Anak perempuan
bertubuh bongsor yang umurnya kutaksir belum genap sembilan tahun itu dengan
sigap membelah padatnya penumpang. Tangannya yang seukuran pisang gebrot dengan
gesit menyelipkan satu lembar kertas berukuran sepertiga hvs kepada setiap
penumpang. Aku yang memilih duduk di jok pojok paling belakang juga ikut
kebagian. Tampang kantuk dan tak mau diganggu yang sengaja kupasang sebelum bus
milik pelajar itu meluncur meninggalkan terminal Darrasa tidak membuatnya kikuk untuk membangunkan. Demi koin ia singkirkan
malu.