Senin, 10 Juni 2013

Apakah Perlu Merevisi Metode Pembacaan Kitab Kuning


Membaca kitab kuning dengan metode "utawi, iki-iku" adalah hasil ijtihad dari segolongan ulama nusantara untuk memecahkan kebuntuan terhadap persoalan sulitnya menterjemahkan bahasa arab kedalam bahasa jawa dengan derajat kesalahan seminimal mungkin. Konon, yang pertama kali mengenalkan pembacaaan kitab kuning dengan metode utawi iki iku adalah Sunan Ampel. Kemudian, metode ini dikenalkan secara luas oleh para santri dan anak didiknya, diantaranya adalah Sunan Giri, santri sekaligus anaknya, dengan memusatkan pembelajaran di Giri Kedaton.

Metode "utawi, iki-iku" dirasa sangat efektif dalam pendalaman kajian keagamaan yang tidak boleh tidak harus mengacu kepada literatur berbahasa arab. Setelah terjadi pembenahan disana-sini dan masukan dari berbagai ketidak singkronan dalam pemaknaan akhirnya para ulama jawa bersepakat bahwa metode "utawi, iki-iku" adalah metode satu-satunya yang diterapkan oleh setiap ulama pemangku pesantren dalam menggembleng anak didiknya. Pengembangan metode ini beriringan dengan penggunaan tulisan jawa pegon sebagai perangkatnya. Penulisan dengan menggunakan metode jawa pegon menyebar sampai ke negri tetangga, bukan tidak mungkin, metode ini juga ikut terbawa sampai ke sana.

Penyempurnaan metode ini berlangsung sampai hadirnya hadratus syeikh Kholil Bangkalan. Kedalaman beliau dalam ilmu alat dan penguasaan beliau terhadap penggunaan setiap kata dalam bahasa arab mengantarkan metode "utawi, iki-iku" mencapai klimaksnya. Gubahan dan ijtihad beliau bertahan sampai detik  ini. Para ulama yang datang seteah era KH. Kholil tak ubahnya ingin melestarikan saja, tanpa merasa perlu untuk berbenah. Mereka meyakini bahwa metode yang disampaikan oleh hadratusy Syeikh sudah final, tidak ada alasan untuk merevisi atau bahkan merubahnya. 

Banyak dari para kyai yang merasa suul adab bila harus berseberangan dengan makna yang telah mereka terima dari guru-guru mereka. Misalnya, ketika ada ketidak cocokan antara makna murad dan makna literal dari sebuah teks, mereka akan merasa berdosa jika harus meninggalkan makna literal yang ada. Sedapat mungkin makna ini disajikan kepada para santri, alasannya makna inilah yang mereka terima dari para guru pendahulunya. Bila sang kyai bijak, maka mereka akan mewariskan apa yang mereka terima dari pendahulunya kemudian memberikan keterangan tambahan. Tapi, jika sang Kyai bersikukuh dengan makna literal yang diwarisi dari para gurunya tanpa menjelaskan makna yang dimaksud, maka yang terjadi adalah sebuah pemahaman yang rentan berbuah pereduksian dan pengerdilan. Sehingga, golongan kaum santri yang datang setelahnya akan disuguhi oleh sajian kata berbahasa arab dengan pemaknaan literal tanpa mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dari teks itu. Mereka akan disibukan dengan makna gandul tanpa mengetahui mutiara yang tersimpan didalamnya.

Kita akan mengambil beberapa contoh dari pemaknaan ala jawa yang sudah sepantasnya untuk digubah.
1. Kata yasytamilu, biasanya dimaknai dengan mengku, dalam bahasa indonesia diartikan mencakup, meliputi.
2. Al makru, biasanya dimaknai dengan maiko, reka daya
3. Haal, dimaknai dengan kenceng, kontan
4. Ghoriib dimaknai dengan aeng, aneh. 
Dan masih banyak lagi kata-kata yang kalau diperdengarkan kepada telinga orang jawa sekalipun akan terasa aneh dan sulit untuk dipahami. Ini baru pada pemaknaan satu kata, belum lagi bila terdapat idiom, misalnya kata taribat yadaak yang dimaknai dengan gambul lebu opo tanganmu, kata wahalumma jarra yang dimaknai dengan lan mreneho siro, hale/kelawan/apane narik . Dan juga masih banyak idiom yang idak bisa kita pahami hanya dengan makna literalanya. Satu lagi, pembacaan dengan metode ini biasanya tidak mengindahkan istilah-istilah yang dipakai dalam fan ilmu yang sedang dipelajari. misal saja kita mengenal wadh'u, dalam bahasa jawa kita mengartikan dengan kata asal sumeleh, asal sumeleh itu apa? gak tau jawab mereka, sedangkan sang guru juga tidak menjelaskan lanjut apa sebenarnya wadh'u itu.

Sebenarnya, metode "utawi, iki-iku" yang dikembangkan para wali songo dan mencapai klimaksnya dibawah pematangan KH. Kholil Bangkalan sudah dirasa sangat memadai dalam menerjemahkan setiap kata berbahasa arab kedalam versi jawa. Dibandingkan apabila menerjemahkan bahasa arab ke bahasa indonesia misalnya, penerjemahan dari versi arab ke jawa terkesan sempurna, dan penerjemahan dari versi arab ke Indonesia terkesan banyak cacat dan tidak dapat menampilkan bangunannya secara utuh.

Metode yang digunakan ulama jawa tidak hanya melulu melihat bangunan kata, akan tetapi juga mempertimbangkan ta'alluq dan mu'allaqnya, mempertimmbangkan munasabah bainal kalimah, mempertimbangkan penggunaan setiap kata dalam struktur kalimah dengan melihat qorinah yang ada dan seterusnya. 

Walhasil, pelestarian metode utawi iki-iku dirasa sangat perlu tanpa harus meninggakan oto koreksi dan gubahan selayaknya.