Ilmu yang
kalian dapatkan disini baru merupakan kunci. Lazimnya sebuah kunci, ia tidak
akan berharga dan memiliki guna bila tidak digunakan untuk membuka pintu atau
jendela. Jika kalian sudah merasa puas dengan memiliki kunci maka, ilmu kalian
sama sekali tidak akan berkembang. Petuah dari Prof. Dr. Muhamad Abdusyafi,
rektor Universitas Al-Azhar dalam wisuda
29/9/2014 kemaren mengajak kita agar tidak berpuas diri dengan apa yang telah diraih.
Bahkan lebih lanjut beliau mengatakan bahwa ilmu bisa berkembang mana kala
diamalkan dan ditularkan kepada sesama. Sebagai duta al-Azhar, para wisudawan
diminta bersedakah dengan ilmunya kepada masyarakat luas. Membawa ajaran islam
yang penuh dengan toleransi dan komederatan adalah tanggung jawab yang harus
dipikul oleh setiap lulusan al-Azhar, lanjutnya.
Sabtu, 04 Oktober 2014
Selasa, 30 September 2014
Pendaftaran, Prospek Beasiswa dan Kuliah di Universitas al-Azhar
Pendaftaran, Prospek Beasiswa dan Kuliah di Universitas
al-Azhar
Proses pendaftaran ke universitas al-Azhar
dimulai ketika ada pengumuman dari Dikti bahwa lembaga yang bersangkutan telah
membuka pendaftaran dan mengatur bagaimana tata pelaksanaannya. Biasanya,
pelaksanaan pendaftaran dibuka pada bulan April. Syarat dan institusi mana saja
yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan tes penerimaan diatur oleh Dikti.
Biasanya, Dikti akan mewakilkan tes penerimaan kepada beberapa perguruan tinggi
agama islam negri di Indonesia. Untuk wilayah Sumatera kepada IAIN ar-Raniry
Aceh dan IAIN di Medan, untuk daerah jawa diwakilkan kepada UIN Jakarta, UIN
jogja dan UIN Malang dan seterusnya.
Rabu, 09 Juli 2014
Santri al-Azhar Tempo Doeloe
Membaca buku al-Azhar Jami'an wa Jami'atan karangan Dr. Abdul Aziz Muhammad al-Syinawi tentang sejarah Al-Azhar tempo dulu membawa ingatanku ketika masih nyantri di Leler. Memori tentang repek di Kaliwedi dan Ngasinan, bruwun sayuran di sawah dan kebun milik penduduk sekitar, diundang tahlilan dan manakiban, kenangan kelaparan karena satu komplek belum kiriman, ngetel, dan cerita menarik yang lain saya temukan di buku itu.
Mengenal Ruwaq
Ruwak
(الرواق) secara bahasa dapat diartikan sebagai bangunan beratap yang
berada di masjid, gereja, atau tempat peribadahan yang lain dengan
fungsi sebagai tempat belajar. Bangunan ini biasanya dibangun setelah
bangunan utama berdiri. Ruwak juga dapat diartikan sebagai ruang tamu
apabila disandarkan kepada kata rumah ( Ruwaq al-bait ).
Disamping itu ruwak juga digunakan untuk menamai sebuah pojok ruangan
yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan bertukar pikiran.[1]
Minggu, 11 Mei 2014
Karomah Syeikh Nadzim al-Haqqani
Karomah Syeikh Nadzim
al-Haqqani.
Cerita ini dituturkan oleh syeikh
Asyraf Sa’ad al-Azhari dalam laman facebook beliau.
Alkisah, syeikh Nadzim
al-Haqqani mengutus Abdurrahman, salah seorang muridnya yang berasal dari China
untuk mendapatkan ijazah alquran dari institusi al-Azhar guna dijadikan sarat
untuk pengurusan sekolah alquran. Pada waktu itu, pemerintah Turki mengharuskan
pengelola sekolah harus mempunyai ijazah resmi dari al-Azhar.
Abdurrahman ini dulunya pernah
di penjara oleh pemerintah China dengan tuduhan menghapalkan alquran. Pada
waktu dia di penjara, pada suatu malam, ia didatangi oleh seseorang dalam mimpi.
Di dalam mimpinya, orang tersebut memerintahkan Abdurrahman untuk keluar dari
penjara. Dia tidak tau siapa orang yang datang dalam mimpinya. Ia juga tidak
tau apa gerangan takwil dari mimpi tersebut.
Senin, 21 April 2014
Kisah Pilihan; Al-Qa'nabi
Al-Qa'nabi
muda adalah seorang yang gemar mabuk-mabukan. Disuatu waktu, dijalanan
kota Bahgdad ia menemukan pemandangan yang janggal. Orang-orang
berkerumun dan selalu mengikuti orang yang sekarang duduk diatas
punggung seekor keledai. ada keinginan kuat dari dirinya untuk
mengetahui siapa sebenarnya orang itu. Lantas, ia menanyakannya kepada
salah seorang yang telah berlalu dari kerumunan.
"Siapakah dia, kisanak?"
"Subhanallah, kau tidak tau?! beliau itu penjaga sunah rasululllah, amirul mu'minin fil hadits, Imam Syu'bah."
"Siapakah dia, kisanak?"
"Subhanallah, kau tidak tau?! beliau itu penjaga sunah rasululllah, amirul mu'minin fil hadits, Imam Syu'bah."
Selasa, 15 April 2014
Mengenal Zakat Sebagai Instrumen Pemerataan Kesejahteraan Part VI
D). Penutup.
Zakat adalah
sejumlah harta yang diambil dari wajib zakat untuk disalurkan kepada golongan
yang berhak menerimanya dengan tujuan untuk memperoleh kemaslahatan dunia dan
akhirat. Golongan yang paling berhak
untuk menerima zakat dan akan tetap ada sampai hari kiamat adalah fakir,
miskin dan amil.
Fakir adalah
orang yang tidak mempunyai harta benda dan tidak mempunyai pekerjaan yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Msikin adalah orang yang mempunyai
sedikit harta dan mempunyai pekerjaan akan tetapi belum dapat mencukupi semua
kebutuhannya. Standar fakir dan miskin akan berubah selaras dengan perkembangan
zaman, tempat, dan kondisi masyarakat dimana seseorang tinggal.
Mengenal Zakat Sebagai Instrumen Pemerataan Kesejahteraan Part V
C.II). Inovasi dalam Mendayagunakan Zakat.
Imam
al-Syirbini (w. 977 H.) dalam al-Iqna
dan imam al-Nawawi (w. 676 H.) dalam al-Majmuk
memberikan gambaran bagaimana penyaluran zakat yang baik dan tepat sasaran.
Penyaluran zakat kepada fakir miskin dengan tujuan konsumsi menurut dua ulama
tersebut dan ulama-ulama yang lain harus dihindari. Mengapa, tujuan pemberian
zakat adalah untuk menopang dan mencukupi kebutuhan hidup mereka agar tidak
masuk dalam daftar penerima zakat tahun berikutnya. Dalam bahasa yang lebih
sederhana, pemberian zakat kepada mereka diharapkan mampu mengentaskan mereka
dari kungkungan kefakiran dan kemiskinan. Makanya, dana zakat yang diperuntukan
bagi mereka harus digunakan dalam kegiatan yang bersifat produktif, bukan
konsumtif.[1]
Sebelum
membicarakan seberapa besar dana zakat yang dapat tersalur kepada para
penerima, terlebih dahulu kita harus mengetahui anggaran umum dan batas
maksimal pemberian zakat. Batas maksimal pemberian zakat dibagi menjadi dua.
Pertama, dibatasi dengan nominal dua ratus dirham. Pendapat yang kedua tidak
membatasi dengan nominal, melainkan batasannya adalah waktu. Ulama Malikiah dan Hanabilah berpendapat bahwa batas maksimal pemberian zakat adalah
sebanyak pengeluaran dalam rentang masa satu tahun. Sedang ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa pemberian
zakat dibatasi dengan umur rata-rata di daerah tempat tinggalnya. Misal saja,
umur rata-rata di daerah penerima zakat adalalah enam puluh tiga tahun dan
sekarang dia berumur tiga puluh tahun, maka batas maksimalnya adalah nominal
yang dapat mencukupi kebutuhannya selama tiga puluh tiga tahun.
Terlepas
dari perbedaan batasan maksimal diatas, pihak amil diberi hak untuk menentukan
pilihan batas maksimal mana yang mau dipakai. Hal yang tidak kalah penting
untuk diperhatikan dalam pemberian zakat tersebut adalah pemberiannya bukan
berupa uang tunai, melainkan berupa modal sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Jika dia seorang petani, maka dia diberi dana untuk membeli sepetak tanah
beserta bibit dan peralatannya. Jika dia seorang pedagang, maka diberi dana
untuk berdagang. Jika dia seorang tukang, maka diberi dana untuk memberi
peralatan. Jika dia seorang nelayan, dia diberikan kapal dan jaring. Jika dia
seorang tukang becak, dia diberikan dana untuk membeli becak. Jika dia
bisnisman, dia diberi modal untuk berbisnis. Jika dia seorang montir dan
pekerjaan yang memerlukan keterampilan, maka dia diberi dana untuk kursus berikut
dana untuk membeli peralatanya. Dan seterusnya.
Jika dia
tidak mempunyai kemampuan bekerja dalam bidang-bidang yang dapat dijadikan
sandaran hidup, maka dia diberi harta tidak bergerak (semisal sawah dan rumah)
agar dapat dipergunakan untuk menopang
hidupnya. Misal saja, dia diberi rumah atau sawah untuk disewakan. Hasil dari
persewaan yang ia peroleh selanjutnya digunakan untuk menyambung hidupnya. Walhasil, batas maksimal yang tertera
diatas tidak boleh dipahami akan diberikan seluruhnya kepada penerima zakat dan
berupa uang tunai, melainkan pemberiannya berupa modal dengan jumlah
besar-kecilnya melihat latar belakang kemampuan pengelolaan si penerima.
Pengelolaan
zakat dengan metode diatas akan dapat terealisasi dengan sempurna manakala
dikelola oleh pengelola profesional yang dibentuk oleh pemerintah atau pihak
swasta yang telah mendapatkan izin. Mengapa harus dikelola oleh kedua lembaga
tersebut dan tidak boleh dikelola oleh perorangan atau badan yang tidak
memiliki lisensi. Jawabannya adalah karena pengelolaan zakat sepenuhnya dibawah
tanggung jawab pemerintah. Dengan ditunjuknya
pemerintah sebagai pemegang tunggal pengelolaan zakat, maka akan memudahkan
hal-hal yang berhubungan dengan administrasi dan menghindari adanya
tumpang-tindih dalam pengumpulan dan penyaluran zakat. Lebih lanjut, petugas
zakat yang berhak mendapatkan gaji dari bagian amil adalah pegawai zakat yang
diangkat secara resmi oleh pemerintah.
Ada wacana
baru dalam inovasi pemberian zakat kepada golongan fakir miskin. Wacana ini
menggelinding bersamaan dengan tujuan utama dalam pemberian zakat berupa pemerataan
kesejahteraan dan terciptanya lapangan kerja. Hal lain yang mendasari wacana
ini adalah dengan mengacu kepada surat al-Baqarah ayat enam puluh dimana Allah
berfirman “distribusi zakat hanya diperuntukan kepada fakir, miskin, dst”.
Redaksi dari pemberian kepemilikan dalam ayat tadi dengan huruf jar lâm[2]
yang mempunyai makna milkiyah tanpa
menjelaskan secara detail bagaimana prosedur penyerahan kepemilikannya. Apakah penyerahan
zakat kepada fakir miskin harus secara langsung dari amil, atau zakat tersebut boleh
dikelola oleh amil sementara fakir dan miskin akan menerima bagian dari laba
yang dihasilkan oleh pengelolaan tersebut.
Andai
penyerahan harta oleh pihak amil dapat diberikan secara tidak langsung sesuai
dengan gambaran yang kedua, maka bisa saja pihak amil menggunakan harta zakat
untuk membangun pabrik atau usaha produktif lain dimana para karyawan diambil
dari golongan fakir miskin, itu yang pertama. Kedua, pemberian zakat kepada
fakir miskin dapat melalui metode pinjaman tidak berjangka. Yakni, pihak amil
menyerahkan sejumlah dana (misal saja lima puluh juta) kepada pihak penerima untuk
dipergunakan dalam satu bidang usaha. Setelah dia memperoleh laba dari usaha
yang digelutinya dan usahanya akan mampu berdiri tanpa modal awal, si penerima
dana diwajibkan menyerahkan dana awal kepada amil untuk selanjutnya diserahkan
kepada penerima kedua. Setelah penerima zakat kedua berhasil, dana tersebut
akan mengalir ke pihak ketiga dan seterusnya.
Jika pihak
penerima mengalami kebangkrutan, dia tidak dikenai beban untuk mengembalikan
layaknya pinjaman berjangka yang diberikan oleh pihak bank. Hal ini mengingat
harta yang telah digunakan oleh penerima merupakan haknya. Istilah pinjaman
diatas merupakan penyederhanaan istilah saja. Metode ini dapat berhasil
bilamana pihak penerima sungguh-sungguh dalam mengelola disertai adanya audit
dan pantauan serius dari pihak amil.
[1] Muhammad al-Syirbini,
al-Iqna’ ma’a Hasyiyah al-Bujairami, tanpa
tahun, vol III, Maktabah Taufiqiyah, kairo, hal. 95. Muhyidin al-Nawawi, al-Majmu’,
cet. 2010, vol. VII, Dar al-Hadits,
Kairo, hal. 304.
[2] Menurut Ibnu Hisyam al-Anshari, lâm huruf jar mempunyai dua puluh dua
(22) makna: al-istihqâq, al-ikhtishash,
al-milk, al-tamlîk, syibh al-tamlîk, al-ta’lîl, taukîd al-nafyi, sama
dengan makna ilâ, sama dengan makna ‘ala, sama dengan makna fî, bermakna ‘inda, sama dengan makna ba’da,
sama dengan makna ma’a, sama dengan
makna min, al-tablîgh, sama dengan
makna ‘an, al-shairurah, al-qasam,
al-ta’diyah, dan al-taukîd. Dari
makna-makna yang sudah tersebut diatas, jumhur
mufasirin diantaranya imam al-Zamakhsyari memilih makna al-milk. Ibnu Hisyam al-Anshari, Mughni Labib, cet. 2009, vol. I, Dar
al-Thalai’, Kairo, hal. 226-232. Al-Zamakhsyari, al-Kasyaf, vol. II, cet. I, Maktabah Mishr, Kairo, hal. 171-172.
Mengenal Zakat Sebagai Instrumen Pemerataan Kesejahteraan Part IV
C.I.) Standardisasi
Fakir dan Miskin.
Kata fakir
dalam bahasa arab berakar kepada bentuk mashdar fa-q-run (فقر) dengan tiga huruf sebagai pembentuknya,
fa, qaf dan ra. Dari ketiga huruf tersebut terciptalah kata fiqâr yang berarti tulang belakang.
Hubungan dari kata fakir dan fiqâr
adalah hubungan talazum dimana
seeorang fakir tidak akan mampu untuk menegakkan tulang belakangnya karena
lapar yang melilit. Hal itu diperkuat dengan pengertian fakir dalam bahasa yang
berarti orang yang tidak mempunyai makanan untuk mengganjal perut.[1]
Ada banyak
ragam pengertian fakir dan miskin menurut istilah. Menurut imam al-Syafi’I (w.
204 H.), fakir adalah golongan orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya, baik dari harta yang ia miliki atau dari pekerjaan yang ia punya.
Lebih lanjut, ashâbu syafi’I
menjelaskan pengertian tadi dengan penjabaran fakir adalah orang yang tidak
mempunyai harta yang dapat mencukupi kebutuhan primer hidupnya sampai ia mati
dan juga tidak mempunyai pekerjaan halal yang layak untuknya atau dia mempunyai
harta dan pekerjaan akan tetapi masih dalam batas kurang dari 50% dari
kecukupan hidupnya.[2]
Pengertian fakir
menurut Hanafiah adalah orang yang
memiliki harta[3] akan
tetapi kurang dari batas nisab, atau orang-orang yang mempunyai properti yang biasa digunakan dalam kehidupan
sehari-hari dan apabila dikalkulasi akan melebihi batasan nisab.
Miskin menurut
madzhab yang pertama adalah golongan yang mempunyai harta atau pekerjaan halal
yang layak bagi dirinya akan tetapi keduanya tidak dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya sampai 100%. Pengertian ini dapat disederhanakan
menjadi: miskin adalah orang yang mempunyai harta dan pekerjaan yang dapat
digunakan untuk memnuhi kebutuhan hidupnya
sampai digit 50% ke atas akan tetapi belum mencapai lefel 100%.
Berbeda
dengan pengertian miskin menurut madzhab pertama yang menempatkan status miskin
lebih baik dari fakir, pengertian miskin menurut madzhab yang kedua adalah
orang yang tidak mempunyai harta apapun. Miskin menurut pendapat madzhab yang kedua
diletakkan dibawah status fakir. Perbedaan interpretasi mengenai fakir dan
miskin ini mencapai sembilan pendapat dan dapat diakses secara lengkap dalam
tafsir al-Qurthubi.[4]
Dari
pengertian fakir dan miskin menurut kedua madzhab diatas, kita dapat menarik
kesimpulan sebagai berikut:
Golongan yang
dapat menerima zakat dengan kategori fakir dan miskin menurut madzhab yang
pertama adalah:
1.
Orang yang sama sekali tidak mempunyai harta dan pekerjaan.
2.
Orang yang mempunyai harta atau pekerjaan akan tetapi tidak dapat mencukupi
kebutuhan hidupnya dan keluarganya sampai kadar 50%.
3.
orang yang mempunyai harta atau pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya sampai pada
batas 50% ke atas akan tetapi belum mencapai 100%.[5]
Kesimpulan
dari pengertian fakir dan miskin menurut madzhab Hanafi membuahkan hasil
sebagai berikut:
1. orang yang sama sekali tidak mempunyai harta dan pekerjaan.
2. orang yang mempunyai harta berupa properti yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari.
3. orang-orang yang mempunyai harta berupa alat tukar (uang) akan tetapi
masih dibawah standar nisab.
4. orang-orang yang mempunyai harta dari jenis selain alat tukar dan tidak
sampai melewati nisab. Syarat dari harta tadi apabila dikalkulasi kurang dari
dua ratus dirham.
Sepintas,
dua pengertian yang diutarakan oleh dua madzhab yang berlainan kutub itu seakan
membawa kita pada pengertian fakir dan miskin di era klasik. Pendapat itu tidak dapat dibenarkan kalau
kita mau mendalami dengan detail setiap kata yang ada dalam pengertian diatas.
Tolok ukur fakir dan miskin yang dikemukakan oleh dua pengertian diatas mampu
untuk menyegarkan pengertian fakir dan miskin disetiap zaman. Madzhab pertama
dengan tolok ukur kecukupan dan madzhab yang kedua dengan tolok ukur nisab
dapat dijadikan standar yang paten dalam menentukan mampu dan tidaknya
seseorang menurut kacamata syarak.
Sesuai dengan
tolok ukur kecukupan dalam masalah fakir, seseorang yang belum mampu mencukupi
kebutuhannnya masuk dalam lingkaran penerima zakat, walaupun kekayaan hartanya
sudah mencapai nishab. Pun sebaliknya, jika dia sudah cukup dengan hartanya
walaupun belum mencapai nisab, dia tidak berhak mengambil zakat.[6]
Kebutuhan
pada era klasik hanya mencakup kebutuhan pangan, papan, dan sandang. Melihat
standar kelayakan hidup yang berkembang dari masa ke masa maka, di era modern
ini kecukupan tidak dapat dipandang dari kecukupan sandang, pangan dan papan
saja. Kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan misalanya. Dalam era modern ini jaminan
kesehatan dan pendidikan layak untuk dikelompokan dalam kebutuhan primer. Maka,
orang dengan pendidikan rendah dan gizi buruk sangat layak untuk menjadi
penerima zakat. Orang-orang tersebut masuk dalam kategori fakir dan miskin.
[1]
Abu Abdillah Muhamad al-Qurthubi, al-Jami’
li Ahkam al-Quran, cet. 2010, vol. IV, Dar al-Hadits, Kairo, hal. 501. Majma’
al-Lughat al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam
al-Wajiz, cet. 2008, hal. 478.
[2] Muhyidin al-Nawawi, al-Majmu’,
cet. 2010, vol. VII, Dar al-Hadits,
Kairo, hal. 305. Yusuf al-Qardhawi, Fiqh
al-Zakat, cet. XXV, vol II, Maktabah Wahbah, Kairo, hal. 559. Sulaiman al-Bujairami,
Hasyiyah
‘ala al-Iqna, tanpa tahun, vol. III, Maktabah Taufiqiyah, hal. 87-88.
[4] Ahli bahasa dan pakar fikih
berselisih pendapat berkenaaan dengan pengertian fakir dan miskin sampai
sembilan pendapat.
1. Fakir adalah orang
yang mempunyai sessuatu untuk mencukupi kebutuhannya sedang miskin orang yang
tidak mempunyai apapun untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Pendapat yang kedua
mengatakan kebalikannya.
3. Fakir dan miskin
mempunyai pengertian yang sama.
4. Fakir adalah orang
yang membutuhkan disertai keengganan untuk meminta-minta sedang miskin adalah
para peminta-minta.
5. Fakir adalah orang
yang mempunyai rumah tinggal, pembantu dan segala yang dibutuhkan sehari-hari
sedang miskin adalah orang yang tidak berharta.
6. Fakir adalah golongan
muhajirin dan Miskin adalah golongan anshar.
7. Fakir adalah orang
yang menerima kemiskinannya dengan tidak ridha
dan mau menerima pemberian secara sembunyi-sembunyi sedang miskin adalah
orang yang ridhadengan kemiskinannya dan tidak mau menerima pemberian.
8. Fakir adalah golongan
fakir dari kaum muslimin sedang miskin adalah orang yang meminta-minta.
9. Fakir adalah golongan
fakir dari kaum muslimin sedang miskin adalah golongan fakir dari ahlul kitab. Abu
Abdillah Muhamad al-Qurthubi, al-Jami’ li
Ahkam al-Quran, cet. 2010, vol. IV, Dar al-Hadits, Kairo, hal. 501-503.
[5] Perlu kami
tambahkan disini bahwa kata “mencukupi kebutuhan hidup” adalah kebutuhan hidup
selama umur rata-rata manusia didaerah tempat tinggal penerima menurut pendapat
Syafi’iyah dan mencukupi kebutuhan
hidup selama setahun menurut Malikiah
dan Hanabilah.
[6] Pendapat Syafi’iyah.
Mengenal Zakat Sebagai Instrumen Pemerataan Kesejahteraan Part III
C). Zakat
dan Pemerataan Kesejahteraan.
Maqashid syariah dari adanya ketetapan zakat adalah
menciptakan masyarakat yang tangguh di bidang ekonomi, meminimalisir tingkat
pengangguran, adanya tunjangan sosial, memperkecil gap diantara lapisan
masyarakat, terciptanya stabilitas keamanan, membersihkan harta dan tujuan-tujuan
yang lain sehingga tercipta masyarakat yang madani. Tujuan syarak yang mulia
diatas tidak akan tercapai hanya dengan mengandalakan partisipasi perorangan
dan swasta. Lebih dari itu, partisipasi penyelenggara negara terbilang sangat
fital. Bahkan kalau dirunut ke belakang, peran perorangan dan pihak swasta
hanya dibutuhkan ketika penyelenggara negara tidak mampu untuk menangani
masalah zakat dengan baik dan benar.
Ketidakmampuan
pemerintah dalam menjalankan perannya sebagai amil dapat diukur dari kesenjangan
yang ada, banyaknya pengangguran dan tingkat kriminalitas yang tinggi. Disaat
inilah peran perorangan dan swasta menemukan momentumnya. Inisiatif dari
lembaga swasta untuk ikut berperan dalam pemerataan kesejahteraan ini tentunya
harus didukung penuh oleh pemerintah. Salah satu caranya adalah dengan adanya
mandat resmi dari pemerintah agar pihak swasta yang mengambil alih peran yang
tidak dapat diembannya itu punya kekuatan hukum sebagai amil.
Langkah
pertama yang harus diambil oleh pemerintah atau pihak swasta yang telah
mengantongi izin resmi dari pemerintah adalah dengan cara sensus dan audit. Mendata
siapa saja yang masuk dalam kategori wajib zakat dan kelompok mana saja yang
berhak menjadi obyek distribusinya. Mengaudit seberapa besar zakat yang harus
dikeluarkan oleh si wajib zakat dan dari pos harta mana saja zakat itu harus
dikeluarkan. Hal ini harus dilakukan agar akurasi pengambilan, penyaluran dan
nominal zakat dapat dipertanggung jawabkan secara syarak.
Mengenal Zakat Sebagai Instrumen Pemerataan Kesejahteraan Part II
B.1). Nisab,
Jenis harta[1] yang
wajib dizakati dan kadarnya.
Telah kita
ketahui bersama bahwa makna dari zakat adalah tumbuh dan bertambah. Selaras
dengan pengertian tersebut, aturan zakat hanya diterapkan dalam harta yang mengalami
pertambahan dan perkembangan. Masa yang diperlukan untuk pengembangan dan
penambahan harta bervariasi tergantung dari ragam dan jenisnya. Menurut standar
‘urf, pertumbuhan harta paling lambat
terjadi dalam rentang waktu setahun. Makanya, kita mengenal adanya sarat haul dalam masalah zakat.
Jenis harta
yang dapat berkembang dikelompokan menjadi lima jenis. Pertama, hewan ternak.
Kedua, emas dan perak. Ketiga, komoditi pertanian. Keempat, buah-buahan. Dan kelima adalah komoditi
dagang.
Ketetapan
atas harta yang wajib dizakati tidak bisa dilepaskan dari pandangan harta
menurut bangsa arab dimana syariat diturunkan. Menurut mereka, sesuatu yang
berharga dikelompokan dalam empat kelompok harta dan berpusar pada kelima hal
tersebut. Berdasarkan apa yang tersurat dari nash,
kelihatannya ada banyak jenis harta yang tidak terkena hukum wajib zakat. Akan
tetapi, kenyatanyaannya malah sebaliknya. Setiap harta yang mengalami
pertumbuhan dan perkembangan akan tetapi tidak masuk dalam kategori hewan
ternak, makanan pokok, alat tukar, dan buah-buahan akan diatur dalam zakat
harta niaga.
Hal
ini tentunya sangat beralasan mengingat harta adalah salah satu dari pemicu
kecemburuan dan sengketa. Dengan adanya cakupan yang menyeluruh dari semua
jenis harta untuk dizakatai, setidaknya kecemburuan diantara para wajib zakat
akan mudah diatasi.
Untuk
prosentase seberapa banyak zakat yang harus dikeluarkan dan berapa batas
minimal suatu harta wajib dizakati, syariat benar-benar menerapkan kaidah keseimbangan. Yaitu tidak
memberatkan bagi si wajib zakat dan benar-benar memperhatikan kebutuhan si
penerima.
Berangkat dari
falsafah zakat tadi, syariat tidak
membebankan zakat kecuali kepada segolongan orang yang sudah dianggap mampu
oleh syarak, yaitu seseorang dengan kepemilikan harta mencapai nisab. Kedudukan orang dengan kriteria seperti
ini dalam kacamata syarak dianggap mampu dan berkewajiban untuk menunaikan
zakat. Disamping itu, kepunyaan atas harta dengan mencapai nisab akan
menjadikan dirinya sebagai orang yang tidak berhak menerima zakat.[2]
Dia dianggap mampu menurut syarak dan tidak berhak menerima bagian zakat dari
pos bagian fakir dan miskin. Sebaliknya,
orang yang hartanya dibawah nisab tidak berkewajiban untuk mengeluarkan zakat. Walaupun
tidak secara otomatis dia akan berhak menerima zakat.
[1] Hanafiah
mendefinisakan harta sebagai barang yang menarik hati seseorang untuk memiliki
dan dapat disimpan untuk diambil manfaatnya di waktu yang akan datang. Menurut Malikiah, harta adalah sesuatu yang
menurut pandangan umum mempunyai nilai dan dapat dijadikan alat tukar. Syafi’ah mendefinisikan harta sebagai
sesuatu yang dapat diambil manfaatya. Hanabilah
mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang dapat diambil manfaatnya secara
mutlak. Al-Imam Abdullah bin Syaikh bin Bayah, Maqâshid al-Mu’amalât wa Marâshid al-Wâqi’at, cet. II, Muassasah
al-Furqan, Kairo, hal. 37.
Zakat mencakup semua harta yang dimiliki oleh orang arab pada waktu turunya.
Karena harta menurut mereka dibagi menjadi empat. Al-mâl al-shamit, al-‘aradh, al-‘aqar dan al-hayawan. Dr. Yusuf Hamid, al-Maqâshid al-‘Amah li al-Syari’ah al-Islamiyah, cet II,
al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, hal. 468.
Mengenal Zakat Sebagai Instrumen Pemerataan Kesejahteraan Part I
Mengenal
Zakat Sebagai Instrumen Pemerataan Kesejahteraan
Oleh: Adhi
Maftuhin.
A). Pendahuluan.
Zakat dan
shalat merupakan dua pilar islam yang lahir dalam keadaan kembar siam. Bagian
integral dari syariat yang tak dapat dipisahkan. Kewajiban akan keduanya
seringkali disuguhkan dalam bentuk amaran yang dihubungkan dengan huruf ‘athaf wawu.[1] Melihat kedekatan “biologis” ini, pantas
saja khalifah Abu Bakar (w. 13 H.) melancarkan agresi kepada para kabilah yang
membangkang dalam menunaikan zakat.
Tindakan khalifah
Abu Bakar sepenuhnya dapat diterima
apabila kita memahami dengan benar bagaimana urgensi zakat dan kedudukannya
dalam mengantar manusia menuju kemaslahatan di dunia dan keselamatan di
akhirat. Peran ganda dari pemberlakuan zakat ini ibarat koin dengan dua sisi.
Di satu sisi ia berperan mengantarkan si wajib zakat untuk membersihkan harta
dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Disisi yang lain zakat akan
mencetak orang-orang yang dalam beberapa tahun ke depan diharapkan menjadi
wajib zakat.
Dari adanya
kesejahteraan yang timbul dari pengelolaan zakat, diharapkan syiar keagamaan
akan meningkat dengan signifikan. Efek positif dari tren kesejahteraan akan
berpengaruh juga dalam bidang keamanan, bidang ekonomi, bidang pendidikan,
kesehatan dan yang lain-lain. Karena semuanya ibarat rangkaian listrik paralel
dengan satu saklar. Kemapanan ekonomi sebagai
saklar utama akan mampu menggiatkan syiar keagamaan menjadi katrol stabilitas keamanan, politik
dan bidang-bidang yang lain. Jika yang tersjadi sebaliknya, maka buahnya juga
Sampai
disini, kita melihat bagaimana Allah mengalokasikan zakat sepenuhnya untuk
kemaslahatan umat manusia. Dua paket kemaslahatan yang dibawa oleh zakat tidak
akan ditemukan dalam syariat-syariat yang lain. Makanya, perintah untuk
menunaikan zakat seringkali beriringan dengan perintah untuk menunaikan shalat
sebagaimana termaktub dalam beberapa firmannya.
B). Pengertian
Zakat.
Menurut
bahasa, zakat mempunyai lima makna. Pertama, tumbuh dan berkembang. Kedua, penuh
keberkahan. Ketiga, bertambahnya kebaikan. Keempat, membersihkan dan
mensucikan. Kelima, pujian. pendapat ini dikemukakan oleh al-Syirbini (w. 977
H.) dalam al-Iqna' dan Mughni al-Muhtaj.[2]
Menurut imam
Abul Hasan al-Wahidi (w. 468 H.), zakat dapat diartikan mensucikan harta,
bertambah dan tumbuh serta dapat dimaknai dengan merestorasi harta. Pendapat
yang paling kuat diantara beberapa makna
tadi adalah tumbuh dan bertambah. Perbedaan pendapat dalam memaknai zakat
menurut bahasa ini timbul dari penggunaan kata zakat dalam masyarakat pada
waktu itu dan melihat pada wadh’u lughah-nya.[3]
Hal ihwal
mengapa zakat dimaknai dengan bertambah dan berkembang, padahal dalam hitungan
angka, dengan mengeluarkan zakat si wajib zakat akan kehilangan sebagian
hartanya dapat digambarkan dengan kegiatan memancing. Si tukang pancing hanya
butuh dana tidak seberapa untuk mendapatkan hasil ikan yang melimpah. Sebab
yang lainnya adalah dengan mengeluarkan zakat dipastikan akan meminimalisir
adanya kecemburuan sosial diantara wajib zakat dan pihak yang berhak
menerimanya. Dalam kasus seperti ini fungsi menunaikan zakat ibarat upaya
preventif dari si wajib zakat untuk melindungi entitas hartanya dari hal-hal
yang tidak diinginkan.
Menurut istilah,
zakat adalah nama untuk menyebut jumlah harta tertentu yang diambil dari harta tertentu
dan didistribusikan kepada golongan tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh syarak.[4] Imam Abul
Hasan al-Mawardi (w. 450 H.) mendefinisikan zakat sebagai nama untuk
pengambilan prosentase tertentu dari harta dengan klasifikasi dan persyaratan
tertentu untuk kemudian dibagikan kepada golongan tertentu pula.[5]
Menurut
devinisi diatas, tema utama dalam pembahasan zakat meliputi empat bagian pokok. Pertama, mengenai prosentase
besar-kecilnya zakat /شيئ مخصوص)قدر مخصوص). Kedua, sumber zakat(مال مخصوص/) Ketiga, golongan yang berhak menerima zakat(أصناف مخصوصة/طائفة مخصوصة)
. Dan keempat,
ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan ketiga hal yang telah tersebut diatas (شرائط/ أوصاف مخصوصة) .
Kedua definisi
diatas mempunyai titik persamaan dan perbedaan. Persamaannya terdapat dalam
konten yang dijadikan bahasan zakat; meliputi empat hal yang telah tersebut
diatas. Sedangkan perbedaannya terletak pada obyek yang dijadikan dalam
penamaan zakat itu sendiri. Dalam definisi pertama, obyek penamaan zakat
terletak pada prosentase harta, yaitu berupa benda. Sedangkan pada definisi
yang kedua, obyek penamaan zakat terletak pada aktifitas pengumpulannya.
Menurut
hemat penulis, perbedaan tersebut adalah perbedaan redaksi (khilaf lafdzi) saja dan tidak mempunyai
pengaruh signifikan dalam jamik-manik-nya
sebuah definisi. Perbedaan tersebut dapat dijembatani dengan dua langkah.
Pertama, dengan cara mengakurkan keduanya melalui penafsiran kata pengumpulan (أخذ) menjadi sesuatu yang dikumpulkan (مأخوذ) . Istilah ini dinamakan dengan
penyebutan masdar dengan makna yang
dituju adalah isim maf’ul. Kedua,
dengan jalan mengakomodasi kedua pendapat tersebut. Yakni, zakat adalah nama
untuk proses pengumpulan dan hasil dari proses pengumpulan tersebut.
[2] Muhammad al-Syirbîni al-Khatib, Mughnil Muhtaj, tanpa tahun, Vol. I, Faishal Isa al-Babi al-Halabi, Kairo, hal.
368. Muhammad al-Syirbini, al-Iqna’ ma’a Hasyiyah al-Bujairami, tanpa
tahun, vol III, Maktabah Taufiqiyah, kairo, hal. 3. Majma’ al-Lughat
al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wajiz,
cet. 2008, hal. 290.
[4] Muhammad al-Syirbîni al-Khatib, Mughnil Muhtaj, tanpa tahun, Vol. I, Faishal Isa al-Babi al-Halabi, Kairo, hal.
368. Redaksi dari pengertian diatas adalah:
اسم لقدر مخصوص
من مال مخصوص يجب صرفه لأصناف مخصوصة بشرائط
[5] Al-nawawi, al-Majmu’,
cet. 2010, vol. IV, Dar al-Hadits,
Kairo, hal.411. Redaksi dari definisi diatas adalah:
اسم
لأخذ شيئ مخصوص من مال مخصوص على أوصاف مخصوصة له لطائفة مخصوصة
Kamis, 03 April 2014
Sholat Di Masjid Yang Ada Kuburannya, Mengapa Tidak?
هل تجـوز الصلاة في القبور ? وما حكم الصلاة في المساجد التي بها أضرحــة ? وهل يعد ذلك من قبيل اتخاذ القبر مسجداً ؟
إن قضية المساجد التي بها قبور، قضية فقهية فرعية استغلها الجهال ومبتغو الفتنة أسوأ استغلال حيث جعلوها سببًا في التفريق بين المسلمين، والتنابذ بالألقاب فذهب هذا يسب هذا ويقول إنه قبوري، أو مبتدع، أو مشرك، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم، ونحن نجمع شتات الكلام في هذه المسألة عسى الله أن يفتح بهذا الكلام أعينًا عميًا، وآذنًا صمًا.
فإن هناك خلطًا بين أمور متفرقة أحدث لبسًا في التعامل مع هذه المسألة، وجعلنا كلما تكلمنا فيها لا نصل إلى شيء، ولكننا سنوضح هنا تلك الأمور، ونفرق بينها، فالصلاة في القبور ليست هي الصلاة بالمسجد الذي به ضريح، وليست هي اتخاذ القبر مسجدًا؛ ولذلك نفرق بين ثلاثة أمور :
الصلاة في القبور
الصلاة في المسجد الذي به ضريح.
اتخاذ القبر مسجدًا.
أولاً : الصلاة في القبور
القبر : مدفن الإنسان، يقال :قبره يقبره ويقبره، قبرًا ومقبرًا : دفنه، وأقبره : جعل له قبرا، والمقبرة، بفتح الباء وضمها : موضع القبور أي موضع دفن الموتى. والقابر : الدافن بيده.
والقبر محترم شرعًا توقيرًا للميت، ومن ثم اتفق الفقهاء على كراهة وطء القبر والمشي عليه، لما ثبت « أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن توطأ القبور»( الترمذي ، والطبراني). لكن المالكية خصوا الكراهة بما إذا كان مسنمًا، كما استثنى الشافعية والحنابلة وطء القبر للحاجة من الكراهة، كما إذا كان لا يصل إلى قبر ميته إلا بوطء قبر آخر.
أما عن حكم الصلاة في المقابر فذهب الحنفية إلى أنه تكره الصلاة في المقبرة، وبه قال الثوري والأوزاعي، لأنها مظان النجاسة، ولأنه تشبه باليهود، إلا إذا كان في المقبرة موضع أعد للصلاة ولا قبر ولا نجاسة فلا بأس
وقال المالكية : تجوز الصلاة بمقبرة عامرة كانت أو دارسة، منبوشة أم لا، لمسلم كانت أو لمشرك
.
وفصل الشافعية الكلام فقالوا : لا تصح الصلاة في المقبرة التي تحقق نبشها بلا خلاف في المذهب، لأنه قد اختلط بالأرض صديد الموتى، هذا إذا لم يبسط تحته شيء، وإن بسط تحته شيء تكره. وأما إن تحقق عدم نبشها صحت الصلاة بلا خلاف؛ لأن الجزء الذي باشره بالصلاة طاهر، ولكنها مكروهة كراهة تنزيه؛ لأنها مدفن النجاسة. وأما إن شك في نبشها فقولان؛ أصحهما : تصح الصلاة مع الكراهة؛ لأن الأصل طهارة الأرض فلا يحكم بنجاستها بالشك، وفي مقابل الأصح : لا تصح الصلاة؛ لأن الأصل بقاء الفرض في ذمته، وهو يشك في إسقاطه، والفرض لا يسقط بالشك.
وقال الحنابلة : لا تصح الصلاة في المقبرة قديمة كانت أو حديثة، تكرر نبشها أو لا، ولا يمنع من الصلاة قبر ولا قبران؛ لأنه لا يتناولها اسم المقبرة وإنما المقبرة ثلاثة قبور فصاعدًا. وروي عنهم أن كل ما دخل في اسم المقبرة مما حول القبور لا يصلى فيه. ونصوا على أنه لا يمنع من الصلاة ما دفن بداره ولو زاد على ثلاثة قبور، لأنه ليس بمقبرة.
هذا بشأن كلام الفقهاء في مسألة الصلاة في المقبرة، والمقابر دون التعرض لمسألة الصلاة في المساجد التي يجاورها الأضرحة.
ثانيا : الصلاة في المسجد الذي به ضريح
والصلاة بالمسجد الذي به ضريح أحد الأنبياء - عليهم السلام - أو الصالحين، فهي صحيحة، ومشروعة، وقد تصل إلى درجة الاستحباب ويدل على هذا الحكم عدة أدلة من القرآن الكريم، والسنة النبوية المطهرة، وفعل الصحابة، وإجماع الأمة العملي.
فمن القرآن الكريم قوله تعالى : {فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا } ، ووجه الاستدلال بالآية أنّها أشارت إلى قصّة أصحاب الكهف، حينما عثر عليهم الناس فقال بعضهم: نبني عليهم بُنيانًا، وقال آخرون: لنتّخذنّ عليهم مسجدًا.
والسياق يدل على أن الأوّل: قول المشركين، والثاني: قول الموحّدين، والآية طرحت القولين دون استنكار، ولو كان فيهما شيء من الباطل لكان من المناسب أن تشير إليه وتدل على بطلانه بقرينة ما، وتقريرها للقولين يدل على إمضاء الشريعة لهما، بل إنّها طرحت قول الموحدين بسياق يفيد المدح، وذلك بدليل المقابلة بينه وبين قول المشركين المحفوف بالتشكيك، بينما جاء قول الموحدين قاطعًا (لنتّخذنّ) نابعًا من رؤية إيمانية، فليس المطلوب عندهم مجرد البناء، وإنّما المطلوب هو المسجد. وهذا القول يدلّ على أن أولئك الأقوام كانوا عارفين بالله معترفين بالعبادة والصلاة
.
قال الرازي في تفسير (لنتّخذنّ عليه مسجدًا) نعبد الله فيه، ونستبقي آثار أصحاب الكهف بسبب ذلك المسجد(تفسير الرازي
وقال الشوكاني: ذكر اتخاذ المسجد يُشعر بأنّ هؤلاء الذين غلبوا على أمرهم هم المسلمون، وقيل: هم أهل السلطان والملوك من القوم المذكورين، فإنهم الذين يغلبون على أمر من عداهم، والأوّل أولى(فتح القدير). وقال الزجاجي: هذا يدلّ على أنّه لما ظهر أمرهم غلب المؤمنون بالبعث والنشو؛، لأن المساجد للمؤمنين، هذا بخصوص ما ذكر في كتاب الله فيما يخص مسألة بناء المسجد على القبر.
ومن السنة حديث أبي بصير الذي رواه عبد الرزاق، عن معمر، عن محمد بن مسلم بن شهاب الزهري، عن عروة بن الزبير، عن المسور بن مخرمة، ومروان بن الحكم قالا : «إن أبا بصير انفلت من المشركين بعد صلح الحديبية، وذهب إلى سيف البحر، ولحق به أبو جندل بن سهيل بن عمرو، أنفلت من المشركين أيضا، ولحق بهم أناس من المسلمين حتى بلغوا ثلاثمائة وكان يصلي بهم أبو بصير.
وكان يقول : الله العلي الأكبر ** من ينصر الله ينصر
فلما لحق به أبو جندل، كان يؤمهم، وكان لا يمر بهم عير لقريش إلا أخذوها، وقتلوا أصحابها، فأرسلت قريش إلى النبي صلى الله عليه وسلم تناشده الله والرحم، إلا أرسل إليهم، فمن أتاك منهم فهو آمن، وكتب رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي جندل وأبي بصير ليقدما عليه ومن معهم من المسلمين أن يلحقوا ببلادهم وأهليهم، فقدم كتاب رسول صلى الله عليه وسلم على أبي جندل، وأبو بصير يموت، فمات وكتاب رسول الله صلى الله عليه وسلم بيده يقرأه، فدفنه أبو جندل مكانه، وبنى على قبره مسجدًا »( ذكره ابن عبد البر في الاستيعاب، وصاحب الروض الأنف ، وابن سعد في الطبقات الكبرى، وصاحب السيرة الحلبية
أما فعل الصحابة رضى الله عنهم يتضح في موقف دفن سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم واختلافهم فيه، وهو ما حكاه الإمام مالك رضى الله عنه عندما ذكر اختلاف الصحابة في مكان دفن الحبيب صلى الله عليه وسلم فقال : «فقال ناس : يدفن عند المنبر، وقال آخرون : يدفن بالبقيع، فجاء أبو بكر الصديق فقال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ما دفن نبي قط إلا في مكانه الذي توفي فيه فحفر له فيه »( الموطأ)، ووجه الاستدلال أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم اقترحوا أن يدفن صلى الله عليه وسلم عند المنبر وهو داخل المسجد قطعًا، ولم ينكر عليهم أحد هذا الاقتراح، بل إن أبا بكر رضى الله عنه اعترض على هذا الاقتراح ليس لحرمة دفنه صلى الله عليه وسلم في المسجد، وإنما تطبيقًا لأمره صلى الله عليه وسلم بأن يدفن في مكان قبض روحه الشريف صلى الله عليه وسلم.
وبتأملنا إلى دفنه صلى الله عليه وسلم في ذلك المكان نجد أنه صلى الله عليه وسلم قُبض في حجرة السيدة عائشة رضي الله عنها، وهذه الحجرة كانت متصلة بالمسجد الذي يصلي فيه المسلمين، فوضع الحجرة بالنسبة للمسجد كان – تقريبًا - هو نفس وضع المساجد المتصلة بحجرة فيها ضريح لأحد الأولياء في زماننا، بأن يكون ضريحه متصل بالمسجد والناس يصلون في صحن المسجد بالخارج.
وهناك من يعترض على هذا الكلام ويقول : إن هذا خاص بالنبي صلى الله عليه وسلم ، والرد عليه أن الخصوصية في الأحكام بالنبي صلى الله عليه وسلم تحتاج إلى دليل، والأصل أن الحكم عام ما لم يرد دليل يثبت الخصوصية، ولا دليل، فبطلت الخصوصية المزعومة في هذا الموطن، ونزولاً على قول الخصم من أن هذه خصوصية للنبي صلى الله عليه وسلم - وهو باطل كما بينا - فالجواب أن هذه الحجرة دفن فيها سيدنا أبو بكر رضى الله عنه ، ومن بعده سيدنا عمر رضى الله عنه ، والحجرة متصلة بالمسجد، فهل الخصوصية انسحبت إلى أبي بكر وعمر - رضي الله عنهما - أم ماذا ؟ والصحابة يصلون في المسجد المتصل بهذه الحجرة التي بها ثلاثة قبور، والسيدة عائشة رضي الله عنها تعيش في هذه الحجرة، وتصلي فيها صلواتها المفروضة والمندوبة، ألا يعد هذا فعل الصحابة وإجماع عملي لهم.
ومن إجماع الأمة الفعلي وإقرار علمائها لذلك، صلاة المسلمين سلفاً وخلفاً في مسجد سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ، والمساجد التي بها أضرحة بغير نكير، وإقرار العلماء من لدن الفقهاء السبعة بالمدينة الذين وافقوا على إدخال الحجرة الشريفة إلى المسجد النبوي، وهي بها ثلاثة قبور، ولم يعترض منهم إلا سعيد بن المسيب رضى الله عنه ولم يكن اعتراضه لأنه يرى حرمة الصلاة في المساجد التي بها قبور، وإنما اعترض؛ لأنه يريد أن تبقى حجرات النبي صلى الله عليه وسلم كما هي يطلع عليها المسلمون؛ حتى يزهدوا في الدنيا، ويعلموا كيف كان يعيش نبيهم صلى الله عليه وسلم
.
ثالثا : اتخاذ القبر مسجدًا ليس هو المسجد الذي به ضريح
واتخاذ القبر مسجدًا الذي ورد فيه النهي عن النبي صلى الله عليه وسلم ليس هو ما ذكرنا من بناء المسجد بجوار ضريح متصل به أو منفصل عنه، فعن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد »( أخرجه البخاري ، ومسلم)، وفي رواية لمسلم زاد «قبور أنبيائهم وصالحيهم »( أخرجها مسلم)
فعلماء الأمة لم يفهموا من هذا الحديث أن المقصود النهي عن اتصال المسجد بضريح نبي أو صالح، وإنما فسروا اتخاذ القبر مسجدًا التفسير الصحيح، وهو أن يُجعل القبر نفسه مكانًا للسجود، ويسجد عليه الساجد لمن في القبر عبادة له، كما فعل اليهود والنصارى حيث قال تعالى: {اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ } . فهذا هو معنى السجود الذي استوجب اللعن، أو جعل القبر قبلة دون القبلة المشروعة، كما يفعل أهل الكتاب؛ حيث يتوجهون بالصلاة إلى قبور أحبارهم ورهبانهم، فتلك الصور هي التي فهمها علماء الأمة من النهي من اتخاذ القبور مساجد.
فكان ينبغي على المسلمين أن يعرفوا الصورة المنهي عنها، لا أن ينظروا إلى ما فعله المسلمون في مساجدهم، ثم يقولون إن الحديث ورد في المسلمين، فهذا فعل الخوارج والعياذ بالله، كما قال ابن عمر رضى الله عنه ذهبوا إلى آيات نزلت في المشركين، فجعلوها في المسلمين. فليست هناك كنيسة للنصارى ولا معبد لليهود على هيئة مساجد المسلمين التي بها أضرحة، والتي يصر بعضهم أن الحديث جاء في هذه الصورة.
ولكن العلماء فهموا المراد بنظر ثاقب وهو ما اتضح في شروحهم لهذه الأحاديث، فها هو الشيخ السندي يقول بشأن هذا الحديث : «ومراده بذلك أن يحذر أمته أن يصنعوا بقبره ما صنع اليهود والنصارى بقبور أنبيائهم من اتخاذهم تلك القبور مساجد إما بالسجود إليها تعظيما أو يجعلها قبلة يتوجهون في الصلاة نحوها، قيل : ومجرد اتخاذ مسجد في جوار صالح تبركا غير ممنوع »( حاشية السندي
وقد نقل العلامة ابن حجر العسقلاني وغيره من شراح السنن قول البيضاوي؛ حيث قال: « قال البيضاوي : لما كانت اليهود يسجدون لقبور الأنبياء؛ تعظيمًا لشأنهم، ويجعلونها قبلة، ويتوجهون في الصلاة نحوها فاتخذوها أوثانًا، لعنهم الله، ومنع المسلمين عن مثل ذلك، ونهاهم عنه، أما من اتخذ مسجدًا بجوار صالح أو صلى في مقبرته وقصد به الاستظهار بروحه، ووصول أثر من آثار عبادته إليه، لا التعظيم له، والتوجه فلا حرج عليه، ألا ترى أن مدفن إسماعيل في المسجد الحرام ثم الحطيم، ثم إن ذلك المسجد أفضل مكان يتحرى المصلي بصلاته، والنهي عن الصلاة في المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة انتهى »( فتح الباري ، شرح الزرقاني ، فيض القدير
وقد نقل كذلك المباركفوري في شرحه لجامع الإمام الترمذي قول التوربشتي فقال : «قال التوربشتي هو مخرج على الوجهين؛ أحدهما : كانوا يسجدون لقبور الأنبياء تعظيما لهم وقصد العبادة في ذلك، وثانيهما : أنهم كانوا يتحرون الصلاة في مدافن الأنبياء، والتوجه إلى قبورهم في حالة الصلاة والعبادة لله؛ نظرًا منهم أن ذلك الصنيع أعظم موقعًا عند الله لاشتماله على الأمرين»( تحفة الأحوذي
و مما سبق فبيان حكم الصلاة بالمسجد الذي به ضريح يكون، إذا كان القبر في مكان منعزل عن المسجد، أي لا يصلى فيه، فالصلاة في المسجد الذي يجاوره صحيحة، ولا حرمة ولا كراهة فيها، أما إذا كان القبر في داخل المسجد، فإن الصلاة باطلة ومحرمة على مذهب أحمد بن حنبل، جائزة وصحيحة عند الأئمة الثلاثة، غاية الأمر أنهم قالوا : يكره أن يكون القبر أمام المصلى، لما فيه من التشبه بالصلاة إليه، والله تعالى أعلى وأعلم.
إن قضية المساجد التي بها قبور، قضية فقهية فرعية استغلها الجهال ومبتغو الفتنة أسوأ استغلال حيث جعلوها سببًا في التفريق بين المسلمين، والتنابذ بالألقاب فذهب هذا يسب هذا ويقول إنه قبوري، أو مبتدع، أو مشرك، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم، ونحن نجمع شتات الكلام في هذه المسألة عسى الله أن يفتح بهذا الكلام أعينًا عميًا، وآذنًا صمًا.
فإن هناك خلطًا بين أمور متفرقة أحدث لبسًا في التعامل مع هذه المسألة، وجعلنا كلما تكلمنا فيها لا نصل إلى شيء، ولكننا سنوضح هنا تلك الأمور، ونفرق بينها، فالصلاة في القبور ليست هي الصلاة بالمسجد الذي به ضريح، وليست هي اتخاذ القبر مسجدًا؛ ولذلك نفرق بين ثلاثة أمور :
الصلاة في القبور
الصلاة في المسجد الذي به ضريح.
اتخاذ القبر مسجدًا.
أولاً : الصلاة في القبور
القبر : مدفن الإنسان، يقال :قبره يقبره ويقبره، قبرًا ومقبرًا : دفنه، وأقبره : جعل له قبرا، والمقبرة، بفتح الباء وضمها : موضع القبور أي موضع دفن الموتى. والقابر : الدافن بيده.
والقبر محترم شرعًا توقيرًا للميت، ومن ثم اتفق الفقهاء على كراهة وطء القبر والمشي عليه، لما ثبت « أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن توطأ القبور»( الترمذي ، والطبراني). لكن المالكية خصوا الكراهة بما إذا كان مسنمًا، كما استثنى الشافعية والحنابلة وطء القبر للحاجة من الكراهة، كما إذا كان لا يصل إلى قبر ميته إلا بوطء قبر آخر.
أما عن حكم الصلاة في المقابر فذهب الحنفية إلى أنه تكره الصلاة في المقبرة، وبه قال الثوري والأوزاعي، لأنها مظان النجاسة، ولأنه تشبه باليهود، إلا إذا كان في المقبرة موضع أعد للصلاة ولا قبر ولا نجاسة فلا بأس
وقال المالكية : تجوز الصلاة بمقبرة عامرة كانت أو دارسة، منبوشة أم لا، لمسلم كانت أو لمشرك
.
وفصل الشافعية الكلام فقالوا : لا تصح الصلاة في المقبرة التي تحقق نبشها بلا خلاف في المذهب، لأنه قد اختلط بالأرض صديد الموتى، هذا إذا لم يبسط تحته شيء، وإن بسط تحته شيء تكره. وأما إن تحقق عدم نبشها صحت الصلاة بلا خلاف؛ لأن الجزء الذي باشره بالصلاة طاهر، ولكنها مكروهة كراهة تنزيه؛ لأنها مدفن النجاسة. وأما إن شك في نبشها فقولان؛ أصحهما : تصح الصلاة مع الكراهة؛ لأن الأصل طهارة الأرض فلا يحكم بنجاستها بالشك، وفي مقابل الأصح : لا تصح الصلاة؛ لأن الأصل بقاء الفرض في ذمته، وهو يشك في إسقاطه، والفرض لا يسقط بالشك.
وقال الحنابلة : لا تصح الصلاة في المقبرة قديمة كانت أو حديثة، تكرر نبشها أو لا، ولا يمنع من الصلاة قبر ولا قبران؛ لأنه لا يتناولها اسم المقبرة وإنما المقبرة ثلاثة قبور فصاعدًا. وروي عنهم أن كل ما دخل في اسم المقبرة مما حول القبور لا يصلى فيه. ونصوا على أنه لا يمنع من الصلاة ما دفن بداره ولو زاد على ثلاثة قبور، لأنه ليس بمقبرة.
هذا بشأن كلام الفقهاء في مسألة الصلاة في المقبرة، والمقابر دون التعرض لمسألة الصلاة في المساجد التي يجاورها الأضرحة.
ثانيا : الصلاة في المسجد الذي به ضريح
والصلاة بالمسجد الذي به ضريح أحد الأنبياء - عليهم السلام - أو الصالحين، فهي صحيحة، ومشروعة، وقد تصل إلى درجة الاستحباب ويدل على هذا الحكم عدة أدلة من القرآن الكريم، والسنة النبوية المطهرة، وفعل الصحابة، وإجماع الأمة العملي.
فمن القرآن الكريم قوله تعالى : {فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا } ، ووجه الاستدلال بالآية أنّها أشارت إلى قصّة أصحاب الكهف، حينما عثر عليهم الناس فقال بعضهم: نبني عليهم بُنيانًا، وقال آخرون: لنتّخذنّ عليهم مسجدًا.
والسياق يدل على أن الأوّل: قول المشركين، والثاني: قول الموحّدين، والآية طرحت القولين دون استنكار، ولو كان فيهما شيء من الباطل لكان من المناسب أن تشير إليه وتدل على بطلانه بقرينة ما، وتقريرها للقولين يدل على إمضاء الشريعة لهما، بل إنّها طرحت قول الموحدين بسياق يفيد المدح، وذلك بدليل المقابلة بينه وبين قول المشركين المحفوف بالتشكيك، بينما جاء قول الموحدين قاطعًا (لنتّخذنّ) نابعًا من رؤية إيمانية، فليس المطلوب عندهم مجرد البناء، وإنّما المطلوب هو المسجد. وهذا القول يدلّ على أن أولئك الأقوام كانوا عارفين بالله معترفين بالعبادة والصلاة
.
قال الرازي في تفسير (لنتّخذنّ عليه مسجدًا) نعبد الله فيه، ونستبقي آثار أصحاب الكهف بسبب ذلك المسجد(تفسير الرازي
وقال الشوكاني: ذكر اتخاذ المسجد يُشعر بأنّ هؤلاء الذين غلبوا على أمرهم هم المسلمون، وقيل: هم أهل السلطان والملوك من القوم المذكورين، فإنهم الذين يغلبون على أمر من عداهم، والأوّل أولى(فتح القدير). وقال الزجاجي: هذا يدلّ على أنّه لما ظهر أمرهم غلب المؤمنون بالبعث والنشو؛، لأن المساجد للمؤمنين، هذا بخصوص ما ذكر في كتاب الله فيما يخص مسألة بناء المسجد على القبر.
ومن السنة حديث أبي بصير الذي رواه عبد الرزاق، عن معمر، عن محمد بن مسلم بن شهاب الزهري، عن عروة بن الزبير، عن المسور بن مخرمة، ومروان بن الحكم قالا : «إن أبا بصير انفلت من المشركين بعد صلح الحديبية، وذهب إلى سيف البحر، ولحق به أبو جندل بن سهيل بن عمرو، أنفلت من المشركين أيضا، ولحق بهم أناس من المسلمين حتى بلغوا ثلاثمائة وكان يصلي بهم أبو بصير.
وكان يقول : الله العلي الأكبر ** من ينصر الله ينصر
فلما لحق به أبو جندل، كان يؤمهم، وكان لا يمر بهم عير لقريش إلا أخذوها، وقتلوا أصحابها، فأرسلت قريش إلى النبي صلى الله عليه وسلم تناشده الله والرحم، إلا أرسل إليهم، فمن أتاك منهم فهو آمن، وكتب رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي جندل وأبي بصير ليقدما عليه ومن معهم من المسلمين أن يلحقوا ببلادهم وأهليهم، فقدم كتاب رسول صلى الله عليه وسلم على أبي جندل، وأبو بصير يموت، فمات وكتاب رسول الله صلى الله عليه وسلم بيده يقرأه، فدفنه أبو جندل مكانه، وبنى على قبره مسجدًا »( ذكره ابن عبد البر في الاستيعاب، وصاحب الروض الأنف ، وابن سعد في الطبقات الكبرى، وصاحب السيرة الحلبية
أما فعل الصحابة رضى الله عنهم يتضح في موقف دفن سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم واختلافهم فيه، وهو ما حكاه الإمام مالك رضى الله عنه عندما ذكر اختلاف الصحابة في مكان دفن الحبيب صلى الله عليه وسلم فقال : «فقال ناس : يدفن عند المنبر، وقال آخرون : يدفن بالبقيع، فجاء أبو بكر الصديق فقال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ما دفن نبي قط إلا في مكانه الذي توفي فيه فحفر له فيه »( الموطأ)، ووجه الاستدلال أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم اقترحوا أن يدفن صلى الله عليه وسلم عند المنبر وهو داخل المسجد قطعًا، ولم ينكر عليهم أحد هذا الاقتراح، بل إن أبا بكر رضى الله عنه اعترض على هذا الاقتراح ليس لحرمة دفنه صلى الله عليه وسلم في المسجد، وإنما تطبيقًا لأمره صلى الله عليه وسلم بأن يدفن في مكان قبض روحه الشريف صلى الله عليه وسلم.
وبتأملنا إلى دفنه صلى الله عليه وسلم في ذلك المكان نجد أنه صلى الله عليه وسلم قُبض في حجرة السيدة عائشة رضي الله عنها، وهذه الحجرة كانت متصلة بالمسجد الذي يصلي فيه المسلمين، فوضع الحجرة بالنسبة للمسجد كان – تقريبًا - هو نفس وضع المساجد المتصلة بحجرة فيها ضريح لأحد الأولياء في زماننا، بأن يكون ضريحه متصل بالمسجد والناس يصلون في صحن المسجد بالخارج.
وهناك من يعترض على هذا الكلام ويقول : إن هذا خاص بالنبي صلى الله عليه وسلم ، والرد عليه أن الخصوصية في الأحكام بالنبي صلى الله عليه وسلم تحتاج إلى دليل، والأصل أن الحكم عام ما لم يرد دليل يثبت الخصوصية، ولا دليل، فبطلت الخصوصية المزعومة في هذا الموطن، ونزولاً على قول الخصم من أن هذه خصوصية للنبي صلى الله عليه وسلم - وهو باطل كما بينا - فالجواب أن هذه الحجرة دفن فيها سيدنا أبو بكر رضى الله عنه ، ومن بعده سيدنا عمر رضى الله عنه ، والحجرة متصلة بالمسجد، فهل الخصوصية انسحبت إلى أبي بكر وعمر - رضي الله عنهما - أم ماذا ؟ والصحابة يصلون في المسجد المتصل بهذه الحجرة التي بها ثلاثة قبور، والسيدة عائشة رضي الله عنها تعيش في هذه الحجرة، وتصلي فيها صلواتها المفروضة والمندوبة، ألا يعد هذا فعل الصحابة وإجماع عملي لهم.
ومن إجماع الأمة الفعلي وإقرار علمائها لذلك، صلاة المسلمين سلفاً وخلفاً في مسجد سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ، والمساجد التي بها أضرحة بغير نكير، وإقرار العلماء من لدن الفقهاء السبعة بالمدينة الذين وافقوا على إدخال الحجرة الشريفة إلى المسجد النبوي، وهي بها ثلاثة قبور، ولم يعترض منهم إلا سعيد بن المسيب رضى الله عنه ولم يكن اعتراضه لأنه يرى حرمة الصلاة في المساجد التي بها قبور، وإنما اعترض؛ لأنه يريد أن تبقى حجرات النبي صلى الله عليه وسلم كما هي يطلع عليها المسلمون؛ حتى يزهدوا في الدنيا، ويعلموا كيف كان يعيش نبيهم صلى الله عليه وسلم
.
ثالثا : اتخاذ القبر مسجدًا ليس هو المسجد الذي به ضريح
واتخاذ القبر مسجدًا الذي ورد فيه النهي عن النبي صلى الله عليه وسلم ليس هو ما ذكرنا من بناء المسجد بجوار ضريح متصل به أو منفصل عنه، فعن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد »( أخرجه البخاري ، ومسلم)، وفي رواية لمسلم زاد «قبور أنبيائهم وصالحيهم »( أخرجها مسلم)
فعلماء الأمة لم يفهموا من هذا الحديث أن المقصود النهي عن اتصال المسجد بضريح نبي أو صالح، وإنما فسروا اتخاذ القبر مسجدًا التفسير الصحيح، وهو أن يُجعل القبر نفسه مكانًا للسجود، ويسجد عليه الساجد لمن في القبر عبادة له، كما فعل اليهود والنصارى حيث قال تعالى: {اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ } . فهذا هو معنى السجود الذي استوجب اللعن، أو جعل القبر قبلة دون القبلة المشروعة، كما يفعل أهل الكتاب؛ حيث يتوجهون بالصلاة إلى قبور أحبارهم ورهبانهم، فتلك الصور هي التي فهمها علماء الأمة من النهي من اتخاذ القبور مساجد.
فكان ينبغي على المسلمين أن يعرفوا الصورة المنهي عنها، لا أن ينظروا إلى ما فعله المسلمون في مساجدهم، ثم يقولون إن الحديث ورد في المسلمين، فهذا فعل الخوارج والعياذ بالله، كما قال ابن عمر رضى الله عنه ذهبوا إلى آيات نزلت في المشركين، فجعلوها في المسلمين. فليست هناك كنيسة للنصارى ولا معبد لليهود على هيئة مساجد المسلمين التي بها أضرحة، والتي يصر بعضهم أن الحديث جاء في هذه الصورة.
ولكن العلماء فهموا المراد بنظر ثاقب وهو ما اتضح في شروحهم لهذه الأحاديث، فها هو الشيخ السندي يقول بشأن هذا الحديث : «ومراده بذلك أن يحذر أمته أن يصنعوا بقبره ما صنع اليهود والنصارى بقبور أنبيائهم من اتخاذهم تلك القبور مساجد إما بالسجود إليها تعظيما أو يجعلها قبلة يتوجهون في الصلاة نحوها، قيل : ومجرد اتخاذ مسجد في جوار صالح تبركا غير ممنوع »( حاشية السندي
وقد نقل العلامة ابن حجر العسقلاني وغيره من شراح السنن قول البيضاوي؛ حيث قال: « قال البيضاوي : لما كانت اليهود يسجدون لقبور الأنبياء؛ تعظيمًا لشأنهم، ويجعلونها قبلة، ويتوجهون في الصلاة نحوها فاتخذوها أوثانًا، لعنهم الله، ومنع المسلمين عن مثل ذلك، ونهاهم عنه، أما من اتخذ مسجدًا بجوار صالح أو صلى في مقبرته وقصد به الاستظهار بروحه، ووصول أثر من آثار عبادته إليه، لا التعظيم له، والتوجه فلا حرج عليه، ألا ترى أن مدفن إسماعيل في المسجد الحرام ثم الحطيم، ثم إن ذلك المسجد أفضل مكان يتحرى المصلي بصلاته، والنهي عن الصلاة في المقابر مختص بالمنبوشة لما فيها من النجاسة انتهى »( فتح الباري ، شرح الزرقاني ، فيض القدير
وقد نقل كذلك المباركفوري في شرحه لجامع الإمام الترمذي قول التوربشتي فقال : «قال التوربشتي هو مخرج على الوجهين؛ أحدهما : كانوا يسجدون لقبور الأنبياء تعظيما لهم وقصد العبادة في ذلك، وثانيهما : أنهم كانوا يتحرون الصلاة في مدافن الأنبياء، والتوجه إلى قبورهم في حالة الصلاة والعبادة لله؛ نظرًا منهم أن ذلك الصنيع أعظم موقعًا عند الله لاشتماله على الأمرين»( تحفة الأحوذي
و مما سبق فبيان حكم الصلاة بالمسجد الذي به ضريح يكون، إذا كان القبر في مكان منعزل عن المسجد، أي لا يصلى فيه، فالصلاة في المسجد الذي يجاوره صحيحة، ولا حرمة ولا كراهة فيها، أما إذا كان القبر في داخل المسجد، فإن الصلاة باطلة ومحرمة على مذهب أحمد بن حنبل، جائزة وصحيحة عند الأئمة الثلاثة، غاية الأمر أنهم قالوا : يكره أن يكون القبر أمام المصلى، لما فيه من التشبه بالصلاة إليه، والله تعالى أعلى وأعلم.
Jalan-Jalan (Darb El-Hunud - Al-Azhar)
Jalan-Jalan
(Darb El-Hunûd – Al-Azhar)
Rumahku berada di daerah yang
bernama Darb el-Hunûd, salah satu daerah
di distrik Al-Darb al-Ahmar. Dar el-Hunud merupakan kawasan yang berada di
pesisir taman al-Azhar. Sebuah pemukiman padat dengan pabrik sepatu dan
berbagai kerajinan tangan di setiap imarah dan bloknya. Daerah ini dekat dengan
makam salah satu cucu nabi, Fathimah al-Nabawiyah. Beliau adalah putri dari
sayidina Husen yang menikah dengan Hasan, putra dari sayidina Hasan. Dari rahim
beliau lahir seorang putra yang bernama Hasan pula, yaitu Hasan bin Hasan bin
Hasan bin Ali bin Abu Thalib.
Hanya perlu tiga menit
berjalan kaki ke arah barat dari Darb el-Hunûd menuju jalan besar Al-Darb
Al-Ahmar. Dan perlu lima menit agar dapat sampai ke Bab Zuwailah. Perjalanan
pendek ini akan membawa kita bertemu dengan makam Abdullah bin Hasan bin Ali
bin Abu Thalib, bangunan-bangunan bersejarah yang tidak terurus dengan baik dan
hiruk-pikuk kegiatan ekonomi penduduk.
Di Bab Zuwailah kita
dipersilakan untuk berlama-lama. Disitu kita akan disuguhi masjid-masjid
bersejarah. Ada masjid Shalah Thalai’, masjid Fakahani, masjid ‘Ali Basha, dan
bangunan-bangunan lain. Dari Bab Zuwaila kita diperkenankan untuk meneruskan
perjalanan ke Ghuriyah, ke Sayidah Aisyah atau juga ke Sayidah Zainab. Jarak
tempuh untuk ke Sayidah Zainab dan Sayidah Aisyah hanya lima belas menit dengan
jalan kaki. Kalau ingin belanja murah, pilih saja ke Ghuriyah. Waktu yang
dibutuhkan juga tidak lama. kurang dari dua menit kalau hanya ingin melihat-lihat
dan perlu berjam-jam jika berminat membeli yang diinginkan.
Kembali ke Darb el-Hunûd. Dari
Darb el-Hunûd menuju pusat kampus diperlukan waktu delapan menit. Sedangkan
apabila ingin ke masjid al-Azhar perlu tambahan waktu dua menit lagi, alias
harus punya waktu sepuluh.
Rute yang biasa
dipakai untuk sampai ke kuliah adalah dengan cara menyisir jalan yang berada
dibalik tembok pembatas taman al-Azhar. Kita telususri saja jalannya hingga
mentok ke persimpangan. Arah kanan akan mengantarkan ke rumah sakit Husen. Arah
kiri akan mengantarkan ke arah masjid al-Azhar. Dan arah kiri kemudian setelah
lima meter (masjid kecil bernama
al-Khudhari) berbelok ke arah kanan akan mengantarkan kita ke arah pintu kuliah
arah belakang. Jalan yang kita lalui ini akan melewati gang al-Dawidar, tempat
madlyafah syeikh Ali Jum’ah berada. Di gang itu pula dimakamkan seorang ulama
yang bernama al-Dawidar. Dari ujung gang al-Dawidar ini kita langsung
dipertemukan dengan gerbang belakang al-Azhar.
Kembali ke pertigaan semula.
Agar dapat sampai ke masjid al-Azhar dari pertigaan tadi kita punya dua jalur
yang sama-sama mengantarkan ke perempatan kecil. Dua dari arah yang kita lalui
tadi, satu ke arah Al-Darb al-Ahmar dan satunya lagi ke arah masjid al-Azhar.
Jalan yang menuju al-Darb al-Ahmar tadi akan tembus ke makan Abdullah bin Hasan
dengan terlebih dahulu melewati makam sahabat Abdullah bin Abu Bakar.
Dari perempatan tadi, kita
menyusuri jalanan yang hanya bisa dilalui oleh satu kendaraan roda empat.
Sekitar seratus meter kita akan sampai pada sebuah perempatan . Jalan ke kiri
kira-kira dua ratus meter adalah masjid Abil Barakat Imam al-Dardir. Tempat
dimana jasad beliau dimakamkan. Masjid ini juga sekarang digunakan untuk
mengajar. Diantaranya adalah pengajian Shahih Bukhari oleh syeikh Yusri Rusydi.
Dari masjid ini lurus mengikuti jalan kita akan sampai ke pasar al-Ghuriya. Ke
arah kanan seratus meter adalah madlyafah syeikh Ali Jum’ah. Sedang lurus ke
depan adalah jalan al-Bithar, jalan yang akan mengantarkan ke gerbang selatan
masjid al-Azhar.
Dari perempatan menuju pintu
gerbang masjid al-Azhar arah selatan berjarak kira-kira lima puluh meter.
Sepanjang jalur ini kita akan menjumpai beberapa warung yang bisa kita singgahi
untuk mengganjal perut, maktabah-maktabah dengan aksen sengau, dan makam Syeikh
‘Ilisy. Seorang ulama yang kitabnya seringkali dikaji di nusantara. Tepatnya
adalah di depan Maktabah Islamiyah.
Maktabah yang berderet
sepanjang jalan kebanyakan mengusung dua misi sekaligus. Yaitu, berbisnis dan
menyebarkan ajaran Salafi-Wahabi. Makanya, jangan kaget bila produk-produk yang
ditawarkan berharga terjangkau dan agak miring.
Bila kita memilih berbelok ke
arah kanan dan sebelum pabrik pembuatan iesy belok ke kanan melewati lorong imarah kita akan sampai ke Darb el-Atrak. Di gang ini kita akan
mendapati berbagai maktabah dengan ciri khas masing-masing. Kitab-kitab sufi
dan sunni dapat kita beli di maktabah
al-qahirah, maktabah dar al-Bashair, dan maktabah Al-Azhar li al-Turats.
Kitab-kitab Salafi-Wahabi dapat kita peroleh dengan murah dan mudah di maktabah dar al-‘Aqidah. Kitab-kitab
dengan banyak kesalahan penulisan dapat diakses di maktabah dar al-Bayan (DKI), maktabah Shafa, dan maktabah al-Taufiqiyah. Sedang untuk
maktabah dengan orientasi bisnis dapat kita jumpai pada maktabah dar al-Wafa.
Pintu masjid sebelah selatan
tidak selalu dibuka. Pintu ini hanya dibuka dari jam setengah dua belas siang
sampai shalat isya selesai. Kadang juga, pintu ini tidak dibuka sama sekali.
Bila pintu ini tidak dibuka, maka bagi pengunjung harus menyusuri jalan ke arah
pintu gerbang sebelah barat yang berada persis disamping masjid. Disamping kiri
jalan ada maktabah yang menjual kitab-kitab sastra. Tepat didepannya adalah ruwaq Syam yang sekarang dijadikan
kantor polisi.
Setelah berjalan seratus meter
kita akan mentok pada ‘atharah yang
dulu digunakan untuk shoting film KCB. Dari situ kita belok ke kanan dua puluh
meter. Disitulah pintu gerbang barat masjid berada.
Bila kita lurus lima belas
meter ke arah depan dari ‘atharah tadi,
kita akan menjumpai pasar rakyat. Di samping kiri pasar tersebut ada maktabah legendaris, yaitu maktabah Mushtafa el-Baby el-Halaby.
Satu maktabah kuno yang sampai sekarang masih diakui sebagai maktabah yang paling
amanah dalam mencetak kitab-kitabnya. Maktabah
ini juga tempat ulama nusantara jaman dulu mencetak kitab mereka. Sampai saat
ini, karangan dari ulama nusantara semisal syeikh Nawawi al-Bantani dan syeikh
Mahfudz al-Tarmasi masih dapat kita jumpai disana. Melihat kepada amanah ilmiah
yang ada dalam maktabah tersebut,
ulama-ulama al-Azhar selalu menempatkan kitab-kitab cetakannya menjadi rujukan
utama.
Langganan:
Postingan (Atom)