Jumat, 21 Maret 2014

Mengenal Masjid al-Azhar



Mengenal Masjid al-Azhar


Masjid al-Azhar mempunyai tiga pintu keluar/masuk; Pintu utara, selatan dan barat. Pintu utara merupakan pintu yang dijadikan pintu keluar/masuk bagi jama’ah yang kebetulan membawa mobil, atau siapa saja yang berasal dari arah kampus dan Darrasah. Ada dua buah prasasti pemugaran di sebelah kirinya.

Pintu itu  mengajak kita untuk melewati dua ruangan dan areal masjid tanpa atap (Shuhn). Dua ruangan yang dimaksud adalah Ruwak Fasyaniah disebelah kanan ketika akan masuk dan sebelah kirinya adalah ruangan untuk musola jama’ah wanita (2013). Ruangan yang digunakan untuk musola wanita ini disekat dengan menggunakan kain disebelah belakang, tembok kiri berupa tembok masjid, sedangkan sekat yang yang menghalangi pandangan dari arah  kanan dan depan menggunakan kayu rujen. Dibalik kayu rujen sebelah kanan ruangan musola ini, kita akan mendapati dua tong berwarna oranye, dua-duanya digunakan untuk menampung air minum. Tepat disitu, katanya, ulama-ulama ahli hadits semisal Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Imam Suyuthi dan yang lain membalakh santri-santrinya. Sekat kayu dari arah depan alias kiblat ketika sholat adalah pembatas ke ruang utama masjid, ruang utama ini ada dua, yang berbatasan langsung dinamakan dengan Dzullah Fathimiyah dan satunya lagi dinamakan dengan Dzullah Usmaniyah.

Ukir-ukiran di Pintu Masuk Masjid al-Azhar dari Arah Barat
(Sumber: Dok. Pribadi)

Pintu sebelah barat biasanya digunakan oleh para turis dan pelancong. Pintu ini menghubungkan pelancong yang datang dari arah bundaran Ataba, daerah pusat kota Kairo, dan pengunjung dari Khan Khalili. Tentu saja, bagi para peziarah saidina Husen juga akan melewati pintu ini dengan sebelumnya melewati terowongan dengan panjang sekitar dua puluh meteran. Setelah melewati terowongan yang biasanya disebut nafaq oleh orang sini, para pelancong akan disambut oleh ibu tua penjaja tisu. Dari nafaq sekitar dua meter kita dapat temukan depot penjualan pernak-pernik, tukang foto kopi, nenek tua penjaja koran dan majalah, serta penjual buku-buku tua dari maktabah Shubeh, salah satu dari dua maktabah yang pernah jaya di Mesir. Sekitar lima puluh meter ke arah barat dari nafaq (terowongan) kita akan disuguhi bangunan-bangunan megah era sultan al-Ghuri.

Beberapa langkah setelah masuk dari pintu barat kita akan disambut oleh dua lelaki tua penjaga sandal dan sepatu. Dua penjaga tersebut juga diserahi tugas untuk menutup aurat para pelancong yang kebetulan menggunakan baju ketat dan cekak. Biasanya dua penjaga itu akan memberikan gamis terusan dengan kerudung diatasnya, mirip dengan mukena. Orang sini biasa menyebutnya dengan abaya. Disebelah kanan setelah masuk dua langkah, kita akan menemukan pintu dengan tulisan lajnah fatwa masjid al-Azhar diatasnya. Katanya, dulu ruangan ini digunakan untuk menerima orang-orang yang ingin meminta fatwa. Sekarang, ruangan ini seringkali digunakan untuk menjerat pembeli majalah Shaut al-Azhar.

Tepat bersebelahan dengan ruangan ini, kita menjumpai ruangan dengan tulisan Madrasah al-Tibrisiyah, ruangan ini sekarang dijadikan ruang perpustakaan. Siapa saja boleh masuk ke ruangan ini tanpa dipungut biaya. Kita boleh seharian berada disitu, tapi sayangnya perpustakaan ini tanpa ada layanan soft drink dan sejenisnya, hehehe. Jadi, kalau mau berlama-lama disitu minimal bawa air putih dan tha’miyah bil baed untuk pengganjal perut. Dan sayangnya lagi, perpustakaan ini selalu lengang, hanya beberapa orang saja yang bisa kita jumpai disana.

Dari perpustakaan beberapa langkah ke depan kita akan menuju ruang tengah masjid. Ruangan ini didesain tanpa atap. Panjang dan lebarnya yang cukup luas membuat anak-anak berlari berkejaran dengan bebas. Mereka merasa seakan masjid ini adalah tempat bermain untuk mereka. Orang  tua mereka biasanya membiarkan anaknya berlarian dan bercengkrama. Mungkin mereka merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh anak-anaknya itu. Karena semenjak mereka lahir biasanya langsung dikungkung dalam bangunan persegi empat dengan luas hanya beberapa meter saja. Tidak ada yang melarang mereka berlari dan bercengkrama. Tidak ada satpam di masjid tua ini. Yang ada hanya dua orang penjaga sepatu, empat orang petugas kebersihan, satu orang penata sajadah dan mic untuk imam, dan beberapa tukang kamera apabila ada pengajian. Mereka semua tidak melarang anak-anak bercengkrama kecuali apabila sudah melewati batas.

Sayap kiri dari ruangan tanpa atap adalah ruwak Fasyaniah dan musola wanita. Sayap kanannya terdiri dari ruwak Magharibah, ruwak Atrak, ruangan untuk imam yang dulunya bernama ruwak Jabarti, dan ruwak Abbasi.

Ruwak Magharibah adalah sayap kanan paling depan yang menghubungkan dengan dzullah Fatimiyah. Ruwak ini biasanya digunakan oleh Prof. Dr. Hasan Syafi’I mengajar al-Lumma’, Syamail Muhamadiyah, al-Mawaqîf, dan kitab-kitab lain yang pernah diajarkannya. Ulama lain yang pernah menggunakannya adalah Dr. Yusri, Dr. Abdul Aziz Saiful Nashor, Dr. Hasan Usman, Dr. ‘Athiyyah Abdul Maujud, Dr. Hisyam Kamil, Syekh Hajin dan masyayikh yang lain. Pernah juga akan digunakan oleh Dr. abdul Fadhil al-Qushi. Akan tetapi, karena tidak ada yang mengikuti pengajiannya, beliau jadi urung mengajar.

Di sebelah barat ruwak Magharibah, kita akan mendapati ruwak Atrak. Ruwak ini dulu digunakan oleh Dr. Ali Jum’ah mengkader murid-muridnya. Dari ruwak ini lahir Dr. Amr al-Wardani, Syekh Sayid Syaltut, Syekh Imad ‘Iffat (alm), Dr. Usama Sayid al-Azhari dll. Ruwak ini juga menjadi saksi dari pergantian status murid-murid syeikh Ali Jum’ah yang dulunya duduk mendengarkan sang syekh sekarang menjadi pengajar. Disini, syekh ‘Imad ‘Iffat, syekh Sayid, syekh Amr, Dr. Jamal Faruq dll. Mengasuh murid-muridnya. Kebanyakan murid-murid beliau berasal dari asia tenggara (al-Jawiyyîn). Ruwak ini dulu pernah direkomendasikan oleh Dr. Ali Jum’ah agar diganti dengan nama ruwak ‘Imad ‘Iffat, akan tetapi sampai saat ini masih terkenal dengan ruwak Atrak.

Ruwak Abbasi merupakan ruangan yang tembok bagian belakangnya setentang dengan pintu sebelah barat. Ada pintu kecil dari arah luar yang dapat dilalui pada waktu-waktu tertentu. Ruangan ini dua tahun yang lalu difungsikan sebagai tempat mushola wanita. Sekarang, ruangan ini difungsikan untuk kegiatan belajar mengajar. Diantara ulama yang sekarang mengajar di ruwak ini adalah Dr. Hisyam Kamil, Dr. Muhanna, Dr. Hazim Kailani, dll. Ruangan ini mempunyai mihrab yang indah dan sangat artistik. Untuk masuk dari bagian masjid tanpa atap, kita akan melewati ruangan untuk para imam masjid yang biasanya digunakan untuk setoran tahfidz. Didepan pintu itu kita akan mendapati ada tulisan ruwak al-Jabarti dan Pas didepannya ada pintu rujen dari kayu. Dari pintu itu kita masuk beberapa langkah untuk mencapai ruwak Abbasi tersebut.   
 
Pintu terahir adalah pintu yang berdiri setentang dengan mihrab al-Dardir dan mihrab Usmaniyah. Pintu ini biasanya dilalui oleh orang-orang yang berjalan dari jalan Muhammad Abduh, jalan yang berada di arah belakang kampus al-Azhar. Jalan ini menghubungkan kampus dengan masjid al-Azhar dari arah belakang. Jika kita dengan detail memperhatikan jalan semenjak dari pintu gerbang belakang, kita akan mendapati beberapa maktabah, markaz tabarak, dan bebrapa penjaja ful dan tha’miyah. Tepat didepan penjual ful ada gang kecil ke arah kiri. Gang itu dinamakan dengan gang Dawidar (duwaidar menurut lisan orang jawa). Gang ini akan mengajak kita ke madyafah syekh Ali Jum’ah dengan sebelumnya melewati kafe dan masjid syekh Dawidar. Dari masjid ini kita melangkah sepuluh meter ke arah depan dan sebelum tikungan yang ada tukang jilid buku kita masuk ke apartemen. Disitulah tempat madhyafah.

Kembali ke arah depan, beberapa meter dari gerbang kuliah ke arah masjid (barat), kita akan melewati rumah Zainab Khatun House dan Madrasa al-Ainiy. disebelah kanan madrasah ada bapak tua penjaja buku-buku tua yang biasanya sering dinamakan dengan penjaja buku tahta syajarah, nama ini disematkan dikarenakan penjaja tersebut memilih tempat dibawah rimbun pepohonan. Lima meter sebelah kiri dari penjaja buku tua kita akan bertemu dengan maktabah dar al-Maram yang biasanya menjual talkhisan. Disebelahnya persis ada apotik dan setelahnya ada kafe. Sebelah depan kafe ada penjual ful dan maktabah dar al-Thala’i. Maktabah ini berbatsan langsung dengan pintu gerbang masjid al-Azhar dari arah belakang. Didepan pintu gerbang ini ada jalan yang dinamakan dengan jalan al-Baithâr atau juga dinamakan dengan nama jalan al-Maqrîzi.

Dari pintu arah selatan ini, kita akan langsung berada di dzullah Usmaniyah. Dzullah Usmaniyah merupakan tempat yang digunakan ulama-ulama dengan pengikut pengajian mencapai ratusan hingga ribuan. Diantara ulamaa yang mengajar di sini adalah Dr. Ali Jum’ah, Dr. Yusri Rusydi, Dr. Thaha Rayyan, Dr. Fathi Hijazi dan ulama-ulama kenamaan dari negara lain, semisal Dr. Nurudin ‘Etr dari Suriah dan Habib Umar dari Yaman. Di ruangan ini juga ada mihrab yang dinamakan dengan mihrab al-Dardir, tempat dimana syekh Dardir menggembleng santri-santrinya. Tempat ini luasnya beberapa kali lipat luas ruwak-ruwak yang telah tersebut diatas sehingga memungkinkan untuk menampung para jama’ah yang lebih banyak. Fungsi lain dari Dzullah Usmaniyah adalah untuk melaksanakan shalat jum’at.

Dibelakang dzullah Usmaniyah ada satu ruangan yang dinamakan dengan dzullah Fathimiyah. Kedua ruangan ini tidak dibatasi oleh tembok dan yang sejenisnya. Dzullah Fatimiyah merupakan area masjid yang digunakan untuk pelaksanaan shalat lima waktu, pengajian selepas shalat jama’ah dan beberapa pengajian lain. Luas tempat ini hampir sama persis dengan dzullah Usmaniyah. Ulama-ulama yang biasa menempati tempat ini adalah para imam masjid dan ulama kementrian wakaf. Selain itu, ada juga dirasat hurrah yang diampu oleh ulama-ulama sepuh semisal Dr. Thaha Rayan dan Dr. Ahmad Umar Hasyim.