Rabu, 19 Desember 2012

Di Luar Masjid Al Azhar Adalah Api


"Di luar masjid Azhar adalah api" ucap Abu Ahmad kepada anaknya ketika ia mau berpamit. Ahmad yang kala itu masih berumur sebelas tahun meyakini bahwa perkataan bapaknya adalah wasiat yang senantiasa harus di pegang teguh. Makanya, selama hampir enam puluh tahun beliau tidak pernah menginjakan kaki selain areal Masjid Azhar. Hingga pada suatu waktu -Saat Al Azhar memberikan Syahadah Alimiyyah kepada siapa saja yang mampu lolos dari hadangan tim penguji- beliau didesak oleh pengurus ruwak untuk mengikutinya. Pihak pengelola ruwak merasa bahwa beliau sudah terlalu lama tinggal di Masjid Azhar dan sudah tidak ada lagi ulama yang mampu menandingi keilmuan beliau. Dengan tegas beliau menolak. Akan tetapi karena didesak oleh pengelola ruwak, akhirnya beliau menyetujuinya. Mudah saja bagi beliau lolos dari tim penguji. karena kapasitas keilmuan tim penguji masih beberap level dibawahnya.

Konsekwensi dari didapatnya Syahadah Alimiyyah adalah si pemegang syahadah tidak boleh lagi menetap di ruwak Azhar, tak terkecuali beliau. Padahal hati dan segenap perasaannya sudah kadung melebur bersama sudut-sudut ceruk didalam masjid Al Azhar yang ia huni sselama kurang lebih enam puluh tahun.

Dengan didampingi oelh yunior beliau (Guru dari Syekh Ali Jum'ah) beliau melangkah berat menuju pintu keluar masjid. Sebelum kakinya melangkah keluar beliau ragu dan gamang menginjakkan kaki. Beliau julurkan satu kakinya keluar. ragu dan gamang, takut kalau memang benar tanah diluar masjid Azhar panas dan dapat menyemburkan api. Senyumnya mengembang setelah ia merasakan bahwa bumi yang ia pijak ternyata dingin dan tak menyemburkan hawa panas.

Beberapa langkah beliau dikejutkan dengan suara sengau orang berjualan semangka (Bittih). Beliau berhenti. Si yunior yang mengantarkannya tadi bertanya: "Syekh mau Bittikh"?
dengan mimik serius dan agak masyghul beliau menjawab: "Bittih"????? "
"Ya Syekh buah itu bernama bittikh"
"aku mengenalnya dalam kamus Lisanul Arab dan alhamdulillah sekarang disini dapat menjumpainya di alam nyata"
Syekh Ahmad mencicipi semangkanya, akan tetapi beliau memakan kulit luarnya "kok tidak enak"?

Setelah agak jauh dari masjid Al Azhar beliau melihat sosok teman karibnya sewaktu talaqi di masjid Azhar, Sulaiman namanya. Posisi sulaiman pada waktu itu adalah sebagai Qodhi Syar'i.  Dari kejauhan syekh Ahmad memanggilnya dengan nama Sulaiman tanpa ada sebutan Syekh atau yang lain hingga membuat orang-orang yang berlalu lalang mengalihkan mata mereka pada beliau. Maklum saja, Sulaiman adalah orang berpangkat dan sangat dihormati. "Tak punya tata krama" kusak kusuk mereka.
"Kamu sekarang menjad iapa"? tanya Syekh Ahmad.
"Jadi Qodhi Syar'i"
"Subhanalloh!!!!! Bukankah kau dulu yang paling bodoh diantara kami??!!!



Cerita Syekh Ali Jum'ah sekitar dua minggu yang lalu saat pengajian di Masjid Al Azhar 

21/10/2012

Manusia, Makhluk Paling Bermasalah


Sesorang yang beranggapan bahwa dirinya adalah orang yang paling bermasalah dan tak sedikitpun lepas dari lilitan masalah ingin mengahiri hidupnya sehingga ia (beranggapan) akan terlepas dari masalah-masalahnya.


Bagaimana mungkin dia akan lepas dari masalah, karena dia dan masalah adalah saudara kembar yang lahir dengan selisih hanya beberapa detik. Sedari sebelum dilahirkan manusia sudah bermasalah dan sampai pada ahir hidupnya, dan bahkan hingga jasadnya membusuk dan berubah jadi tanah akan tetap memberi "masalah". Ingatkah kalian setalah adam diciptakan dengan keadaanya yang sempurna, hal pertama yang ia torehkan adalah memberikan masalah kepada iblis.Iblis yang sedari diciptakan hidup mewah dan enak di surga harus terusir setelah lahirnya mahluk yang bernama Adam. Ya.. karena Adam bapak kita itu. Setelah itu Adam bermasalah dengan sang pencipta sehingga masalah-masalh baru yang belum ada sebelumnya kian menarik manusia pada berbagai ragamnya. 


Tidak, aku tidak mempermasalahkan Adam, orang pertama kali yang membuat "masalah" dengan Sesembahannya. Tidak pula aku mengecilkan peran Adam sebagai orang yang pertama kali memcahkan berbagai masalah. Aku hanya ingin mengajak kita untuk melongok bahwa dari "sono"nya kita memang mahluk yang dianugerahi dengan berbagai ragam permasalahan dan masalah agar nantinya kita dapat mencari solusi dan memecahkannya untuk seterusnya menghadirkan masalah-masalah baru untuk kemudian dipecahkan oleh kita sendiri atau generasi sesudah kita.


Sebagaimana Adam yang menghadirkan masalah bagi iIblis diawal penciptaannya kita para manusia anak turunnya juga tak bisa lepas dari "kutukan" untuk membuat 'masalah" bagi mahluk disekitar kita. Coba tengok ke belakang, kita sebelum menjadi segumpal darah adalah setetes air, dan sebelum kita menjadi setetes air kita sudah menyisakan masalah kepada mahluk yang digariskan untuk meneteskan dan mahluk lain yang ditakdirkan untuk menerima dan menampungnya. Kita -sebelum menjadi air- telah merepotkan berapa mahluk coba? calon ibu bapak, calon embah, calon sanak saudara dan calon tetangga dan handai tolan. Merepotkan alias membuat masalah memang tidak  bisa lepas dari mahluk yang bernama manusia.


Setelah menjadi air dan kemudian tumbuh menjadi daging, tulang yang dibalut daging dan seterusnya menjadi orok dan bayi, kita manusia juga tak lepas dari menghadirkan masalah. bagi ibu dan bapak dengan kondisi ekonominya yang pas-pasan menghadirkan masalah finansial, bagi kaum cerdik cendekia menghadirkan temuan riset bagi pemerintah menghadirkan masalah kependudukan, dan seterusnya. 


Sampai pada ahirnya guratan takdir mencoba menyuguhkan berbagai "masalah' yang sebenarnya adalah siklus dari permasalahan orang-orang terdahulu dan berbagai kasus baru kepada kita -manusia yang sekarang-  dan hendaknya dipecahkan agar menjadi warisan berharga bagi generasi setelahnya.


Tak pelak, semakin tua dunia yang kita tempati ini semakin banyak pula "masalah" yang akan dihadapi. Akumulusi masalah yang ada pada nenek moyang kita sedikit banyak akan dihadapi manusia sesudahnya dan ada "bonus masalah" yang belum sempat dihadirkan pada zaman sebelumnya untuk dihadapi manusia sekarang agar menjadi warisan pada generasi sesudahnya, dan begitu seterusnya.


Kembali lagi ke akar masalah, setelah manusia mengalami berbagai masalah dan berniat ingin lari dari masalah dan permasalahanya dengan cara yang menurut dirinya adalah cara yang terbaik untuk bisa lepas darinya dan tak akan memberikan masalah bagi orang lain maka sebenarnya dia tetap dan masih akan mewariskan masalah kepada orang lain. jadi, serapi apapun manusia mengemas dirinya agar tidak menjadi masalah bagi orang lain sebegitu gampangnya "sang pembuat masalah" menjadikan kerapiannya sebagai maslah baru. Contohnya adalah masalah mawaris.


Seseorang yang telah berusaha sedikit mungkin menghadirkan maslah bagi dirinya sendiri dan orang lain dikala hidupnya tak akan mungkin menampik masalah yang datang setelah kematiannya. Tak peduli seberapa miskin dan kayanya dia pasti ia akan membuat sarjana mawaris menggerakkan otak untuk menghitung dan mengkalkulasi seberapa banyak harta yang ditingalkan dan berapa bagian yang didapat ahli waris. 


Walhasil, manusia adalah mahluk yang paling bermasalah.


Selasa, 18 Desember 2012

Haji Umroh Masisir Dalam Tinjauan Fikih


Siapapun muslim tau bahwa haji merupakan pilar agama yang ke lima dan dihukumi wajib 'ain. Sedang hukum umroh tidak semua ulama bersepakat akan kewajibannya, sebagian ulama (Hanafiyah dan Malikiyah) mengatakan bahwa umroh cuma sunnah muakkad, dan perlu diingat bahwa kewajiban (sunah muakkad) melaksanakan haji/umroh  diberi qoyyid "bagi yang mampu menjalankannya', tidak diperuntukan bagi selain yang mampu. Yang menjadi pertanyaan, apakah hukum wajib dari haji dan umroh bersifat absolute, tidak dapat diganggu gugat sehingga berbagai jalan -kalau tidak mau mengatakan menghalalkan berbagai macam cara- dan langkah  ditempuh agar dapat  melaksanakannya. Dan dalam ruang lingkup negara masisir yang kita diami ini apakah rakyatnya sudah ditaklif kewajiban melaksanakannya? Setelah pertanyaan pertama dijawab, selanjutnya  adalah ketika haji dan umroh tidak selamanya wajib, -mungkin juga berubah hukumnya menjadi haram-  dan si calon haji/umroh bersikeras melaksanakannya tanpa mempedulikan rambu-rambu pelaksanaan yang telah diatur oleh pihak yang punya wewenang, apakah haji dan umroh warga masisir sah dan mabrur?.

Dari berbagai kejadian yang terjadi dalam komunitas masisir dan telah dikupas tuntas dalam acara warung kopi di rumah budaya akar pada rabu malam 12/9/12 penulis memetik banyak sekali tashowur permasalahan yang terjadi dalam masyarakat masisir, akan tetapi karena keterbatasan tempat maka yang akan dibahas dalam tulisan ini hanya beberapa poin problematika haji/umroh masisir  menurut sudut pandang fuqoha..

Pertama, kita akan membahas apakah hukum haji dan umroh bersifat absolute dan tidak dapat diganggu gugat.

Sebagaimana perintah-perintah Alloh lain selain haji yang tidak bersifat paten, haji dan umroh juga tidak selamanya dihukumi wajib. Pada satu waktu hukum wajib dari umroh dan haji dapat berubah menjadi haram, misal saja Ibadah haji dengan menggunakan harta haram, dapat pula berubah menjadi makruh, sepeti haji yang dilaksanakan tanpa meminta izin dari orang yang wajib dimintai izin, contoh mudah adalah si calon haji sangat dibutuhkan oleh kedua orang tuanya dalam berbagai hal.

Setelah kita tau bahwa ibadah haji/umroh yang hukum aslinya adalah wajib dan dapat berubah menjadi sunah, makruh, haram dan seterusnya, label apa yang akan kita sematkan pada pelaksanaan haji masisir? Lebih tepatnya apakah masisir sudah (masih) berkewajiban untuk melaksanakan ibadah haji dan umroh, padahal kita ketahui bersama bahwa  pintu haji dan umroh (bulan ramadhan) seolah sudah  tertutup, dan untuk membukanya kadang dengan cara paksa atau masuk dari pintu belakang.

Baiklah, untuk dapat mengetahui apakah komunitas masisir berkewajiban haji/umroh atau tidak maka kita harus memperbincangkan dulu masalah syarat.  Melihat Obyek penerima taklif (mukallaf), syarat di bagi menjadi dua yaitu syarat umum  dan syarat khusus. syarat umum adalah syarat yang dikenakan kepada pria dan wanita, sedangkan syarat khusus adalah syarat yang hanya ditujukan untuk kaum hawa saja. Kita ketahui bersama bahwa konsekwensi dari tidak terpenuhinya syarat adalah mukallaf tidak berkewajiban melaksanakan ibadah haji. Sedangkan apabila si calon haji tetap bersikeras melaksanakan haji maka sah atau tidaknya  ibadah yang dilakukan tergantung pada amaliyah ibadah haji yang dilakukan. Walhasil antara kewajiban dan keabsahan ibadahnya tidak saling terkait satu dengan yang lain.

Kembali ke masalah syarat. Yang tercakup dalam Syarat umum adalah syarat sah, syarat wajib dan syarat ijza". Dari ketiga macam syarat tersebut ada syarat yang tercakup dalam syarat wujub dan sah yaitu berupa islam dan berakalnya si calon haji. Maksudnya adalah selain muslim tidak berkewajiban untuk melaksanakan haji, toh andaikan ia menunaikannya maka hajinya tidak sah. Kedua adalah syarat yang termasuk dalam syarat wujub dan ijza' yaitu baligh dan merdeka. Maksudnya, jika seorang muslim belum baligh atau statusnya adalah budak maka ia tidak berkewajiban melaksanakan ibadah haji, andai saja ia melaksanakan haji maka apabila nanti ia dewasa/merdeka dan mampu melaksanakannya maka ia harus mengulang hajinya. Dan yang terahir adalah syarat yang termasuk dalam  syarat wujub yaitu mampu (Istitho'ah) melaksanakan ibadah haji. Dan Syarat yang terahir inilah yang akan  kita ulas bersama.

Istitho'ah adalah uji kelayakan bagi calon haji agar masuk dalam ranah wajib, yakni standar minimum bagi calon haji agar dirinya masuk pada lingkaran orang-orang yang berkewajiban melaksanakannya. Berkenaan dengan istitho'ah, Rasul menjelaskan bahwa orang yang termasuk dalam kalangan istithoah adalah orang yang punya kemampuan untuk berziarah ke Mekah. Hanya saja, dalam menafsiri kata "mampu" para fuqoha berbeda pendapat.

Ulama hanafiyah mengatakan bahwa kata "istitho'ah" mencakup tiga aspek, yaitu kemampuan fisik dari calon haji (istithoah badaniyah), kemapanan financial (istithoah maliyah), yaitu adanya biaya untuk pulang pergi dari tanah air ke mekah dan adanya alat transportasi yang layak dan terahir adalah istithoah amniyah yaitu adanya stabilitas keamanan di perjalanan dan di tanah haram.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa "istithoah" adalah kemampuan untuk sampai ke tanah haram sesuai dengan cara orang kebanyakan, baik dengan cara berjalan atau menggunakan alat transportasi, yakni kemampuan untuk berziarah ke tanah haram saja, tidak memperhatikan apakah nantinya dapat pulang ke tanah kelahirannya atau tidak. Dari devinisi kata "istithoah'' menurut cara pandang ulama Malikiyah maka seorang muslim yang bermadzhab maliki  berkewajiban untuk melaksanakan ibadah haji bila : pertama, mempunyai kekuatan fisik menuju tanah haram, maka orang yang mampu berjalan menuju mekah ataupun orang buta yang mempunyai seorang penunjuk jalan wajib melaksanakan haji. Kedua, Punya kemampuan  financial, untuk masalah mampu dalam bidang financial ulama malikiyah cenderung tasyadud, sehingga orang yang tidak punya kecukupan dalam finansialnya akan tetapi mampu bekerja ditengah-tengah perjalanan menuju mekah masuk dalam kategori wajib haji. Begitu juga  orang yang hanya punya tanah sepetak dan hasil dari tanah tersebut untuk makan anak istri dan jikalau dijual dapat mencukupi untuk biaya ke mekah maka wajib menjual tanahnya, karena ia termasuk dalam kategori orang yang berkewajiban haji.  Dan ketiga adalah adanya keamanan bagi jiwa dan hartanya dalam perjalanan.

Istitho'ah dalam madzhab Syafi'I dibagi menjadi dua, yaitu Istithoah bi nafsi dan istithoah Bi Al ghoir. Ulama Syafi’iyah memberikan tujuh batasan agar si calon haji masuk dalam kategori wajib haji, yaitu: 1. Mampu secara fisik, 2. Mampu dalam bidang financial 3. Adanya alat transportasi  4. Jaminan keselamatan dalam perjalanan 5. Jaminan logistic 6. Adanya mahrom bagi kaum hawa, dan 7. Cukup waktu untuk melaksanakannya setelah semua sarat diatas terpenuhi

Terahir adalah Istitho’ah menurut Hanabilah. Mereka berpendapat bahwa istithoah adalah tercukupinya biaya untuk haji/umroh dan adanya alat transportasi.
Setelah mengetahui konsep istitho’ah menurut empat madzhab sudah barang tentu kita dapat meraba apakah warga  masisir masuk dalam lingkaran wajib haji atau masih berada diluarnya. Penting untuk digaris bawahi bahwa kemampuan dalam bidang financial diatas adalah si calon haji/umroh punya kemampuan sendiri untuk membiayai perjalanan pulang pergi dari dan menuju mekah, dengan kata lain si calon haji membiayainya dari kocek sendiri tanpa meminta kepada orang lain. Bagi yang punya utang harus melunasi utang-utangnya dulu. Bagi yang sudah ngebet banget nikah maka ia wajib mendahulukan nikahnya, dan masih banyak lagi furu’ fikih yang lahir dari pembahasan syarat-syarat diatas. Dan yang harus diperhatikan sekali adalah kewajiban untuk taat kepada aturan pihak yang berwenang dan tidak menempuh jalur belakang atau jalan yang berliku, apalagi sampai memberikan pungli pada preman untuk sekedar mendapatkan visa. Karena hal-hal semacam ini akan menghambat diterima atau tidaknya ibadah haji/umroh kita.

Hal terahir yang akan kita bahas adalah tentang status sah dan tidaknya ibadah haji/umroh masisir beserta kemabrurannya. Telah disinggung diatas bahwa antara kewajiban melaksanakan ibadah haji/umroh dan status sah tidaknya ibadah yang dilakukan tidak ada talazum diantara keduanya. Walhasil, orang yang tidak berkewajiban haji akan tetapi bersikeras melaksanakannya akan mendapatkan status  haji/umroh yang sah asalkan manasiknya telah dijalankan dengan sempurna. Hal ini sama persis dengan sholat yang dilakukan dengan sempurna akan tetapi si musholi memakai pakaian yang dighosob dari temannya. Sholat orang tersebut sah akan tetapi di satu sisi mendatangkan dosa. Hal ini juga berlaku dalam ibadah haji. Contoh mudah dari kasus ini adalah haji takholuf alias haji mbonek. Jika si calon haji melaksanakan ritual ibadah haji dengan sempurna maka hajinya sah, akan tetapi dilihat dari sudut pandang hukum taklify si calon haji melanggar perjanjian dengan pihak travel dan melanggar aturan hukum Negara. Lantas haji yang sudah terinveksi virus haram tersebut apakah masih layak kita  hukumi sebagai haji yang mabrur?


Dimuat dalam Buletin Terobosan Edisi 348.
Mohon kritik dan sarannya.