Rabu, 19 Desember 2012

Di Luar Masjid Al Azhar Adalah Api


"Di luar masjid Azhar adalah api" ucap Abu Ahmad kepada anaknya ketika ia mau berpamit. Ahmad yang kala itu masih berumur sebelas tahun meyakini bahwa perkataan bapaknya adalah wasiat yang senantiasa harus di pegang teguh. Makanya, selama hampir enam puluh tahun beliau tidak pernah menginjakan kaki selain areal Masjid Azhar. Hingga pada suatu waktu -Saat Al Azhar memberikan Syahadah Alimiyyah kepada siapa saja yang mampu lolos dari hadangan tim penguji- beliau didesak oleh pengurus ruwak untuk mengikutinya. Pihak pengelola ruwak merasa bahwa beliau sudah terlalu lama tinggal di Masjid Azhar dan sudah tidak ada lagi ulama yang mampu menandingi keilmuan beliau. Dengan tegas beliau menolak. Akan tetapi karena didesak oleh pengelola ruwak, akhirnya beliau menyetujuinya. Mudah saja bagi beliau lolos dari tim penguji. karena kapasitas keilmuan tim penguji masih beberap level dibawahnya.

Konsekwensi dari didapatnya Syahadah Alimiyyah adalah si pemegang syahadah tidak boleh lagi menetap di ruwak Azhar, tak terkecuali beliau. Padahal hati dan segenap perasaannya sudah kadung melebur bersama sudut-sudut ceruk didalam masjid Al Azhar yang ia huni sselama kurang lebih enam puluh tahun.

Dengan didampingi oelh yunior beliau (Guru dari Syekh Ali Jum'ah) beliau melangkah berat menuju pintu keluar masjid. Sebelum kakinya melangkah keluar beliau ragu dan gamang menginjakkan kaki. Beliau julurkan satu kakinya keluar. ragu dan gamang, takut kalau memang benar tanah diluar masjid Azhar panas dan dapat menyemburkan api. Senyumnya mengembang setelah ia merasakan bahwa bumi yang ia pijak ternyata dingin dan tak menyemburkan hawa panas.

Beberapa langkah beliau dikejutkan dengan suara sengau orang berjualan semangka (Bittih). Beliau berhenti. Si yunior yang mengantarkannya tadi bertanya: "Syekh mau Bittikh"?
dengan mimik serius dan agak masyghul beliau menjawab: "Bittih"????? "
"Ya Syekh buah itu bernama bittikh"
"aku mengenalnya dalam kamus Lisanul Arab dan alhamdulillah sekarang disini dapat menjumpainya di alam nyata"
Syekh Ahmad mencicipi semangkanya, akan tetapi beliau memakan kulit luarnya "kok tidak enak"?

Setelah agak jauh dari masjid Al Azhar beliau melihat sosok teman karibnya sewaktu talaqi di masjid Azhar, Sulaiman namanya. Posisi sulaiman pada waktu itu adalah sebagai Qodhi Syar'i.  Dari kejauhan syekh Ahmad memanggilnya dengan nama Sulaiman tanpa ada sebutan Syekh atau yang lain hingga membuat orang-orang yang berlalu lalang mengalihkan mata mereka pada beliau. Maklum saja, Sulaiman adalah orang berpangkat dan sangat dihormati. "Tak punya tata krama" kusak kusuk mereka.
"Kamu sekarang menjad iapa"? tanya Syekh Ahmad.
"Jadi Qodhi Syar'i"
"Subhanalloh!!!!! Bukankah kau dulu yang paling bodoh diantara kami??!!!



Cerita Syekh Ali Jum'ah sekitar dua minggu yang lalu saat pengajian di Masjid Al Azhar 

21/10/2012

Manusia, Makhluk Paling Bermasalah


Sesorang yang beranggapan bahwa dirinya adalah orang yang paling bermasalah dan tak sedikitpun lepas dari lilitan masalah ingin mengahiri hidupnya sehingga ia (beranggapan) akan terlepas dari masalah-masalahnya.


Bagaimana mungkin dia akan lepas dari masalah, karena dia dan masalah adalah saudara kembar yang lahir dengan selisih hanya beberapa detik. Sedari sebelum dilahirkan manusia sudah bermasalah dan sampai pada ahir hidupnya, dan bahkan hingga jasadnya membusuk dan berubah jadi tanah akan tetap memberi "masalah". Ingatkah kalian setalah adam diciptakan dengan keadaanya yang sempurna, hal pertama yang ia torehkan adalah memberikan masalah kepada iblis.Iblis yang sedari diciptakan hidup mewah dan enak di surga harus terusir setelah lahirnya mahluk yang bernama Adam. Ya.. karena Adam bapak kita itu. Setelah itu Adam bermasalah dengan sang pencipta sehingga masalah-masalh baru yang belum ada sebelumnya kian menarik manusia pada berbagai ragamnya. 


Tidak, aku tidak mempermasalahkan Adam, orang pertama kali yang membuat "masalah" dengan Sesembahannya. Tidak pula aku mengecilkan peran Adam sebagai orang yang pertama kali memcahkan berbagai masalah. Aku hanya ingin mengajak kita untuk melongok bahwa dari "sono"nya kita memang mahluk yang dianugerahi dengan berbagai ragam permasalahan dan masalah agar nantinya kita dapat mencari solusi dan memecahkannya untuk seterusnya menghadirkan masalah-masalah baru untuk kemudian dipecahkan oleh kita sendiri atau generasi sesudah kita.


Sebagaimana Adam yang menghadirkan masalah bagi iIblis diawal penciptaannya kita para manusia anak turunnya juga tak bisa lepas dari "kutukan" untuk membuat 'masalah" bagi mahluk disekitar kita. Coba tengok ke belakang, kita sebelum menjadi segumpal darah adalah setetes air, dan sebelum kita menjadi setetes air kita sudah menyisakan masalah kepada mahluk yang digariskan untuk meneteskan dan mahluk lain yang ditakdirkan untuk menerima dan menampungnya. Kita -sebelum menjadi air- telah merepotkan berapa mahluk coba? calon ibu bapak, calon embah, calon sanak saudara dan calon tetangga dan handai tolan. Merepotkan alias membuat masalah memang tidak  bisa lepas dari mahluk yang bernama manusia.


Setelah menjadi air dan kemudian tumbuh menjadi daging, tulang yang dibalut daging dan seterusnya menjadi orok dan bayi, kita manusia juga tak lepas dari menghadirkan masalah. bagi ibu dan bapak dengan kondisi ekonominya yang pas-pasan menghadirkan masalah finansial, bagi kaum cerdik cendekia menghadirkan temuan riset bagi pemerintah menghadirkan masalah kependudukan, dan seterusnya. 


Sampai pada ahirnya guratan takdir mencoba menyuguhkan berbagai "masalah' yang sebenarnya adalah siklus dari permasalahan orang-orang terdahulu dan berbagai kasus baru kepada kita -manusia yang sekarang-  dan hendaknya dipecahkan agar menjadi warisan berharga bagi generasi setelahnya.


Tak pelak, semakin tua dunia yang kita tempati ini semakin banyak pula "masalah" yang akan dihadapi. Akumulusi masalah yang ada pada nenek moyang kita sedikit banyak akan dihadapi manusia sesudahnya dan ada "bonus masalah" yang belum sempat dihadirkan pada zaman sebelumnya untuk dihadapi manusia sekarang agar menjadi warisan pada generasi sesudahnya, dan begitu seterusnya.


Kembali lagi ke akar masalah, setelah manusia mengalami berbagai masalah dan berniat ingin lari dari masalah dan permasalahanya dengan cara yang menurut dirinya adalah cara yang terbaik untuk bisa lepas darinya dan tak akan memberikan masalah bagi orang lain maka sebenarnya dia tetap dan masih akan mewariskan masalah kepada orang lain. jadi, serapi apapun manusia mengemas dirinya agar tidak menjadi masalah bagi orang lain sebegitu gampangnya "sang pembuat masalah" menjadikan kerapiannya sebagai maslah baru. Contohnya adalah masalah mawaris.


Seseorang yang telah berusaha sedikit mungkin menghadirkan maslah bagi dirinya sendiri dan orang lain dikala hidupnya tak akan mungkin menampik masalah yang datang setelah kematiannya. Tak peduli seberapa miskin dan kayanya dia pasti ia akan membuat sarjana mawaris menggerakkan otak untuk menghitung dan mengkalkulasi seberapa banyak harta yang ditingalkan dan berapa bagian yang didapat ahli waris. 


Walhasil, manusia adalah mahluk yang paling bermasalah.


Selasa, 18 Desember 2012

Haji Umroh Masisir Dalam Tinjauan Fikih


Siapapun muslim tau bahwa haji merupakan pilar agama yang ke lima dan dihukumi wajib 'ain. Sedang hukum umroh tidak semua ulama bersepakat akan kewajibannya, sebagian ulama (Hanafiyah dan Malikiyah) mengatakan bahwa umroh cuma sunnah muakkad, dan perlu diingat bahwa kewajiban (sunah muakkad) melaksanakan haji/umroh  diberi qoyyid "bagi yang mampu menjalankannya', tidak diperuntukan bagi selain yang mampu. Yang menjadi pertanyaan, apakah hukum wajib dari haji dan umroh bersifat absolute, tidak dapat diganggu gugat sehingga berbagai jalan -kalau tidak mau mengatakan menghalalkan berbagai macam cara- dan langkah  ditempuh agar dapat  melaksanakannya. Dan dalam ruang lingkup negara masisir yang kita diami ini apakah rakyatnya sudah ditaklif kewajiban melaksanakannya? Setelah pertanyaan pertama dijawab, selanjutnya  adalah ketika haji dan umroh tidak selamanya wajib, -mungkin juga berubah hukumnya menjadi haram-  dan si calon haji/umroh bersikeras melaksanakannya tanpa mempedulikan rambu-rambu pelaksanaan yang telah diatur oleh pihak yang punya wewenang, apakah haji dan umroh warga masisir sah dan mabrur?.

Dari berbagai kejadian yang terjadi dalam komunitas masisir dan telah dikupas tuntas dalam acara warung kopi di rumah budaya akar pada rabu malam 12/9/12 penulis memetik banyak sekali tashowur permasalahan yang terjadi dalam masyarakat masisir, akan tetapi karena keterbatasan tempat maka yang akan dibahas dalam tulisan ini hanya beberapa poin problematika haji/umroh masisir  menurut sudut pandang fuqoha..

Pertama, kita akan membahas apakah hukum haji dan umroh bersifat absolute dan tidak dapat diganggu gugat.

Sebagaimana perintah-perintah Alloh lain selain haji yang tidak bersifat paten, haji dan umroh juga tidak selamanya dihukumi wajib. Pada satu waktu hukum wajib dari umroh dan haji dapat berubah menjadi haram, misal saja Ibadah haji dengan menggunakan harta haram, dapat pula berubah menjadi makruh, sepeti haji yang dilaksanakan tanpa meminta izin dari orang yang wajib dimintai izin, contoh mudah adalah si calon haji sangat dibutuhkan oleh kedua orang tuanya dalam berbagai hal.

Setelah kita tau bahwa ibadah haji/umroh yang hukum aslinya adalah wajib dan dapat berubah menjadi sunah, makruh, haram dan seterusnya, label apa yang akan kita sematkan pada pelaksanaan haji masisir? Lebih tepatnya apakah masisir sudah (masih) berkewajiban untuk melaksanakan ibadah haji dan umroh, padahal kita ketahui bersama bahwa  pintu haji dan umroh (bulan ramadhan) seolah sudah  tertutup, dan untuk membukanya kadang dengan cara paksa atau masuk dari pintu belakang.

Baiklah, untuk dapat mengetahui apakah komunitas masisir berkewajiban haji/umroh atau tidak maka kita harus memperbincangkan dulu masalah syarat.  Melihat Obyek penerima taklif (mukallaf), syarat di bagi menjadi dua yaitu syarat umum  dan syarat khusus. syarat umum adalah syarat yang dikenakan kepada pria dan wanita, sedangkan syarat khusus adalah syarat yang hanya ditujukan untuk kaum hawa saja. Kita ketahui bersama bahwa konsekwensi dari tidak terpenuhinya syarat adalah mukallaf tidak berkewajiban melaksanakan ibadah haji. Sedangkan apabila si calon haji tetap bersikeras melaksanakan haji maka sah atau tidaknya  ibadah yang dilakukan tergantung pada amaliyah ibadah haji yang dilakukan. Walhasil antara kewajiban dan keabsahan ibadahnya tidak saling terkait satu dengan yang lain.

Kembali ke masalah syarat. Yang tercakup dalam Syarat umum adalah syarat sah, syarat wajib dan syarat ijza". Dari ketiga macam syarat tersebut ada syarat yang tercakup dalam syarat wujub dan sah yaitu berupa islam dan berakalnya si calon haji. Maksudnya adalah selain muslim tidak berkewajiban untuk melaksanakan haji, toh andaikan ia menunaikannya maka hajinya tidak sah. Kedua adalah syarat yang termasuk dalam syarat wujub dan ijza' yaitu baligh dan merdeka. Maksudnya, jika seorang muslim belum baligh atau statusnya adalah budak maka ia tidak berkewajiban melaksanakan ibadah haji, andai saja ia melaksanakan haji maka apabila nanti ia dewasa/merdeka dan mampu melaksanakannya maka ia harus mengulang hajinya. Dan yang terahir adalah syarat yang termasuk dalam  syarat wujub yaitu mampu (Istitho'ah) melaksanakan ibadah haji. Dan Syarat yang terahir inilah yang akan  kita ulas bersama.

Istitho'ah adalah uji kelayakan bagi calon haji agar masuk dalam ranah wajib, yakni standar minimum bagi calon haji agar dirinya masuk pada lingkaran orang-orang yang berkewajiban melaksanakannya. Berkenaan dengan istitho'ah, Rasul menjelaskan bahwa orang yang termasuk dalam kalangan istithoah adalah orang yang punya kemampuan untuk berziarah ke Mekah. Hanya saja, dalam menafsiri kata "mampu" para fuqoha berbeda pendapat.

Ulama hanafiyah mengatakan bahwa kata "istitho'ah" mencakup tiga aspek, yaitu kemampuan fisik dari calon haji (istithoah badaniyah), kemapanan financial (istithoah maliyah), yaitu adanya biaya untuk pulang pergi dari tanah air ke mekah dan adanya alat transportasi yang layak dan terahir adalah istithoah amniyah yaitu adanya stabilitas keamanan di perjalanan dan di tanah haram.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa "istithoah" adalah kemampuan untuk sampai ke tanah haram sesuai dengan cara orang kebanyakan, baik dengan cara berjalan atau menggunakan alat transportasi, yakni kemampuan untuk berziarah ke tanah haram saja, tidak memperhatikan apakah nantinya dapat pulang ke tanah kelahirannya atau tidak. Dari devinisi kata "istithoah'' menurut cara pandang ulama Malikiyah maka seorang muslim yang bermadzhab maliki  berkewajiban untuk melaksanakan ibadah haji bila : pertama, mempunyai kekuatan fisik menuju tanah haram, maka orang yang mampu berjalan menuju mekah ataupun orang buta yang mempunyai seorang penunjuk jalan wajib melaksanakan haji. Kedua, Punya kemampuan  financial, untuk masalah mampu dalam bidang financial ulama malikiyah cenderung tasyadud, sehingga orang yang tidak punya kecukupan dalam finansialnya akan tetapi mampu bekerja ditengah-tengah perjalanan menuju mekah masuk dalam kategori wajib haji. Begitu juga  orang yang hanya punya tanah sepetak dan hasil dari tanah tersebut untuk makan anak istri dan jikalau dijual dapat mencukupi untuk biaya ke mekah maka wajib menjual tanahnya, karena ia termasuk dalam kategori orang yang berkewajiban haji.  Dan ketiga adalah adanya keamanan bagi jiwa dan hartanya dalam perjalanan.

Istitho'ah dalam madzhab Syafi'I dibagi menjadi dua, yaitu Istithoah bi nafsi dan istithoah Bi Al ghoir. Ulama Syafi’iyah memberikan tujuh batasan agar si calon haji masuk dalam kategori wajib haji, yaitu: 1. Mampu secara fisik, 2. Mampu dalam bidang financial 3. Adanya alat transportasi  4. Jaminan keselamatan dalam perjalanan 5. Jaminan logistic 6. Adanya mahrom bagi kaum hawa, dan 7. Cukup waktu untuk melaksanakannya setelah semua sarat diatas terpenuhi

Terahir adalah Istitho’ah menurut Hanabilah. Mereka berpendapat bahwa istithoah adalah tercukupinya biaya untuk haji/umroh dan adanya alat transportasi.
Setelah mengetahui konsep istitho’ah menurut empat madzhab sudah barang tentu kita dapat meraba apakah warga  masisir masuk dalam lingkaran wajib haji atau masih berada diluarnya. Penting untuk digaris bawahi bahwa kemampuan dalam bidang financial diatas adalah si calon haji/umroh punya kemampuan sendiri untuk membiayai perjalanan pulang pergi dari dan menuju mekah, dengan kata lain si calon haji membiayainya dari kocek sendiri tanpa meminta kepada orang lain. Bagi yang punya utang harus melunasi utang-utangnya dulu. Bagi yang sudah ngebet banget nikah maka ia wajib mendahulukan nikahnya, dan masih banyak lagi furu’ fikih yang lahir dari pembahasan syarat-syarat diatas. Dan yang harus diperhatikan sekali adalah kewajiban untuk taat kepada aturan pihak yang berwenang dan tidak menempuh jalur belakang atau jalan yang berliku, apalagi sampai memberikan pungli pada preman untuk sekedar mendapatkan visa. Karena hal-hal semacam ini akan menghambat diterima atau tidaknya ibadah haji/umroh kita.

Hal terahir yang akan kita bahas adalah tentang status sah dan tidaknya ibadah haji/umroh masisir beserta kemabrurannya. Telah disinggung diatas bahwa antara kewajiban melaksanakan ibadah haji/umroh dan status sah tidaknya ibadah yang dilakukan tidak ada talazum diantara keduanya. Walhasil, orang yang tidak berkewajiban haji akan tetapi bersikeras melaksanakannya akan mendapatkan status  haji/umroh yang sah asalkan manasiknya telah dijalankan dengan sempurna. Hal ini sama persis dengan sholat yang dilakukan dengan sempurna akan tetapi si musholi memakai pakaian yang dighosob dari temannya. Sholat orang tersebut sah akan tetapi di satu sisi mendatangkan dosa. Hal ini juga berlaku dalam ibadah haji. Contoh mudah dari kasus ini adalah haji takholuf alias haji mbonek. Jika si calon haji melaksanakan ritual ibadah haji dengan sempurna maka hajinya sah, akan tetapi dilihat dari sudut pandang hukum taklify si calon haji melanggar perjanjian dengan pihak travel dan melanggar aturan hukum Negara. Lantas haji yang sudah terinveksi virus haram tersebut apakah masih layak kita  hukumi sebagai haji yang mabrur?


Dimuat dalam Buletin Terobosan Edisi 348.
Mohon kritik dan sarannya.

Selasa, 02 Oktober 2012

FIQIH YANG KONTEKSTUAL



DALAM Islam terdapat dua hal yang fundamental, yaitu 'aqidah dan syari'ah. Akidah adalah kepercayaan yang tirnbul di hati manusia dan tidak dapat dipaksakan kehadirannya. Dari akidah ini dijabarkan beberapa unsur keimanan. Sedangkan syari'ah adalah hal yang mengatur tata kehidupan manusia muslim sehari-hari, termasuk di dalamnya soal-soal ibadah. Fiqih sebagai refleksi syari'ah, memiliki empat pokok komponen ajarannya, yaitu 'ubudiyah (peribadatan), mu'amalah, munakahah, dan jinayah.

Antara keimanan dan amaliah ibadah mempunyai korelasi yang kuat dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Dengan kata lain, amal ibadah merupakan manifestasi dari keimanan. Kuat dan lemah atau tebal dan tipisnya keimanan seseorang dapat diukur dari intensitas amaliah ibadahnya. Sampai sejauh mana ia beribadah, di situlah ukuran lahiriah keimanannya. Hal ini merupakan titik berangkat yang diperlukan manakala kita akan mengklasifikasikan seseorang ke dalam golongan mukmin atau non-muslim. Tanpa pembuktian itu, sama sekali tidak masuk akal. Bukti tersebut tidak lain adalah amal ibadah, dalam keadaan suka maupun duka, atau dalam situasi dan kondisi yang bagaimana pun adanya.

Mengenai keterkaitan antara keimanan dan amaliah ibadah, bisa dilihat juga dari pentingnya niat bagi ibadah. Sebagai makhluk hidup, manusia setiap saat tentu berbuat sesuatu, atau dalam bahasa pesantren, melakukan amaliah, terpuji mau pun tercela. Semua amaliah manusia bisa menjadi ibadah, atau tidak menjadi apa-apa sama sekali. Dengan kata lain, amal itu tidak bernilai lebih, yang dapat membedakan antara amaliah ibadah dan amaliah biasa.

Apakah sebuah amaliah termasuk ibadah atau tidak, ditentukan oleh motif dan niat seseorang yang menjalankannya. Sesuatu akan menjadi ibadah, bila diiringi dengan niat beribadah. Begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, ibadah pada hakikatnya memiliki cakupan yang sangat luas dan mendasar bagi setiap aspek hidup dan kehidupan. Nabi bersabda, "Semua amal tergantung pada motif dan niatnya". 
Di kalangan para ulama, hadits ini diperselisihkan interpretasinya. Menurut Imam Abu Hanifah, hadits tersebut memberi pengertian, niat merupakan syarat amal seseorang. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat, niat adalah rukun dari amaliah. Menurut jumhur al-ulama' (mayoritas ularna), pendapat Syafi'i lebih kuat dijadikan sebagai pegangan (al-mu'tamad).

Perbedaan antara rukun dan syarat dapat dilihat dalam banyak kitab fiqih. Ini mempunyai konsekuensi tertentu, seiring dengan perbedaan definisi syarat dan rukun dalam ibadah. Secara definitif, syarat adalah sesuatu yang dapat rnenafikan sesuatu yang disyarati (al-masyrut), bila syarat itu tidak wujud. Akan tetapi syarat tidak menjadikan wujud tidaknya al-masyrut, meskipun syarat tersebut wujud. 
Sedangkan rukun merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari sebuah ibadah. Dengan demikian, pendapat Abu Hanifah terasa menjadi lemah apabila hanya menempatkan niat sebagai syarat sebuah amal. Uraian ini menegaskan keterkaitan erat antara keimanan (niat) dan amal ibadah. 
***
IBADAH terbagi menjadi dua macam, yakni ibadah yang bermanfaat untak pribadi (individual/syakhshiyah) dan untuk orang lain atau masyarakat (sosial/ijtima iyah). Sebelum meningkatkan amaliah ibadah, seseorang perlu meningkatkan keimanan dan kepercayaan akan wujud Allah dengan segala perintah dan laranganNya, kepercayaan akan adanya pahala serta keyakinan akan manfaat dan faedah dari amaliah ibadah.

Dalam konteks sosial yang ada, ajaran syari'at yang tertuang dalam fiqih sering terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari-hari. Hal ini pada hakikatnya disebabkan oleh pandangan fiqih yang terlalu formalistik. Titik tolak kehidupan yang kian hari cenderung bersifat teologis, menjadi tidak berbanding dengan konsep legal-formalisme yang ditawarkan oleh fiqih. Teologi di sini bukan hanya dalam arti tauhid yang merupakan pembuktian ke-Esa-an Tuhan, akan tetapi teologi dalam arti pandangan hidup yang menjadi titik tolak seluruh kegiatan kaum muslimin. Padahal di balik itu, asumsi formalistik terhadap fiqih ternyata akan dapat tersisihkan oleh hakikat fiqih itu sendiri.

Sebagaimana dimaklumi, fiqih dalarn arti terminologisnya adalah ilmu hukum agama. Kemudian ia diartikan sebagai kumpulan keputusan hukum agama sepanjang masa, atau dengan kata lain, yurisprudensi dalam Islam. Sebagai kompendium yurisprudensi, fiqih memiliki sistematikanya sendiri. Ia tidak berdiri sendiri karena sebagai disiplin ilmu maupun sebagai perangkat keputusan hukum, fiqih dibantu oleh sejumlah kerangka teoritik bagi pengambilan keputusan hukurn agama.

Dari sana kita mengenal ushul fiqih yang membahas kategorisasi hal-hal yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan. Juga kita kenal kaidah-kaidah fiqih yang menjadi patokan praktis dalam rnemutuskan suatu kasus fiqih. Belum lagi ilmu-ilmu al qur'an dan Hadits serta ilmu-ilmu bahasa Arab yang semuanya mendukung terselenggaranya fiqih sebagai disiplin ilmu dan perangkat keputusan hukum.

Sistematika dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqih sebenarnya rnemungkinkannya dikembangkan secara kontekstual, sehingga tidak akan ketinggalan perkembangan sosial yang ada. Nabi pernah menganjurkan agar kaum rnuslimin memperbanyak keturunannya. Dalam era over populasi seperti sekarang ini, anturan Nabi itu tidak bisa dipahami secara dangkal, yakni bahwa Nabi memerintahkan untuk memperbanyak anak secara kuantitatif. Akan tetapi sebaliknya, anjuran tersebut adalah bermakna pada usaha untuk meningkatkan kualitas hidup keturunan kaum muslimin.

Tidakkah dengan begini, pendekatan fiqih secara kontekstual bukan merupakan hal yang mustahil dilakukan? Ditambah lagi, bahwa salah satu kaidah fiqih berbunyi, "Kebijaksanaan penguasa atas rakyatnya berturnpu sepenuhnya pada kesejahtersan rakyat itu sendiri". Nah, dari kaidah ini tentu dapat dikernbangkan banyak teori sosial yang komplek dan universal.
***
ASUMSI formalistik terhadap fiqih seperti di atas sering menjadi masalah laten. Fiqih oleh sebagian kaum muslimin diperlakukan sebagai norma dogmatis yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak jarang, fiqih -dalam hal ini kitab kuning- dianggap sebagai kitab suci kedua setelah al-Qur'an. Bila demikian halnya, saya teringat akan gagasan teman-teman yang tergabung dalam Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) untuk memberi input kepada masyarakat kita sendiri -pesantren- agar memahami kitab kuning secara kontekstual dan mengurangi interpretasi tekstual yang selama ini cenderung berlebihan.

Gagasan tersebut tidak terlalu berlebihan, mengingat bahwa pemahaman kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqih secara mutlak. Justru dengan pemaharnan tersebut, segala aspek perilaku kehidupan akan dapat terjiwai oleh fiqih secara kontestual dan tidak menyimpang dari rel fiqih itu sendiri. Atau minimal, kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri yang belakangan ini mulai enggan menguaknya, akan tetapi oleh siapa saja yang berrninat mengaji referensi pemikiran Islam.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, setelah kita mengetahui posisi fiqih dalam tatanan sosial yang ada dan dibarengi dengan keinginan meningkatkan amaliah ibadah sosial -yang dalam hal ini lebih utama dari pada ibadah individual- maka tentu keinginan tersebut akan mudah tercapai atau minimal akan terkonsepsikan secara proporsional untuk kemudian ditindaklanjuti pada masa-masa yang akan datang. Sehingga fiqih atau komponen ajaran Islam lainnya tidak harus selalu disesuaikan dengan keadaan zaman yang ada, akan tetapi bagaimana mengaplikasikan fiqih secara baik dan benar serta mudah diterima oleh khalayak awam tanpa keresahan yang berarti.

KHMA. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial


KHMA. Sahal Mahfudh / Nuansa Fiqih Sosial

NUANSA FIQIH SOSIAL

HIDUP dan kehidupan rnanusia merupakan takdir Allah. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari segala ketetapan Allah. Takdir telah meletakkan manusia dalam suatu proses, suatu rentetan keberadaan, urutan kejadian, tahapan-tahapan kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk berikhtiar mempertahankan serta melestarikan hidup dan kehidupannya. 

Manusia diberi hak hidup bukan untuk hidup semata, tetapi ia diciptakan oleh Allah untuk mengabdi kepadaNya. Dalam kerangka pengabdian inilah, manusia dibebani berbagai taklif yang erat kaitannya dengan ikhtiar beserta sarana-sarananya dan kemampuan manusia itu sendiri. 

Dalam proses tersebut, kehidupan manusia selalu dipengaruhi berbagai faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, manusia di dalam berikhtiar melaksnakan taklif, berkewajiban mengendalikan dan mengarahkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupannya, untuk mencapai makna dan tujuan hidupnya, yakni sa'adatud darain atau kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat kelak. 

Kesejahteraan lahir-batin merupakan cita-cita setiap insan. Kesejahteraan lahiriah, lazimnya merupakan sarana yang mendasar bagi tercapainya kesejahteraan batiniah, meskipun ada juga orang yang memperoleh kesejahteraan batiniyah tanpa mendapat kesejahteraan lahiriyah, menurut ukuran yang lazim. 

Indikator kesejahteraan masyarakat -di rnana keluarga/rumah tangga (usrah) sebagai unit terkecil- memang sulit dirumuskan secara terinci. Namun sekurang-kurangnya ajaran syari'at Islam dengan konsep fiqih sosial telah banyak menunjang sebagai isyarat yang mendekati rumusan tersebut. 
***
SYARI'AT Islam merupakan pengejawantahan dan manifestasi dari aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan keyakinan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan, termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara terinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari'at Islam yang dijabarkan secara terinci oleh para ulama dalam ajaran fiqih (fiqih sosial), ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara. 
Syari'at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang di dalam fiqih sosial menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun individual, muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) mau pun muthlaqah (teknik operasionalnya tidak terilkat oleh syarat dan rukun tertentu). Ia juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalarn bentuk mu'asyarah (pergaulan) mau pun mu'amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Di samping itu ia juga mengatur hubungan dan tata cara berkeluarga, yang dirurnuskan dalam komponen rnunakahah. Untuk menata pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayah, jihad, dan qadla'

Beberapa komponen fiqih di atas merupakan teknis operasional dari lima tujuan prinsip dalam syari'at Islam (maqashid al-syari'ah), yaitu memelihara -dalam arti luas- agama, akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta benda. Komponen-kornponen itu secara bulat dan terpadu menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia dalam rangka berikhtiar melaksanakan taklifat untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi atau sa'adatud darain sebagai tujuan hidupnya. 

Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, bersifat saling mempengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syari'at Islam yang dijabarkan fiqih sosial dengan bertitik tolak dari lima prinsip dalam maqashid al syari'ah, maka akan jelas, syari'at Is]am mempunyai sasaran yang mendasar, yakni kesejahteraan lahir batin bagi setiap manusia. Berarti, bahwa manusia merupakan sasaran, sekaligus menempati posisi kunci dalam keberhasilan mencapai kesejahteraan dimaksud. 
*** 
SATU di antara masalah manusia adalah masalah kependudukan. Hampir semua aspek dan faktor kehidupan berkaitan erat dan saling mempengaruhi dengan masalah ini. Masalah kependudukan seperti tingginya laju perkembangan penduduk, persebarannya yang tidak merata dan struktur umur penduduk yang relatif muda, semua berkaitan erat dengan aspek-aspek kependudukan yang cenderung menimbulkan kerawanan sosial serta ketimpangan pada sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, ketenagakerjaan, keamanan dan keagamaan. Bahkan dari rnasalah kependudukan ini kita bisa menelusuri munculnya kerniskinan struktural, krisis lingkungan dan lain-lain. 

Kuantitas penduduk yang tidak terkendalikan, tidak diimbangi dengan peningkatan sumber daya alam, kemarnpuan dan keterampilan ikhtiar yang memadai, akan mengakibatkan mafsadah umum dari dimensi duniawiah mau pun ukhrawiah, dengan timbulnya perubahan nilai-nilai Islam. 

Kependudukan menjadi masalah karena ada kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai pembangunan manusia seutuhnya dengan keadaan nyata yang dihadapi. Pembangunan merupakan proses perubahan yang secara sadar direncanakan melalui berbagai campur tangan pemerintah dan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kegiatan pembangunan yang selama ini berlangsung telah membawa kemajuan-kemajuan besar dalam kehidupan bangsa. Akan tetapi di samping itu, pembangunan yang semakin kompleks telah menciptakan berbagai permasalahan pula. Permasalahan itu menjadi beragam dan yang paling luas implikasinya adalah masalah kependudukan, karena keterkaitannya yang erat dengan aspek-aspek kehidupan. 

Masalah pendidikan anak misalnya, memerlukan fasilitas dan sarana yang makin luas. Beban orang tua untuk itu makin terasa. Tuntutan kesehatan anak agar jadi manusia produktif, sehat jasmani dan rohani cukup menarik perhatian. Pengetahuan dan pengamalan agama serta akhlak anak cenderung melemah, hingga perlu pengawasan ketat. 

Sumber daya alam semakin surut, sementara pengembangan surnber daya manusia untuk mengelola potensi alam berada dalam posisi persaingan yang sering menimbulkan kesulitan tertentu, seperti problem pengangguran dan ketenagakerjaan yang tidak seimbang, dan penciptaan lapangan kerja yang masih sangat lamban di upayakan. 

Masalah-masalah tersebut mengakibatkan tumbuhnya masalah besar yang cukup memprihatinkan, yaitu perubahan nilai spiritual di kalangan umat Islam sendiri. Berbagai indikator bisa disebukan, misalnya disiplin sosial kurang mendapat kepedulian. Solidaritas sosial cenderung melemah. Kepekaan kaum muslimin lebih banyak tertuju pada hal-hal yang bersifat moralitas individual yang sensitif, namun tumpul pada hal-hal yang bersifat sosial. Bahkan yang makin berkembang adalah nilai ekonomi, ditandai dengan memperhitungkan untung rugi secara material pada hampir semua aktivitas hidup. 

Sederet masalah itu akan menjadi berat dan menimbulkan kesenjangan yang tajam, manakala laju pertambahan penduduk dibiarkan berkembang. Sementara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut belum bisa kelar, karena dikejar pertarnbahan penduduk yang relatif lebih cepat, tidak seimbang dengan daya ikhtiar untuk mengatasi masalah kependudukan. 
***
MENGATASI masalah kependudukan yang kompleks, yang merupakan masalah kehidupan yang penting dalam pandangan syari'at Islam, berarti memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekwen atas kewajiban mewujudkan kemaslahatan umum (al-mashalih al-'ammah) sebagaimana dijabarkan dalam fiqih sosial. Hal ini tercermin misalnya dalam bab-bab zakat, fai', amwal dlai'ah dan lain-lain. 

Dalam hal ini, kemaslahatan umum -kurang lebih- adalah kebutahan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya. Baik kebutuhan itu berdimensi dlaruriyah atau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa raga, nasab (keturunan) dan harta benda, rnau pun kebutahan hajiyah (sekunder) dan kebutahan yang berdimensi tahsiniyah atau pelengkap (suplementer). 

Dalam ikhtiar mengatasi masalah kependudukan yang erat hubungannya dan mempunyai implikasi dengan kesejahteraan masyarakat yang menjadi sasaran syari'at Islam, memang tidak boleh menimbulkan akibat pada hilangnya nilai tawakal dan nilai imani. Bahkan dengan mengaplikasikan syari'at Islam secara aktual dalam konteks upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dengan mengatasi masalah-masalah kependudukan, dapat kiranya lebih dikembangkan nilai tawakal dan nilai imani. Pada gilirannya, keseimbangan antara aqidah dan syari'at dapat disadari oleh masyarakat dalam bentuk sikap dan tingkah laku yang rasional dan bertanggungjawab terhadap eratnya hubungan antara keluarga maslahah dengan aspek aspek kehidupan yang meliputi bidang-bidang agama, sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan dan ketertiban dalam rangka mencapai kesejahteraan lahir dan batin.
***
UNIT terkecil dari struktur masyarakat adalah keluarga (usroh). Keluarga yang unsur pokoknya adalah suami, istri dan anak dengan unsur pelengkapnya yaitu para pembantu rumah tangga (khadam), merupakan kelompok terbatas statusnya, namun karena adanya lingkungan dalam setiap kehidupan dan kawasan pemukiman, maka kehidupan suatu keluarga dengan yang lain akan saling mempengaruhi sebagaimana yang lazim dalam proses perkembangan sosial. Oleh karenanya rnembicarakan kemaslahatan dan kesejahteraannya tidak bisa dipisahkan dari pembahasan tentang masalah kependudukan yang diharapkan bisa diatasi demi kesejahteraan masyarakat menurut pandangan syari'at Islam.

Konsep keluarga yang serba maslahah memang sulit dirumuskan secara pasti dan berlaku bagi setiap keluarga. Kemaslahatan dan kesejahteraan pada prinsipnya bermuara pada pemenuhan kebutuhan. Sedangkan kebutuhan masing masing keluarga relatif berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Sama halnya bahwa pembagian rizki dari Allah juga berbeda dan bertingkat, sebagian diangkat lebih tinggi beberapa derajat di atas yang lain. 

Secara umum syari'at Islam rnenggariskan tanggung jawab setiap anggota keluarga untuk memenuhi kewajiban dalam kaitannya meraih kesejahteraan. Kewajiban orang tua/suami terhadap anak istri misalnya, bukan saja terbatas pada kebutuhan pangan, sandang dan papan. Lebih jauh lagi adalah kebutuhan pendidikan, kesehatan, akhlak dan terutama pengamalan syari'at Islam pun, menjadi tanggung jawab orang tua/suami. Semua aspek tersebut merupakan komponen yang apabila dipadukan secara seimbang dan serasi akan menjadi indikator kesejahterann lahir dan batin. 

Suami dituntut memiliki al ba'ah (kemampuan bersetubuh dan membiayai kebutuhan hidup keluarga) sebagai kunci kesejahteraan yang rnendasar. Ia juga bertanggung jawab terhadap keluarga sebagai qawwam dan terutama bertanggungjawab terhadap anak-anaknya yang merupakan amanat sekaligus sebagai fitnah dan zinah. Sang istri kemudian mengimbangi suami semacam itu dengan sikap dan perilaku yang serba shalihaat, qaninaat dan hafidhaat. Sedangkan anak anaknya bersikap abrar

Masing-masing unsur rumah tangga saling memberi dan melaksanakan hak dan kewajibannya. Tentu saja dalam keseimbangan semua faktor tersebut dalam kehidupan keluarga, harus dilengkapi, bahkan didasari adanya ketenteraman (sakinah) dengan penuh kesejahteraan lahir dan batin. 

Tidak kalah pentingnya dalam berupaya mewujudkan keluarga yang penuh maslahah, adalah lingkungan yang sehat. Ini sangat mempengaruhi watak dan karakter anak pada masa pertumbuhannya yang sangat rawan terhadap situasi sosial pada lingkungan pergaulannya. 

Karena tanggung jawab orang tua (suami istri) terhadap anak baik sebagai amanat, fitnah maupun zinah, maka pembiakan anak dalam fiqih sosial/syari'at Islam diatur sedemikian rupa, sehingga dalam berikhtiar mencapai kesejahteraan pun perlu dipertimbangkan keseimbangannya. 

Larangan zina misalnya, ini untuk mengendalikan pembiakan anak secara bebas tanpa adanya tanggung jawab, akibat tidak adanya ikatan melalui lembaga nikah. Tidak semua wanita boleh diperistri oleh setiap lelaki. Wanita mahram dan mushaharah tidak boleh dijadikan zaujah (istri). Poligami sekalipun diperbolehkan, tetapi ada syarat-syarat yang harus dipertanggungjawabkan. Lebih dari itu, menikahi kerabat dekat yang bukan mahram sekalipun boleh, akan tetapi banyak para fuqaha mencegah, karena mengakibatkan anak-anaknya lemah mental dan intelektual. Semua itu menggambarkan adanya kaitan erat antara pembiakan anak dengan tanggung jawab orang tua dari berbagai segi.

Dalam hal siapa yang berhak menentukan anak secara ikhtiari, ada beberapa pendapat ulama. Imam Ghazali berpendapat, anak adalah hak suami sendiri. Suami berhak menentukan punya anak atau tidak, karena ialah orang pertama yang akan bertanggungjawab. Ini berarti memberi kesempatan pembiakan anak untuk menentukan keseimbangannya dengan kebutuhan unsur-unsur kesejahteraan keluarga yang diharapkan penuh maslahah. 


Dari uraian di atas menunjukkan, bahwa pembiakan manusia adalah bagian terpenting dari masalah kependudukan. Hal itu merupakan pangkal dari pertumbuhan penduduk, yang cukup luas menjadi pembahasan dalam syari'at Islam/fiqih.
***
KESEJAHTERAAN lahir batin atau saadatud daaraini merupakan tujuan utama dalam hidup dan kehidupan masyarakat muslim. Orang muslim punyai fungsi utama dan sangat mendasar, yakni 'ibadatullah. Dalam rangka beribadah ini, manusia telah diberi kemampuan ikhtiari untuk melaksanakan berbagai taklifat. Di samping itu, ada jaminan sarana hidup dan kehidupan yang menuntut sumber daya manusia dan budidaya alam, pengelolaan, pengembangan serta pelestariannya. 

Namun dalam berikhtiar —tanpa kehilangan nilai tawakal dan nilai imani- masalah kependudukan, pertambahan penduduk yang tidak seimbang, penyebaran yang tidak merata dan struktur umum yang membedakan, masih menjadi tantangan yang menarik perhatian serius bagi kaum muslim Indonesia, untuk bersama sama dipecahkan dan diatasi demi tercapainya kesejahteraan lahir batin yang dicita-citakan Ini sesuai dengan pandangan syari'at Islam yang diciptakan dalam ajaran fiqih sosial yang mempunyai ruang lingkup cukup luas dalam penataan ihwal manusia dalam hidup dan kehidupannya untuk selamat di dunia yang penuh maslahah, menuju akhirat yang penuh sa'adah nanti. 

Di sinilah peran serta (para ulama sangat penting dan sangat mempengaruhi mulusnya upaya mengatasi masalah tersebut. Ulama yang mempunyai ciri melekat, yakni faqih fi mashalih al-khalqi, akan mampu berperan sebagai motivator dan pemberi inspirasi. Beliau di samping memberikan motivasi keagamaan mau pun sosial, sekaligus mampu mempengaruhi masyarakat untuk menumbuhkan dinamika yang tinggi dalam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya, di bidang material mau pun spiritual, untuk mencapai keseimbangan antara keduanya. 

Keterlibatan ulama dalam hal ini akan menciptakan kondisi dinamis di kalangan masyarakat lingkungannya, sehingga tumbuh dan berkembang secara kreatif kesadaran berbudidaya secara mandiri untuk selalu meningkatkan kualitas diri dan hidupnya. Kesadaran pendidikan, kesehatan, berdisiplin sosial, solidaritas sosial, keamanan dan utamanya kesadaran melaksanakan syari'at Islarn, akan terwujud sedemikian rupa dalam kordisi dinamis. Demikian itulah masyarakat yang dicita-citakan oleh Khittah NU 1926. 
Pada Mukadimah Khittah NU alinea pertama disebutkan, NU didirikan atas dasar kesadaran dan keinsafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya, bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Selanjutnya pada alinea ketiga berbunyi, NU dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera. 

Sedangkan butir enam tentang ikhtiar yang dilakukan NU, pada huruf (d) berbunyi, peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah. Kegiatan-kegiatan yang dipilih pada awal berdiri dan khidmahnya menunjukkan, pandangan dasar yang peka terhadap pentingnya terus-menerus dibina hubungan dan komunikasi antara para ulama sebagai pemimpin masyarakat, serta adanya keprihatinan atas nasib manusia yang terjirat oleh keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. 

Ungkapan Khittah NU tersebut menunjukkan betapa penting dan perlunya para ulama NU ikut terlibat langsung dalam mengatasi masalah kependudukan. Di .samping karena dorongan ajaran syari'at Islam, hal itu justru berarti melaksanakan dan membudayakan Khitthah 1926 secara konsekuen, sekaligus berikhtiar mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui partisipasi nyata. Dari uraian di atas sampailah pada kesimpulan yang tentu saja masih perlu dipertajam untuk mencapai kesamaan pandangan, wawasan dan sikap, yang kemudian ditindaklanjuti dengan kebersamaan langkah nyata di lapangan, antara ulama NU bersama eksponen organisasi neven NU di satu pihak dengan pemerintah di pihak lain. Kesimpulan itu antara lain sebagai berikut: 
  1. Bahwa syari'at Islam yang telah dijabarkan oleh fiqih sosial dalam komponen-komponen ibadah, mu'amalah, munakalah, jinayah, jihad dan qadla', merupakan penataan hal ihwal masyarakat untuk mencapai kesejahteraan lahir batin yang penuh maslahah. 
  2. Bahwa oleh karenanya, masalah kependudukan yang mempunyai implikasi luas dengan semua apek kehidupan masyarakat. Terpenuhinya semua kebutuhan rnaterial mau pun spiritual secara seimbang dan memadai, merupakan faktor pokok bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat, adalah menjadi tantangan dan tanggung jawab kaum muslimin di Indonesia dalam rangka mengaplikasikan ajaran syari'at secara kontekstual dan sekaligus merupakan da'wah bil hal. Dalam hal ini unit terkecil dalam struktur masyarakat adalah "keluarga" yang unsur-unsurnya terdiri atas suami, istri dan anak. Untuk itu, memaslahatkan keluarga lahir batin adalah langkah utama dalam mengatasi masalah kependudukan untuk mencapai kesejahteraan. 
  3. Bahwa persamaan persepsi para ulama NU dan peran sertanya dalam rnasalah kependudukan amat penting, bahkan akan menentukan keberhasilannya, sebagai motivator dan sekaligus inspirator yang akan membentuk kondisi dinamis di tengah masyarakat lingkungannya. Pada gilirannya akan tercipta kemandirian yang kreatif dalam meningkatkan kualitas diri dan kehidupan mereka, menuju kesejahteraan yang dicita-citakan. Peran serta ulama NU, di samping atas dorongan ajaran syari'at Islam, sekaligus merealisasi amanat Muktamar NU XVII yang dituangkan dalam rurnusan Khitthah NU 1926.
Bagian pertama bab pertama dari buku Nuansa Fiqih Sosial KHMA. Sahal Mahfudz

Minggu, 30 September 2012

Pegawai Tinggi Tak Mampu Sekolahkan Anak-anaknya

Aku bersyukur bahwa aku terlahir dari pasangan serasi pegawai tinggi*. Ayahku  hanya sempat mengenyam sekolah rakyat. Dan Simbokku juga pernah mencicipi bangku sekolah sampai dapat membaca dan menulis. Walaupun keduanya hanya berpendidikan ala kadarnya akan tetapi mereka berdua  mempunyai cita-cita yang luhur, yaitu dapat memberikan pendidikan yang yang tinggi dan berkwalitas kepada anak-anaknya. Sehingga kutukan pekerjaan yang selama ini mereka warisi dari para leluhur dapat terlepas dari anak-anaknya.

Menjadi pegawai tinggi memang penuh resiko. Bila musim penghujan datang, mereka para pegawai tingi harus mawas diri, satu langkah saja mereka terpeleset maka nyawa lah taruhannya. belum lagi dengan amukan petir dan halilintar yang kapan saja siap mencelakakan mereka. Begitu juga resiko yang kami hadapi bila musim kemarau datang, tak kalah hebatnya dengan ancaman pada musim penghujan. Toh walaupun begitu mereka para pegawai tinggi dua kali dalam sehari menekuni profesinya, tanpa pernah absen.

Seringkali kami bertanya “Apakah kami sebagai anak-anak dari pasangan pegawi tinggi dapat lepas dari bayang-bayang profesi yang sejauh ini kami warisi dari para leluhur, atau kami harus pasrah pada takdir dan siap menerima estafet profesi dari mereka ? Profesi ini memang telah menghidupi kami selama turun temurun beberapa generasi, Sayang sekali bila tidak ada yang meneruskan. Akan tetapi tuntutan hidup yang semakin banyak dan komplek setidaknya membuat kami berpikir ulang untuk menerima profesi tersebut. Mungkin cukup kami wakilkan pada kakak ipar kami saja yang sudah terlanjur menerima warisan dari kedua orang tuanya.

Ya… setidaknya sudah ada satu dari anggota keluarga kami yang kini menekuni profesi turun temurun itu.  Kakak ipar kami yang tertua. Kakak tertua kami yang hanya bisa mengenyam satu tingkat pendidikan diatas ayah sekarang bersuamikan seseorang yang berprofesi sama  dengan ayah, yaitu sama-sama menjadi pegawai tinggi. Hal itu tidak terlepas dari kondisi ekonomi keluarga kami yang pada saat itu timbul tengelam dihantam badai moneter, sehingga impian untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi terganjal oleh adik-adiknya yang pada saat itu juga harus disekolahkan.

Kisah yang hampir sama terjadi pada adik perempuanku yang sekarang menerima suratan sebagai ibu rumah tangga pada usia yang termasuk muda. Ya…  dia menikah sebelum usianya genap dua puluh tahun. Padahal ia punya harapan besar  untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Ia yang selalu mendapatkan rangking satu disekolah dan mendapatkan beasiswa sampai SLTA harus memupus keinginan untuk masuk bangku perguruan tinggi. Lagi-lagi rupiahlah salah satu penyebabnya. Setelah kesana kemari mencari beasiswa dan ternyata kandas akhirnya datanglah pinangan dari seorang guru SD swasta yang juga masih berstatus sebagai guru swasta. Dan orang tua kami tak pikir panjang menerima pinangan itu.

Awal bulan ini, Juli 2012,  kegetiran yang dialami oleh dua saudara perempuanku seakan mebayang dipelupuk mata. Adik laki-lakiku yang punya prestasi pernah dua kali membawa piala Tartil Qur’an tingkat propinsi dan  baru saja tamat dari SLTP dengan menggondol prestasi terbaik disekolahnya serta  ingin melanjutkan pada sekolah yang berkwalitas harus sabar menunggu peruntungan baik untuk dirinya. Hampir semua sekolah yang menjadi incarannya mematok uang pangkal tidak kurang dari lima juta. Mungkin, mengeluarkan  uang lima juta tidak lah berat bagi orang yang beruang. Bagi kami juga tidak berat, asalkan sudah tersedia dikantong dan tinggal memberikannya. Masalahnya, ia belum mau ngandang di kantong celana. Dan Alhamdulillah setelah usaha kesana-kemari  akhirnya uang sebesar itu terkumpul dan untuk sementara impian adiku seakan menjadi terang.

Sementara aku sendiri sedang memilih takdirku di Negri Seribu menara setelah memenangkan lotere milik Alloh.


*Istilah kami untuk menyebut penderes (orang yang berprofesi sebagai pengambil air  nira dan dijadikan gula merah)

Diposkan di kompasiana dengan judul yang sama tertanggal 8 July 2012.
 http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/08/pegawai-tinggi-tak-mampu-sekolahkan-anak-anaknya/

Santri Turats, Banyak Kitab Berwarna-warni Di Luar Sana


Ada fenomena menarik setelah aku pulang dari leler di penghujung tahun 2008. Setahun sebelum aku meninggalkan pesantren yang telah ku diami selama beberapa kali lebaran  itu aku mendengar  kabar  bahwa teman sekelasku melanjutkan jenjang  pendidikannya ke Unsiq Wonosobo. Beberapa bulan setelahnya, sekitar bulan maret, syaikhu masyayikh leler ustadzuna Ustadzy mengepakan sayap hingga sampai ke Negri para nabi. Desember tahun yang sama giliran putra Cilongok mendarat di Negri seribu menara. Selang setahun kemudian, tepatnya Desember tahun 2010 putra terbaik dari Purbalingga mengukuhkan diri  sebagai pemenang festival adu balap versi Moto GP dan menginjakan kaki di Negri Pharaoh. Hanya berjarak satu bulan setengah konstentan dari Cilacap dan Ciamis  ikut pula finish di Cairo international Air port. Dan puncaknya adalah pada rabu 12/9/12 Gus Zaman dan Gus Wajih mencatatkan diri di papan skor Al Azhar setelah sekian lama mereka para  ghawagis leler menghiasinya dan belum ada yang mencatatkan diri lagi.

Gairah dan semangat untuk selalu menambah wawasan keilmuan tak cuma terekam pada teman-teman dan ghawagis dimana penulis berdomisisli sekarang ini. Nun jauh disana, di pinggir rimba raya tepatnya di ujung selatan pulau Sumatera ada dua teman yang sekarang ini akan mencatatkan diri sebagai mahasiswa, satu kata yang dulu sempat kita cibir dan tidak ingin menyematkannya. Cerita ini tak terhenti pada dua teman kita yang ada di negri andalas akan tetapi tidak sedikit dari jebolan leler yang kini mengubah haluan. Bahkan salah satu teman yang sekarang masih berdomisili di pondok sudah dan masih menyematkan kata itu. Entah bagaimana ceritanya sehingga mereka mengubah status sebagai santri  gudig menjadi santri yang bersepatu dan tak bersarung. Bacaan mereka juga tidak melulu utawi iki iku.

Disini kita melihat adanya sedikit pergeseran cara pandang dari sebagian santri turats. Kami yang dulu berpandangan bahwa hanya dengan nyantri di pondok akan dapat mendapat tempat dalam setiap pergumulan masyarakat tanpa harus menimba ilmu dari sumber-sumber lain kini dipaksa untuk mengakui  bahwa ilmu yang kita serap dari satu sumber belum  dapat mencukupi untuk menopang kaki agar tidak oleng diterpa laju zaman. Memang benar, dalam kajian kitab kuning telah disajikan beragam dan bermacam-macam cabang pengetahuan, hanya saja kedangkalan kita dalam memahami teks turats dan berbagai factor lain menjadikan kitab kuning hanya sebagai kitab suci dan keramat  tanpa dapat mengetahui dan memahami kandungan yang tersimpan dan spirit yang tersirat dalam setiap huruf dan untain kata perkata.

Dalam  hazanah turats telah disinggung panjang lebar tentang kepemimpinan, tentang jiwa wira usaha, tentang masalah sosial kemasyarakatan, tentang pendidikan  dan lain sebagainya. Tapi sayangnya kita tidak dapat menangkap dan menyerap informasi apa saja yang  ada dalam hazanah turats itu. Contoh sederhana dari kedangkalan kita dalam menyelami turats adalah qoul imam syafi'I yang mengatakan "Ilmu ada dua macam yaitu illmu fiqh untuk mengatur kehidupan beragama dan ilmu kedokteran untuk mengatasi kesehatan badan. Dari perkataan sang Imam kita hanya mengambil satu maqolah saja, yaitu ilmu fiqh, itupun hanya berkutat dalam masalah ubudiyah saja, sedang untuk masalah muamalah kita ma'asyiroh santri salaf seakan tak bisa merekam dan mengikuti jejak perkembangan dan laju  berbagai macam transaksi kekiniaan yang seharusnya kita dapat menghukumi halal dan haramnya, sehingga  bila kita diajak berbicara tentang masalah ekonomi  dan perkembangan cara bertransaksi kita cuma tolah-toleh seperti kethek ditulup.  Ironis bukan? Dan berangkat dari situlah mungkin teman-teman yang masih punya sedikit semangat dan sedikit bekal mau meneruskan petualangan intelektualnya.

Akhirnya, Siapapun tak dapat menyangkal bahwa orang yang menimba hanya dari satu sumur dan ternyata airmya  tawar dan segar  ia akan berkata  bahwa air itu hanya punya rasa  tawar dan segar. Dan orang yang menimba dari beberapa sumber air  akan mengatakan bahwa air itu kadang  segar, kadang payau, kadang asin dan mungkin pula akan bertemu air yang keruh dan berwarna warni.