Akad Sewa Dalam Islam
Oleh: Adhi Maftuhin
Pendahuluan
Manusia semakin “cerdas” dalam upaya memenuhi apa
yang diinginkan. Terlepas dari adanya “budaya” konsumerisme yang menjamur dalam
setiap lapisannya, manusia secara alami mempunyai antivirus yang dapat
digunakan dalam mengerem perilaku berfoya-foya. Yaitu, adanya kecendrungan
memilih sesuatu produk –barang dan jasa- yang bernilai ekonomis-praktis.
Sewa-menyewa adalah akad yang dewasa ini menjadi
solusi paling digandrungi dalam meminimalisir pengeluaran –ekonomis- tanpa
harus mengorbankan keinginan pelakunya –praktis-. Bagaimana tidak, seorang
calon pengantin yang hanya memiliki beberapa lembar uang dapat tampil di depan
para undangan selayaknya raja dan permaisuri tanpa harus terlebih dahulu
mengelontorkan uangnya untuk membeli gaun pengantin dan dekorasi yang biasanya
hanya sekali pakai. Seorang yang bepergian ke suatu tempat tidak perlu
repot-repot membangun rumah atau vila ditempat yang dituju. Ia cukup memberikan
sebagian uang sakunya dengan imbalan kenyamanan tinggal dalam sebuah hotel. Seorang
yang hanya punya dua pounds dapat pulang-pergi kuliah tanpa harus capek jalan
kaki dari Asyir ke Husen. Dan masih banyak lagi keuntungan yang didapat dalam transaksi
sewa-menyewa.
Melihat geliat cerah dalam bidang jasa
(baca:sewa-menyewa), para pelaku bisnis tidak segan-segan menginvestasikan
hartanya dalam bidang ini. Maka, tumbuhlah jasa penyewaan dalam berbagai
bentuk dan ragamnya.
Ulama klasik telah memetakan dan mengupas secara
mendalam bahasan sewa menyewa dalam empat poin utama yaitu pertama, mengenai komoditi
yang dapat disewakan, yaitu meliputi ijarah
‘ain dan ijarah fi dzimmah, kedua,legal-formal dalam bahasan shighot
yang digunakan dalam bertransaksi, ketiga, batasan manfaat yang dapat dijadikan
barometer sah dan tidaknya sebuah akad dan yang terahir adalah bahasan mengenai
pelakunya (Mujir dan mustajir/ mukri dan muktari).
Hal ini tidak lain karena mereka para ulama ingin
memberikan ruang gerak yang bebas-terbatas bagi pelaku sewa-menyewa sehingga
tidak keluar dari asas hubungan timbal balik yang proporsional diantara kedua
pelaku dalam menerima dan menyerah terimakan hak dan kewajiban mereka berdua.
Adanya kenyamanan dan pelayanan yang baik bagi penyewa dan adanya keuntungan
materi bagi si pelaku bisnis (mujir/mukri).
Tak pelak, kebutuhan untuk mengkonversi hasil
ijtihad ulama terdahulu untuk kemudian dituangkan secara aplikatif dalam rangka
memberikan solusi dan menjembatani
pelaku bisnis penyewaan dan kliennya dalam penyerah-terimaan hak dan
kewajibannnya adalah hal yang tidak mungkin dihindari.
Untuk lebih jelasnya mari kita bahas bersama
transaksi sewa-menyewa dalam islam ditilik dari perspektif empat madzhab dengan
mendudukan transaksi sewa-menyewa dalam madzhab Syafi’I sebagai acauan utama
dan mengkomparasikanya dengan tiga madzhab yang lain. Sedangkan referensi utama
yang digunakan adalah kitab Bidayatul Mujtahid dan kitab Minhaj berikut
beberapa syarahnya.
Pengertian sewa.
Sewa menurut bahasa adalah nama bagi upah –ujrah-,
diambil dari fi’il madhi Aajara, yu’jiru, iijaran atau dari kata
ajara, ya’juru, ajran, keduanya bermakna ujrah[1].
Menurut Ulama Syafi’iyah, akad sewa adalah: akad
untuk mengambil manfaat suatu barang yang diketahui secara pasti, manfaat tersebut
memang dituju, dapat diserah-terimakan dengan adanya
imbalan yang disetujui kedua belah pihak[2].
Secara lebih singkat Imam Nawawy memberikan definisi sewa sebagai akad yang
berfungsi memberikan manfaat suatu barang dengan adanya imbalan dari pihak
penyewa dengan syarat-syarat tertentu.[3]
Akad sewa menurut Ulama Hanafiyah adalah akad untuk
mengambil manfaat suatu barang dengan adanya imbalan[4]
Ulama Malikiyah mendifinisikan akad sewa sebagai
akad yang berfungsi memberikan hak kepemilikan atas manfaat suatu barang
tertentu dengan imbalan tertentu pula.[5]
Sedang Ulama Hanabilah memberikan definisi akad
sewa sebagai jual beli atas manfaat suatu barang.[6]
Dari keempat definisi diatas semuanya bersepakat
atas dua poin, yaitu pertama, harus adanya manfaat sebagai objek akad dan kedua
adalah adanya tsaman yang diberikan kepada pihak pemberi sewa yang berfungsi sebagai
imbalan atas manfaat yang telah dinikmati oleh pihak penyewa.
Mencermati definisi yang diberikan oleh Imam
Qolyuby seperti yang telah disebutkan diatas, kita dapat meraba sejauh mana
gambaran akad sewa yang diperbolehkan oleh syara’, yaitu:
Pertama, sewa adalah sebuah akad[7],
maka agar akad dapat diterima oleh kedua belah pihak maka harus ada keridoan
diantara keduanya. Keridoan dapat diketahui dengan adanya shighat yang diucapkan oleh kedua belah pihak. Ijab dan qabul adalah dua hal
yang terkandung di dalamnya.
Kedua, adalah berkenaan dengan objek sewa. Objek dalam
akad sewa adalah manfaat, makanya setiap akad kepemilikan atas sebuah barang
dikecualikan dari sewa-menyewa.
Ketiga adalah batasan-batasan yang harus ada pada objek
akad. Yaitu manfaat yang dijadikan komoditi dalam akad sewa harus memenuhi
kriteria ma’lum, maqshud, qobilat lil badzli wal ibahah. Secara
gamblang Imam Qolyubi menjelaskan pengertian dari masing-masing kriteia dengan
cara mengeluarkan afrad yang tidak termasuk dalam definisi. Dari kata ma’lum Imam
Qolyuby mengecualikan akad Ju’alah[8]
yaitu akad atas manfaat yang belum diketahui secara pasti dengan adanya
imbalan tertentu. Dalam literatur klasik
biasanya dicontohkan dengan kesepakatan untuk menemukan barang yang hilang
dengan adanya imbalan tertentu. Kata maqshud mengecualikan manfaat yang
tidak mempunyai nilai jual[9],
dalam kata lain manfaat tersebut harus bernilai ekonomis. Seperti halnya
menyewa durian untuk diambil baunya.[10]
Terahir adalah qobilah lil badzli wal
ibahah. Dari batasan ini para fuqoha mengecualikan setiap manfaat yang
tidak dapat diserah terimakan seperti manfaat yang diambil dalam alat
reproduksi dan manfaat yang diambil dari jariyah.
Keempat adalah adanya
imbalan yang diberikan oleh penyewa kepada pemberi sewa sesuai dengan
kesepakatan diantara keduanya.[11]
Kelima adalah pelaku
dalam akad yang meliputi mu’jir/mukri dan musta’jir/muktari.
Sandaran Hukum
Ijarah adalah akad yang dipraktekan oleh umat
manusia jauh sebelum masa nabi. Hal ini terekam dalam Al Qur’an Surat Al
Qoshosh ayat 27 : Sungguh aku ingin
menikahkan engkau dengan salah satu dari dua putriku ini. Ayat ini
bercerita tentang pernikahan nabi Musa dengan salah satu putri nabi Syuaib
dengan mas kawin berupa penggembalaan kambing –manfaat- selama tujuh tahun. Terlepas dari perbedaan ulama mengenai akad sewa
dalam contoh masalah seperti ini, apakah masuk dalam kategori ijarah ‘ain atau ijarah fi dzimmah[12], para ulama bersepakat dalam poin
diperbolehkannya akad sewa menyewa melihat rukun yang telah dipenuhi. Yaitu,
adanya mujir dan musta’jir, shigot, manfaat yang diperoleh oleh
nabi Syueb sebagai penyewa jasa dan tsaman/’iwadh yang diperoleh oleh
nabi Musa berupa mas kawin sebagai imbalan dari keringatnya. Sedikit melenceng
dari permasalahan sewa-menyewa, ayat ini juga berbicara tentang batasan-batasan
mahar dalam bab nikah, yaitu harus berupa sesuatu yang punya nilai, baik berupa
barang atau manfaat.
Dalil kedua dari Al Qur’an mengenai akad sewa
adalah surat At Talaq ayat 6: “Jika mereka (perempuan)
menyusui anak-anak kalian maka berikanlah upah –yang sesuai- kepada mereka”. Ayat ini juga memberikan pengesahan
terhadap akad manfaat dengan adanya imbalan yang sesuai. Keempat rukun dalam akad
sewa telah terpenuhi yaitu adanya dua pihak yang berakad, shighot, adanya
manfaat yang diperoleh oleh pihak penyewa dan terahir tsaman yang diperoleh
oleh pihak pemberi sewa.
Ada banyak hadits nabi yang membincangkan akad
sewa, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA dan
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab shohihnya[13].
Hadits tersebut berbunyi: Rasul dan
Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari Bani Dail –dia masih memeluk agama
para leluhurnya- yang ditugaskan sebagai penunjuk jalan, Nabi dan Abu Bakar menyerahkan
kendaraan dan perbekalan kepadanya untuk diserahkan kembali setelah lewat tiga
malam di gua Hira. Dari hadits ini para ulama memperbolehkan akad sewa
diantara muslim dan non muslim sebagaimana diterangkan nanti dalam syarat dan
rukun akad sewa.
Hadits kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Jabir bin Abdillah[14]
: Jabir bin Abdillah menjual onta
miliknya kepada nabi dengan syarat menaikinya sampai Madinah. Hadits ini membicarakan tentang akad sewa
dengan dibarengi syarat sebagaimana akan dijelaskan pada bab selanjutnya.
Hadits ketiga adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ibnu Majah[15] : Berikanlah upah kepada para pekerja
sebelum keringat mereka kering. Hadits ini berbicara tentang hak dan
kewajiban bagi pelaku akad sewa beserta adabnya.
Rukun dalam akad sewa
Rukun sewa terbagi menjadi tiga[16].
Pertama, pelaku sewa-menyewa (mu’jir dan musta’jir). Kedua, Obyek transaksi dan alat tukar (ma’qud alaih) yang berwujud manfaat suatu barang dan
imbalan/upah. Ketiga adalah shighot (ijab dan qabul).
Sepintas, rukun dalam akad sewa merupakan replika
dari rukun yang terdapat dalam akad jual-beli.[17]
Ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam akad jual beli juga diterapkan dalam
akad sewa. Misal saja pada ketentuan-ketentuan yang ada pada diri ‘aqid,
pembagian syarat dan seterusnya. Baiklah, kita akan membhasa lebih jauh hal-hal
yang berkenaan dengan rukun sewa-menyewa.
Rukun pertama dalam akad sewa adalah adanya dua pihak
yang saling sewa-menyewakan. Syarat yang harus terpenuhi dari kedua belah pihak
sehingga akad sewa menjadi sah adalah terpenuhinya syarat yang terdapat dalam
diri penjual dan pembeli yang meliputi adanya kecapakapan[18]
dalam diri penjual dan pembeli dan tidak adanya unsur paksaan diantara kedua
belah pihak. Sedang menanggapi ketentuan
berikutnya yaitu persyaratan keislaman pembeli dalam beberapa kasus karena
dihawatirkan akan melecehkan terhadap nilai yang terdapat dalam agama atau
munculnya disintegrasi bangsa misalnya, dalam akad sewa tidak disyaratkan si
penyewa harus seorang muslim.
Diceritakan bahwasanya sahabat Ali KW.
Mempekerjakan diri sebagai tukang siram tanaman kepada seorang yahudi dengan
imbalan satu biji korma per satu ember[19]. Melihat cerita ini maka bekerja kepada non
muslim dihukumi boleh asalkan pada lapangan pekerjaan yang memerlukan keahlian
husus[20].
Rukun kedua dalam akad sewa adalah shighot.
Berkenaan dengan masalah shighot, penulis ingin membandingkan
ketentuan-ketentuan yang terdapat didalamnya menurut pandangan Ulama Hanafiyah
dan Ulama Syafi’iyah.
Menurut ulama Hanafiyah ada beberapa poin yang
harus diperhatikan terkait dengan shighot. Diantaranya adalah adanya keridhoan
diantara kedua belah pihak, barang yang akan diambil manfaatnya dapat
diserah-terimakan, hal yang akan dikerjakan oleh pihak musta’jir tidak termasuk
dalam kategori fardhu dan wajib bagi mu’jir, dan manfaat yang akan diterimakan
bernilai ekonomis.[21]
Ulama Syafi’iyah memberikan batasan shighot dalam
akad sewa sama persis dengan batasan yang ada dalam bab jual beli. Diantaranya
adalah adanya kesesuaian antara ijab dan qabul, tidak ada pemisah antara ijab
dan qabul yang menyebabkan akad dapat dianulir, dan terahir adalah adanya batas
waktu tertentu.[22] Poin
terahir ini kiranya tidak terdapat dalam shighot jual beli dikarenakan
penyerahan kepemilikan dalam bab jual beli bersifat permanen. Berbeda dengan
penyerahan barang yang akan diambil dalam bab sewa yang bersifat temporal. Bahkan,
jika dalam shighot sewa mencantumkan pemanfaatan suatu barang dengan
kadar waktu yang tidak ditentukan/ selamanya akan merusak akad.
Mengkomparasikan kedua pendapat tersebut diatas
kita dapat menarik kesimpulan bahwa madzhab Syafi’i menerapkan aturan ketat
dalam masalah shighot.[23]
Hal ini memang termasuk ciri-ciri dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan
jargon legal-formal dalam masalah mumalah. Keputusan Imam Syafi’I dalam
menerapkan aturan legal-formal dalam masalah muamalah bersumber dari
kehati-hatian beliau berkenaan dengan keridhoan kedua belah pihak dan juga
untuk menghindari kesalah pahaman diantara keduanya. Dikemudian hari, aturan
legal-formal yang dipelopori oleh Imam Syafi’i ternyata populer dikalangan
pelaku bisnis jasa demi menjaga hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak.
Gaya legal-formal yang dikembangkan oleh Imam
Syafi’I kemudian dimodifikasi dan diterjemahkan dalam konteks kekiniaan dengan
adanya klausul kesepakatan tertulis oleh kedua belah pihak. Sebelumnya, ulama
zaman pertengahan banyak memanfaatkan kaidah Al ‘ibrah bil Ma’any Laa Bil
Mabany -kurang lebih artinya adalah
standar sah tidaknya sebuah akad terletak pada substansi, tidak terpancang pada
shighat yang digunakan- dalam melenturkan kekakuan yang terdapat dalam bentuk
shighot muamalah. Contoh kecil dari
kasus ini adalah dalam masalah Al Ijar Al Muntaha bi At Tamlik dan shighot bi’tuka manfa’ataha.[24]
Poin keridhoan dalam bab shighot yang
ditanggapi sangat serius oleh Imam Syafi’I ternyata hanya menempati beberapa
persen dari batasan shighot yang dapat diterima keabsahannya dalam
pandangan Imam Hanafi. Beliau masih menyisakan beberapa syarat yang sebenarnya
kalau diteliti lebih jeli tidak termasuk dalam bahasan shighot. Ulama
syafi’iyah mengklasifikasinya dalam syarat yang harus terpenuhi dalam pos yang
lain, lebih tepatnya untuk poin yang kedua dan seterusnya dimasukan dalam poin
kriteria manfaat dan syarat bagi musta’jir, bukannya masuk dalam bahasan
shighot.
Hal menarik yang menjadi perbedaan diantara
pendapat Syafi’iyah dan Hanafiyah terdapat dalam boleh tidaknya menyewa
seseorang untuk melaksanakan ibadah haji dan ibadah sejenis. Dalam ushul
madzhab Hanafi dan Syafi’I terdapat kaidah yang berbunyi “Tidak sah menyewa
–meminta jasa- seeseorang untuk melaksankan kewajiban yang diharuskan ada niat
didalamnya”.[25] Ulama
Syafi’iah mengecualikan beberapa ibadah dari kaidah ini, walaupun pada
kenyataanya ibadah tersebut harus diniati. Mereka berpandangan bahwa segala
ibadah yang dapat diwakilkan -walau harus diniati- masuk dalam objek yang dapat
disewakan.[26] Sedangkan ulama Hanafiyah tidak menempatkan
kaidah tadi pada kemuthlakannya tanpa memberikan pengecualian, makanya haji dan
ibadah lain yang keabsahannya sangat tergantung pada niatan pelakunya -menurut
mereka- tidak termasuk dalam kategori objek akad sewa.
Rukun ketiga adalah ma’qud alaiah, berupa
manfaat dan tsaman yang dijadikan upah. Hal pertama yang kita bahas adalah
tentang manfaat disertai ketentuan-ketentuannya.
Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan
sebelumnya, manfaat yang dapat dijadikan objek dalam transaksi sewa-menyewa harus berupa manfat yang diketahui secara
pasti, bernilai ekonomis [27]
dan dapat diserah terimakan.[28]
Syarat manfaat yang seperti ini menurut versi ulama Syafi’iyah.
Menurut Ulama Malikiyah manfaat yang dapat
dijadikan objek transaksi adalah manfaat yang punya nilai ekonomis, dapat
diserah terimakan dan tidak merusak barang yang disewakan.
Menurut Hanabilah, standar manfaat yang harus
dipenuhi dalam akad sewa adalah manfaat yang berstatus mubah[29]
dalam situasi normal menurut pandangan syara’ dan mempunyai nilai ekonomis. Misal,
Tony menyewa tenaga Anton untuk memukul Budi. Dalam kasus sewa semacam ini
menurut ulama Hanabilah tidak sah, karena manfaat yang dijadikan objek akad
tidak diperbolehkan menurut pandangan syara’. Contoh kedua adalah penyewaan
pernak-pernik untuk menghias ruangan. Manfaat
semacam ini menurut pandangan hanabilah tidak bernilai ekonomis.[30]
Ulama Hanafiyah tidak memberikan batasan spesifik
pada bahasan manfaat. Mereka memboncengkan bahasan manfaat pada bab shighot dan
telah dibahas diatas. Maka, kiranya penulis mencukupkan diri dan langsung membahas
titik persamaan dan perbedaan diantara empat madzhab.
Kriteria manfaat yang dijadikan objek dalam akad
sewa menurut pendapat ke empat madzhab sebenarnya sama, walaupun dengan
menggunakan redaksi yang berbeda. Persamaan muthlak diantara ke empat madzhab
tersebut dapat dilihat dari dua poin yaitu: pertama, dapat diserah terimakan
secara hissy dan syar’i, dan kedua, mempunyai nilai ekonomis. Sedangkan kriteria tambahan
menurut madzhab Maliki yaitu pelarangan merusak barang yang disewa dapat
ditemukan dalam norma-norma ataupun klasusul perjanjian dalam semua madzhab
fikih. Hal ini juga tidak lepas dari adanya kesepakatan bersama antara pihak
penyewa dan pemberi sewa bahwa kekuasaan penyewa atas barang yang disewa hanya
terbatas pada manfaatnya saja. Kerusakan yang ditimbulkan oleh penggunaan
barang diatas batas wajar akan menjadikan penyewa dikenakan biaya tambahan
sebagai bentuk dhoman[31],
sebuah ganti rugi yang diambil dari pihak penyewa jikalau nanti di akhir masa
sewa terjadi hal yang tidak diinginkan karena unsur terlalu berlebihan dalam
mengeksploitasi barang yang disewa. Hal inilah yang mendorong pemerintah Mesir
menerapkan adanya uang jaminan yang diserahkan bersamaan dengan uang sewa
diawal masa sewa. Walaupun pada kenyataannya uang jaminan ini biasanya hangus
dan tidak dikembalikan oleh pihak tuan
rumah di akhir masa sewa, baik dengan dalih atau tanpa dalih sekalipun.
Bagian kedua dari rukun ketiga akad sewa adalah tsaman
yang digunakan sebagai imbalan kepada pemberi sewa. Telinga kita lebih familiar
dengan istilah upah.
Syarat sesuatu dapat dijadikan upah adalah punya
nilai ekonomis, atau dapat pula kita bahasakan sesuatu tersebut berharga,
sebagaimana halnya syarat yang terdapat dalam alat tukar pada bab jual beli. Syarat
selanjutnya adalah dapat diketahui kadar, jenis dan sifatnya (ma’lum), manakala
sesuatu yang dijadikan upah bersifat fi dzimmah. Kalau sesuatu yang
dijadikan upah bersifat mu’ayyan maka cukup dengan melihatnya.[32]
Contoh sederhana dari syarat ini adalah Seseorang yang menggilingkan beras
untuk dijadikan tepung tidak diperbolehkan memberi upah dengan tepung yang
dihasilkan dari proses penggilingan tadi. Sebagian petani juga masih
menggilingkan padi dengan imbalan berupa beras hasil dari penggilingan tadi. Larangan
tersebut berangkat dari kekaburan dalam spesifikasi jenis, kadar dan sifat
dalam upah serta ketidak mampuan dalam memberikan upah secara kontan . Ulama
syafi’iyah menembungkannya dalam satu kaidah “ Tidak diperkenankan -bagi penyewa, dalam hal ini adalah petani-
memberikan upah –kepada pemilik penggilingan padi- dengan sesuatu yang diambil dari
manfaat yang baru saja dihasilkan olehnya ”.
Senada dengan ulama Syafi’iyah, ulama Hanafiyah memberikan
batasan berupa “Upah tidak boleh diambil
dari manfaat yang dihasilkan oleh ma’qud alaih ”[33].
Secara lebih gamblang dapat ditembungkan antara upah yang akan dijadikan
imbalan dan ma’qud alaih satu jenis. Misal,
si A menyewa rumah kepada B dengan upah si B menempati rumah si A. lain cerita
jika yang dijadikan alat pembayaran dalam sewa rumahadalah manfaat yang
diperoleh kendaraan misalnya. Maka hal tersebut boleh karena jenisnya berbeda. Selain
itu ulama hanafiyah juga mensyaratkan upah berupa sesuatu yang ma’lum yaitu
berupa uang, barang yang dapat ditakar dan ditimbang atau kendaraan.
Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang terdapat
dalam upah sama persis dengan syarat yang terdapat dalam batasan alat tukar
untuk jual beli. Ada empat syarat yaitu
barang tersebut dapat dilihat, bernilai guna, dapat diserah terimakan baik
secara hissi dan syar’I, dan yang terahir adalah punya
spesifikasi tertentu (ma’lum).
Batasan upah dalam madzhab Hanbali adalah “Segala
seuatu yang dapat dijadikan tsaman dalam jual beli fi dzimmah maka dapat
dijadikan upah”
Walhasil, dari kempat pendapat madzhab diatas dapat
kita simpulkan bahwa sesuatu barang dapat dijadikan upah manakala punya nilai,
dapat diketahui kadar, jenis, dan sifatnya (ma’lum)[34]
dan terahir adalah upah tidak diambil
dari bentuk jasa yang dihasilkan oleh pihak pemberi jasa atau dari ma’qud alaih
itu sendiri. Selain dari itu tidak diperbolekan menjadi upah. Imam Ibnu Rusyd
menyedarhanakannya menjadi “Apapun yang dapat dijadikan obyek jual beli dapat
dijadikan upah’’.[35] “Perbedaan pendapat mengenai apa saja yang
dapat dijadikan tsaman dalam jual beli juga menjadi titik perselisihan dalam
jenis barang yang dapat dijadikan upah.[36]
Pembagian Akad Sewa
Melihat barang yang akan disewakan, akad sewa
dibagi menjadi dua yaitu ijarah fi dzimmah dan ijarah ‘ain. Ijarah
fi dzimah adalah sewa atas manfaat suatu barang, dimana barang tersebut
tidak berada pada tangan pemberi sewa ketika akad berlangsung. Sedang ijarah
‘ain adalah akad sewa atas manfaat barang yang ada pada kekuasaan pemberi
sewa manakala akad berlangsung. Ijarah fi dzimmah adalah kepanjangan
tangan dari bai’ salam, sedang ijarah ‘ain adalah miniatur dari akad jual beli biasa.
Contoh dari ijarah fi dzimmah adalah
penyewaan mobil dengan menyebutkan daftar spesifikasi yang dikehendaki oleh
penyewa. Sedang contoh dari ijarah ‘ain adalah penyewaan mobil yang ada
dan dapat dilihat secara langsung oleh penyewa ketika akad berlangsung, begitu
juga sewa atas barang tak bergerak. Perbedaan diantara keduanya adalah ada dan
tidak adanya ma’qud alaih dalam majlis akad.
Perlu diperhatikan disini bahwa untuk menjamin hak
dan kewajiban bagi pelaku sewa maka perlu adanya spesifikasi yang jelas dalam
masalah ijarah fi dzimmah. Misal saja dalam sewa mobil maka harus
disebutkan jenis, pabrikan, jarak tempuh, kapasitas barang dalam kg. dan orang
yang diperbolehkan, ber AC atau tidak dan seterusnya. Untuk ijarah ‘ain
tidak memerlukan penjelasan yang detail dikarenakan informasi yang dikumpulkan
oleh pandangan mata terbilang sudah mencukupi untuk memetakan barang yang
diinginkan. Hal tersebut berlaku jika
penyewa termasuk orang yang mengusai seluk beluk otommotif. jika
sebaliknya, maka bagi pemberi jasa diharuskan memberi tahukan spesifikasi
barang yang akan disewa kepada penyewa.[37]
Perbedaan selanjutnya adalah tentang waktu dan
tempat penyerah terimaan upah. Pemberian upah dalam ijarah fi dzimmah
harus dalam majlis akad, sedang dalam ijarah ‘ain tidak disyaratkan
pemberian upah dalam majlis, boleh saja dibayar belakangan. Alasan mengapa
pemberian upah dalam ijarah fi dzimmah harus kontan dan dilaksanakan dalam
majlis akad karena ijarah fi dzimah adalah akad salam dengan objek akad berupa
manfaat. Disamping syarat tadi, upah ijarah fi dzimah juga tidak boleh ditukar, jadi hawalah dan dibebas tangguhkan.
Sebaliknya, dalam ijarah ‘ain
peraturan tadi tidak berlaku sama sekali. Hal ini berdasar pada landasan hukum asal
dalam ijarah ‘ain yang mengacu pada hukum jual beli.
Selanjutnya adalah mengenai waktu pemanfaatan
barang sewa. Batas awal pemanfaatan barang sewa dalam ijarah fi dzimmah
dapat ditangguhkan sampai batas waktu tertentu menurut kesepakatan. Jika dalam
akad tidak mencantumkan batas awal penggunan maka ijarah fi dzimmah
berlaku terhitung semenjak akad disepakati. Sedang dalam ijarah ‘ain berlaku sebaliknya.
Terkait masalah pemanfaatan barang sewa, perlu
diketahui juga bahwa batas pemanfaatan barang sewa adakalanya ditentukan dengan
memakai standar waktu ada pula dengan memakai standar aktifitas ada pula dengan
memakai keduanya.[38]
Untuk barang sewa dengan kadar tahan lama dapat disewakan menurut uji
kelayakan. Misalkan saja sebuah rumah dapat ditempati secara layak selama lima
puluh tahun maka, penyewaan tidak diperbolehkan melebihi batas maksmial.
Ketentuan-ketentuan umum dalam akad
ijarah[39]
Ketentuan umum dalam akad ijarah terbilang tidak
sedikit. Akan tetapi, secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua bagian.
Pertama, ketentuan yang bersifat mengikat
(harus ada) berikut faktor pendukungnya tanpa melihat akan terjadinya sesuatu
yang terjadi belakangan. Kedua, membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi dalam rentang waktu penyewaan. Bagian yang kedua ini meliputi
hal-hal yang mewajibkan denda, mengetahui rusaknya akad dan terahir mengetahui
perbedaan diantara kedua belah pihak.
Masuk dalam bagian
pertama adalah masalah penerimaan tsaman. Manakala pemberi sewa
menyerahkan barang yang akan disewakan dan dalam akad tidak menyaratkan
bentuk penerimaan tsaman maka
dalam hal ini Imam Abu Hanifah dan Imam Malik
mengatakan bahwa pembayaran tsaman diangsur sedikit demi sedikit sesuai
dengan besar kecilnya manfaat yang diterima oleh penyewa. Sedang Imam Syafi’I
mengatakan jika pembayaran bersifat tempo maka termasuk dalam bab ad dain bi ad dain yaitu penyerahan ma’qud alaih
yang bersifat ma’dum dalam waktu akad dengan tsaman yang belum ada juga ketika waktu
akad terjadi. Ad dain bi ad dain
termasuk hal yang dilarang.
Contoh kasus selanjutnya adalah mengenai penambahan
waktu sewa oleh penyewa pertama dikarenakan menyewakannya lagi pada penyewa
kedua melebihi batas waktu yang telah disepakati oleh penyewa pertama dan
pemilik barang. Imam Malik dan Imam Syafi’I memperbolehkannya, sedang Imam Abu
Hanifah tidak. Alasan pendapat pertama adalah
mengkiyaskannya dengan jual beli, sedang alasan pendapat kedua karena termasuk
dalam masalah mengambil keuntungan dari barang yang tidak berada dalam jaminan
pemiliknya. Alasan selanjutnya adalah termasuk dari bagian jual beli barang
yang belum diserah terimakan.
Untuk kasus-kasus yang terjadi dalam bagian pertama
sebenarnya masih banyak, hanya saja untuk penyelesaiannya dapat diusahakan
antara kedua belah pihak dalam klausul akad.
Bagian kedua meliputi tiga bab, bab pertama adalah
berkenaan dengan rusaknya akad dikarenakan sesuatu hal.
Permasalahan yang terjadi dalam rusaknya akad erat
kaitannya dengan ikhtilaf ulama mengenai bentuk dari akad ijarah, apakah
bersifat lazim atau bersifat jaiz. Golongan ulama yang mengatakan bahwa akad
ijarah adalah akad lazim berselisih pendapat mengenai hal yang dapat
merusaknya. Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Sufyan Al Tsaury, Imam Abu tsaur dan
lainnya mengatakan bahwa akad ijarah tidak dapat dianulir terkecuali bila ada
hal yang menjadikannya rusak sebagaimana dalam akad lazim, misal saja adanya
cacat dalam ma’qud alaih atau hilangnya manfaat dalam barang yang disewakan. Imam
Abu Hanifah dan murid-muridnya tidak sependapat. Mereka berkata bahwa akad
ijarah kapanpun bisa rusak disebabkan adanya hal yang tidak diinginkan terhadap
penyewa. Misal saja, penyewa ruko dapat membatalkan akad sewa jika terjadi
kebakaran terhadap barang dagangannya atau barangnya dicuri orang.[40]
Selanjutnya adalah perbedaan pendapat mengenai
rusaknya akad disebabkan kematian salah satu pihak. Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam
Ahmad, Imam Ishaq dan Imam Abu Tsaur mengatakan bahwa akad sewa tidak rusak
lantaran salah satu pihak meninggal. Sedang Imam Abu Hanifah, Imam At Tsaury,
dan Imam Laits mengatakan sebaliknya. Pendapat pertama berhujah bahwa sewa
adalah akad mu’awadhoh maka, tidak dapat begitu saja terputus lantaran kematian pada salah
satu pihak, hak dan kewajiban diteruskan oleh ahli waris sebagaimana dalam akad
jual beli. Pendapat kedua beralasan bahwa kematian dari salah satu pihak memindah
status kepemilikan barang yang disewakan dari kepemilikan satu kepemilikan
berikutnya. Maka, akad yang disandarkan atas asas jual beli menjadi rusak,
yakni dihukumi tidak dapat diteruskan lagi. Selain hujah diatas Ulama Hanafiyah
juga memberikan hujah dengan menganalogkan akad sewa dengan akad nikah dalam
hal sama-sama akad atas manfaaat. Kematian adalam akad nikah menjadikan nikah
secara otomatis terlepas, begitu juga dalam akad sewa. Akan tetapi pendapat
yang seperti ini terbilang jauh dari benar lantaran ada jurang pemisah diantara
dua akad. Yaitu dalam akad sewa manfaat bersifat dapat diserah terimakan kepada
orang lain sedang dalam bab nikah hanya bersifat intifa’, tidak boleh diserah terimakan kepada pihak selanjutnya.
Bab kedua adalah berkenaan dengan dhoman, ganti rugi, denda dan tambahan tsaman
sewa yang harus ditanggung oleh salah satu pihak.
Para fuqoha membagi dhoman dalam bab ijarah
menjadi dua bagian yaitu, dhoman dikarenakan kerusakan yang terjadi pada barang sewa atau disebabkan
melebihi batasan-batasan yang ditentukan dalam klausul akad. Dan kedua dhoman dengan fungsi untuk
menjaga dan merawat ma’qud alaiah, mungkin dapat kita bahasakan dengan uang jaminan.
Pada dhoman bentuk pertama, dhoman dibebankan kepada kepada pihak penyewa[41]
manakala kerusakan pada barang sewa disebabkan unsur kesengajaan. Jika
kerusakan yang timbul atau berkurangnya
fungsi barang sewa tidak disebabkan karena faktor kesengajaan maka dibebankan
kepada pemilik barang. Dalam masalah penambahan waktu sewa dan adanya
eksploitasi diatas rata-rata terhadap barang sewa maka bagi penyewa wajib
membayar tambahan upah sesuai dengan standar umum yang berlaku. Malikiyah
berpandangan bahwa jikalau terjadi kasus seperti itu maka bagi pemilik barang
diperkenankan untuk memilih diantara dual hal, yaitu mengambil tambahan uang
sewa atau meminta denda atas kerusakan dan berkurangnya manfaat dikarenakan
digunakan tidak sebagaimana mestinya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak
ada kewajiban bagi penyewa untuk menambahkan biaya sewa, bagi pemilik barang
juga tidak punya hak untuk menuntut. Yang ada adalah beban denda kepada pihak
penyewa manakala terjadi kerusakan atas barang sewa. Dari sini kita boleh saja
menyangsikan rasionalitas dari madzhab Hanafi dan memuji madzhab Syafi’I yang
sangat proporsional mendudukan antara hak dan kewajiban diantara kedua belah
pihak.
Bentuk
dhoman yang kedua ini bersifat
relativ sesuai dengan kesepakatan. Biasanya untuk perawatan yang bersifat
keseharian akan dibebankan kepada pihak penyewa. Sedang perawatan yan bersifat
temporal dan untuk melindungi barang agar tetap dapat memberikan manfaat yang
maksimal akan dibebankan kepada pemilik barang. Dalam kitab-kitab fikih dapat
kita lihat bagaimana jaminan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak terjaga dengan
baik. Tapi, dalam kenyataan di lapangan banyak terjadi kecurangan dan
pelanggaran. Contoh yang kita alami sehari-hari adalah kecurangan dalam
penyewaan rumah di Mesir.
Bab
ketiga adalah mengenai perselisihan yang terjadi diantara pihak penyewa dan
pemilik barang atau pihak pekerja dan penyewa jasanya.
Berkaitan
dengan pembahasan ini para ulama juga sudah membicarakannya panjang lebar.
Titik temu diantara mereka adalah ingin sekali memberikan keadilan yang
seadil-adilnya bagi pihak penyewa dan pemilik barang. Keputusan yang diambil
para fuqoha obyektif dan tidak berat sebelah. Menimbang dan memperhatikan objek
permasalahan dengan seksama serta memperhatikan saksi bilamana tersedia.
Karena
pembahasan yang terahir ini erat kaitannya dengan meja hijau maka, perlu
kiranya kita merujuk undang-undang perlindungan hak dan kewajiban bagi penyewa
dan pemilik barang. Dan kiranya penulis tidak perlu berpanjang lebar membahas
hal ini.
Ahirnya,
kritik dan saran sangat diharapkan.
[1]
Qolyuby ‘Umairah Hal. 68, Cet. Akhbarul Yaum. Dalam Al qamus, Al Ajru adalah
imbalan atas pekerjaan. Sedang dalam Al mu’jam Al wasith, Al Ajru –upah- adalah kompensasi atas pekerjaan yang telah
dilakukan atau manfaat yang diterima.
[2]
Ibid, Hal. 68
[3]
Al Minhaj
[4]
Al hidayah syarah Bidayah. Dalam Al Fiqh Ala madzahib Al Arbaah, sewa diberi
devinisi sebagai akad yang berfungsi memberikan manfaat yang diketahui secara
pasti, dituju kemanfaatannya dengan adanya imbalan. Juz 3. Hal. 72.
[5]
Syarh fath Al Jalil. Ulama Malikiyah membedakan istilah sewa barang ringan dan
kebutuhan manusia dengan sewa barang yang berat. Untuk yang pertama dinamakan
ijarah yang kedua dinamakan Al kara. Ijarah menurut mereka adalah akad yang
berfungsi memberikan kepemilikan atas manfaat sesuatu yang diperbolehkan oleh
syara’ dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan yang diambil bukan dari
manfaat tersebut. Al fiqh Al madzahib Al Arba’ah, Juz 3, Hal. 73
[6]
Al kafi. Ulama Hanabilah memberi devinisi ijarah sebagai akad atas manfaat yang
diperbolehkan menurut syara’, bernilai
ekonomi, manfaatnya di ambil sedikit demi sedikit dalam tenggang waktu yang
ditentukan dengan adanya imbalan. Juz 3. Hal 74
[7]
Dalam Mishbah Al Munir kata akad mempunyai makna sesuatu yang dapat mengikat.
Juz 2, hal. 421. Dalam lisanul Arab, akad adalah kebalikan dari lepas. Juz 3
hal. 596. Sedang menurut syara’ pengertian akad terbagi menjadi dua, yaitu
pengertian akad secara umum dan akad ssecara husus. Akad dalam pengertian yang
umum bermakna segala bentuk tasharuf baik tasharuf yang bersifat mandiri dalam
periwujudnya atau tasharuf yang dalam perwujudannya harus melibatkan pihak
kedua. Contoh pertama adalah sumpah, dan contoh yang kedua adalah jual beli,
sewa menyewa dll. Sedang makna akad secara lebih sempit hanya tertuju pada
bentuk tasharuf yang harus melibatkan dua pihak atau lebih. Al manar dirasah fiqhiyyah fi ahkam muamalat
al maliyah hal .6-9
[8]
Khotib Al Syirbiny mengecualikan juga akad qiradh dengan pembagian hasil yang
belum ditentukan. Mughnil Muhtaj Juz 3, hal. 378.
[9]
Contoh dari manfaat yang tidak punya nilai ekonomis adalah ucapan seseorang
dalam rangka menarik pembeli. Hal ini menimbulkan pro kontra ketika melihat
fenomena yang berkembang saat ini. Manajemen marketing yang berkembang dewasa
ini selalu mengikut sertakan Sales Promotion Girl (SPG) dan sejenisnya, bahkan
kita mengenal apa yang dinamakan dengan nama gadis payung dalam arena Moto GP,
ada juga “gadis pajangan” yang ditempatkan dalam stand-stand pameran dan
swalayan. Bagaimana fiqh menyikapi fenomena tersebut? Imam Qolyubi menyikapi
hal-hal semacam ini dengan mengambil mafhum
mukholafah, yaitu bilamana manfaat yang diambil dari pemberi sewa sekira
membutuhkan kemampuan khusus dan layak disebut ssebagai profesi maka manfaat
tersebut terbilang bernilai ekonomis. Sedang dalam masalah gadis payung, SPG
dan yang sejenis, pekerjaan tersebut dapat dimasukan dalam kategori akad sewa
yang sah, hanya saja menilik factor lain maka pekerjaan tersebut hendaknya
dipikirkan kembali. Hal. 69. Sebagaimana
di Mughni Al Muhtaj juz 3 hal. 384.
[10]
Manakala durian yang disewa dalam jumlah besar dan memang disengaja menyewa
durian untuk pengharum ruangan misalnya maka akd seperti ini diperbolehkan
sebab manfaat disini bernilai ekonomis.
[11]
Dari poin ini mengecualikan akad-akad yang tidak memerlukan imbalan seperti
akad pinjam meminjam, syirkah, memberikan manfaat atas suatu barang wasiat atas
manfaat barang dsb. Mughni Al Muhtaj juz 3, hal. 378.
[12] Dalam qolyubi hal. 68 disebutkan
apabila ada seseorang mengucapkan aku menyewamu untuk mengerjakan suatu hal
–menggembalakan kambing misallnya- maka akad tadi menurut ulama syafi’iyah
dapat masuk dalam kategori ijarah ‘ain dikarenakan
redaksi yang digunakan dalam shighot akad berbentuk susunan idhofah (Aku
menyewamu), dapat juga masuk dalam kategori ijarah
fi dzimmah dikarenakan substansi sewa menyewa terletak pada adanya pekerjaan -yang mendatangkan manfaat untuk
penyewa- dari diri mukhotob. Bukan sifat kebendaan yang ada pada diri mukhotob.
[13]
Shohih Bukhori, hadits 3905
[14]
Ibid, bab jual beli
[15]
Ibnu Majah, hadits no. 2443
[16]
Terbaginya rukun akad sewa menjadi tiga adalah menurut pendapat jumhur. Menurut
Hanafiyah, rukun sewa hanya ada satu yaitu shighat sebagaimana ikhtilaf dalam
bab jual beli. Dalam banyak referensi fikih, rukun akad sewa ada empat. Hal ini
mengacu pada pemisahan ma’qud alaih diatas menjadi dua yaitu ma’qud alaih itu
sendiri yang hanya memasukan manfaat dan upah berdiri sebagai rukun tersendiri.
Qolyubi hal. 68. Menurut al Fiqh Ala MAdzahib Al Arba’ah rukun dalam akad sewa
ada 5, Al ‘Aqidani, Al ‘Iwadhain, dan shighot. Juz 3. Hal. 87
[17]
Syarah Bidayatul Mujtahid, juz 4, hal. 1795, cet. Dar Salam
[18]
Standar seseorang mempunyai kecakapan adalah manakala ia sudah dewasa dan dapat
memenej dirinya sendiri serta dapat mengelola keuangannya. Sewa menyewa yang dilakukan oleh anak kecil,
orang yang idiot dan orang yang diputus oleh pihak berwenang tidak boleh membelanjakan hartanya sendiri
dihukumi tidak sah.
[19]
At Tirmidzy no. 2473 sebagaimana dikutip oleh Khotib Syirbini. Mughni Juz 3,
hal. 379. Imam Qolyubi mengatakan bahwa akad sewa menyewa dengan pihak penyewa
seorang non muslim dihukumi makruh. Pro kontra mengenai hukum mempekerjakan
diri kepada non muslim dapat dilihat dalam tafsir ayatul ahkam Ali says, tafsir
Qurtubhi dll. Sependek pemahaman penulis, ‘illat dari tidak diperbolehkannya
mempekerjakan diri kepada non muslim adalah dimungkinkan terjadi pelecehan yang
bernuansa sara kepada seorang muslim. Bilamana illat tadi dapat dihindari maka
hukum dari mempekerjakan diri kepada non muslim juga berubah. Contoh kecil
adalah ketika pekerjaan yang diterima oleh seorang muslim perlu keahlian husus.
Lantas, bagaimana hukum bekerja sebagai PRT kepada non muslim sebagaimana
banyak terjadi di sekitar kita? Bukankah pekerjaan yang dilakukan oleh sahabat
Ali juga tidak memerlukan keahlian husus? Benar adanya bahwa sahabat Ali dalam
bekerja tidak memerlukan keahlian husus sebagaimana pekerjan seorang PRT, hanya
saja kehawatiran terjadinya pelecehan terhadap sahabat Ali sangat kecil terjadi
sedang pelecehan terhadap PRT seakan menanti di depan mata.
[20]
Bahs Fiqh Muqoron Univ. Al Azhar tk. 2 tahun 2012
[21]
Al fiqh Ala madzahib Al Arba’ah Juz 3 hal. 76, cet. Maktabah Shafa
[22]
Ibid, Juz 3 hal. 82
[23]
Bahasan shighot menempati poin sangat penting dalam literature ulama
Syafi’iyah. Kitab-kitab madzhab Syafi’I terkesan sangat teliti dan detail dalam
urusan ini. Lihat misalnya Mughni, Qolyubi Majmu’ dll.
[24]
Lihat Mughni Al Muhtaj juz 3, hal. 380-381,
Qolyubi Juz 3, hal. 68.
[25]
Lihat Al Asybah Wan Nadzoir, jalaluludin Al
Suyuthy, lihat juga di Bidayatul Mujtahid Juz 4, hal. 6, cet. Dar Al
Hadits.
[26]
Mughni Al Muhtaj, Juz 3, Hal. 398, cet. Dar Al hadits
[27]
Ibid, hal. 384. Alasan mengapa manfaat yang dijadikan objek akad sewa harus
bernilai ekonomis agar supaya terjadi keseimbangan diantara pemberi dan
penerima upah, mereka bertukar seseuatu yang sama-sama punya nilai.
[28]Ada
dua aspek yang harus diperhatikan dalam masalah penyerah terimaan manfaat.
Pertama, manfaat tersebut dapat diserah terimakan menurut kaca mata syara’ dan
kedua dapat diserah terimakan melihat realitas dilapangan. Penyerah terimaan manfaat juga tidak terpancang pada
manfaat suatu barang yang secara hukum dimiliki secara permanen (milkul ashli) oleh pemberi sewa. Akan
tetapi, dapat juga diberikan oleh seseorang yang memiliki manfaat suatu barang
secara temporal. Contoh sederhana adalah orang yang menyewa mobil dapat
menyewakan kembali mobil yang disewa oleh dirinya kepada orang lain. Ibid, hal.
385
[29]
Imam ibnu Rusyd Al hafid membagi manfaat yang dilarang oleh syara’ menjadi tiga macam. Pertama,
manfaat yang terdapat pada barang yang diharamkan. Kedua, manfaat yang diambil
dari pekerjaan yang diharamkan oleh syara’. Semisal manfaat yang diambil dari
menangisi orang mati dan upah penyanyi.. ketiga, manfaat yang di ambil dari
fardhu ‘ain semisal sholat dan puasa.
[30]
Pembahasananya dapat dilihat di catatan kaki nomor 9.
[31]
Kekuasaan yang ada pada diri penyewa adalah kekuasan yang tidak menimbulkan
adanya ganti rugi jika dalam penggunaan barang yang disewakan tidak melebihi
ambang kewajaran. Istilah fikih menyebutkannya dengan yad amanah. Ganti rugi hanya dapat dikenakan kepada penyewa
lantaran kesembronoan dalam penggunaan barang. Menurut qaul ashah madzhab
syafi’I, penguasaan penyewa atas barang dalam masa sewa atau setelah masa sewa
berahir termasuk yad amanah,
sedangkan menurut Imam Subky, setelah masa sewa selesai dan barang masih dalam
tangan penyewa maka kekuasannya bersifat dhoman.
Mughni Al Muhtaj Juz 3. Hal. 409-415.. Dar. Al Hadits
[32]
Mughni Al Muhtaj, Juz 3, hal. 383
[33]
Imam At Thohawy sebagaimana diceritakan oleh Imam Ibnu Rusyd berkata: substansi
dari pelarangan nabi terhadap praktek pemberian upah penggilingan tepung dengan
menggunakan tepung yang dihasilkan oleh proses penggilingan tadi adalah upah
yang akan diberikan kepada pemberi jasa masih belum menjadi hak milik si penyewa
ketika akad berlangsung, bukan juga termasuk piutang. Pendapat ini juga
disetujui oleh Imam Syafi’i. Bidayatul Mujtahid, Juz 4, hal. 10. Dar Al hadits
[34]
Bidayatul Mujtahid, Juz 4, hal. 11, cet. Dar Al Hadits
[35]
Bidayatul Mujtahid juz 4. Hal. 6, cet. Dar Al hadits
[36]
Ibid, hal. 10
[37]
Mughni Al Muhtaj, juz 3, hal. 397
[38]
Menurut keteranga diatas, akad yang dilakukan oleh pengguna WC umum sah atau
tidak, karena tidak ada batasan waktu dan aktifitas. Begitu juga sewa atas
kendaraan umum.
[39]
Syarah Bidayatul Mujtahid, juz 4, hal. 1813-1826, cet. Dar Salam
[40]Alasan
pendapat pertama berdasarkan Al Qur’an surat al maidah ayat 1, mereka beralasan
bahwa sewa adalah akad atas manfaat, hampir serupa dengan nikah. Alasan
selanjutnya adalah karena sewa adalah akad timbal balik diantara dua belah
pihak maka, tidak dapat rusak jika tidak ada yang menyebabkanya.
Hanfiyah sebagai pelopor
pendapat kedua mengatakan bahwa pembolehan membatalkan akad berdasarkan
kemiripan dalam hal hilangnya sesuatu yang akan mendatangkan manfaat
(keuntungan materi bagi penyewa, (barang dagangan) dengan hilangnya ma’qud alaiah (kios).
[41]
Dalam Bidayatul Mujtahid, kerusakan yang ada pada barang sewa serta merta
dibebankan kepada pihak pemilik barang tanpa ada perincian. Hal ini menurut
penulis terbilang aneh. Karena dalam banyak literatur disebutkan bahwa kerusakan
yang disebabkan unsur kesengajaan dalam
penggunaan menjadi tanggungan penyewa. Begitu juga dengan penambahan waktu dan
eksploitasi manfaat berlebih pada barang sewa. Melihat Bidayatul mujtahid
cetakan Dar Al hadits dan syarahnya, cet. Dar Salam yang bersekongkol melimpahkan
beban kepada pemilik barang sewa, rasa-rasanya ada kekeliruan redaksi atau ada
mis interpretasi penulis sendiri.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus