HIDUP dan kehidupan rnanusia merupakan takdir Allah. Manusia tidak dapat
melepaskan diri dari segala ketetapan Allah. Takdir telah meletakkan manusia
dalam suatu proses, suatu rentetan keberadaan, urutan kejadian, tahapan-tahapan
kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk berikhtiar mempertahankan
serta melestarikan hidup dan kehidupannya.
Manusia diberi hak hidup bukan untuk hidup semata, tetapi ia diciptakan
oleh Allah untuk mengabdi kepadaNya. Dalam kerangka pengabdian inilah,
manusia dibebani berbagai taklif yang erat kaitannya dengan ikhtiar beserta
sarana-sarananya dan kemampuan manusia itu sendiri.
Dalam proses tersebut, kehidupan manusia selalu dipengaruhi berbagai
faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, manusia di
dalam berikhtiar melaksnakan taklif, berkewajiban mengendalikan dan mengarahkan
faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupannya, untuk mencapai makna dan
tujuan hidupnya, yakni
sa'adatud darain atau kebahagiaan dan kesejahteraan
di dunia dan akhirat kelak.
Kesejahteraan lahir-batin merupakan cita-cita setiap insan. Kesejahteraan
lahiriah, lazimnya merupakan sarana yang mendasar bagi tercapainya kesejahteraan
batiniah, meskipun ada juga orang yang memperoleh kesejahteraan batiniyah
tanpa mendapat kesejahteraan lahiriyah, menurut ukuran yang lazim.
Indikator kesejahteraan masyarakat -di rnana keluarga/rumah tangga (usrah)
sebagai unit terkecil- memang sulit dirumuskan secara terinci. Namun sekurang-kurangnya
ajaran syari'at Islam dengan konsep fiqih sosial telah banyak menunjang
sebagai isyarat yang mendekati rumusan tersebut.
***
SYARI'AT Islam merupakan pengejawantahan dan manifestasi dari aqidah
Islamiyah. Aqidah mengajarkan keyakinan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan,
termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur
secara terinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari'at
Islam yang dijabarkan secara terinci oleh para ulama dalam ajaran fiqih
(fiqih sosial), ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi
dan ukhrawi kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.
Syari'at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang di
dalam fiqih sosial menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun individual,
muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) mau pun
muthlaqah
(teknik operasionalnya tidak terilkat oleh syarat dan rukun tertentu).
Ia juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalarn bentuk
mu'asyarah
(pergaulan) mau pun
mu'amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi
kebutuhan hidup). Di samping itu ia juga mengatur hubungan dan tata cara
berkeluarga, yang dirurnuskan dalam komponen
rnunakahah. Untuk menata
pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan
yang dijabarkan dalam komponen
jinayah,
jihad, dan
qadla'.
Beberapa komponen fiqih di atas merupakan teknis operasional dari lima
tujuan prinsip dalam syari'at Islam (
maqashid al-syari'ah), yaitu
memelihara -dalam arti luas- agama, akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta
benda. Komponen-kornponen itu secara bulat dan terpadu menata bidang-bidang
pokok dari kehidupan manusia dalam rangka berikhtiar melaksanakan
taklifat
untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi atau
sa'adatud
darain sebagai tujuan hidupnya.
Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, bersifat
saling mempengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syari'at Islam yang
dijabarkan fiqih sosial dengan bertitik tolak dari lima prinsip dalam maqashid
al syari'ah, maka akan jelas, syari'at Is]am mempunyai sasaran yang mendasar,
yakni kesejahteraan lahir batin bagi setiap manusia. Berarti, bahwa manusia
merupakan sasaran, sekaligus menempati posisi kunci dalam keberhasilan
mencapai kesejahteraan dimaksud.
***
SATU di antara masalah manusia adalah masalah kependudukan. Hampir semua
aspek dan faktor kehidupan berkaitan erat dan saling mempengaruhi dengan
masalah ini. Masalah kependudukan seperti tingginya laju perkembangan penduduk,
persebarannya yang tidak merata dan struktur umur penduduk yang relatif
muda, semua berkaitan erat dengan aspek-aspek kependudukan yang cenderung
menimbulkan kerawanan sosial serta ketimpangan pada sektor pendidikan,
kesehatan, ekonomi, ketenagakerjaan, keamanan dan keagamaan. Bahkan dari
rnasalah kependudukan ini kita bisa menelusuri munculnya kerniskinan struktural,
krisis lingkungan dan lain-lain.
Kuantitas penduduk yang tidak terkendalikan, tidak diimbangi dengan
peningkatan sumber daya alam, kemarnpuan dan keterampilan ikhtiar yang
memadai, akan mengakibatkan mafsadah umum dari dimensi duniawiah mau pun
ukhrawiah, dengan timbulnya perubahan nilai-nilai Islam.
Kependudukan menjadi masalah karena ada kesenjangan antara tujuan yang
ingin dicapai pembangunan manusia seutuhnya dengan keadaan nyata yang dihadapi.
Pembangunan merupakan proses perubahan yang secara sadar direncanakan melalui
berbagai campur tangan pemerintah dan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri,
bahwa kegiatan pembangunan yang selama ini berlangsung telah membawa kemajuan-kemajuan
besar dalam kehidupan bangsa. Akan tetapi di samping itu, pembangunan yang
semakin kompleks telah menciptakan berbagai permasalahan pula. Permasalahan
itu menjadi beragam dan yang paling luas implikasinya adalah masalah kependudukan,
karena keterkaitannya yang erat dengan aspek-aspek kehidupan.
Masalah pendidikan anak misalnya, memerlukan fasilitas dan sarana yang
makin luas. Beban orang tua untuk itu makin terasa. Tuntutan kesehatan
anak agar jadi manusia produktif, sehat jasmani dan rohani cukup menarik
perhatian. Pengetahuan dan pengamalan agama serta akhlak anak cenderung
melemah, hingga perlu pengawasan ketat.
Sumber daya alam semakin surut, sementara pengembangan surnber daya
manusia untuk mengelola potensi alam berada dalam posisi persaingan yang
sering menimbulkan kesulitan tertentu, seperti problem pengangguran dan
ketenagakerjaan yang tidak seimbang, dan penciptaan lapangan kerja yang
masih sangat lamban di upayakan.
Masalah-masalah tersebut mengakibatkan tumbuhnya masalah besar yang
cukup memprihatinkan, yaitu perubahan nilai spiritual di kalangan umat
Islam sendiri. Berbagai indikator bisa disebukan, misalnya disiplin sosial
kurang mendapat kepedulian. Solidaritas sosial cenderung melemah. Kepekaan
kaum muslimin lebih banyak tertuju pada hal-hal yang bersifat moralitas
individual yang sensitif, namun tumpul pada hal-hal yang bersifat sosial.
Bahkan yang makin berkembang adalah nilai ekonomi, ditandai dengan memperhitungkan
untung rugi secara material pada hampir semua aktivitas hidup.
Sederet masalah itu akan menjadi berat dan menimbulkan kesenjangan yang
tajam, manakala laju pertambahan penduduk dibiarkan berkembang. Sementara
untuk mengatasi masalah-masalah tersebut belum bisa kelar, karena dikejar
pertarnbahan penduduk yang relatif lebih cepat, tidak seimbang dengan daya
ikhtiar untuk mengatasi masalah kependudukan.
***
MENGATASI masalah kependudukan yang kompleks, yang merupakan masalah
kehidupan yang penting dalam pandangan syari'at Islam, berarti memenuhi
tanggung jawab kaum muslimin yang konsekwen atas kewajiban mewujudkan kemaslahatan
umum (
al-mashalih al-'ammah) sebagaimana dijabarkan dalam fiqih
sosial. Hal ini tercermin misalnya dalam bab-bab
zakat,
fai',
amwal dlai'ah dan lain-lain.
Dalam hal ini, kemaslahatan umum -kurang lebih- adalah kebutahan nyata
masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya.
Baik kebutuhan itu berdimensi
dlaruriyah atau kebutuhan dasar (
basic
need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal
pikiran, jiwa raga, nasab (keturunan) dan harta benda, rnau pun kebutahan
hajiyah (sekunder) dan kebutahan yang berdimensi
tahsiniyah atau
pelengkap (
suplementer).
Dalam ikhtiar mengatasi masalah kependudukan yang erat hubungannya dan
mempunyai implikasi dengan kesejahteraan masyarakat yang menjadi sasaran
syari'at Islam, memang tidak boleh menimbulkan akibat pada hilangnya nilai
tawakal dan nilai imani. Bahkan dengan mengaplikasikan syari'at Islam secara
aktual dalam konteks upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dengan mengatasi
masalah-masalah kependudukan, dapat kiranya lebih dikembangkan nilai tawakal
dan nilai imani. Pada gilirannya, keseimbangan antara aqidah dan syari'at
dapat disadari oleh masyarakat dalam bentuk sikap dan tingkah laku yang
rasional dan bertanggungjawab terhadap eratnya hubungan antara keluarga
maslahah dengan aspek aspek kehidupan yang meliputi bidang-bidang agama,
sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan dan ketertiban dalam rangka
mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
***
UNIT terkecil dari struktur masyarakat adalah keluarga (usroh). Keluarga
yang unsur pokoknya adalah suami, istri dan anak dengan unsur pelengkapnya
yaitu para pembantu rumah tangga (
khadam), merupakan kelompok terbatas
statusnya, namun karena adanya lingkungan dalam setiap kehidupan dan kawasan
pemukiman, maka kehidupan suatu keluarga dengan yang lain akan saling mempengaruhi
sebagaimana yang lazim dalam proses perkembangan sosial. Oleh karenanya
rnembicarakan kemaslahatan dan kesejahteraannya tidak bisa dipisahkan dari
pembahasan tentang masalah kependudukan yang diharapkan bisa diatasi demi
kesejahteraan masyarakat menurut pandangan syari'at Islam.
Konsep keluarga yang serba maslahah memang sulit dirumuskan secara pasti
dan berlaku bagi setiap keluarga. Kemaslahatan dan kesejahteraan pada prinsipnya
bermuara pada pemenuhan kebutuhan. Sedangkan kebutuhan masing masing keluarga
relatif berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Sama halnya bahwa pembagian
rizki dari Allah juga berbeda dan bertingkat, sebagian diangkat lebih tinggi
beberapa derajat di atas yang lain.
Secara umum syari'at Islam rnenggariskan tanggung jawab setiap anggota
keluarga untuk memenuhi kewajiban dalam kaitannya meraih kesejahteraan.
Kewajiban orang tua/suami terhadap anak istri misalnya, bukan saja terbatas
pada kebutuhan pangan, sandang dan papan. Lebih jauh lagi adalah kebutuhan
pendidikan, kesehatan, akhlak dan terutama pengamalan syari'at Islam pun,
menjadi tanggung jawab orang tua/suami. Semua aspek tersebut merupakan
komponen yang apabila dipadukan secara seimbang dan serasi akan menjadi
indikator kesejahterann lahir dan batin.
Suami dituntut memiliki
al ba'ah (kemampuan bersetubuh dan membiayai
kebutuhan hidup keluarga) sebagai kunci kesejahteraan yang rnendasar. Ia
juga bertanggung jawab terhadap keluarga sebagai
qawwam dan terutama
bertanggungjawab terhadap anak-anaknya yang merupakan amanat sekaligus
sebagai
fitnah dan
zinah. Sang istri kemudian mengimbangi
suami semacam itu dengan sikap dan perilaku yang serba
shalihaat,
qaninaat dan
hafidhaat. Sedangkan anak anaknya bersikap
abrar.
Masing-masing unsur rumah tangga saling memberi dan melaksanakan hak
dan kewajibannya. Tentu saja dalam keseimbangan semua faktor tersebut dalam
kehidupan keluarga, harus dilengkapi, bahkan didasari adanya ketenteraman
(
sakinah) dengan penuh kesejahteraan lahir dan batin.
Tidak kalah pentingnya dalam berupaya mewujudkan keluarga yang penuh
maslahah, adalah lingkungan yang sehat. Ini sangat mempengaruhi watak dan
karakter anak pada masa pertumbuhannya yang sangat rawan terhadap situasi
sosial pada lingkungan pergaulannya.
Karena tanggung jawab orang tua (suami istri) terhadap anak baik sebagai
amanat,
fitnah maupun
zinah, maka pembiakan anak dalam
fiqih sosial/syari'at Islam diatur sedemikian rupa, sehingga dalam berikhtiar
mencapai kesejahteraan pun perlu dipertimbangkan keseimbangannya.
Larangan zina misalnya, ini untuk mengendalikan pembiakan anak secara
bebas tanpa adanya tanggung jawab, akibat tidak adanya ikatan melalui lembaga
nikah. Tidak semua wanita boleh diperistri oleh setiap lelaki. Wanita
mahram
dan
mushaharah tidak boleh dijadikan
zaujah (istri).
Poligami sekalipun diperbolehkan, tetapi ada syarat-syarat yang harus dipertanggungjawabkan.
Lebih dari itu, menikahi kerabat dekat yang bukan
mahram sekalipun
boleh, akan tetapi banyak para fuqaha mencegah, karena mengakibatkan anak-anaknya
lemah mental dan intelektual. Semua itu menggambarkan adanya kaitan erat
antara pembiakan anak dengan tanggung jawab orang tua dari berbagai segi.
Dalam hal siapa yang berhak menentukan anak secara ikhtiari, ada beberapa
pendapat ulama. Imam Ghazali berpendapat, anak adalah hak suami sendiri.
Suami berhak menentukan punya anak atau tidak, karena ialah orang pertama
yang akan bertanggungjawab. Ini berarti memberi kesempatan pembiakan anak
untuk menentukan keseimbangannya dengan kebutuhan unsur-unsur kesejahteraan
keluarga yang diharapkan penuh maslahah.
Dari uraian di atas menunjukkan, bahwa pembiakan manusia adalah bagian
terpenting dari masalah kependudukan. Hal itu merupakan pangkal dari pertumbuhan
penduduk, yang cukup luas menjadi pembahasan dalam syari'at Islam/fiqih.
***
KESEJAHTERAAN lahir batin atau
saadatud daaraini merupakan tujuan
utama dalam hidup dan kehidupan masyarakat muslim. Orang muslim punyai
fungsi utama dan sangat mendasar, yakni
'ibadatullah. Dalam rangka
beribadah ini, manusia telah diberi kemampuan ikhtiari untuk melaksanakan
berbagai
taklifat. Di samping itu, ada jaminan sarana hidup dan
kehidupan yang menuntut sumber daya manusia dan budidaya alam, pengelolaan,
pengembangan serta pelestariannya.
Namun dalam berikhtiar —tanpa kehilangan nilai tawakal dan nilai imani-
masalah kependudukan, pertambahan penduduk yang tidak seimbang, penyebaran
yang tidak merata dan struktur umum yang membedakan, masih menjadi tantangan
yang menarik perhatian serius bagi kaum muslim Indonesia, untuk bersama
sama dipecahkan dan diatasi demi tercapainya kesejahteraan lahir batin
yang dicita-citakan Ini sesuai dengan pandangan syari'at Islam yang diciptakan
dalam ajaran fiqih sosial yang mempunyai ruang lingkup cukup luas dalam
penataan ihwal manusia dalam hidup dan kehidupannya untuk selamat di dunia
yang penuh
maslahah, menuju akhirat yang penuh
sa'adah nanti.
Di sinilah peran serta (para ulama sangat penting dan sangat mempengaruhi
mulusnya upaya mengatasi masalah tersebut. Ulama yang mempunyai ciri melekat,
yakni
faqih fi mashalih al-khalqi, akan mampu berperan sebagai motivator
dan pemberi inspirasi. Beliau di samping memberikan motivasi keagamaan
mau pun sosial, sekaligus mampu mempengaruhi masyarakat untuk menumbuhkan
dinamika yang tinggi dalam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya,
di bidang material mau pun spiritual, untuk mencapai keseimbangan antara
keduanya.
Keterlibatan ulama dalam hal ini akan menciptakan kondisi dinamis di
kalangan masyarakat lingkungannya, sehingga tumbuh dan berkembang secara
kreatif kesadaran berbudidaya secara mandiri untuk selalu meningkatkan
kualitas diri dan hidupnya. Kesadaran pendidikan, kesehatan, berdisiplin
sosial, solidaritas sosial, keamanan dan utamanya kesadaran melaksanakan
syari'at Islarn, akan terwujud sedemikian rupa dalam kordisi dinamis. Demikian
itulah masyarakat yang dicita-citakan oleh Khittah NU 1926.
Pada Mukadimah Khittah NU alinea pertama disebutkan, NU didirikan atas
dasar kesadaran dan keinsafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi
kebutuhannya, bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat,
manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya.
Selanjutnya pada alinea ketiga berbunyi, NU dengan demikian merupakan gerakan
keagamaan yang bertujuan ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat
yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tenteram,
adil dan sejahtera.
Sedangkan butir enam tentang ikhtiar yang dilakukan NU, pada huruf (d)
berbunyi, peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan
yang terarah. Kegiatan-kegiatan yang dipilih pada awal berdiri dan khidmahnya
menunjukkan, pandangan dasar yang peka terhadap pentingnya terus-menerus
dibina hubungan dan komunikasi antara para ulama sebagai pemimpin masyarakat,
serta adanya keprihatinan atas nasib manusia yang terjirat oleh keterbelakangan,
kebodohan dan kemiskinan.
Ungkapan Khittah NU tersebut menunjukkan betapa penting dan perlunya
para ulama NU ikut terlibat langsung dalam mengatasi masalah kependudukan.
Di .samping karena dorongan ajaran syari'at Islam, hal itu justru berarti
melaksanakan dan membudayakan Khitthah 1926 secara konsekuen, sekaligus
berikhtiar mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui partisipasi nyata.
Dari uraian di atas sampailah pada kesimpulan yang tentu saja masih perlu
dipertajam untuk mencapai kesamaan pandangan, wawasan dan sikap, yang kemudian
ditindaklanjuti dengan kebersamaan langkah nyata di lapangan, antara ulama
NU bersama eksponen organisasi neven NU di satu pihak dengan pemerintah
di pihak lain. Kesimpulan itu antara lain sebagai berikut:
-
Bahwa syari'at Islam yang telah dijabarkan oleh fiqih sosial dalam komponen-komponen
ibadah, mu'amalah, munakalah, jinayah, jihad
dan qadla', merupakan penataan hal ihwal masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan lahir batin yang penuh maslahah.
-
Bahwa oleh karenanya, masalah kependudukan yang mempunyai implikasi luas
dengan semua apek kehidupan masyarakat. Terpenuhinya semua kebutuhan rnaterial
mau pun spiritual secara seimbang dan memadai, merupakan faktor pokok bagi
terwujudnya kesejahteraan masyarakat, adalah menjadi tantangan dan tanggung
jawab kaum muslimin di Indonesia dalam rangka mengaplikasikan ajaran syari'at
secara kontekstual dan sekaligus merupakan da'wah bil hal. Dalam
hal ini unit terkecil dalam struktur masyarakat adalah "keluarga" yang
unsur-unsurnya terdiri atas suami, istri dan anak. Untuk itu, memaslahatkan
keluarga lahir batin adalah langkah utama dalam mengatasi masalah kependudukan
untuk mencapai kesejahteraan.
-
Bahwa persamaan persepsi para ulama NU dan peran sertanya dalam rnasalah
kependudukan amat penting, bahkan akan menentukan keberhasilannya, sebagai
motivator dan sekaligus inspirator yang akan membentuk kondisi dinamis
di tengah masyarakat lingkungannya. Pada gilirannya akan tercipta kemandirian
yang kreatif dalam meningkatkan kualitas diri dan kehidupan mereka, menuju
kesejahteraan yang dicita-citakan. Peran serta ulama NU, di samping atas
dorongan ajaran syari'at Islam, sekaligus merealisasi amanat Muktamar NU
XVII yang dituangkan dalam rurnusan Khitthah NU 1926.
Bagian pertama bab pertama dari buku Nuansa Fiqih Sosial KHMA. Sahal Mahfudz