Jumat, 15 Oktober 2010

Dari Ketiadaan Aku Ada Part V

Berangkat menuju negri seribu menara

Kejadian-kejadian tak terduga dan sangat istimewa dalam lika-liku persiapan perjalananku menuju kairo tidak berhenti sampai disitu. Bagai sebuah drama yang penuh dengan kejutan lebih tepatnya. Karena skenario Tuhan dan rencana-rencananya tidak dapat ditebak. Begitu juga dalam episode selanjutnya, episode keberangkatan. Sehari sebelum keberangkatan, rumahku sudah di penuhi tamu, teman-teman dari pondok menyempatkan diri untuk berpamitan. Bukan itu saja, kakak-kakak almamater juga tidak ketinggalan, Mereka ikut serta menyambangi rumahku untuk ikut mendoakanku agar selamat dalam perjalanan dan dapat kembali dengan selamat dengan membawa oleh-oleh yang berharga. Diantara mereka malah ada yang datang satu hari sebelumnya. Hingga pada detik-detik keberangkatan tidak hanya teman-teman santri dan alumni juga sanak famili dan tetangga berkumpul memanjatkan doa untukkku. Tak kurang dari ratusan orang berkumpul melepas kepergianku, banyak juga yang meneteskan air mata hingga mataku pun sembab. 

Kalian tau dengan apa aku berangkat menuju bandara? Sudah ku rencanakan jauh-jauh hari, bahwa nanti aku akan berangkat menggunakan kereta ekonomi saja dengan ditemani seorang dari keluarga dan beberapa teman yang siap mengantarkanku ke bandara dengan uang sendiri, maklum tidak ada anggaran untuk menyewa mobil. Di Jakarta nanti akan ada teman yang menjemput di stasiun dan siap mengantarkan ke bandara dengan terlebih dahulu istirahat di kos-kosannya. Itu juga dengan free. Rencana ini ahirnya tidak terwujud karena dari pihak keluarga ada yang mau menyewakan mobil untuk mengantarkanku ke bandara. Akhirnya dengan seluruh anggota keluarga dan kedua bibi serta anaknya aku berangkat ke bandara tanpa disertai teman-temanku dan harus melupakan rencana semula. Tunduk kepada rencana pengatur alam semesta.

Tiba di Kairo

Semuanya tampak kecoklatan ketika pesawat akan mendarat di bandara Kairo lama. Sangat kontras dengan pemandangan yang biasa aku lihat saban hari. Bangunan-bangunan berbentuk kotak tampak saling berdempetan, pun dengan warna coklat. Dan nun jauh disana tampak tanah menghampar tak berbatas, juga dalam warna yang sama.

Jaket tebal yang membuatku kegerahan di Jakarta seakan kehilangan tajinya, padahal ada dua lapis pakaian lagi yang melekat tubuhku sebelum jaket itu ku balutkan. Gigiku gemeretuk menahan dingin yang menyayat, aku menggigil. Belum pernah aku mengalami dingin sampai begini. Untung saja ada kawan yang sudah menunggu di luar bandara. Dan tanpa pikir panjang langsung saja aku dan ketiga temanku menghambur ke mobil.

Ini juga tidak terduga sebelumnya, biasanya mahasiswa yang datang ke kairo hanya di jemput oleh perwakian broker dan diantar menuju secretariat dengan menggunakan angkutan umum. Dan aku, aku bagai tamu agung yang dijemput dengan kendaraan pribadi.
Tiba di sakan teman-teman almamater telah menunggu, jamuan juga sudah di persiapkan, tinggal santap saja, aku merasa kikuk, karena mereka semua adalah para senior yang dulu sempat mengajariku dan membimbingku. Tapi sudahlah, toh sekarang aku sudah berada entah di daerah mana dan hanya merekalah tumpuan akan masalah-masalah yang nanti aku hadapi dan aku mintai bantuan. Mereka pun menganggapku bukan sebagai santri sarung lagi. Jadinya, sebisa mungkin aku bersikap akrab.

Keesokan harinya, aku diajak untuk mengurus registrasi. Pokoknya manut, itu saja yang tersembul dari hatiku. Karena aku tidak tau menau soal registrasi dan bahasa yang digunakan juga sangat asing di telinga, hingga tidak sepatah katapun dapat ku terjemahkan dengan baik. Aku berharap semuanya akan berjalan dengan lancar agar langsung dapat mengikuti imtihan qobul untuk seterusnya dapat mengikuti imtihan semester. Tapi, keberuntungan tidak berpihak kepadaku. Walaupun imtihan qobul masih menyisakan waktu satu minggu lagi, akan tetapi pendaftarannya sudah terlanjur ditutup kemaren. Seniorku berjuang mati-matian agar aku bisa mengikuti imtihan qobul. Sayang, usahanya tak membuahkan hasil. Dia kecewa, dan aku lebih kecewa. Satu tahun aku harus menunggu. Dapatkah bekal yang ku bawa menopang kebutuhanku selama setahun ini? Entahlah… pesimis.

Mahasiswa Al Azhar dari Indonesia baik yang berangkat dengan status beasiswa atau non beasiswa atau istilahnya mahasiswa terjun bebas harus menunggu satu tahun untuk mendapatkan minhah (beasiswa), itupun dengan syarat dalam imtihan term I dan II harus sukses, kalau tidak alamat ia harus menghidupi diri dari kiriman orang tua atau dari keringatnya sendiri. Jadi, istilah program beasiswa dari pemerintah yang kelihatannya keren ternyata hanya nyaring ditelinga. Pada prakteknya pemerintah Mesir lah yang punya andil besar dalam pendidikan beribu-ribu generasi muda bangsa ini. Wal hasil tidak ada perbedaan yang besar antara mahasiswa yang berangkat dengan uang sendiri atau dengan label beasiswa dari pemerintah. Bahkan mahasiswa yang berangkat melalui jalur beasiswa dipastikan akan terlambat satu tahun setelah pengumuman seleksi depag dan harus rela bercanda ria dengan birokrasi pemerintah dengan pembungah hanya berupa sakan (asrama) gratis nanti setelah sampai di Mesir, dan itupun bisa diperoleh oleh mahasiswa yang berangkat dengan biaya sendiri dengan cara mengajukan lamaran ke Azhar. Karena asrama itu bukan milik pemerintah kita, melainkan murni milik Azhar.

Karena tidak dapat langsung masuk ke kuliah otomatis dalam dua tahun kedepan aku harus berusaha mati-matian menghidupi diri sendiri, entah dengan jalan apa. Itulah yang pertama kali terlintas di pikiranku ketika mendengar putusan bahwa aku harus menunggu setahun untuk dapat masuk kuliah. Suram……

senja di Kairo lama
senja di Kairo lama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar