Jumat, 15 Oktober 2010

Dari Ketiadaan Aku Ada Part III

Pulang dari pesantren

Kurang lebih Sembilan tahun ku habiskan waktuku di pesantren. Ku katakan pada diriku sendiri bahwa sudah waktunya pulang, walaupun sebenarnya bekal yang ku peroleh dari pesantren belumlah cukup untuk mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan badai dan karang. Akan tetapi ku putuskan saja untuk mengahiri pengembaraanku. Pencarian jatidiri dan pemenuhan kewajiban atas perintahNya. Mungkin itu yang paling pas untuk menggambarkan perjalanan selama Sembilan tahun yang telah terlewati. Mengapa ku katakana seperti itu.. karena ilmu yang ku peroleh jauh sekali dari harapan, ibarat api jauh dari panggang, sungguh sangat jauh dari apa yang diharapkan dan tidak bisa dikatakan berhasil. Satu-satunya yang membesarkan hati adalah bahwa aku dapat bergaul dengan orang-orang soleh dan dapat mengetahui betapa berharganya hidup serta adanya sedikit perubahan tingkah laku menuju arah yang lebih baik. Kayaknya cuma itu saja yang dapat ku peroleh dari Sembilan tahun pengembaraanku.

Memang rasanya belum banyak yang ku peroleh selama sembilan tahun pengembaraanku, akan tetapi dorongan untuk dapat sedikit meringankan beban yang membelenggu orang tuaku tak dapat ku tahan lagi. Selama dua tahun terahir aku harus berkali-kali sowan pulang dikarenakan adiku yang kala itu baru menamatakan pendidikan menengahnya ingin sekali masuk bangku kuliah dan aku dipercaya untuk mengurusnya. Sayang, setelah usaha demi usaha ku lakukan ternyata sang kuasa belum memberikan jalan. Lagi-lagi masalah ekonomilah penyebab utamanya. Berkali-kali aku pulang dengan tujuan mencarikan beasiswa untuk adiku, dan ternyata aku tidak berhasil. Padahal ia sangat berharap bisa melanjutkan pendidikannya. Sungguh sayang, otaknya yang terbilang encer tidak serta merta menjanjikan pendidikan yang lebih tinggi. Itu terbukti dari raihan prestasinya selama ini dan beasiswa yang ia dapatkan dari berbagai pihak selama ia berseragam abu-abu. Bagi kami, jumlahnya terbilang banyak, dan kadang uang itulah yang menopang kebutuhanku di pesantren selama ini. Disamping itu, ekonomi keluarga yang selama ini berjalan seadanya menurut perhitungan matematis sulit untuk membiayai pendidikan adik-adiku yang lain, padahal ada yang baru berusia dua tahun, perjalanan pendidikan mereka masih sangat panjang, dan aku tidak ingin untuk kedua kalinya menelan pil pahit. Maka dengan berat hati ku putusakan untuk meninggalkan pesantren dan berusaha memulai kehidupanku yang baru.

Perencanan untuk sowan pulang ku rencanakan dengan matang. Ku pilih sikon yang tepat. Karena salah perhitungan sedikit saja nanti akan berakibat fatal, bisa-bisa pulang dalam keadaan mardud, itulah yang selama ini terjadi pada sebagian besar kakak kelasku. Dan ahirnya semua berjalan dengan mulus. Tinggal satu lagi pikirku, 99% kayaknya beliau juga mengijinkan, karena jauh-jauh hari aku sudah memberikan signal bahwa dalam waktu dekat aku akan meninggalkan pesantren ini dan beliaulah satu-satunya kyai yang tahu seluk beluk keadaanku dan keluargaku.

Kupilih waktu ba’da maghrib untuk sowan kepada beliau, dengan harapan dalam sowan nanti dapat berbincang dengan leluasa dan dapat mendengar petuah- petuah beliau sampai puas. Karena biasanya setelah sholat isya banyak sekali santri yang sowan untuk meminta maaf dan pamit pulang, sehubungan dengan lebaran yang jatuh pada esok hari. Ya … ini malam takbiran. Al hamdulillah….. tanpa berkeberatan beliau meridhoi aku pulang untuk selamanya, atau dalam bahasa pesantren sering di sebut dengan istilah muqim atau boyong. Benar-benar hati ini serasa di awang-awang. Semua masyayikh telah mengijinkan aku untuk pulang, forever…. Aduh!!! betapa senang hati ini. Kebahagian yang tinggal beberapa detik memincak ini untuk sementara harus terhenti, tatkala beliau berkata: “sampean sudah pamit sama ibu?” Belum yai, jawabku. Ya sudah sekarang sampean pamit sama ibu. Aku diantar beliau ke ruang tengah menemui ibu dan beliau juga duduk disampingnya. Aku menyampaikan maksud kedatanganku pada bu nyai. Der!!!!!! Aku begitu terkejut. Secara spontan beliau memintaku agar jangan berhenti belajar dulu, “kau boleh meninggalkan pesantren ini”, kata beliau “akan tetapi dengan sarat akan melanjutkan belajar di tempat lain”. Dan tempat yang paling cocok untuk menambah ilmu mu adalah di Kairo, ucap kyai menimpali. Dada ini serasa berhenti berdetak kala kyai mengucapkan kata-kata tadi. Ternyata beliau mempunyai rencana besar dibalik kepulanganku. Ah… aku tak dapat mempercayainya. Bagaimana bisa seorang santri yang tidak terlalu intens dengan alat tulis sekarang akan melanglang buana ke pusat peradaban ilmu pengetahuan, selama ini hidupnya lebih banyak bergelut dengan berbagai bidang kecuali bidang yang satu itu, tak habis pikir diri ini dengan penjelasan yang baru dikemukakan sang kyai tadi. Sungguh aku tidak dapat mempercayainya. Beliau berdua tidak main-main dengan perkataannya tadi, Bahkan beliau berdua meyakinkanku seraya berkata: masalah biaya kau tidak usah cemas, insya Alloh kami akan membantu.

Begitulah, untuk sementara kebahagiaan yang sedari tadi akan segera memuncak harus berhenti beberapa centi, tergantikan berwarna-warni perasaan yang selama ini belum pernah ku rasakan.

Tak dapat ku pungkiri bahwa selama lima tahun terahir ini memang hari-hariku ku habiskan di ndalem beliau, kegiatan belajar juga intens kepada beliau, walaupun tidak menafikan ngaji kepada kyai yang lain. Hingga ku tak dapat menepis saran beliau. Yang bisa ku lakukan saat itu hanya matur: “nggih mengkin kulo rembagan kalih tiyang sepah rumiyin“. Itu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar