Kamis, 29 Agustus 2013

Andra, Malang dan Kemalangan

Malang adalah kemalangan. Malang, sudah suratan takdir menjadi penghalang, sebagaimana dulu Sunan Mataram terhalang dalam ekspansi kekuasaan. Malang adalah penghalang, penghalang andra mendapatkan Neyla.  Malang selalu menghadirkan kegetiran  sebagaiaman arti malang dalam prasasti Raja Balitung dan prasasti Mantyasih. Malangkusheswara adalah kecurangan, kepalsuan, dan kebatilan.

Malang adalah kemalangan. Kemalangan bagi Andra, anak desa yang dibully cinta oleh gadis sarjana. Ya, sarjana yang pada awal mulanya seperti "Zahrana", seorang sarjana yang mau menerima pinangan tukang kerupuk keliling. Dan nyatanya, di ahir cerita, si tukang kerupuk menjadi pengantin sang bidadari, dijemput Izrail melalui kereta api cepat jurusan Surabaya-Jakarta. Sementara si Andra, menikah dengan kesendirian dan kesepian, sang sarjana, gadis pujaannya itu tak tau dimana rimbanya, entah dibawa angin atau dirundung penyesalan karena tersadar bahwa si Andra cuman bujang desa, tanpa pendidikan dan masa depan.

Malang adalah penghalang. Bagaimanapun adanya, dan kapanpun zamanya, kemiskinan adalah bagian tak terpisahkan dari tetesan air mata. Bagaimanapun adanya, si miskin dan si kaya tidak dapat disatukan begitu saja. Walaupun dalam satu waktu, si miskin bersanding dengan si kaya, si kaya psati menaruh harapan akan adanya timbal balik dari si miskin. Sebagaimana Sultan Trenggono memilih si santri miskin untuk dijadikan menantu. Ya, Raden Santri punya nilai lebih yang memungkin Sultan Trenggono memungutnya menjadi menanti.Sedang si Andra, apa yang mau dijadikan tebusan dari dirinya supaya bisa bersanding dengan putri keraton yang sarjana itu. 

Andra sekarang majnun. majnun yang sebenar-benarnya majnun. Bukan kegilaan dari Qais yang merindukan Laila. Bagaimanapun, Laila masih dapat diendus dalam sukunya. Semerbak badannya masih dapat dinikmati melalui bisisk angin. sementara si Andra hanya dapat meraba angin, bahwa sigadis sarjana pujaannya telah dibawa bianglala.

Derita Andra tak kurang dari perih Tegar ketika turun dari gunung Rinjani dengan membawa  hati penuh luka. Luka yang sepantas dan sepatutnya akan menjadi bunga warna-warni penuh cinta bila saja ia paham akan makna kesempatan. Nyatanya, kesempatan memperdayanya. Ia merasa aman dengan waktu yang telah memberi kesempatan kebersamaan dengan Rosie selama dua puluh tahun. Nyatanya, dua puluh tahun tak memberinya kesempatan untuk dapat mengatakan cinta kepada gadis pujaanya. Dan, Nathan datang pada waktu yang tepat. Rosie terpikat. Waktu dua bulan dapat mengubur kesempatan selama dua puluh tahun. Andra dicurangi waktu, ia tak lagi perlu memahamai kata kesempatan. Kesempatan adalah ketika sigadis menghilang dengan sebelumnya menitipkan belati berasarung cinta. 

Malang adalah kecurangan, dan kepalsuan.

  

Jumat, 05 Juli 2013

Anak Mengkafirkan Bapaknya

Terkait dengan kritik-mengkritik, khazanah islam punya disiplin ilmu tersendiri yang dinamai dengan adabul bahtsi wal munadzoroh, satu disiplin ilmu yang menjelaskan bagaimana tata cara berdialog, mengemukakan pendapat dan mengkritik lawan tanpa saling merendahkan, tanpa ada caci maki dan tanpa ada sikap anarkis dan adu jotos.

Beda pendapat itu hal yang lumrah, fitrah manusia. Maka, tidak  menjadi aib ketika anak dan bapak, atau antara sesama saudara kandung berbeda pendapat. Hal itu masih dalam batas kelumrahan. Maklum, otak mereka berbeda, walaupun jasad mereka tercetak dari cetakan yang sama. Lebih lumrah lagi bila antar mereka tidak terdapat hubungan darah atau hubungan emosional, maka perbedaan adalah sangat wajar terjadi.  

Muhamad bin Sulaiaman Al Kurdi, seorang tokoh Syafi'i yang bermukim dan wafat di Madinah dalam bukunya, Al fawaid al Madaniyah mengatakan bahwa perbedaan pendapat adalah fitrah manusia, perbedaan pendapat diantara anak dan bapak juga termasuk dalam hal yang lumrah dan wajar. Imam Haramain seringkali bersilang pendapat dengan bapaknya dalam masalah hukum. Seringkali imam Haramain mengatakan bahwa pendapat bapaknya adalah keliru, bahkan seringkali beliau dengan pedas mengkritk pendapat bapaknya dan mengatakan bahwa pendapat tersebut sama sekali tak berdasar dan sebagaianya. Akan tetapi, patut diingat, bahwa Imam haramain dalam mengemukkakan pendapatnya selalu  berdasarkan atas dalil dan hujah yang kuat. Disamping itu, beliau hanya mengkrtik pendapatnya saja, bukan mengkritik si pemilik pendapat. Dan juga Imam Haramain berpegang teguh pada kaidah tawashau bil haq, jadi tidak ada unsur pelecehan dan pengurangan kehormatan pada diri orang  yang dikritik.

Jauh sebelum era Imam Haramain, perbedaan pendapat diantara anak dan bapak terjadi pada diri sahabat Umar dan anaknya, Abdullah bin Umar. Umar adalah sosok mujtahid yang berhaluan ahlu ra'yi, sedang anaknya adalah seorang mujtahid yang berhaluan nashi, bahkan sangat masyhur sebagai sahabat yang mempunyai fanatisme tinggi kepada nabi, hal apapun yang dikerjakan nabi pasti dikerjakan oleh Abdullah, sampai-sampai tempat yang pernah dikunjungi nabi pasti didatangi oleh Abdullah. Perbedaan diantara keduanya sudah pasti terjadi, lantaran cara pandang dan proses dalam menelorkan satu hasil ijtihad. Pun begitu, mereka, anak dan bapak tidak berkurang dalam menghormati dan menyayangi, tidak bersambung pada penodaan kehormatan orang tua dan caci maki.

____________________________________

Selama setahun ini, dari Juni 2012 sampai awal Juli 2013, seringkali terjadi kritik tajam dari seorang anak kepada bapaknya. Seorang bapak yang telah diakui ke-ulama-annya dikritik secara frontal oleh anak-anaknya sendiri yang masih baru mengerti huruf hijaiyah. Seringkali sang bapak dituduh sebagai bapak yang dzolim, bapak yang kafir, bapak si penganut bid'ah dan tuduhan-tuduhan lain. Si anak merasa bahwa bapaknya telah keluar dari keislaman yang sebenarnya, maka sudah menjadi kewajibannya untuk melaknat dan memberi cap kafir pada sang bapak. Mereka merasa bahwa ini adalah bagian dari amar maruf nahi munkar, dimana pahala adalah janji yang telah diikrarkan oleh sang pencipta atas perbuatan tersebut.

Mereka tidak sadar bahwa kebenaran versi mereka adalah kebenaran minoritas yang belum dapat dipertanggung jawabkan. Sedang kebenaran yang dijanjikn berada dalam tangan mayoritas. Mereka tidak menyadari bahwa mereka adalah anak kecil yang baru bisa membaca tanpa dapat memahami apa yang mereka baca. Sedang bapaknya adalah seorang pakar, sudah mengetahui manthuq dan mafhumnya.

Mereka tidak merasa bahwa selama ini mereka menyusu dan diberi kehidupan oleh sang bapak. Visa tingal yang mereka peroleh, biaya hidup yag mereka dapatkan, dan kesempatan mereka hidup dan belajar di bumi para nabi ini juga pemberian dari ayah mereka, Al Azhar. 

Sampai detik ini, saya tidak memahami apa yang ada dalam otak mereka. Jikalau mereka ingin belajar di Al Azhar, mengapa mereka tidak belajar di ruak-ruak Al Azhar dan ulamanya. Mereka malah belajar pada orang yang memusuhi dan selalu merongrong martabat bapaknya. Benar kiranya apa yang disampaikan oleh Dr.Sayid Thontowi, grand Syeikh Al Azhar yang wafat pada tahun 2010 silam, bahwa siapapun yang belajar di Azhar dan tidak sesuai dengan manhaj Azhar dalam berpikir dan bertindak, maka sebutan yang layak baginya adalah walad sifah alias anak haram dari Al Azhar. 

Berikut ini penjelasan tentang sikap yang diambil oleh grand Syekh Azhar 





ورد إلينا الكثير من التعليقات التي تتهم #شيخ_الأزهر بأنه كان عضواً في لجنة السياسات بالحزب الوطني.. والكثير يردد هذه الكلمة ولا يعرف معناها، بغرض لإساءة لفضيلته و #الأزهر_الشريف بأنه خضع لحاكم بعينه

وهذا توضيح يرجى نشره ليعرف الناس الحقيقة وتتوقف الإتهامات الزور و المتكررة لفضيلة شيخ الأزهر.. فتحققوا مما تقولون ، وكفى بالمرء إثماً أن يحدّث بكل ما سمع:

الإمام الأكبر لم يكن عضواً بلجنة السياسات مطلقاً

فهناك ما يسمى: "المكتب السياسي"، "ولجنة السياسات"..والثانية هي التي ترسم سياسات الحزب الحاكم وطريقته في إدارة البلاد، أما المكتب السياسي فهو يستشار في المسائل ذات الأهمية في أمور الحكم، هكذا ينبغي أن يكون، ولجنة السياسات كلها ينبغي أن تكون من رجال الحكومة، بينما يصح أن يوجد في المكتب السياسي مجموعة من المدنيين البعيدين عن الحزب أو الحكم.
وفي عهد الدكتور عبد الفتاح الشيخ، طلب شيخ الأزهر طنطاوي من الرئيس أن يجعل رئيس جامعة الأزهر عضواً بالمكتب السياسي كنوع من البروتوكول، فلم يوافق، وتكرر الطلب في عهد عمر هاشم، ووافق الرئيس في أواخر عهد الدكتور عمر، ولم يطبق القرار إلا بعد تولي الشيخ الطيب رئاسة الجامعم للمكتب السياسي ليس لأنه أحمد الطيب، بل لأنه رئيس جامعة الأزهر، واعتبر هذا يومها إحترام للأزهر، فكان الدكتور الطيب والدكتور عائشة راتب وحدهما المدنيان اللذان أُلحقا بالمكتب السياسي.

وللعلم كل أعضاء المكتب السياسي أعضاء بلجنة السياسات، عدا الطيب وعائشة راتب! ولم يحضر الإمام الأكبر إلا مرة واحــدة، في إجتماع المكتب السياسي، والمرة الثانية، تأخر ساعة عن الموعد، فمنعوه من الدخول.

هذا هو الحال، وأظن أن هذا الأمر لا يعرفه كثيرون ممن يسيئون للإمام الأكبر.
ــــــــــــــــ
فضيلة الشيخ حمد الله الصفتي

  

Grand Syeikh;Mursi

Mursi turun diartikan dengan ancaman yang sangat serius terhadap umat islam dan kebebasan beragamanya. Mursi turun diartikan dengan kekalahan kaum muslimin dari zionis, ekstrimis dan liberalis. Mursi turun disamakan dengan penodaan terhadap islam. Mursi turun disamakan dengan runtuhnya pamor kaum muslimin. Mursi turun juga melegalkan hujatan dan cacian pada grand syeikh Azhar.

Apakah Mursi repr
esentasi dari pemimpin islam terbaik dunia?
Apakah Mursi sudah layak merepresentasikan keislaman mayoritas muslim dunia?
Apakah penutupan arrahmah dan konconya merupakan hambatan dalam menyebarkan dan memberikan pemahaman tentang islam sebenarnya?
Apakah kiprah dan apa yang telah diperbuat grand syeikh Azhar untuk kaum muslim dunia dapat disandingkan dengan kiprah Mursi ? Sehingga mengelu-elukan Mursi dan menghujat, mencaci-maki grand Syekh.

Aku tambah tak mengerti, mereka telah disusui Azhar selama bertahun-tahun.
Aku tak paham dengan alur pemikiran mereka sebagaimana mereka kehilangan pemahaman tentang apa yang mereka lakoni.

Selasa, 02 Juli 2013

Mesir Bergolak

Al kisah, Mesir dibawah kekuasaan dinasti Ayubiyah dan Mamalik mengalami goncangan besar dalam bidang ekonomi, sosial dan politik. Perebutan kekuasaan sesama anggota klan Ayubiyah kemudian penggulingan dinasti Ayubiyah oleh dinasti Mamalik dan seterusnya adalah perebutan diantara keluarga Mamalik tercatat sebagai rekam hitam dalam ranah politik. 


Dalam ranah sosial, pengangguran merajalela, kemiskinan, kelaparan dan tindak kriminal ada di setiap sudut wilayah Mesir. Puncaknya adalah ketika air sungai Nil tak lagi mau mengalir pada tahun 597 H./1200 M. Kekeringan yang melanda Mesir selama tiga tahun menyebabkan kelaparan masal. Harga satu ardab gandum mencapai 100 dinar, itupun sangat langka di pasaran. Anjing, kucing dan hewan liar lain ludes diembat. Sampai-sampai antar manusia memakan saudaranya sendiri. Bila seorang dokter diundang warga, bukan obat yang mereka harapkan, akan tetapi daging sang dokter yang diincar. Ditambah dengan pajak tanah yang mencekik, penimbunan barang dan praktek2 dzolim penguasa.


Pun begitu Mesir masih punya nilai tawar dalam perpolitikan global, terbukti dengan kekuatan militernya yang masih disegani. Wal hasil, bobrok di dalam masih harum di luar.

Langkah nyata pihak penguasa untuk mengentaskan negara dari krisis multi bidang ini dengan menghidupkan kembali majlis-majlis ilmu dan majlis-majlis dzikir. Mereka mengalihkan isu sosial ekonomi dengan membumikan halaqah ilmiyah dan sufiyah. Pada saat itu, Mesir diuntungkan oleh datangnya ulama-ulama dari Irak dan Maghrib, dan Andalus. Tidak berselang lama, krisis teratasi, Mesir menjadi menara keilmuan dan menjadi markas shufi terbesar.

Bagaimana dengan krisis sekarang, setelah mereka berusaha mengacak-acak institusi islam terkemuka di dunia?

Prof. Dr. Amir an Najar, mengutip Ibnu Iyas dan Al Maqrizi dalam Badai' Zuhur, as suluk dan ighotsatul umah bi kasyfil ghumah

Senin, 10 Juni 2013

Apakah Perlu Merevisi Metode Pembacaan Kitab Kuning


Membaca kitab kuning dengan metode "utawi, iki-iku" adalah hasil ijtihad dari segolongan ulama nusantara untuk memecahkan kebuntuan terhadap persoalan sulitnya menterjemahkan bahasa arab kedalam bahasa jawa dengan derajat kesalahan seminimal mungkin. Konon, yang pertama kali mengenalkan pembacaaan kitab kuning dengan metode utawi iki iku adalah Sunan Ampel. Kemudian, metode ini dikenalkan secara luas oleh para santri dan anak didiknya, diantaranya adalah Sunan Giri, santri sekaligus anaknya, dengan memusatkan pembelajaran di Giri Kedaton.

Metode "utawi, iki-iku" dirasa sangat efektif dalam pendalaman kajian keagamaan yang tidak boleh tidak harus mengacu kepada literatur berbahasa arab. Setelah terjadi pembenahan disana-sini dan masukan dari berbagai ketidak singkronan dalam pemaknaan akhirnya para ulama jawa bersepakat bahwa metode "utawi, iki-iku" adalah metode satu-satunya yang diterapkan oleh setiap ulama pemangku pesantren dalam menggembleng anak didiknya. Pengembangan metode ini beriringan dengan penggunaan tulisan jawa pegon sebagai perangkatnya. Penulisan dengan menggunakan metode jawa pegon menyebar sampai ke negri tetangga, bukan tidak mungkin, metode ini juga ikut terbawa sampai ke sana.

Penyempurnaan metode ini berlangsung sampai hadirnya hadratus syeikh Kholil Bangkalan. Kedalaman beliau dalam ilmu alat dan penguasaan beliau terhadap penggunaan setiap kata dalam bahasa arab mengantarkan metode "utawi, iki-iku" mencapai klimaksnya. Gubahan dan ijtihad beliau bertahan sampai detik  ini. Para ulama yang datang seteah era KH. Kholil tak ubahnya ingin melestarikan saja, tanpa merasa perlu untuk berbenah. Mereka meyakini bahwa metode yang disampaikan oleh hadratusy Syeikh sudah final, tidak ada alasan untuk merevisi atau bahkan merubahnya. 

Banyak dari para kyai yang merasa suul adab bila harus berseberangan dengan makna yang telah mereka terima dari guru-guru mereka. Misalnya, ketika ada ketidak cocokan antara makna murad dan makna literal dari sebuah teks, mereka akan merasa berdosa jika harus meninggalkan makna literal yang ada. Sedapat mungkin makna ini disajikan kepada para santri, alasannya makna inilah yang mereka terima dari para guru pendahulunya. Bila sang kyai bijak, maka mereka akan mewariskan apa yang mereka terima dari pendahulunya kemudian memberikan keterangan tambahan. Tapi, jika sang Kyai bersikukuh dengan makna literal yang diwarisi dari para gurunya tanpa menjelaskan makna yang dimaksud, maka yang terjadi adalah sebuah pemahaman yang rentan berbuah pereduksian dan pengerdilan. Sehingga, golongan kaum santri yang datang setelahnya akan disuguhi oleh sajian kata berbahasa arab dengan pemaknaan literal tanpa mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dari teks itu. Mereka akan disibukan dengan makna gandul tanpa mengetahui mutiara yang tersimpan didalamnya.

Kita akan mengambil beberapa contoh dari pemaknaan ala jawa yang sudah sepantasnya untuk digubah.
1. Kata yasytamilu, biasanya dimaknai dengan mengku, dalam bahasa indonesia diartikan mencakup, meliputi.
2. Al makru, biasanya dimaknai dengan maiko, reka daya
3. Haal, dimaknai dengan kenceng, kontan
4. Ghoriib dimaknai dengan aeng, aneh. 
Dan masih banyak lagi kata-kata yang kalau diperdengarkan kepada telinga orang jawa sekalipun akan terasa aneh dan sulit untuk dipahami. Ini baru pada pemaknaan satu kata, belum lagi bila terdapat idiom, misalnya kata taribat yadaak yang dimaknai dengan gambul lebu opo tanganmu, kata wahalumma jarra yang dimaknai dengan lan mreneho siro, hale/kelawan/apane narik . Dan juga masih banyak idiom yang idak bisa kita pahami hanya dengan makna literalanya. Satu lagi, pembacaan dengan metode ini biasanya tidak mengindahkan istilah-istilah yang dipakai dalam fan ilmu yang sedang dipelajari. misal saja kita mengenal wadh'u, dalam bahasa jawa kita mengartikan dengan kata asal sumeleh, asal sumeleh itu apa? gak tau jawab mereka, sedangkan sang guru juga tidak menjelaskan lanjut apa sebenarnya wadh'u itu.

Sebenarnya, metode "utawi, iki-iku" yang dikembangkan para wali songo dan mencapai klimaksnya dibawah pematangan KH. Kholil Bangkalan sudah dirasa sangat memadai dalam menerjemahkan setiap kata berbahasa arab kedalam versi jawa. Dibandingkan apabila menerjemahkan bahasa arab ke bahasa indonesia misalnya, penerjemahan dari versi arab ke jawa terkesan sempurna, dan penerjemahan dari versi arab ke Indonesia terkesan banyak cacat dan tidak dapat menampilkan bangunannya secara utuh.

Metode yang digunakan ulama jawa tidak hanya melulu melihat bangunan kata, akan tetapi juga mempertimbangkan ta'alluq dan mu'allaqnya, mempertimmbangkan munasabah bainal kalimah, mempertimbangkan penggunaan setiap kata dalam struktur kalimah dengan melihat qorinah yang ada dan seterusnya. 

Walhasil, pelestarian metode utawi iki-iku dirasa sangat perlu tanpa harus meninggakan oto koreksi dan gubahan selayaknya.




  

Jumat, 31 Mei 2013

Imam Ashmu'i RA

Imam Ashmu'i berkata:
Seorang arab badui berdiri dihadapan makam kanjeng Nabi, ia berseru:
Duh gusti, Di tempat ini bersemayam jasad nabi kinasihmu, sedang aku hanya seorang kawula, dan setan adalah musuhmu. Andai gusti berkenan mengampuni hamba, maka nabi kinasihmu akan berbahagia, hambamu ini juga akan tersenyum menang, dan setan musuh gusti akan merana. Jika gusti tidak berkenan, nabi kinasih akan kecewa, setan musuh gusti akan berjingkrak gembira, dan hambamu akan rusak binasa dalam siksa. Gusti adalah tidak akan ridha melihat nabi kinasih menahan kekecewaan, tidak senang melihat setab terbahak membusungkan kemenangan terlebih melihat hamba binasa dalam siksa. Duh gusti, kabilah arab yang pemurah itu jika pemimpinnya meninggal maka mereka akan merdeka, terlepas bebas di depan pusaranya. Makam ini adalah makam pemimpin mayapada, maka atasnya merdekakanlah hamba.

Ashmu'i berkata: Sungguh Alloh telah mengampunimu dan mengijabahi do'amu
 قال الأصمعي رحمه الله : ==============
وقف أعرابياً مقابل القبر الشريف فقال:
اللهم هذا حبيبك ،وأنا عبدك ، والشيطان عدوك ،
فإن غفرت لي ، سُرّ حبيبك ، وفاز عبدك ، وغضب عدوك ،
وإن لم تغفر لي غضب حبيبك ،ورضي عدوك، وهلك عبدك ،
وأنت أكرم من أن تغضب حبيبك ،وترضي عدوك وتهلك عبدك ،
اللهم إن العرب الكرام إذا مات فيهم سيد أعتقوا علي قبره ،
وإن هذا سيد العالمين فاعتقني علي قبره.
قال الأصمعي فقلت:
يا أخا العرب إن الله قد غفر لك وأعتقك بحسن السؤال .

Akad Sewa Dalam Islam



Akad Sewa Dalam Islam

Oleh: Adhi Maftuhin

Pendahuluan

Manusia semakin “cerdas” dalam upaya memenuhi apa yang diinginkan. Terlepas dari adanya “budaya” konsumerisme yang menjamur dalam setiap lapisannya, manusia secara alami mempunyai antivirus yang dapat digunakan dalam mengerem perilaku berfoya-foya. Yaitu, adanya kecendrungan memilih sesuatu produk –barang dan jasa-  yang bernilai ekonomis-praktis. 

Sewa-menyewa adalah akad yang dewasa ini menjadi solusi paling digandrungi dalam meminimalisir pengeluaran –ekonomis- tanpa harus mengorbankan keinginan pelakunya –praktis-. Bagaimana tidak, seorang calon pengantin yang hanya memiliki beberapa lembar uang dapat tampil di depan para undangan selayaknya raja dan permaisuri tanpa harus terlebih dahulu mengelontorkan uangnya untuk membeli gaun pengantin dan dekorasi yang biasanya hanya sekali pakai. Seorang yang bepergian ke suatu tempat tidak perlu repot-repot membangun rumah atau vila ditempat yang dituju. Ia cukup memberikan sebagian uang sakunya dengan imbalan kenyamanan tinggal dalam sebuah hotel. Seorang yang hanya punya dua pounds dapat pulang-pergi kuliah tanpa harus capek jalan kaki dari Asyir ke Husen. Dan masih banyak lagi keuntungan yang didapat dalam transaksi sewa-menyewa.
Melihat geliat cerah dalam bidang jasa (baca:sewa-menyewa), para pelaku bisnis tidak segan-segan menginvestasikan hartanya dalam bidang ini. Maka, tumbuhlah jasa penyewaan dalam berbagai bentuk  dan ragamnya.

Ulama klasik telah memetakan dan mengupas secara mendalam bahasan sewa menyewa dalam empat poin utama yaitu pertama, mengenai komoditi yang dapat disewakan, yaitu  meliputi ijarah ‘ain dan ijarah fi dzimmah, kedua,legal-formal dalam bahasan shighot yang digunakan dalam bertransaksi, ketiga, batasan manfaat yang dapat dijadikan barometer sah dan tidaknya sebuah akad dan yang terahir adalah bahasan mengenai pelakunya (Mujir dan mustajir/ mukri dan muktari).
Hal ini tidak lain karena mereka para ulama ingin memberikan ruang gerak yang bebas-terbatas bagi pelaku sewa-menyewa sehingga tidak keluar dari asas hubungan timbal balik yang proporsional diantara kedua pelaku dalam menerima dan menyerah terimakan hak dan kewajiban mereka berdua. Adanya kenyamanan dan pelayanan yang baik bagi penyewa dan adanya keuntungan materi bagi si pelaku bisnis (mujir/mukri).

Tak pelak, kebutuhan untuk mengkonversi hasil ijtihad ulama terdahulu untuk kemudian dituangkan secara aplikatif dalam rangka memberikan solusi dan  menjembatani pelaku bisnis penyewaan dan kliennya dalam penyerah-terimaan hak dan kewajibannnya adalah hal yang tidak mungkin dihindari. 
Untuk lebih jelasnya mari kita bahas bersama transaksi sewa-menyewa dalam islam ditilik dari perspektif empat madzhab dengan mendudukan transaksi sewa-menyewa dalam madzhab Syafi’I sebagai acauan utama dan mengkomparasikanya dengan tiga madzhab yang lain. Sedangkan referensi utama yang digunakan adalah kitab Bidayatul Mujtahid dan kitab Minhaj berikut beberapa syarahnya.  
Pengertian sewa.

Sewa menurut bahasa adalah nama bagi upah –ujrah-, diambil dari fi’il madhi Aajara, yu’jiru, iijaran atau dari kata ajara, ya’juru, ajran, keduanya bermakna ujrah[1]

Menurut Ulama Syafi’iyah, akad sewa adalah: akad untuk mengambil manfaat suatu barang yang diketahui secara pasti, manfaat tersebut memang dituju, dapat diserah-terimakan dengan adanya imbalan yang disetujui kedua belah pihak[2]. Secara lebih singkat Imam Nawawy memberikan definisi sewa sebagai akad yang berfungsi memberikan manfaat suatu barang dengan adanya imbalan dari pihak penyewa dengan syarat-syarat tertentu.[3]

Akad sewa menurut Ulama Hanafiyah adalah akad untuk mengambil manfaat suatu barang dengan adanya imbalan[4]

Ulama Malikiyah mendifinisikan akad sewa sebagai akad yang berfungsi memberikan hak kepemilikan atas manfaat suatu barang tertentu dengan imbalan tertentu pula.[5]  
     
Sedang Ulama Hanabilah memberikan definisi akad sewa sebagai jual beli atas manfaat suatu barang.[6]

Dari keempat definisi diatas semuanya bersepakat atas dua poin, yaitu pertama, harus adanya manfaat sebagai objek akad dan kedua adalah adanya tsaman yang diberikan kepada pihak pemberi sewa yang berfungsi sebagai imbalan atas manfaat yang telah dinikmati oleh pihak penyewa.
Mencermati definisi yang diberikan oleh Imam Qolyuby seperti yang telah disebutkan diatas, kita dapat meraba sejauh mana gambaran akad sewa yang diperbolehkan oleh syara’, yaitu:

Pertama, sewa adalah sebuah akad[7], maka agar akad dapat diterima oleh kedua belah pihak maka harus ada keridoan diantara keduanya. Keridoan dapat diketahui dengan  adanya shighat yang diucapkan oleh kedua belah pihak. Ijab dan qabul adalah dua hal yang terkandung di dalamnya.

Kedua, adalah berkenaan dengan objek sewa. Objek dalam akad sewa adalah manfaat, makanya setiap akad kepemilikan atas sebuah barang dikecualikan dari sewa-menyewa.

Ketiga adalah batasan-batasan yang harus ada pada objek akad. Yaitu manfaat yang dijadikan komoditi dalam akad sewa harus memenuhi kriteria ma’lum, maqshud, qobilat lil badzli wal ibahah. Secara gamblang Imam Qolyubi menjelaskan pengertian dari masing-masing kriteia dengan cara mengeluarkan afrad yang tidak termasuk dalam definisi. Dari kata ma’lum Imam Qolyuby mengecualikan akad Ju’alah[8] yaitu akad atas manfaat yang belum diketahui secara pasti dengan adanya imbalan tertentu. Dalam literatur  klasik biasanya dicontohkan dengan kesepakatan untuk menemukan barang yang hilang dengan adanya imbalan tertentu. Kata maqshud mengecualikan manfaat yang tidak mempunyai nilai jual[9], dalam kata lain manfaat tersebut harus bernilai ekonomis. Seperti halnya menyewa durian untuk diambil baunya.[10]  Terahir adalah qobilah lil badzli wal ibahah. Dari batasan ini para fuqoha mengecualikan setiap manfaat yang tidak dapat diserah terimakan seperti manfaat yang diambil dalam alat reproduksi dan manfaat yang diambil dari  jariyah.

Keempat adalah adanya imbalan yang diberikan oleh penyewa kepada pemberi sewa sesuai dengan kesepakatan diantara keduanya.[11]

Kelima adalah pelaku dalam akad yang meliputi mu’jir/mukri dan musta’jir/muktari.

Sandaran Hukum

Ijarah adalah akad yang dipraktekan oleh umat manusia jauh sebelum masa nabi. Hal ini terekam dalam Al Qur’an Surat Al Qoshosh ayat 27 : Sungguh aku ingin menikahkan engkau dengan salah satu dari dua putriku ini. Ayat ini bercerita tentang pernikahan nabi Musa dengan salah satu putri nabi Syuaib dengan mas kawin berupa penggembalaan kambing –manfaat- selama tujuh tahun.  Terlepas dari perbedaan ulama mengenai akad sewa dalam contoh masalah seperti ini, apakah masuk dalam kategori ijarah ‘ain atau ijarah fi dzimmah[12], para ulama bersepakat dalam poin diperbolehkannya akad sewa menyewa melihat rukun yang telah dipenuhi. Yaitu, adanya mujir dan musta’jir, shigot, manfaat yang diperoleh oleh nabi Syueb sebagai penyewa jasa dan tsaman/’iwadh yang diperoleh oleh nabi Musa berupa mas kawin sebagai imbalan dari keringatnya. Sedikit melenceng dari permasalahan sewa-menyewa, ayat ini juga berbicara tentang batasan-batasan mahar dalam bab nikah, yaitu harus berupa sesuatu yang punya nilai, baik berupa barang atau manfaat.
Dalil kedua dari Al Qur’an mengenai akad sewa adalah surat At Talaq ayat 6:  “Jika mereka  (perempuan) menyusui anak-anak kalian maka berikanlah upah –yang sesuai- kepada mereka”. Ayat ini juga memberikan pengesahan terhadap akad manfaat dengan adanya imbalan yang sesuai. Keempat rukun dalam akad sewa telah terpenuhi yaitu adanya dua pihak yang berakad, shighot, adanya manfaat yang diperoleh oleh pihak penyewa dan terahir tsaman yang diperoleh oleh pihak pemberi sewa.

Ada banyak hadits nabi yang membincangkan akad sewa, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA dan diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab shohihnya[13]. Hadits tersebut berbunyi: Rasul dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari Bani Dail –dia masih memeluk agama para leluhurnya- yang ditugaskan sebagai penunjuk jalan, Nabi dan Abu Bakar menyerahkan kendaraan dan perbekalan kepadanya untuk diserahkan kembali setelah lewat tiga malam di gua Hira. Dari hadits ini para ulama memperbolehkan akad sewa diantara muslim dan non muslim sebagaimana diterangkan nanti dalam syarat dan rukun akad sewa.

Hadits kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah[14] : Jabir bin Abdillah menjual onta miliknya kepada nabi dengan syarat menaikinya sampai Madinah.  Hadits ini membicarakan tentang akad sewa dengan dibarengi syarat sebagaimana akan dijelaskan pada bab selanjutnya.

Hadits ketiga adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah[15] : Berikanlah upah kepada para pekerja sebelum keringat mereka kering. Hadits ini berbicara tentang hak dan kewajiban bagi pelaku akad sewa beserta adabnya.

Rukun dalam akad sewa

Rukun sewa terbagi menjadi tiga[16]. Pertama, pelaku sewa-menyewa (mu’jir dan musta’jir). Kedua, Obyek transaksi dan alat tukar (ma’qud alaih) yang berwujud manfaat suatu barang dan imbalan/upah. Ketiga adalah shighot (ijab dan qabul).

Sepintas, rukun dalam akad sewa merupakan replika dari rukun yang terdapat dalam akad jual-beli.[17] Ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam akad jual beli juga diterapkan dalam akad sewa. Misal saja pada ketentuan-ketentuan yang ada pada diri ‘aqid, pembagian syarat dan seterusnya. Baiklah, kita akan membhasa lebih jauh hal-hal yang berkenaan dengan rukun sewa-menyewa.

Rukun pertama dalam akad sewa adalah adanya dua pihak yang saling sewa-menyewakan. Syarat yang harus terpenuhi dari kedua belah pihak sehingga akad sewa menjadi sah adalah terpenuhinya syarat yang terdapat dalam diri penjual dan pembeli yang meliputi adanya kecapakapan[18] dalam diri penjual dan pembeli dan tidak adanya unsur paksaan diantara kedua belah pihak.  Sedang menanggapi ketentuan berikutnya yaitu persyaratan keislaman pembeli dalam beberapa kasus karena dihawatirkan akan melecehkan terhadap nilai yang terdapat dalam agama atau munculnya disintegrasi bangsa misalnya, dalam akad sewa tidak disyaratkan si penyewa harus seorang muslim.
Diceritakan bahwasanya sahabat Ali KW. Mempekerjakan diri sebagai tukang siram tanaman kepada seorang yahudi dengan imbalan satu biji korma per satu ember[19].  Melihat cerita ini maka bekerja kepada non muslim dihukumi boleh asalkan pada lapangan pekerjaan yang memerlukan keahlian husus[20].

Rukun kedua dalam akad sewa adalah shighot. Berkenaan dengan masalah shighot, penulis ingin membandingkan ketentuan-ketentuan yang terdapat didalamnya menurut pandangan Ulama Hanafiyah dan Ulama Syafi’iyah.
Menurut ulama Hanafiyah ada beberapa poin yang harus diperhatikan terkait dengan shighot. Diantaranya adalah adanya keridhoan diantara kedua belah pihak, barang yang akan diambil manfaatnya dapat diserah-terimakan, hal yang akan dikerjakan oleh pihak musta’jir tidak termasuk dalam kategori fardhu dan wajib bagi mu’jir, dan manfaat yang akan diterimakan bernilai ekonomis.[21]

Ulama Syafi’iyah memberikan batasan shighot dalam akad sewa sama persis dengan batasan yang ada dalam bab jual beli. Diantaranya adalah adanya kesesuaian antara ijab dan qabul, tidak ada pemisah antara ijab dan qabul yang menyebabkan akad dapat dianulir, dan terahir adalah adanya batas waktu tertentu.[22] Poin terahir ini kiranya tidak terdapat dalam shighot jual beli dikarenakan penyerahan kepemilikan dalam bab jual beli bersifat permanen. Berbeda dengan penyerahan barang yang akan diambil dalam bab sewa yang bersifat temporal. Bahkan, jika dalam shighot sewa mencantumkan pemanfaatan suatu barang dengan kadar waktu yang tidak ditentukan/ selamanya akan merusak akad.

Mengkomparasikan kedua pendapat tersebut diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa madzhab Syafi’i menerapkan aturan ketat dalam masalah shighot.[23] Hal ini memang termasuk ciri-ciri dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan jargon legal-formal dalam masalah mumalah. Keputusan Imam Syafi’I dalam menerapkan aturan legal-formal dalam masalah muamalah bersumber dari kehati-hatian beliau berkenaan dengan keridhoan kedua belah pihak dan juga untuk menghindari kesalah pahaman diantara keduanya. Dikemudian hari, aturan legal-formal yang dipelopori oleh Imam Syafi’i ternyata populer dikalangan pelaku bisnis jasa demi menjaga hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak.

Gaya legal-formal yang dikembangkan oleh Imam Syafi’I kemudian dimodifikasi dan diterjemahkan dalam konteks kekiniaan dengan adanya klausul kesepakatan tertulis oleh kedua belah pihak. Sebelumnya, ulama zaman pertengahan banyak memanfaatkan kaidah Al ‘ibrah bil Ma’any Laa Bil Mabany  -kurang lebih artinya adalah standar sah tidaknya sebuah akad terletak pada substansi, tidak terpancang pada shighat yang digunakan- dalam melenturkan kekakuan yang terdapat dalam bentuk shighot muamalah.  Contoh kecil dari kasus ini adalah dalam masalah Al Ijar Al Muntaha bi At Tamlik dan shighot bi’tuka manfa’ataha.[24]

Poin keridhoan dalam bab shighot yang ditanggapi sangat serius oleh Imam Syafi’I ternyata hanya menempati beberapa persen dari batasan shighot yang dapat diterima keabsahannya dalam pandangan Imam Hanafi. Beliau masih menyisakan beberapa syarat yang sebenarnya kalau diteliti lebih jeli tidak termasuk dalam bahasan shighot. Ulama syafi’iyah mengklasifikasinya dalam syarat yang harus terpenuhi dalam pos yang lain, lebih tepatnya untuk poin yang kedua dan seterusnya dimasukan dalam poin kriteria manfaat dan syarat bagi musta’jir, bukannya masuk dalam bahasan shighot.
Hal menarik yang menjadi perbedaan diantara pendapat Syafi’iyah dan Hanafiyah terdapat dalam boleh tidaknya menyewa seseorang untuk melaksanakan ibadah haji dan ibadah sejenis. Dalam ushul madzhab Hanafi dan Syafi’I terdapat kaidah yang berbunyi “Tidak sah menyewa –meminta jasa- seeseorang untuk melaksankan kewajiban yang diharuskan ada niat didalamnya”.[25] Ulama Syafi’iah mengecualikan beberapa ibadah dari kaidah ini, walaupun pada kenyataanya ibadah tersebut harus diniati. Mereka berpandangan bahwa segala ibadah yang dapat diwakilkan -walau harus diniati- masuk dalam objek yang dapat disewakan.[26]  Sedangkan ulama Hanafiyah tidak menempatkan kaidah tadi pada kemuthlakannya tanpa memberikan pengecualian, makanya haji dan ibadah lain yang keabsahannya sangat tergantung pada niatan pelakunya -menurut mereka- tidak termasuk dalam kategori objek akad sewa.

Rukun ketiga adalah ma’qud alaiah, berupa manfaat dan tsaman yang dijadikan upah. Hal pertama yang kita bahas adalah tentang manfaat disertai ketentuan-ketentuannya.
Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, manfaat yang dapat dijadikan objek dalam transaksi sewa-menyewa  harus berupa manfat yang diketahui secara pasti, bernilai ekonomis [27] dan dapat diserah terimakan.[28] Syarat manfaat yang seperti ini menurut versi ulama Syafi’iyah.

Menurut Ulama Malikiyah manfaat yang dapat dijadikan objek transaksi adalah manfaat yang punya nilai ekonomis, dapat diserah terimakan dan tidak merusak barang yang disewakan.

Menurut Hanabilah, standar manfaat yang harus dipenuhi dalam akad sewa adalah manfaat yang berstatus mubah[29] dalam situasi normal menurut pandangan syara’ dan mempunyai nilai ekonomis. Misal, Tony menyewa tenaga Anton untuk memukul Budi. Dalam kasus sewa semacam ini menurut ulama Hanabilah tidak sah, karena manfaat yang dijadikan objek akad tidak diperbolehkan menurut pandangan syara’. Contoh kedua adalah penyewaan pernak-pernik untuk menghias ruangan.  Manfaat semacam ini menurut pandangan hanabilah tidak bernilai ekonomis.[30]

Ulama Hanafiyah tidak memberikan batasan spesifik pada bahasan manfaat. Mereka memboncengkan bahasan manfaat pada bab shighot dan telah dibahas diatas. Maka, kiranya penulis mencukupkan diri dan langsung membahas titik persamaan dan perbedaan diantara empat madzhab.

Kriteria manfaat yang dijadikan objek dalam akad sewa menurut pendapat ke empat madzhab sebenarnya sama, walaupun dengan menggunakan redaksi yang berbeda. Persamaan muthlak diantara ke empat madzhab tersebut dapat dilihat dari dua poin yaitu: pertama, dapat diserah terimakan secara hissy dan syar’i, dan kedua, mempunyai nilai ekonomis. Sedangkan kriteria tambahan menurut madzhab Maliki yaitu pelarangan merusak barang yang disewa dapat ditemukan dalam norma-norma ataupun klasusul perjanjian dalam semua madzhab fikih. Hal ini juga tidak lepas dari adanya kesepakatan bersama antara pihak penyewa dan pemberi sewa bahwa kekuasaan penyewa atas barang yang disewa hanya terbatas pada manfaatnya saja. Kerusakan yang ditimbulkan oleh penggunaan barang diatas batas wajar akan menjadikan penyewa dikenakan biaya tambahan sebagai bentuk dhoman[31], sebuah ganti rugi yang diambil dari pihak penyewa jikalau nanti di akhir masa sewa terjadi hal yang tidak diinginkan karena unsur terlalu berlebihan dalam mengeksploitasi barang yang disewa. Hal inilah yang mendorong pemerintah Mesir menerapkan adanya uang jaminan yang diserahkan bersamaan dengan uang sewa diawal masa sewa. Walaupun pada kenyataannya uang jaminan ini biasanya hangus dan tidak dikembalikan  oleh pihak tuan rumah di akhir masa sewa, baik dengan dalih atau tanpa dalih sekalipun.

Bagian kedua dari rukun ketiga akad sewa adalah tsaman yang digunakan sebagai imbalan kepada pemberi sewa. Telinga kita lebih familiar dengan istilah upah.

Syarat sesuatu dapat dijadikan upah adalah punya nilai ekonomis, atau dapat pula kita bahasakan sesuatu tersebut berharga, sebagaimana halnya syarat yang terdapat dalam alat tukar pada bab jual beli. Syarat selanjutnya adalah dapat diketahui kadar, jenis dan sifatnya (ma’lum), manakala sesuatu yang dijadikan upah bersifat fi dzimmah. Kalau sesuatu yang dijadikan upah bersifat mu’ayyan maka cukup dengan melihatnya.[32] Contoh sederhana dari syarat ini adalah Seseorang yang menggilingkan beras untuk dijadikan tepung tidak diperbolehkan memberi upah dengan tepung yang dihasilkan dari proses penggilingan tadi. Sebagian petani juga masih menggilingkan padi dengan imbalan berupa beras hasil dari penggilingan tadi. Larangan tersebut berangkat dari kekaburan dalam spesifikasi jenis, kadar dan sifat dalam upah serta ketidak mampuan dalam memberikan upah secara kontan . Ulama syafi’iyah menembungkannya dalam satu kaidah “ Tidak diperkenankan -bagi penyewa, dalam hal ini adalah petani- memberikan upah –kepada pemilik penggilingan padi- dengan sesuatu yang diambil dari manfaat yang  baru saja dihasilkan  olehnya ”.

Senada dengan ulama Syafi’iyah, ulama Hanafiyah memberikan batasan berupa “Upah tidak boleh diambil dari manfaat yang dihasilkan oleh ma’qud alaih ”[33]. Secara lebih gamblang dapat ditembungkan antara upah yang akan dijadikan imbalan dan ma’qud alaih satu jenis.  Misal, si A menyewa rumah kepada B dengan upah si B menempati rumah si A. lain cerita jika yang dijadikan alat pembayaran dalam sewa rumahadalah manfaat yang diperoleh kendaraan misalnya. Maka hal tersebut boleh karena jenisnya berbeda. Selain itu ulama hanafiyah juga mensyaratkan upah berupa sesuatu yang ma’lum yaitu berupa uang, barang yang dapat ditakar dan ditimbang atau kendaraan.

Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang terdapat dalam upah sama persis dengan syarat yang terdapat dalam batasan alat tukar untuk  jual beli. Ada empat syarat yaitu barang tersebut dapat dilihat, bernilai guna, dapat diserah terimakan baik secara hissi dan syar’I, dan yang terahir adalah punya spesifikasi tertentu (ma’lum).

Batasan upah dalam madzhab Hanbali adalah “Segala seuatu yang dapat dijadikan tsaman dalam jual beli fi dzimmah maka dapat dijadikan upah”

Walhasil, dari kempat pendapat madzhab diatas dapat kita simpulkan bahwa sesuatu barang dapat dijadikan upah manakala punya nilai, dapat diketahui kadar, jenis, dan sifatnya (ma’lum)[34] dan terahir adalah  upah tidak diambil dari bentuk jasa yang dihasilkan oleh pihak pemberi jasa atau dari ma’qud alaih itu sendiri. Selain dari itu tidak diperbolekan menjadi upah. Imam Ibnu Rusyd menyedarhanakannya menjadi “Apapun yang dapat dijadikan obyek jual beli dapat dijadikan  upah’’.[35]  “Perbedaan pendapat mengenai apa saja yang dapat dijadikan tsaman dalam jual beli juga menjadi titik perselisihan dalam jenis barang yang dapat dijadikan upah.[36]

Pembagian  Akad Sewa

Melihat barang yang akan disewakan, akad sewa dibagi menjadi dua yaitu ijarah fi dzimmah dan ijarah ‘ain. Ijarah fi dzimah adalah sewa atas manfaat suatu barang, dimana barang tersebut tidak berada pada tangan pemberi sewa ketika akad berlangsung. Sedang ijarah ‘ain adalah akad sewa atas manfaat barang yang ada pada kekuasaan pemberi sewa manakala akad berlangsung. Ijarah fi dzimmah adalah kepanjangan tangan dari bai’ salam, sedang ijarah ‘ain adalah miniatur dari akad jual beli biasa.

Contoh dari ijarah fi dzimmah adalah penyewaan mobil dengan menyebutkan daftar spesifikasi yang dikehendaki oleh penyewa. Sedang contoh dari ijarah ‘ain adalah penyewaan mobil yang ada dan dapat dilihat secara langsung oleh penyewa ketika akad berlangsung, begitu juga sewa atas barang tak bergerak. Perbedaan diantara keduanya adalah ada dan tidak adanya ma’qud alaih dalam majlis akad.
Perlu diperhatikan disini bahwa untuk menjamin hak dan kewajiban bagi pelaku sewa maka perlu adanya spesifikasi yang jelas dalam masalah ijarah fi dzimmah. Misal saja dalam sewa mobil maka harus disebutkan jenis, pabrikan, jarak tempuh, kapasitas barang dalam kg. dan orang yang diperbolehkan, ber AC atau tidak dan seterusnya. Untuk ijarah ‘ain tidak memerlukan penjelasan yang detail dikarenakan informasi yang dikumpulkan oleh pandangan mata terbilang sudah mencukupi untuk memetakan barang yang diinginkan. Hal tersebut berlaku jika  penyewa termasuk orang yang mengusai seluk beluk otommotif. jika sebaliknya, maka bagi pemberi jasa diharuskan memberi tahukan spesifikasi barang yang akan disewa kepada penyewa.[37]      

Perbedaan selanjutnya adalah tentang waktu dan tempat penyerah terimaan upah. Pemberian upah dalam ijarah fi dzimmah harus dalam majlis akad, sedang dalam ijarah ‘ain tidak disyaratkan pemberian upah dalam majlis, boleh saja dibayar belakangan. Alasan mengapa pemberian upah dalam ijarah fi dzimmah harus kontan dan dilaksanakan dalam majlis akad karena ijarah fi dzimah adalah akad salam dengan objek akad berupa manfaat. Disamping syarat tadi, upah ijarah fi dzimah juga tidak boleh ditukar,  jadi hawalah dan dibebas tangguhkan. Sebaliknya, dalam  ijarah ‘ain peraturan tadi tidak berlaku sama sekali. Hal ini berdasar pada landasan hukum asal dalam ijarah ‘ain yang mengacu pada hukum jual beli.

Selanjutnya adalah mengenai waktu pemanfaatan barang sewa. Batas awal pemanfaatan barang sewa dalam ijarah fi dzimmah dapat ditangguhkan sampai batas waktu tertentu menurut kesepakatan. Jika dalam akad tidak mencantumkan batas awal penggunan maka ijarah fi dzimmah berlaku terhitung semenjak akad disepakati. Sedang dalam ijarah ‘ain berlaku sebaliknya.   

Terkait masalah pemanfaatan barang sewa, perlu diketahui juga bahwa batas pemanfaatan barang sewa adakalanya ditentukan dengan memakai standar waktu ada pula dengan memakai standar aktifitas ada pula dengan memakai keduanya.[38] Untuk barang sewa dengan kadar tahan lama dapat disewakan menurut uji kelayakan. Misalkan saja sebuah rumah dapat ditempati secara layak selama lima puluh tahun maka, penyewaan tidak diperbolehkan melebihi batas maksmial.

Ketentuan-ketentuan umum dalam akad ijarah[39]

Ketentuan umum dalam akad ijarah terbilang tidak sedikit. Akan tetapi, secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua bagian. Pertama, ketentuan yang bersifat  mengikat (harus ada) berikut faktor pendukungnya tanpa melihat akan terjadinya sesuatu yang terjadi belakangan. Kedua, membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam rentang waktu penyewaan. Bagian yang kedua ini meliputi hal-hal yang mewajibkan denda, mengetahui rusaknya akad dan terahir mengetahui perbedaan diantara kedua belah pihak.

Masuk dalam bagian pertama adalah masalah penerimaan tsaman. Manakala pemberi sewa menyerahkan barang yang akan disewakan dan dalam akad tidak menyaratkan bentuk  penerimaan tsaman maka dalam hal ini Imam Abu Hanifah dan Imam Malik  mengatakan bahwa pembayaran tsaman diangsur sedikit demi sedikit sesuai dengan besar kecilnya manfaat yang diterima oleh penyewa. Sedang Imam Syafi’I mengatakan jika pembayaran bersifat tempo maka termasuk dalam bab ad dain bi ad dain yaitu penyerahan ma’qud alaih yang bersifat ma’dum dalam waktu akad dengan tsaman yang belum ada juga ketika waktu akad terjadi. Ad dain bi ad dain termasuk hal yang dilarang.

Contoh kasus selanjutnya adalah mengenai penambahan waktu sewa oleh penyewa pertama dikarenakan menyewakannya lagi pada penyewa kedua melebihi batas waktu yang telah disepakati oleh penyewa pertama dan pemilik barang. Imam Malik dan Imam Syafi’I memperbolehkannya, sedang Imam Abu Hanifah tidak. Alasan pendapat pertama adalah  mengkiyaskannya dengan jual beli, sedang alasan pendapat kedua karena termasuk dalam masalah mengambil keuntungan dari barang yang tidak berada dalam jaminan pemiliknya. Alasan selanjutnya adalah termasuk dari bagian jual beli barang yang belum diserah terimakan.

Untuk kasus-kasus yang terjadi dalam bagian pertama sebenarnya masih banyak, hanya saja untuk penyelesaiannya dapat diusahakan antara kedua belah pihak dalam klausul akad.

Bagian kedua meliputi tiga bab, bab pertama adalah berkenaan dengan rusaknya akad dikarenakan sesuatu hal.

Permasalahan yang terjadi dalam rusaknya akad erat kaitannya dengan ikhtilaf ulama mengenai bentuk dari akad ijarah, apakah bersifat lazim atau bersifat jaiz. Golongan ulama yang mengatakan bahwa akad ijarah adalah akad lazim berselisih pendapat mengenai hal yang dapat merusaknya. Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Sufyan Al Tsaury, Imam Abu tsaur dan lainnya mengatakan bahwa akad ijarah tidak dapat dianulir terkecuali bila ada hal yang menjadikannya rusak sebagaimana dalam akad lazim, misal saja adanya cacat dalam ma’qud alaih atau hilangnya manfaat dalam barang yang disewakan. Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya tidak sependapat. Mereka berkata bahwa akad ijarah kapanpun bisa rusak disebabkan adanya hal yang tidak diinginkan terhadap penyewa. Misal saja, penyewa ruko dapat membatalkan akad sewa jika terjadi kebakaran terhadap barang dagangannya atau barangnya dicuri orang.[40]

Selanjutnya adalah perbedaan pendapat mengenai rusaknya akad disebabkan kematian salah satu pihak. Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Ishaq dan Imam Abu Tsaur mengatakan bahwa akad sewa tidak rusak lantaran salah satu pihak meninggal. Sedang Imam Abu Hanifah, Imam At Tsaury, dan Imam Laits mengatakan sebaliknya. Pendapat pertama berhujah bahwa sewa adalah akad mu’awadhoh maka, tidak dapat begitu saja terputus lantaran kematian pada salah satu pihak, hak dan kewajiban diteruskan oleh ahli waris sebagaimana dalam akad jual beli. Pendapat kedua beralasan bahwa kematian dari salah satu pihak memindah status kepemilikan barang yang disewakan dari kepemilikan satu kepemilikan berikutnya. Maka, akad yang disandarkan atas asas jual beli menjadi rusak, yakni dihukumi tidak dapat diteruskan lagi. Selain hujah diatas Ulama Hanafiyah juga memberikan hujah dengan menganalogkan akad sewa dengan akad nikah dalam hal sama-sama akad atas manfaaat. Kematian adalam akad nikah menjadikan nikah secara otomatis terlepas, begitu juga dalam akad sewa. Akan tetapi pendapat yang seperti ini terbilang jauh dari benar lantaran ada jurang pemisah diantara dua akad. Yaitu dalam akad sewa manfaat bersifat dapat diserah terimakan kepada orang lain sedang dalam bab nikah hanya bersifat intifa’, tidak boleh diserah terimakan kepada pihak selanjutnya.

Bab kedua adalah berkenaan dengan dhoman, ganti rugi, denda dan tambahan tsaman sewa yang harus ditanggung oleh salah satu pihak.

Para fuqoha membagi dhoman dalam bab ijarah menjadi dua bagian yaitu, dhoman dikarenakan kerusakan yang terjadi pada barang sewa atau disebabkan melebihi batasan-batasan yang ditentukan dalam klausul akad.  Dan kedua dhoman dengan fungsi untuk menjaga dan merawat ma’qud alaiah, mungkin dapat kita bahasakan dengan uang jaminan.

Pada dhoman bentuk pertama, dhoman dibebankan kepada kepada pihak penyewa[41] manakala kerusakan pada barang sewa disebabkan unsur kesengajaan. Jika kerusakan yang  timbul atau berkurangnya fungsi barang sewa tidak disebabkan karena faktor kesengajaan maka dibebankan kepada pemilik barang. Dalam masalah penambahan waktu sewa dan adanya eksploitasi diatas rata-rata terhadap barang sewa maka bagi penyewa wajib membayar tambahan upah sesuai dengan standar umum yang berlaku. Malikiyah berpandangan bahwa jikalau terjadi kasus seperti itu maka bagi pemilik barang diperkenankan untuk memilih diantara dual hal, yaitu mengambil tambahan uang sewa atau meminta denda atas kerusakan dan berkurangnya manfaat dikarenakan digunakan tidak sebagaimana mestinya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban bagi penyewa untuk menambahkan biaya sewa, bagi pemilik barang juga tidak punya hak untuk menuntut. Yang ada adalah beban denda kepada pihak penyewa manakala terjadi kerusakan atas barang sewa. Dari sini kita boleh saja menyangsikan rasionalitas dari madzhab Hanafi dan memuji madzhab Syafi’I yang sangat proporsional mendudukan antara hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak.

Bentuk dhoman yang kedua ini bersifat relativ sesuai dengan kesepakatan. Biasanya untuk perawatan yang bersifat keseharian akan dibebankan kepada pihak penyewa. Sedang perawatan yan bersifat temporal dan untuk melindungi barang agar tetap dapat memberikan manfaat yang maksimal akan dibebankan kepada pemilik barang. Dalam kitab-kitab fikih dapat kita lihat bagaimana jaminan hak dan kewajiban  diantara kedua belah pihak terjaga dengan baik. Tapi, dalam kenyataan di lapangan banyak terjadi kecurangan dan pelanggaran. Contoh yang kita alami sehari-hari adalah kecurangan dalam penyewaan rumah di Mesir.

Bab ketiga adalah mengenai perselisihan yang terjadi diantara pihak penyewa dan pemilik barang atau pihak pekerja dan penyewa jasanya.

Berkaitan dengan pembahasan ini para ulama juga sudah membicarakannya panjang lebar. Titik temu diantara mereka adalah ingin sekali memberikan keadilan yang seadil-adilnya bagi pihak penyewa dan pemilik barang. Keputusan yang diambil para fuqoha obyektif dan tidak berat sebelah. Menimbang dan memperhatikan objek permasalahan dengan seksama serta memperhatikan saksi bilamana tersedia.

Karena pembahasan yang terahir ini erat kaitannya dengan meja hijau maka, perlu kiranya kita merujuk undang-undang perlindungan hak dan kewajiban bagi penyewa dan pemilik barang. Dan kiranya penulis tidak perlu berpanjang lebar membahas hal ini.
Ahirnya, kritik dan saran sangat diharapkan.


[1] Qolyuby ‘Umairah Hal. 68, Cet. Akhbarul Yaum. Dalam Al qamus, Al Ajru adalah imbalan atas pekerjaan. Sedang dalam Al mu’jam Al wasith, Al Ajru –upah- adalah kompensasi atas pekerjaan yang telah dilakukan atau manfaat yang diterima.
[2] Ibid, Hal. 68
[3] Al Minhaj                                             
[4] Al hidayah syarah Bidayah. Dalam Al Fiqh Ala madzahib Al Arbaah, sewa diberi devinisi sebagai akad yang berfungsi memberikan manfaat yang diketahui secara pasti, dituju kemanfaatannya dengan adanya imbalan. Juz 3. Hal. 72.
[5] Syarh fath Al Jalil. Ulama Malikiyah membedakan istilah sewa barang ringan dan kebutuhan manusia dengan sewa barang yang berat. Untuk yang pertama dinamakan ijarah yang kedua dinamakan Al kara. Ijarah menurut mereka adalah akad yang berfungsi memberikan kepemilikan atas manfaat sesuatu yang diperbolehkan oleh syara’ dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan yang diambil bukan dari manfaat tersebut. Al fiqh Al madzahib Al Arba’ah, Juz 3, Hal. 73
[6] Al kafi. Ulama Hanabilah memberi devinisi ijarah sebagai akad atas manfaat yang diperbolehkan  menurut syara’, bernilai ekonomi, manfaatnya di ambil sedikit demi sedikit dalam tenggang waktu yang ditentukan dengan adanya imbalan. Juz 3. Hal 74
[7] Dalam Mishbah Al Munir kata akad mempunyai makna sesuatu yang dapat mengikat. Juz 2, hal. 421. Dalam lisanul Arab, akad adalah kebalikan dari lepas. Juz 3 hal. 596. Sedang menurut syara’ pengertian akad terbagi menjadi dua, yaitu pengertian akad secara umum dan akad ssecara husus. Akad dalam pengertian yang umum bermakna segala bentuk tasharuf baik tasharuf yang bersifat mandiri dalam periwujudnya atau tasharuf yang dalam perwujudannya harus melibatkan pihak kedua. Contoh pertama adalah sumpah, dan contoh yang kedua adalah jual beli, sewa menyewa dll. Sedang makna akad secara lebih sempit hanya tertuju pada bentuk tasharuf yang harus melibatkan dua pihak atau lebih. Al manar dirasah fiqhiyyah fi ahkam muamalat al maliyah hal .6-9
[8] Khotib Al Syirbiny mengecualikan juga akad qiradh dengan pembagian hasil yang belum ditentukan. Mughnil Muhtaj Juz 3, hal. 378.
[9] Contoh dari manfaat yang tidak punya nilai ekonomis adalah ucapan seseorang dalam rangka menarik pembeli. Hal ini menimbulkan pro kontra ketika melihat fenomena yang berkembang saat ini. Manajemen marketing yang berkembang dewasa ini selalu mengikut sertakan Sales Promotion Girl (SPG) dan sejenisnya, bahkan kita mengenal apa yang dinamakan dengan nama gadis payung dalam arena Moto GP, ada juga “gadis pajangan” yang ditempatkan dalam stand-stand pameran dan swalayan. Bagaimana fiqh menyikapi fenomena tersebut? Imam Qolyubi menyikapi hal-hal semacam ini dengan mengambil mafhum mukholafah, yaitu bilamana manfaat yang diambil dari pemberi sewa sekira membutuhkan kemampuan khusus dan layak disebut ssebagai profesi maka manfaat tersebut terbilang bernilai ekonomis. Sedang dalam masalah gadis payung, SPG dan yang sejenis, pekerjaan tersebut dapat dimasukan dalam kategori akad sewa yang sah, hanya saja menilik factor lain maka pekerjaan tersebut hendaknya dipikirkan kembali. Hal. 69.  Sebagaimana di Mughni Al Muhtaj juz 3 hal. 384.
[10] Manakala durian yang disewa dalam jumlah besar dan memang disengaja menyewa durian untuk pengharum ruangan misalnya maka akd seperti ini diperbolehkan sebab manfaat disini bernilai ekonomis.
[11] Dari poin ini mengecualikan akad-akad yang tidak memerlukan imbalan seperti akad pinjam meminjam, syirkah, memberikan manfaat atas suatu barang wasiat atas manfaat barang dsb. Mughni Al Muhtaj juz 3, hal. 378.
[12] Dalam qolyubi hal. 68 disebutkan apabila ada seseorang mengucapkan aku menyewamu untuk mengerjakan suatu hal –menggembalakan kambing misallnya- maka akad tadi menurut ulama syafi’iyah dapat masuk dalam kategori ijarah ‘ain dikarenakan redaksi yang digunakan dalam shighot akad berbentuk susunan idhofah (Aku menyewamu), dapat juga masuk dalam kategori ijarah fi dzimmah dikarenakan substansi sewa menyewa terletak pada adanya  pekerjaan -yang mendatangkan manfaat untuk penyewa- dari diri mukhotob. Bukan sifat kebendaan yang ada pada diri mukhotob.  
[13] Shohih Bukhori, hadits 3905
[14] Ibid, bab jual beli
[15] Ibnu Majah, hadits no. 2443
[16] Terbaginya rukun akad sewa menjadi tiga adalah menurut pendapat jumhur. Menurut Hanafiyah, rukun sewa hanya ada satu yaitu shighat sebagaimana ikhtilaf dalam bab jual beli. Dalam banyak referensi fikih, rukun akad sewa ada empat. Hal ini mengacu pada pemisahan ma’qud alaih diatas menjadi dua yaitu ma’qud alaih itu sendiri yang hanya memasukan manfaat dan upah berdiri sebagai rukun tersendiri. Qolyubi hal. 68. Menurut al Fiqh Ala MAdzahib Al Arba’ah rukun dalam akad sewa ada 5, Al ‘Aqidani, Al ‘Iwadhain, dan shighot. Juz 3. Hal. 87
[17] Syarah Bidayatul Mujtahid, juz 4, hal. 1795, cet. Dar Salam
[18] Standar seseorang mempunyai kecakapan adalah manakala ia sudah dewasa dan dapat memenej dirinya sendiri serta dapat mengelola keuangannya.  Sewa menyewa yang dilakukan oleh anak kecil, orang yang idiot dan orang yang diputus oleh pihak berwenang  tidak boleh membelanjakan hartanya sendiri dihukumi tidak sah.
[19] At Tirmidzy no. 2473 sebagaimana dikutip oleh Khotib Syirbini. Mughni Juz 3, hal. 379. Imam Qolyubi mengatakan bahwa akad sewa menyewa dengan pihak penyewa seorang non muslim dihukumi makruh. Pro kontra mengenai hukum mempekerjakan diri kepada non muslim dapat dilihat dalam tafsir ayatul ahkam Ali says, tafsir Qurtubhi dll. Sependek pemahaman penulis, ‘illat dari tidak diperbolehkannya mempekerjakan diri kepada non muslim adalah dimungkinkan terjadi pelecehan yang bernuansa sara kepada seorang muslim. Bilamana illat tadi dapat dihindari maka hukum dari mempekerjakan diri kepada non muslim juga berubah. Contoh kecil adalah ketika pekerjaan yang diterima oleh seorang muslim perlu keahlian husus. Lantas, bagaimana hukum bekerja sebagai PRT kepada non muslim sebagaimana banyak terjadi di sekitar kita? Bukankah pekerjaan yang dilakukan oleh sahabat Ali juga tidak memerlukan keahlian husus? Benar adanya bahwa sahabat Ali dalam bekerja tidak memerlukan keahlian husus sebagaimana pekerjan seorang PRT, hanya saja kehawatiran terjadinya pelecehan terhadap sahabat Ali sangat kecil terjadi sedang pelecehan terhadap PRT seakan menanti di depan mata.
[20] Bahs Fiqh Muqoron Univ. Al Azhar tk. 2 tahun 2012
[21] Al fiqh Ala madzahib Al Arba’ah Juz 3 hal. 76, cet. Maktabah Shafa
[22] Ibid, Juz 3 hal. 82
[23] Bahasan shighot menempati poin sangat penting dalam literature ulama Syafi’iyah. Kitab-kitab madzhab Syafi’I terkesan sangat teliti dan detail dalam urusan ini. Lihat misalnya Mughni, Qolyubi Majmu’ dll. 
[24] Lihat Mughni Al Muhtaj juz 3, hal. 380-381,  Qolyubi Juz 3, hal. 68.
[25] Lihat Al Asybah Wan Nadzoir, jalaluludin Al  Suyuthy, lihat juga di Bidayatul Mujtahid Juz 4, hal. 6, cet. Dar Al Hadits.
[26] Mughni Al Muhtaj, Juz 3, Hal. 398, cet. Dar Al hadits
[27] Ibid, hal. 384. Alasan mengapa manfaat yang dijadikan objek akad sewa harus bernilai ekonomis agar supaya terjadi keseimbangan diantara pemberi dan penerima upah, mereka bertukar seseuatu yang sama-sama punya nilai. 
[28]Ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam masalah penyerah terimaan manfaat. Pertama, manfaat tersebut dapat diserah terimakan menurut kaca mata syara’ dan kedua dapat diserah terimakan melihat realitas dilapangan. Penyerah  terimaan manfaat juga tidak terpancang pada manfaat suatu barang yang secara hukum dimiliki secara permanen (milkul ashli) oleh pemberi sewa. Akan tetapi, dapat juga diberikan oleh seseorang yang memiliki manfaat suatu barang secara temporal. Contoh sederhana adalah orang yang menyewa mobil dapat menyewakan kembali mobil yang disewa oleh dirinya kepada orang lain. Ibid, hal. 385  
[29] Imam ibnu Rusyd Al hafid membagi manfaat yang dilarang  oleh syara’ menjadi tiga macam. Pertama, manfaat yang terdapat pada barang yang diharamkan. Kedua, manfaat yang diambil dari pekerjaan yang diharamkan oleh syara’. Semisal manfaat yang diambil dari menangisi orang mati dan upah penyanyi.. ketiga, manfaat yang di ambil dari fardhu ‘ain semisal sholat dan puasa.
[30] Pembahasananya dapat dilihat di catatan kaki nomor 9.
[31] Kekuasaan yang ada pada diri penyewa adalah kekuasan yang tidak menimbulkan adanya ganti rugi jika dalam penggunaan barang yang disewakan tidak melebihi ambang kewajaran. Istilah fikih menyebutkannya dengan yad amanah. Ganti rugi hanya dapat dikenakan kepada penyewa lantaran kesembronoan dalam penggunaan barang. Menurut qaul ashah madzhab syafi’I, penguasaan penyewa atas barang dalam masa sewa atau setelah masa sewa berahir termasuk yad amanah, sedangkan menurut Imam Subky, setelah masa sewa selesai dan barang masih dalam tangan penyewa maka kekuasannya bersifat dhoman. Mughni Al Muhtaj Juz 3. Hal. 409-415.. Dar. Al Hadits  

[32] Mughni Al Muhtaj, Juz 3, hal. 383
[33] Imam At Thohawy sebagaimana diceritakan oleh Imam Ibnu Rusyd berkata: substansi dari pelarangan nabi terhadap praktek pemberian upah penggilingan tepung dengan menggunakan tepung yang dihasilkan oleh proses penggilingan tadi adalah upah yang akan diberikan kepada pemberi jasa masih belum menjadi hak milik si penyewa ketika akad berlangsung, bukan juga termasuk piutang. Pendapat ini juga disetujui oleh Imam Syafi’i. Bidayatul Mujtahid, Juz 4, hal. 10. Dar Al hadits  
[34] Bidayatul Mujtahid, Juz 4, hal. 11, cet. Dar Al Hadits
[35] Bidayatul Mujtahid juz 4. Hal. 6, cet. Dar Al hadits
[36] Ibid, hal. 10
[37] Mughni Al Muhtaj, juz 3, hal. 397
[38] Menurut keteranga diatas, akad yang dilakukan oleh pengguna WC umum sah atau tidak, karena tidak ada batasan waktu dan aktifitas. Begitu juga sewa atas kendaraan umum.
[39] Syarah Bidayatul Mujtahid, juz 4, hal. 1813-1826, cet. Dar Salam
[40]Alasan pendapat pertama berdasarkan Al Qur’an surat al maidah ayat 1, mereka beralasan bahwa sewa adalah akad atas manfaat, hampir serupa dengan nikah. Alasan selanjutnya adalah karena sewa adalah akad timbal balik diantara dua belah pihak maka, tidak dapat rusak jika tidak ada yang menyebabkanya.
Hanfiyah sebagai pelopor pendapat kedua mengatakan bahwa pembolehan membatalkan akad berdasarkan kemiripan dalam hal hilangnya sesuatu yang akan mendatangkan manfaat (keuntungan materi bagi penyewa, (barang dagangan) dengan hilangnya ma’qud alaiah (kios).
[41] Dalam Bidayatul Mujtahid, kerusakan yang ada pada barang sewa serta merta dibebankan kepada pihak pemilik barang tanpa ada perincian. Hal ini menurut penulis terbilang aneh. Karena dalam banyak literatur disebutkan bahwa kerusakan yang disebabkan  unsur kesengajaan dalam penggunaan menjadi tanggungan penyewa. Begitu juga dengan penambahan waktu dan eksploitasi manfaat berlebih pada barang sewa. Melihat Bidayatul mujtahid cetakan Dar Al hadits dan syarahnya, cet. Dar Salam yang bersekongkol melimpahkan beban kepada pemilik barang sewa, rasa-rasanya ada kekeliruan redaksi atau ada mis interpretasi penulis sendiri.