Jumat, 31 Mei 2013

Akad Sewa Dalam Islam



Akad Sewa Dalam Islam

Oleh: Adhi Maftuhin

Pendahuluan

Manusia semakin “cerdas” dalam upaya memenuhi apa yang diinginkan. Terlepas dari adanya “budaya” konsumerisme yang menjamur dalam setiap lapisannya, manusia secara alami mempunyai antivirus yang dapat digunakan dalam mengerem perilaku berfoya-foya. Yaitu, adanya kecendrungan memilih sesuatu produk –barang dan jasa-  yang bernilai ekonomis-praktis. 

Sewa-menyewa adalah akad yang dewasa ini menjadi solusi paling digandrungi dalam meminimalisir pengeluaran –ekonomis- tanpa harus mengorbankan keinginan pelakunya –praktis-. Bagaimana tidak, seorang calon pengantin yang hanya memiliki beberapa lembar uang dapat tampil di depan para undangan selayaknya raja dan permaisuri tanpa harus terlebih dahulu mengelontorkan uangnya untuk membeli gaun pengantin dan dekorasi yang biasanya hanya sekali pakai. Seorang yang bepergian ke suatu tempat tidak perlu repot-repot membangun rumah atau vila ditempat yang dituju. Ia cukup memberikan sebagian uang sakunya dengan imbalan kenyamanan tinggal dalam sebuah hotel. Seorang yang hanya punya dua pounds dapat pulang-pergi kuliah tanpa harus capek jalan kaki dari Asyir ke Husen. Dan masih banyak lagi keuntungan yang didapat dalam transaksi sewa-menyewa.
Melihat geliat cerah dalam bidang jasa (baca:sewa-menyewa), para pelaku bisnis tidak segan-segan menginvestasikan hartanya dalam bidang ini. Maka, tumbuhlah jasa penyewaan dalam berbagai bentuk  dan ragamnya.

Ulama klasik telah memetakan dan mengupas secara mendalam bahasan sewa menyewa dalam empat poin utama yaitu pertama, mengenai komoditi yang dapat disewakan, yaitu  meliputi ijarah ‘ain dan ijarah fi dzimmah, kedua,legal-formal dalam bahasan shighot yang digunakan dalam bertransaksi, ketiga, batasan manfaat yang dapat dijadikan barometer sah dan tidaknya sebuah akad dan yang terahir adalah bahasan mengenai pelakunya (Mujir dan mustajir/ mukri dan muktari).
Hal ini tidak lain karena mereka para ulama ingin memberikan ruang gerak yang bebas-terbatas bagi pelaku sewa-menyewa sehingga tidak keluar dari asas hubungan timbal balik yang proporsional diantara kedua pelaku dalam menerima dan menyerah terimakan hak dan kewajiban mereka berdua. Adanya kenyamanan dan pelayanan yang baik bagi penyewa dan adanya keuntungan materi bagi si pelaku bisnis (mujir/mukri).

Tak pelak, kebutuhan untuk mengkonversi hasil ijtihad ulama terdahulu untuk kemudian dituangkan secara aplikatif dalam rangka memberikan solusi dan  menjembatani pelaku bisnis penyewaan dan kliennya dalam penyerah-terimaan hak dan kewajibannnya adalah hal yang tidak mungkin dihindari. 
Untuk lebih jelasnya mari kita bahas bersama transaksi sewa-menyewa dalam islam ditilik dari perspektif empat madzhab dengan mendudukan transaksi sewa-menyewa dalam madzhab Syafi’I sebagai acauan utama dan mengkomparasikanya dengan tiga madzhab yang lain. Sedangkan referensi utama yang digunakan adalah kitab Bidayatul Mujtahid dan kitab Minhaj berikut beberapa syarahnya.  
Pengertian sewa.

Sewa menurut bahasa adalah nama bagi upah –ujrah-, diambil dari fi’il madhi Aajara, yu’jiru, iijaran atau dari kata ajara, ya’juru, ajran, keduanya bermakna ujrah[1]

Menurut Ulama Syafi’iyah, akad sewa adalah: akad untuk mengambil manfaat suatu barang yang diketahui secara pasti, manfaat tersebut memang dituju, dapat diserah-terimakan dengan adanya imbalan yang disetujui kedua belah pihak[2]. Secara lebih singkat Imam Nawawy memberikan definisi sewa sebagai akad yang berfungsi memberikan manfaat suatu barang dengan adanya imbalan dari pihak penyewa dengan syarat-syarat tertentu.[3]

Akad sewa menurut Ulama Hanafiyah adalah akad untuk mengambil manfaat suatu barang dengan adanya imbalan[4]

Ulama Malikiyah mendifinisikan akad sewa sebagai akad yang berfungsi memberikan hak kepemilikan atas manfaat suatu barang tertentu dengan imbalan tertentu pula.[5]  
     
Sedang Ulama Hanabilah memberikan definisi akad sewa sebagai jual beli atas manfaat suatu barang.[6]

Dari keempat definisi diatas semuanya bersepakat atas dua poin, yaitu pertama, harus adanya manfaat sebagai objek akad dan kedua adalah adanya tsaman yang diberikan kepada pihak pemberi sewa yang berfungsi sebagai imbalan atas manfaat yang telah dinikmati oleh pihak penyewa.
Mencermati definisi yang diberikan oleh Imam Qolyuby seperti yang telah disebutkan diatas, kita dapat meraba sejauh mana gambaran akad sewa yang diperbolehkan oleh syara’, yaitu:

Pertama, sewa adalah sebuah akad[7], maka agar akad dapat diterima oleh kedua belah pihak maka harus ada keridoan diantara keduanya. Keridoan dapat diketahui dengan  adanya shighat yang diucapkan oleh kedua belah pihak. Ijab dan qabul adalah dua hal yang terkandung di dalamnya.

Kedua, adalah berkenaan dengan objek sewa. Objek dalam akad sewa adalah manfaat, makanya setiap akad kepemilikan atas sebuah barang dikecualikan dari sewa-menyewa.

Ketiga adalah batasan-batasan yang harus ada pada objek akad. Yaitu manfaat yang dijadikan komoditi dalam akad sewa harus memenuhi kriteria ma’lum, maqshud, qobilat lil badzli wal ibahah. Secara gamblang Imam Qolyubi menjelaskan pengertian dari masing-masing kriteia dengan cara mengeluarkan afrad yang tidak termasuk dalam definisi. Dari kata ma’lum Imam Qolyuby mengecualikan akad Ju’alah[8] yaitu akad atas manfaat yang belum diketahui secara pasti dengan adanya imbalan tertentu. Dalam literatur  klasik biasanya dicontohkan dengan kesepakatan untuk menemukan barang yang hilang dengan adanya imbalan tertentu. Kata maqshud mengecualikan manfaat yang tidak mempunyai nilai jual[9], dalam kata lain manfaat tersebut harus bernilai ekonomis. Seperti halnya menyewa durian untuk diambil baunya.[10]  Terahir adalah qobilah lil badzli wal ibahah. Dari batasan ini para fuqoha mengecualikan setiap manfaat yang tidak dapat diserah terimakan seperti manfaat yang diambil dalam alat reproduksi dan manfaat yang diambil dari  jariyah.

Keempat adalah adanya imbalan yang diberikan oleh penyewa kepada pemberi sewa sesuai dengan kesepakatan diantara keduanya.[11]

Kelima adalah pelaku dalam akad yang meliputi mu’jir/mukri dan musta’jir/muktari.

Sandaran Hukum

Ijarah adalah akad yang dipraktekan oleh umat manusia jauh sebelum masa nabi. Hal ini terekam dalam Al Qur’an Surat Al Qoshosh ayat 27 : Sungguh aku ingin menikahkan engkau dengan salah satu dari dua putriku ini. Ayat ini bercerita tentang pernikahan nabi Musa dengan salah satu putri nabi Syuaib dengan mas kawin berupa penggembalaan kambing –manfaat- selama tujuh tahun.  Terlepas dari perbedaan ulama mengenai akad sewa dalam contoh masalah seperti ini, apakah masuk dalam kategori ijarah ‘ain atau ijarah fi dzimmah[12], para ulama bersepakat dalam poin diperbolehkannya akad sewa menyewa melihat rukun yang telah dipenuhi. Yaitu, adanya mujir dan musta’jir, shigot, manfaat yang diperoleh oleh nabi Syueb sebagai penyewa jasa dan tsaman/’iwadh yang diperoleh oleh nabi Musa berupa mas kawin sebagai imbalan dari keringatnya. Sedikit melenceng dari permasalahan sewa-menyewa, ayat ini juga berbicara tentang batasan-batasan mahar dalam bab nikah, yaitu harus berupa sesuatu yang punya nilai, baik berupa barang atau manfaat.
Dalil kedua dari Al Qur’an mengenai akad sewa adalah surat At Talaq ayat 6:  “Jika mereka  (perempuan) menyusui anak-anak kalian maka berikanlah upah –yang sesuai- kepada mereka”. Ayat ini juga memberikan pengesahan terhadap akad manfaat dengan adanya imbalan yang sesuai. Keempat rukun dalam akad sewa telah terpenuhi yaitu adanya dua pihak yang berakad, shighot, adanya manfaat yang diperoleh oleh pihak penyewa dan terahir tsaman yang diperoleh oleh pihak pemberi sewa.

Ada banyak hadits nabi yang membincangkan akad sewa, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA dan diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab shohihnya[13]. Hadits tersebut berbunyi: Rasul dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari Bani Dail –dia masih memeluk agama para leluhurnya- yang ditugaskan sebagai penunjuk jalan, Nabi dan Abu Bakar menyerahkan kendaraan dan perbekalan kepadanya untuk diserahkan kembali setelah lewat tiga malam di gua Hira. Dari hadits ini para ulama memperbolehkan akad sewa diantara muslim dan non muslim sebagaimana diterangkan nanti dalam syarat dan rukun akad sewa.

Hadits kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah[14] : Jabir bin Abdillah menjual onta miliknya kepada nabi dengan syarat menaikinya sampai Madinah.  Hadits ini membicarakan tentang akad sewa dengan dibarengi syarat sebagaimana akan dijelaskan pada bab selanjutnya.

Hadits ketiga adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah[15] : Berikanlah upah kepada para pekerja sebelum keringat mereka kering. Hadits ini berbicara tentang hak dan kewajiban bagi pelaku akad sewa beserta adabnya.

Rukun dalam akad sewa

Rukun sewa terbagi menjadi tiga[16]. Pertama, pelaku sewa-menyewa (mu’jir dan musta’jir). Kedua, Obyek transaksi dan alat tukar (ma’qud alaih) yang berwujud manfaat suatu barang dan imbalan/upah. Ketiga adalah shighot (ijab dan qabul).

Sepintas, rukun dalam akad sewa merupakan replika dari rukun yang terdapat dalam akad jual-beli.[17] Ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam akad jual beli juga diterapkan dalam akad sewa. Misal saja pada ketentuan-ketentuan yang ada pada diri ‘aqid, pembagian syarat dan seterusnya. Baiklah, kita akan membhasa lebih jauh hal-hal yang berkenaan dengan rukun sewa-menyewa.

Rukun pertama dalam akad sewa adalah adanya dua pihak yang saling sewa-menyewakan. Syarat yang harus terpenuhi dari kedua belah pihak sehingga akad sewa menjadi sah adalah terpenuhinya syarat yang terdapat dalam diri penjual dan pembeli yang meliputi adanya kecapakapan[18] dalam diri penjual dan pembeli dan tidak adanya unsur paksaan diantara kedua belah pihak.  Sedang menanggapi ketentuan berikutnya yaitu persyaratan keislaman pembeli dalam beberapa kasus karena dihawatirkan akan melecehkan terhadap nilai yang terdapat dalam agama atau munculnya disintegrasi bangsa misalnya, dalam akad sewa tidak disyaratkan si penyewa harus seorang muslim.
Diceritakan bahwasanya sahabat Ali KW. Mempekerjakan diri sebagai tukang siram tanaman kepada seorang yahudi dengan imbalan satu biji korma per satu ember[19].  Melihat cerita ini maka bekerja kepada non muslim dihukumi boleh asalkan pada lapangan pekerjaan yang memerlukan keahlian husus[20].

Rukun kedua dalam akad sewa adalah shighot. Berkenaan dengan masalah shighot, penulis ingin membandingkan ketentuan-ketentuan yang terdapat didalamnya menurut pandangan Ulama Hanafiyah dan Ulama Syafi’iyah.
Menurut ulama Hanafiyah ada beberapa poin yang harus diperhatikan terkait dengan shighot. Diantaranya adalah adanya keridhoan diantara kedua belah pihak, barang yang akan diambil manfaatnya dapat diserah-terimakan, hal yang akan dikerjakan oleh pihak musta’jir tidak termasuk dalam kategori fardhu dan wajib bagi mu’jir, dan manfaat yang akan diterimakan bernilai ekonomis.[21]

Ulama Syafi’iyah memberikan batasan shighot dalam akad sewa sama persis dengan batasan yang ada dalam bab jual beli. Diantaranya adalah adanya kesesuaian antara ijab dan qabul, tidak ada pemisah antara ijab dan qabul yang menyebabkan akad dapat dianulir, dan terahir adalah adanya batas waktu tertentu.[22] Poin terahir ini kiranya tidak terdapat dalam shighot jual beli dikarenakan penyerahan kepemilikan dalam bab jual beli bersifat permanen. Berbeda dengan penyerahan barang yang akan diambil dalam bab sewa yang bersifat temporal. Bahkan, jika dalam shighot sewa mencantumkan pemanfaatan suatu barang dengan kadar waktu yang tidak ditentukan/ selamanya akan merusak akad.

Mengkomparasikan kedua pendapat tersebut diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa madzhab Syafi’i menerapkan aturan ketat dalam masalah shighot.[23] Hal ini memang termasuk ciri-ciri dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan jargon legal-formal dalam masalah mumalah. Keputusan Imam Syafi’I dalam menerapkan aturan legal-formal dalam masalah muamalah bersumber dari kehati-hatian beliau berkenaan dengan keridhoan kedua belah pihak dan juga untuk menghindari kesalah pahaman diantara keduanya. Dikemudian hari, aturan legal-formal yang dipelopori oleh Imam Syafi’i ternyata populer dikalangan pelaku bisnis jasa demi menjaga hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak.

Gaya legal-formal yang dikembangkan oleh Imam Syafi’I kemudian dimodifikasi dan diterjemahkan dalam konteks kekiniaan dengan adanya klausul kesepakatan tertulis oleh kedua belah pihak. Sebelumnya, ulama zaman pertengahan banyak memanfaatkan kaidah Al ‘ibrah bil Ma’any Laa Bil Mabany  -kurang lebih artinya adalah standar sah tidaknya sebuah akad terletak pada substansi, tidak terpancang pada shighat yang digunakan- dalam melenturkan kekakuan yang terdapat dalam bentuk shighot muamalah.  Contoh kecil dari kasus ini adalah dalam masalah Al Ijar Al Muntaha bi At Tamlik dan shighot bi’tuka manfa’ataha.[24]

Poin keridhoan dalam bab shighot yang ditanggapi sangat serius oleh Imam Syafi’I ternyata hanya menempati beberapa persen dari batasan shighot yang dapat diterima keabsahannya dalam pandangan Imam Hanafi. Beliau masih menyisakan beberapa syarat yang sebenarnya kalau diteliti lebih jeli tidak termasuk dalam bahasan shighot. Ulama syafi’iyah mengklasifikasinya dalam syarat yang harus terpenuhi dalam pos yang lain, lebih tepatnya untuk poin yang kedua dan seterusnya dimasukan dalam poin kriteria manfaat dan syarat bagi musta’jir, bukannya masuk dalam bahasan shighot.
Hal menarik yang menjadi perbedaan diantara pendapat Syafi’iyah dan Hanafiyah terdapat dalam boleh tidaknya menyewa seseorang untuk melaksanakan ibadah haji dan ibadah sejenis. Dalam ushul madzhab Hanafi dan Syafi’I terdapat kaidah yang berbunyi “Tidak sah menyewa –meminta jasa- seeseorang untuk melaksankan kewajiban yang diharuskan ada niat didalamnya”.[25] Ulama Syafi’iah mengecualikan beberapa ibadah dari kaidah ini, walaupun pada kenyataanya ibadah tersebut harus diniati. Mereka berpandangan bahwa segala ibadah yang dapat diwakilkan -walau harus diniati- masuk dalam objek yang dapat disewakan.[26]  Sedangkan ulama Hanafiyah tidak menempatkan kaidah tadi pada kemuthlakannya tanpa memberikan pengecualian, makanya haji dan ibadah lain yang keabsahannya sangat tergantung pada niatan pelakunya -menurut mereka- tidak termasuk dalam kategori objek akad sewa.

Rukun ketiga adalah ma’qud alaiah, berupa manfaat dan tsaman yang dijadikan upah. Hal pertama yang kita bahas adalah tentang manfaat disertai ketentuan-ketentuannya.
Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, manfaat yang dapat dijadikan objek dalam transaksi sewa-menyewa  harus berupa manfat yang diketahui secara pasti, bernilai ekonomis [27] dan dapat diserah terimakan.[28] Syarat manfaat yang seperti ini menurut versi ulama Syafi’iyah.

Menurut Ulama Malikiyah manfaat yang dapat dijadikan objek transaksi adalah manfaat yang punya nilai ekonomis, dapat diserah terimakan dan tidak merusak barang yang disewakan.

Menurut Hanabilah, standar manfaat yang harus dipenuhi dalam akad sewa adalah manfaat yang berstatus mubah[29] dalam situasi normal menurut pandangan syara’ dan mempunyai nilai ekonomis. Misal, Tony menyewa tenaga Anton untuk memukul Budi. Dalam kasus sewa semacam ini menurut ulama Hanabilah tidak sah, karena manfaat yang dijadikan objek akad tidak diperbolehkan menurut pandangan syara’. Contoh kedua adalah penyewaan pernak-pernik untuk menghias ruangan.  Manfaat semacam ini menurut pandangan hanabilah tidak bernilai ekonomis.[30]

Ulama Hanafiyah tidak memberikan batasan spesifik pada bahasan manfaat. Mereka memboncengkan bahasan manfaat pada bab shighot dan telah dibahas diatas. Maka, kiranya penulis mencukupkan diri dan langsung membahas titik persamaan dan perbedaan diantara empat madzhab.

Kriteria manfaat yang dijadikan objek dalam akad sewa menurut pendapat ke empat madzhab sebenarnya sama, walaupun dengan menggunakan redaksi yang berbeda. Persamaan muthlak diantara ke empat madzhab tersebut dapat dilihat dari dua poin yaitu: pertama, dapat diserah terimakan secara hissy dan syar’i, dan kedua, mempunyai nilai ekonomis. Sedangkan kriteria tambahan menurut madzhab Maliki yaitu pelarangan merusak barang yang disewa dapat ditemukan dalam norma-norma ataupun klasusul perjanjian dalam semua madzhab fikih. Hal ini juga tidak lepas dari adanya kesepakatan bersama antara pihak penyewa dan pemberi sewa bahwa kekuasaan penyewa atas barang yang disewa hanya terbatas pada manfaatnya saja. Kerusakan yang ditimbulkan oleh penggunaan barang diatas batas wajar akan menjadikan penyewa dikenakan biaya tambahan sebagai bentuk dhoman[31], sebuah ganti rugi yang diambil dari pihak penyewa jikalau nanti di akhir masa sewa terjadi hal yang tidak diinginkan karena unsur terlalu berlebihan dalam mengeksploitasi barang yang disewa. Hal inilah yang mendorong pemerintah Mesir menerapkan adanya uang jaminan yang diserahkan bersamaan dengan uang sewa diawal masa sewa. Walaupun pada kenyataannya uang jaminan ini biasanya hangus dan tidak dikembalikan  oleh pihak tuan rumah di akhir masa sewa, baik dengan dalih atau tanpa dalih sekalipun.

Bagian kedua dari rukun ketiga akad sewa adalah tsaman yang digunakan sebagai imbalan kepada pemberi sewa. Telinga kita lebih familiar dengan istilah upah.

Syarat sesuatu dapat dijadikan upah adalah punya nilai ekonomis, atau dapat pula kita bahasakan sesuatu tersebut berharga, sebagaimana halnya syarat yang terdapat dalam alat tukar pada bab jual beli. Syarat selanjutnya adalah dapat diketahui kadar, jenis dan sifatnya (ma’lum), manakala sesuatu yang dijadikan upah bersifat fi dzimmah. Kalau sesuatu yang dijadikan upah bersifat mu’ayyan maka cukup dengan melihatnya.[32] Contoh sederhana dari syarat ini adalah Seseorang yang menggilingkan beras untuk dijadikan tepung tidak diperbolehkan memberi upah dengan tepung yang dihasilkan dari proses penggilingan tadi. Sebagian petani juga masih menggilingkan padi dengan imbalan berupa beras hasil dari penggilingan tadi. Larangan tersebut berangkat dari kekaburan dalam spesifikasi jenis, kadar dan sifat dalam upah serta ketidak mampuan dalam memberikan upah secara kontan . Ulama syafi’iyah menembungkannya dalam satu kaidah “ Tidak diperkenankan -bagi penyewa, dalam hal ini adalah petani- memberikan upah –kepada pemilik penggilingan padi- dengan sesuatu yang diambil dari manfaat yang  baru saja dihasilkan  olehnya ”.

Senada dengan ulama Syafi’iyah, ulama Hanafiyah memberikan batasan berupa “Upah tidak boleh diambil dari manfaat yang dihasilkan oleh ma’qud alaih ”[33]. Secara lebih gamblang dapat ditembungkan antara upah yang akan dijadikan imbalan dan ma’qud alaih satu jenis.  Misal, si A menyewa rumah kepada B dengan upah si B menempati rumah si A. lain cerita jika yang dijadikan alat pembayaran dalam sewa rumahadalah manfaat yang diperoleh kendaraan misalnya. Maka hal tersebut boleh karena jenisnya berbeda. Selain itu ulama hanafiyah juga mensyaratkan upah berupa sesuatu yang ma’lum yaitu berupa uang, barang yang dapat ditakar dan ditimbang atau kendaraan.

Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang terdapat dalam upah sama persis dengan syarat yang terdapat dalam batasan alat tukar untuk  jual beli. Ada empat syarat yaitu barang tersebut dapat dilihat, bernilai guna, dapat diserah terimakan baik secara hissi dan syar’I, dan yang terahir adalah punya spesifikasi tertentu (ma’lum).

Batasan upah dalam madzhab Hanbali adalah “Segala seuatu yang dapat dijadikan tsaman dalam jual beli fi dzimmah maka dapat dijadikan upah”

Walhasil, dari kempat pendapat madzhab diatas dapat kita simpulkan bahwa sesuatu barang dapat dijadikan upah manakala punya nilai, dapat diketahui kadar, jenis, dan sifatnya (ma’lum)[34] dan terahir adalah  upah tidak diambil dari bentuk jasa yang dihasilkan oleh pihak pemberi jasa atau dari ma’qud alaih itu sendiri. Selain dari itu tidak diperbolekan menjadi upah. Imam Ibnu Rusyd menyedarhanakannya menjadi “Apapun yang dapat dijadikan obyek jual beli dapat dijadikan  upah’’.[35]  “Perbedaan pendapat mengenai apa saja yang dapat dijadikan tsaman dalam jual beli juga menjadi titik perselisihan dalam jenis barang yang dapat dijadikan upah.[36]

Pembagian  Akad Sewa

Melihat barang yang akan disewakan, akad sewa dibagi menjadi dua yaitu ijarah fi dzimmah dan ijarah ‘ain. Ijarah fi dzimah adalah sewa atas manfaat suatu barang, dimana barang tersebut tidak berada pada tangan pemberi sewa ketika akad berlangsung. Sedang ijarah ‘ain adalah akad sewa atas manfaat barang yang ada pada kekuasaan pemberi sewa manakala akad berlangsung. Ijarah fi dzimmah adalah kepanjangan tangan dari bai’ salam, sedang ijarah ‘ain adalah miniatur dari akad jual beli biasa.

Contoh dari ijarah fi dzimmah adalah penyewaan mobil dengan menyebutkan daftar spesifikasi yang dikehendaki oleh penyewa. Sedang contoh dari ijarah ‘ain adalah penyewaan mobil yang ada dan dapat dilihat secara langsung oleh penyewa ketika akad berlangsung, begitu juga sewa atas barang tak bergerak. Perbedaan diantara keduanya adalah ada dan tidak adanya ma’qud alaih dalam majlis akad.
Perlu diperhatikan disini bahwa untuk menjamin hak dan kewajiban bagi pelaku sewa maka perlu adanya spesifikasi yang jelas dalam masalah ijarah fi dzimmah. Misal saja dalam sewa mobil maka harus disebutkan jenis, pabrikan, jarak tempuh, kapasitas barang dalam kg. dan orang yang diperbolehkan, ber AC atau tidak dan seterusnya. Untuk ijarah ‘ain tidak memerlukan penjelasan yang detail dikarenakan informasi yang dikumpulkan oleh pandangan mata terbilang sudah mencukupi untuk memetakan barang yang diinginkan. Hal tersebut berlaku jika  penyewa termasuk orang yang mengusai seluk beluk otommotif. jika sebaliknya, maka bagi pemberi jasa diharuskan memberi tahukan spesifikasi barang yang akan disewa kepada penyewa.[37]      

Perbedaan selanjutnya adalah tentang waktu dan tempat penyerah terimaan upah. Pemberian upah dalam ijarah fi dzimmah harus dalam majlis akad, sedang dalam ijarah ‘ain tidak disyaratkan pemberian upah dalam majlis, boleh saja dibayar belakangan. Alasan mengapa pemberian upah dalam ijarah fi dzimmah harus kontan dan dilaksanakan dalam majlis akad karena ijarah fi dzimah adalah akad salam dengan objek akad berupa manfaat. Disamping syarat tadi, upah ijarah fi dzimah juga tidak boleh ditukar,  jadi hawalah dan dibebas tangguhkan. Sebaliknya, dalam  ijarah ‘ain peraturan tadi tidak berlaku sama sekali. Hal ini berdasar pada landasan hukum asal dalam ijarah ‘ain yang mengacu pada hukum jual beli.

Selanjutnya adalah mengenai waktu pemanfaatan barang sewa. Batas awal pemanfaatan barang sewa dalam ijarah fi dzimmah dapat ditangguhkan sampai batas waktu tertentu menurut kesepakatan. Jika dalam akad tidak mencantumkan batas awal penggunan maka ijarah fi dzimmah berlaku terhitung semenjak akad disepakati. Sedang dalam ijarah ‘ain berlaku sebaliknya.   

Terkait masalah pemanfaatan barang sewa, perlu diketahui juga bahwa batas pemanfaatan barang sewa adakalanya ditentukan dengan memakai standar waktu ada pula dengan memakai standar aktifitas ada pula dengan memakai keduanya.[38] Untuk barang sewa dengan kadar tahan lama dapat disewakan menurut uji kelayakan. Misalkan saja sebuah rumah dapat ditempati secara layak selama lima puluh tahun maka, penyewaan tidak diperbolehkan melebihi batas maksmial.

Ketentuan-ketentuan umum dalam akad ijarah[39]

Ketentuan umum dalam akad ijarah terbilang tidak sedikit. Akan tetapi, secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua bagian. Pertama, ketentuan yang bersifat  mengikat (harus ada) berikut faktor pendukungnya tanpa melihat akan terjadinya sesuatu yang terjadi belakangan. Kedua, membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam rentang waktu penyewaan. Bagian yang kedua ini meliputi hal-hal yang mewajibkan denda, mengetahui rusaknya akad dan terahir mengetahui perbedaan diantara kedua belah pihak.

Masuk dalam bagian pertama adalah masalah penerimaan tsaman. Manakala pemberi sewa menyerahkan barang yang akan disewakan dan dalam akad tidak menyaratkan bentuk  penerimaan tsaman maka dalam hal ini Imam Abu Hanifah dan Imam Malik  mengatakan bahwa pembayaran tsaman diangsur sedikit demi sedikit sesuai dengan besar kecilnya manfaat yang diterima oleh penyewa. Sedang Imam Syafi’I mengatakan jika pembayaran bersifat tempo maka termasuk dalam bab ad dain bi ad dain yaitu penyerahan ma’qud alaih yang bersifat ma’dum dalam waktu akad dengan tsaman yang belum ada juga ketika waktu akad terjadi. Ad dain bi ad dain termasuk hal yang dilarang.

Contoh kasus selanjutnya adalah mengenai penambahan waktu sewa oleh penyewa pertama dikarenakan menyewakannya lagi pada penyewa kedua melebihi batas waktu yang telah disepakati oleh penyewa pertama dan pemilik barang. Imam Malik dan Imam Syafi’I memperbolehkannya, sedang Imam Abu Hanifah tidak. Alasan pendapat pertama adalah  mengkiyaskannya dengan jual beli, sedang alasan pendapat kedua karena termasuk dalam masalah mengambil keuntungan dari barang yang tidak berada dalam jaminan pemiliknya. Alasan selanjutnya adalah termasuk dari bagian jual beli barang yang belum diserah terimakan.

Untuk kasus-kasus yang terjadi dalam bagian pertama sebenarnya masih banyak, hanya saja untuk penyelesaiannya dapat diusahakan antara kedua belah pihak dalam klausul akad.

Bagian kedua meliputi tiga bab, bab pertama adalah berkenaan dengan rusaknya akad dikarenakan sesuatu hal.

Permasalahan yang terjadi dalam rusaknya akad erat kaitannya dengan ikhtilaf ulama mengenai bentuk dari akad ijarah, apakah bersifat lazim atau bersifat jaiz. Golongan ulama yang mengatakan bahwa akad ijarah adalah akad lazim berselisih pendapat mengenai hal yang dapat merusaknya. Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Sufyan Al Tsaury, Imam Abu tsaur dan lainnya mengatakan bahwa akad ijarah tidak dapat dianulir terkecuali bila ada hal yang menjadikannya rusak sebagaimana dalam akad lazim, misal saja adanya cacat dalam ma’qud alaih atau hilangnya manfaat dalam barang yang disewakan. Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya tidak sependapat. Mereka berkata bahwa akad ijarah kapanpun bisa rusak disebabkan adanya hal yang tidak diinginkan terhadap penyewa. Misal saja, penyewa ruko dapat membatalkan akad sewa jika terjadi kebakaran terhadap barang dagangannya atau barangnya dicuri orang.[40]

Selanjutnya adalah perbedaan pendapat mengenai rusaknya akad disebabkan kematian salah satu pihak. Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Ishaq dan Imam Abu Tsaur mengatakan bahwa akad sewa tidak rusak lantaran salah satu pihak meninggal. Sedang Imam Abu Hanifah, Imam At Tsaury, dan Imam Laits mengatakan sebaliknya. Pendapat pertama berhujah bahwa sewa adalah akad mu’awadhoh maka, tidak dapat begitu saja terputus lantaran kematian pada salah satu pihak, hak dan kewajiban diteruskan oleh ahli waris sebagaimana dalam akad jual beli. Pendapat kedua beralasan bahwa kematian dari salah satu pihak memindah status kepemilikan barang yang disewakan dari kepemilikan satu kepemilikan berikutnya. Maka, akad yang disandarkan atas asas jual beli menjadi rusak, yakni dihukumi tidak dapat diteruskan lagi. Selain hujah diatas Ulama Hanafiyah juga memberikan hujah dengan menganalogkan akad sewa dengan akad nikah dalam hal sama-sama akad atas manfaaat. Kematian adalam akad nikah menjadikan nikah secara otomatis terlepas, begitu juga dalam akad sewa. Akan tetapi pendapat yang seperti ini terbilang jauh dari benar lantaran ada jurang pemisah diantara dua akad. Yaitu dalam akad sewa manfaat bersifat dapat diserah terimakan kepada orang lain sedang dalam bab nikah hanya bersifat intifa’, tidak boleh diserah terimakan kepada pihak selanjutnya.

Bab kedua adalah berkenaan dengan dhoman, ganti rugi, denda dan tambahan tsaman sewa yang harus ditanggung oleh salah satu pihak.

Para fuqoha membagi dhoman dalam bab ijarah menjadi dua bagian yaitu, dhoman dikarenakan kerusakan yang terjadi pada barang sewa atau disebabkan melebihi batasan-batasan yang ditentukan dalam klausul akad.  Dan kedua dhoman dengan fungsi untuk menjaga dan merawat ma’qud alaiah, mungkin dapat kita bahasakan dengan uang jaminan.

Pada dhoman bentuk pertama, dhoman dibebankan kepada kepada pihak penyewa[41] manakala kerusakan pada barang sewa disebabkan unsur kesengajaan. Jika kerusakan yang  timbul atau berkurangnya fungsi barang sewa tidak disebabkan karena faktor kesengajaan maka dibebankan kepada pemilik barang. Dalam masalah penambahan waktu sewa dan adanya eksploitasi diatas rata-rata terhadap barang sewa maka bagi penyewa wajib membayar tambahan upah sesuai dengan standar umum yang berlaku. Malikiyah berpandangan bahwa jikalau terjadi kasus seperti itu maka bagi pemilik barang diperkenankan untuk memilih diantara dual hal, yaitu mengambil tambahan uang sewa atau meminta denda atas kerusakan dan berkurangnya manfaat dikarenakan digunakan tidak sebagaimana mestinya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban bagi penyewa untuk menambahkan biaya sewa, bagi pemilik barang juga tidak punya hak untuk menuntut. Yang ada adalah beban denda kepada pihak penyewa manakala terjadi kerusakan atas barang sewa. Dari sini kita boleh saja menyangsikan rasionalitas dari madzhab Hanafi dan memuji madzhab Syafi’I yang sangat proporsional mendudukan antara hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak.

Bentuk dhoman yang kedua ini bersifat relativ sesuai dengan kesepakatan. Biasanya untuk perawatan yang bersifat keseharian akan dibebankan kepada pihak penyewa. Sedang perawatan yan bersifat temporal dan untuk melindungi barang agar tetap dapat memberikan manfaat yang maksimal akan dibebankan kepada pemilik barang. Dalam kitab-kitab fikih dapat kita lihat bagaimana jaminan hak dan kewajiban  diantara kedua belah pihak terjaga dengan baik. Tapi, dalam kenyataan di lapangan banyak terjadi kecurangan dan pelanggaran. Contoh yang kita alami sehari-hari adalah kecurangan dalam penyewaan rumah di Mesir.

Bab ketiga adalah mengenai perselisihan yang terjadi diantara pihak penyewa dan pemilik barang atau pihak pekerja dan penyewa jasanya.

Berkaitan dengan pembahasan ini para ulama juga sudah membicarakannya panjang lebar. Titik temu diantara mereka adalah ingin sekali memberikan keadilan yang seadil-adilnya bagi pihak penyewa dan pemilik barang. Keputusan yang diambil para fuqoha obyektif dan tidak berat sebelah. Menimbang dan memperhatikan objek permasalahan dengan seksama serta memperhatikan saksi bilamana tersedia.

Karena pembahasan yang terahir ini erat kaitannya dengan meja hijau maka, perlu kiranya kita merujuk undang-undang perlindungan hak dan kewajiban bagi penyewa dan pemilik barang. Dan kiranya penulis tidak perlu berpanjang lebar membahas hal ini.
Ahirnya, kritik dan saran sangat diharapkan.


[1] Qolyuby ‘Umairah Hal. 68, Cet. Akhbarul Yaum. Dalam Al qamus, Al Ajru adalah imbalan atas pekerjaan. Sedang dalam Al mu’jam Al wasith, Al Ajru –upah- adalah kompensasi atas pekerjaan yang telah dilakukan atau manfaat yang diterima.
[2] Ibid, Hal. 68
[3] Al Minhaj                                             
[4] Al hidayah syarah Bidayah. Dalam Al Fiqh Ala madzahib Al Arbaah, sewa diberi devinisi sebagai akad yang berfungsi memberikan manfaat yang diketahui secara pasti, dituju kemanfaatannya dengan adanya imbalan. Juz 3. Hal. 72.
[5] Syarh fath Al Jalil. Ulama Malikiyah membedakan istilah sewa barang ringan dan kebutuhan manusia dengan sewa barang yang berat. Untuk yang pertama dinamakan ijarah yang kedua dinamakan Al kara. Ijarah menurut mereka adalah akad yang berfungsi memberikan kepemilikan atas manfaat sesuatu yang diperbolehkan oleh syara’ dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan yang diambil bukan dari manfaat tersebut. Al fiqh Al madzahib Al Arba’ah, Juz 3, Hal. 73
[6] Al kafi. Ulama Hanabilah memberi devinisi ijarah sebagai akad atas manfaat yang diperbolehkan  menurut syara’, bernilai ekonomi, manfaatnya di ambil sedikit demi sedikit dalam tenggang waktu yang ditentukan dengan adanya imbalan. Juz 3. Hal 74
[7] Dalam Mishbah Al Munir kata akad mempunyai makna sesuatu yang dapat mengikat. Juz 2, hal. 421. Dalam lisanul Arab, akad adalah kebalikan dari lepas. Juz 3 hal. 596. Sedang menurut syara’ pengertian akad terbagi menjadi dua, yaitu pengertian akad secara umum dan akad ssecara husus. Akad dalam pengertian yang umum bermakna segala bentuk tasharuf baik tasharuf yang bersifat mandiri dalam periwujudnya atau tasharuf yang dalam perwujudannya harus melibatkan pihak kedua. Contoh pertama adalah sumpah, dan contoh yang kedua adalah jual beli, sewa menyewa dll. Sedang makna akad secara lebih sempit hanya tertuju pada bentuk tasharuf yang harus melibatkan dua pihak atau lebih. Al manar dirasah fiqhiyyah fi ahkam muamalat al maliyah hal .6-9
[8] Khotib Al Syirbiny mengecualikan juga akad qiradh dengan pembagian hasil yang belum ditentukan. Mughnil Muhtaj Juz 3, hal. 378.
[9] Contoh dari manfaat yang tidak punya nilai ekonomis adalah ucapan seseorang dalam rangka menarik pembeli. Hal ini menimbulkan pro kontra ketika melihat fenomena yang berkembang saat ini. Manajemen marketing yang berkembang dewasa ini selalu mengikut sertakan Sales Promotion Girl (SPG) dan sejenisnya, bahkan kita mengenal apa yang dinamakan dengan nama gadis payung dalam arena Moto GP, ada juga “gadis pajangan” yang ditempatkan dalam stand-stand pameran dan swalayan. Bagaimana fiqh menyikapi fenomena tersebut? Imam Qolyubi menyikapi hal-hal semacam ini dengan mengambil mafhum mukholafah, yaitu bilamana manfaat yang diambil dari pemberi sewa sekira membutuhkan kemampuan khusus dan layak disebut ssebagai profesi maka manfaat tersebut terbilang bernilai ekonomis. Sedang dalam masalah gadis payung, SPG dan yang sejenis, pekerjaan tersebut dapat dimasukan dalam kategori akad sewa yang sah, hanya saja menilik factor lain maka pekerjaan tersebut hendaknya dipikirkan kembali. Hal. 69.  Sebagaimana di Mughni Al Muhtaj juz 3 hal. 384.
[10] Manakala durian yang disewa dalam jumlah besar dan memang disengaja menyewa durian untuk pengharum ruangan misalnya maka akd seperti ini diperbolehkan sebab manfaat disini bernilai ekonomis.
[11] Dari poin ini mengecualikan akad-akad yang tidak memerlukan imbalan seperti akad pinjam meminjam, syirkah, memberikan manfaat atas suatu barang wasiat atas manfaat barang dsb. Mughni Al Muhtaj juz 3, hal. 378.
[12] Dalam qolyubi hal. 68 disebutkan apabila ada seseorang mengucapkan aku menyewamu untuk mengerjakan suatu hal –menggembalakan kambing misallnya- maka akad tadi menurut ulama syafi’iyah dapat masuk dalam kategori ijarah ‘ain dikarenakan redaksi yang digunakan dalam shighot akad berbentuk susunan idhofah (Aku menyewamu), dapat juga masuk dalam kategori ijarah fi dzimmah dikarenakan substansi sewa menyewa terletak pada adanya  pekerjaan -yang mendatangkan manfaat untuk penyewa- dari diri mukhotob. Bukan sifat kebendaan yang ada pada diri mukhotob.  
[13] Shohih Bukhori, hadits 3905
[14] Ibid, bab jual beli
[15] Ibnu Majah, hadits no. 2443
[16] Terbaginya rukun akad sewa menjadi tiga adalah menurut pendapat jumhur. Menurut Hanafiyah, rukun sewa hanya ada satu yaitu shighat sebagaimana ikhtilaf dalam bab jual beli. Dalam banyak referensi fikih, rukun akad sewa ada empat. Hal ini mengacu pada pemisahan ma’qud alaih diatas menjadi dua yaitu ma’qud alaih itu sendiri yang hanya memasukan manfaat dan upah berdiri sebagai rukun tersendiri. Qolyubi hal. 68. Menurut al Fiqh Ala MAdzahib Al Arba’ah rukun dalam akad sewa ada 5, Al ‘Aqidani, Al ‘Iwadhain, dan shighot. Juz 3. Hal. 87
[17] Syarah Bidayatul Mujtahid, juz 4, hal. 1795, cet. Dar Salam
[18] Standar seseorang mempunyai kecakapan adalah manakala ia sudah dewasa dan dapat memenej dirinya sendiri serta dapat mengelola keuangannya.  Sewa menyewa yang dilakukan oleh anak kecil, orang yang idiot dan orang yang diputus oleh pihak berwenang  tidak boleh membelanjakan hartanya sendiri dihukumi tidak sah.
[19] At Tirmidzy no. 2473 sebagaimana dikutip oleh Khotib Syirbini. Mughni Juz 3, hal. 379. Imam Qolyubi mengatakan bahwa akad sewa menyewa dengan pihak penyewa seorang non muslim dihukumi makruh. Pro kontra mengenai hukum mempekerjakan diri kepada non muslim dapat dilihat dalam tafsir ayatul ahkam Ali says, tafsir Qurtubhi dll. Sependek pemahaman penulis, ‘illat dari tidak diperbolehkannya mempekerjakan diri kepada non muslim adalah dimungkinkan terjadi pelecehan yang bernuansa sara kepada seorang muslim. Bilamana illat tadi dapat dihindari maka hukum dari mempekerjakan diri kepada non muslim juga berubah. Contoh kecil adalah ketika pekerjaan yang diterima oleh seorang muslim perlu keahlian husus. Lantas, bagaimana hukum bekerja sebagai PRT kepada non muslim sebagaimana banyak terjadi di sekitar kita? Bukankah pekerjaan yang dilakukan oleh sahabat Ali juga tidak memerlukan keahlian husus? Benar adanya bahwa sahabat Ali dalam bekerja tidak memerlukan keahlian husus sebagaimana pekerjan seorang PRT, hanya saja kehawatiran terjadinya pelecehan terhadap sahabat Ali sangat kecil terjadi sedang pelecehan terhadap PRT seakan menanti di depan mata.
[20] Bahs Fiqh Muqoron Univ. Al Azhar tk. 2 tahun 2012
[21] Al fiqh Ala madzahib Al Arba’ah Juz 3 hal. 76, cet. Maktabah Shafa
[22] Ibid, Juz 3 hal. 82
[23] Bahasan shighot menempati poin sangat penting dalam literature ulama Syafi’iyah. Kitab-kitab madzhab Syafi’I terkesan sangat teliti dan detail dalam urusan ini. Lihat misalnya Mughni, Qolyubi Majmu’ dll. 
[24] Lihat Mughni Al Muhtaj juz 3, hal. 380-381,  Qolyubi Juz 3, hal. 68.
[25] Lihat Al Asybah Wan Nadzoir, jalaluludin Al  Suyuthy, lihat juga di Bidayatul Mujtahid Juz 4, hal. 6, cet. Dar Al Hadits.
[26] Mughni Al Muhtaj, Juz 3, Hal. 398, cet. Dar Al hadits
[27] Ibid, hal. 384. Alasan mengapa manfaat yang dijadikan objek akad sewa harus bernilai ekonomis agar supaya terjadi keseimbangan diantara pemberi dan penerima upah, mereka bertukar seseuatu yang sama-sama punya nilai. 
[28]Ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam masalah penyerah terimaan manfaat. Pertama, manfaat tersebut dapat diserah terimakan menurut kaca mata syara’ dan kedua dapat diserah terimakan melihat realitas dilapangan. Penyerah  terimaan manfaat juga tidak terpancang pada manfaat suatu barang yang secara hukum dimiliki secara permanen (milkul ashli) oleh pemberi sewa. Akan tetapi, dapat juga diberikan oleh seseorang yang memiliki manfaat suatu barang secara temporal. Contoh sederhana adalah orang yang menyewa mobil dapat menyewakan kembali mobil yang disewa oleh dirinya kepada orang lain. Ibid, hal. 385  
[29] Imam ibnu Rusyd Al hafid membagi manfaat yang dilarang  oleh syara’ menjadi tiga macam. Pertama, manfaat yang terdapat pada barang yang diharamkan. Kedua, manfaat yang diambil dari pekerjaan yang diharamkan oleh syara’. Semisal manfaat yang diambil dari menangisi orang mati dan upah penyanyi.. ketiga, manfaat yang di ambil dari fardhu ‘ain semisal sholat dan puasa.
[30] Pembahasananya dapat dilihat di catatan kaki nomor 9.
[31] Kekuasaan yang ada pada diri penyewa adalah kekuasan yang tidak menimbulkan adanya ganti rugi jika dalam penggunaan barang yang disewakan tidak melebihi ambang kewajaran. Istilah fikih menyebutkannya dengan yad amanah. Ganti rugi hanya dapat dikenakan kepada penyewa lantaran kesembronoan dalam penggunaan barang. Menurut qaul ashah madzhab syafi’I, penguasaan penyewa atas barang dalam masa sewa atau setelah masa sewa berahir termasuk yad amanah, sedangkan menurut Imam Subky, setelah masa sewa selesai dan barang masih dalam tangan penyewa maka kekuasannya bersifat dhoman. Mughni Al Muhtaj Juz 3. Hal. 409-415.. Dar. Al Hadits  

[32] Mughni Al Muhtaj, Juz 3, hal. 383
[33] Imam At Thohawy sebagaimana diceritakan oleh Imam Ibnu Rusyd berkata: substansi dari pelarangan nabi terhadap praktek pemberian upah penggilingan tepung dengan menggunakan tepung yang dihasilkan oleh proses penggilingan tadi adalah upah yang akan diberikan kepada pemberi jasa masih belum menjadi hak milik si penyewa ketika akad berlangsung, bukan juga termasuk piutang. Pendapat ini juga disetujui oleh Imam Syafi’i. Bidayatul Mujtahid, Juz 4, hal. 10. Dar Al hadits  
[34] Bidayatul Mujtahid, Juz 4, hal. 11, cet. Dar Al Hadits
[35] Bidayatul Mujtahid juz 4. Hal. 6, cet. Dar Al hadits
[36] Ibid, hal. 10
[37] Mughni Al Muhtaj, juz 3, hal. 397
[38] Menurut keteranga diatas, akad yang dilakukan oleh pengguna WC umum sah atau tidak, karena tidak ada batasan waktu dan aktifitas. Begitu juga sewa atas kendaraan umum.
[39] Syarah Bidayatul Mujtahid, juz 4, hal. 1813-1826, cet. Dar Salam
[40]Alasan pendapat pertama berdasarkan Al Qur’an surat al maidah ayat 1, mereka beralasan bahwa sewa adalah akad atas manfaat, hampir serupa dengan nikah. Alasan selanjutnya adalah karena sewa adalah akad timbal balik diantara dua belah pihak maka, tidak dapat rusak jika tidak ada yang menyebabkanya.
Hanfiyah sebagai pelopor pendapat kedua mengatakan bahwa pembolehan membatalkan akad berdasarkan kemiripan dalam hal hilangnya sesuatu yang akan mendatangkan manfaat (keuntungan materi bagi penyewa, (barang dagangan) dengan hilangnya ma’qud alaiah (kios).
[41] Dalam Bidayatul Mujtahid, kerusakan yang ada pada barang sewa serta merta dibebankan kepada pihak pemilik barang tanpa ada perincian. Hal ini menurut penulis terbilang aneh. Karena dalam banyak literatur disebutkan bahwa kerusakan yang disebabkan  unsur kesengajaan dalam penggunaan menjadi tanggungan penyewa. Begitu juga dengan penambahan waktu dan eksploitasi manfaat berlebih pada barang sewa. Melihat Bidayatul mujtahid cetakan Dar Al hadits dan syarahnya, cet. Dar Salam yang bersekongkol melimpahkan beban kepada pemilik barang sewa, rasa-rasanya ada kekeliruan redaksi atau ada mis interpretasi penulis sendiri.

1 komentar: