapi dengan cara humor dan kelihatan tidak serius tapi tetap berbobot.

Beberapa tahun setelah ia menjadi kenek, akhirnya pesantren peninggalan abah Muhammad kembali penuh sesak dengan santri yang kebanyakan berasal dari anak-anak kenalannya. Begitu juga dengan pengajian rutinan bulanan dan mingguan. Ia mencukupkan diri sebagai kenek, sementara untuk bagian sopir ia serahkan kepada kang masnya begitu juga dengan masalah pendanaan, karena salah satu dari kang masnya ada yang menjadi jutawan.



Terinspirasi oleh kisah nyata


@@@@@@


*Mondok adalah kata yang digunakan orang jawa untuk mengistilahkan menuntut ilmu agama, dikatakan mondok karena biasanya si pelajar yang lazim disebut santri bertempat di pondokan.

**Doyok adalah jenis angkutan umum era 80-an dan awal 90-an, kendaraan ini berbahan bakar solar dengan bentuk seperti kendaraan yang sekarang umum digunakan sebagai travel. Angkotan ini punah setelah adanya mikro bus, yaitu sekitar tahun 95-an. Disebut doyok karena tidak dapat lajunya lambat dan sering macet (ringkih seperti badan doyok). Daerah trayeknya adalah lewas2-longok-barang-ayu. Karang Lews, Cilongok, Ajibarang, Bumiayu

*** Emen merupakan nama asli dari salah satu gus di daerah tempat saya tinggal. Diambil dari huruf depan namanya, seperti esbeye (SBY)