Anak perempuan
bertubuh bongsor yang umurnya kutaksir belum genap sembilan tahun itu dengan
sigap membelah padatnya penumpang. Tangannya yang seukuran pisang gebrot dengan
gesit menyelipkan satu lembar kertas berukuran sepertiga hvs kepada setiap
penumpang. Aku yang memilih duduk di jok pojok paling belakang juga ikut
kebagian. Tampang kantuk dan tak mau diganggu yang sengaja kupasang sebelum bus
milik pelajar itu meluncur meninggalkan terminal Darrasa tidak membuatnya kikuk untuk membangunkan. Demi koin ia singkirkan
malu.
Minggu, 09 Oktober 2016
Sabtu, 03 September 2016
Tangis, Nil dan Jodoh
Tangis, Nil dan Jodoh
Abdul Malik bin Marwan,
Khalifah Bani Umayah itu asyik berdebat dengan salah satu pentolan ulama Khawarij.
Ditengah asyik-masyuk berdebat, tangis anaknya pecah. Ia menerobos ruang
perdebatan dan memaksa Abdul Malik menggendongnya; agar tangsinya reda. Si
Khawarij seketika berkata, "Sudahlah! jangan kau paksa anakmu untuk diam. Sebab
tangisan akan memberinya banyak manfaat dikelak kemudian hari. Tangisan akan
membuat tulang rahang menjadi lebar sehingga suaranya
akan lantang dan cetar. Tangisan juga akan membuat otaknya semakin cerdas.
Sebab, dengan menangis beban diotaknya akan keluar. Hal itu akan merangsang kerja
otak."
***
Senin, 22 Agustus 2016
Ketika Syekh Mutawalli Sya'rawi Memusuhi Cucu Nabi
Suatu malam, setelah berbincang-bincang tentang masalah
sufisme dan para auliya-Nya, Syaikh Sya'rawi bertanya padaku, "Sudahkah
aku bercerita tentang Sayyida Zainab kepadamu?” "Saya belum pernah dengar,
Maulana". Jawabku.
Syaikh Sya'rawi bercerita, "Aku hidup bertetangga
dengan Sayida Zainab selama 7 tahun. Dari tahun 1936 sampai 1942. Waktu itu,
aku tinggal di Jalan Prince Aziz dekat Benteng al-Kabsh, Distrik Sayyida
Zainab. Statusku pada waktu itu adalah mahasiswa S1 dan kebetulan sedang
menyiapkan diri untuk mengikuti ujian. Singkat cerita aku jatuh sakit. Sakit parah
yang tak kunjung sembuh. Sehingga hal itu membuatku tidak bisa mengikuti
imtihan (ujian). Ujian semester awal tidak dapat kuikuti, begitu juga dengan
ujian semester kedua. Jengkel bercampur sedih. Lha, wong aku selama ini
sudah berusaha mati-matian untuk ikut imtihan malah pas hari itu datang aku
tergelat sakit. Aku mengadu kepada Sayyida Zainab, "Kita (saya) tinggal di sini, di sampingmu, Sittina! Imtihan sudah
terlewati, dua semester pula! Hilang sudah kesempatanku untuk menyelesaikan
kuliah dalam setahun ini."
Sejak saat itu aku membenci Sayyida Zainab. Aku tak
lagi shalat di masjidnya. Aku lebih memilih untuk melaksanakannya di sebuah Zawiyah
(pusat kegiatan tasawuf), Namanya Zawiyah al-Habiba.
****
Kamis, 18 Agustus 2016
Pesan Kemerdekaan dalam Tawa
Tujuh belasan adalah momen membahagiakan
dan sangat kita tunggu-tunggu. Pada saat itulah kita akan diberi uang saku
lebih. Kita juga dapat menikmati keramaian yang datangnya cuma tiga kali dalam
setahun; dua hari raya dan tujuh belasan.
Tujuh belasan akan serasa lebih sempurna
apabila kita memenangkan beberapa cabang perlombaan yang digelar mulai dari
tingkat RT sampai tingkat Desa. Dari kemenangan itu kita dapat nampang disaat acara
pemberian hadiah yang biasanya diadakan bersamaan dengan Panggung Gembira.
Acara ini biasanya digelar pada dua hari setelah tujuh belasan atau kadang beberapa hari setelahnya. Diatas panggung
kita dapat nampang (mungkin sekarang sambil selfi)
dan menggondol hadiah yang biasanya berupa buku tulis, pensil/ballpoin, kaos
atau cuma beberapa lembar piring dan gelas.
Langganan:
Postingan (Atom)