Mengenal Masjid al-Azhar
Masjid al-Azhar mempunyai tiga
pintu keluar/masuk; Pintu utara, selatan dan barat. Pintu utara merupakan pintu
yang dijadikan pintu keluar/masuk bagi jama’ah yang kebetulan membawa mobil,
atau siapa saja yang berasal dari arah kampus dan Darrasah. Ada dua buah
prasasti pemugaran di sebelah kirinya.
Pintu itu mengajak kita untuk melewati dua ruangan dan
areal masjid tanpa atap (Shuhn). Dua ruangan yang dimaksud adalah Ruwak Fasyaniah
disebelah kanan ketika akan masuk dan sebelah kirinya adalah ruangan untuk
musola jama’ah wanita (2013). Ruangan yang digunakan untuk musola wanita ini disekat
dengan menggunakan kain disebelah belakang, tembok kiri berupa tembok masjid,
sedangkan sekat yang yang menghalangi pandangan dari arah kanan dan depan menggunakan kayu rujen. Dibalik
kayu rujen sebelah kanan ruangan musola ini, kita akan mendapati dua tong
berwarna oranye, dua-duanya digunakan untuk menampung air minum. Tepat disitu,
katanya, ulama-ulama ahli hadits semisal Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Imam Suyuthi
dan yang lain membalakh
santri-santrinya. Sekat kayu dari arah depan alias kiblat ketika sholat adalah
pembatas ke ruang utama masjid, ruang utama ini ada dua, yang berbatasan
langsung dinamakan dengan Dzullah Fathimiyah
dan satunya lagi dinamakan dengan Dzullah
Usmaniyah.
Ukir-ukiran di Pintu Masuk Masjid al-Azhar dari Arah Barat (Sumber: Dok. Pribadi) |
Pintu sebelah barat biasanya digunakan oleh para turis dan pelancong. Pintu ini menghubungkan pelancong yang datang dari arah bundaran Ataba, daerah pusat kota Kairo, dan pengunjung dari Khan Khalili. Tentu saja, bagi para peziarah saidina Husen juga akan melewati pintu ini dengan sebelumnya melewati terowongan dengan panjang sekitar dua puluh meteran. Setelah melewati terowongan yang biasanya disebut nafaq oleh orang sini, para pelancong akan disambut oleh ibu tua penjaja tisu. Dari nafaq sekitar dua meter kita dapat temukan depot penjualan pernak-pernik, tukang foto kopi, nenek tua penjaja koran dan majalah, serta penjual buku-buku tua dari maktabah Shubeh, salah satu dari dua maktabah yang pernah jaya di Mesir. Sekitar lima puluh meter ke arah barat dari nafaq (terowongan) kita akan disuguhi bangunan-bangunan megah era sultan al-Ghuri.
Beberapa langkah setelah
masuk dari pintu barat kita akan disambut oleh dua lelaki tua penjaga sandal
dan sepatu. Dua penjaga tersebut juga diserahi tugas untuk menutup aurat para
pelancong yang kebetulan menggunakan baju ketat dan cekak. Biasanya dua penjaga
itu akan memberikan gamis terusan dengan kerudung diatasnya, mirip dengan
mukena. Orang sini biasa menyebutnya dengan abaya.
Disebelah kanan setelah masuk dua langkah, kita akan menemukan pintu dengan
tulisan lajnah fatwa masjid al-Azhar diatasnya. Katanya, dulu ruangan ini
digunakan untuk menerima orang-orang yang ingin meminta fatwa. Sekarang,
ruangan ini seringkali digunakan untuk menjerat pembeli majalah Shaut al-Azhar.
Tepat bersebelahan dengan
ruangan ini, kita menjumpai ruangan dengan tulisan Madrasah al-Tibrisiyah, ruangan ini sekarang dijadikan ruang
perpustakaan. Siapa saja boleh masuk ke ruangan ini tanpa dipungut biaya. Kita
boleh seharian berada disitu, tapi sayangnya perpustakaan ini tanpa ada layanan
soft drink dan sejenisnya, hehehe. Jadi, kalau mau berlama-lama disitu minimal
bawa air putih dan tha’miyah bil baed untuk
pengganjal perut. Dan sayangnya lagi, perpustakaan ini selalu lengang, hanya
beberapa orang saja yang bisa kita jumpai disana.
Dari perpustakaan beberapa
langkah ke depan kita akan menuju ruang tengah masjid. Ruangan ini didesain
tanpa atap. Panjang dan lebarnya yang cukup luas membuat anak-anak berlari
berkejaran dengan bebas. Mereka merasa seakan masjid ini adalah tempat bermain
untuk mereka. Orang tua mereka biasanya
membiarkan anaknya berlarian dan bercengkrama. Mungkin mereka merasakan
kebahagiaan yang dirasakan oleh anak-anaknya itu. Karena semenjak mereka lahir
biasanya langsung dikungkung dalam bangunan persegi empat dengan luas hanya
beberapa meter saja. Tidak ada yang melarang mereka berlari dan bercengkrama.
Tidak ada satpam di masjid tua ini. Yang ada hanya dua orang penjaga sepatu,
empat orang petugas kebersihan, satu orang penata sajadah dan mic untuk imam,
dan beberapa tukang kamera apabila ada pengajian. Mereka semua tidak melarang
anak-anak bercengkrama kecuali apabila sudah melewati batas.
Sayap kiri dari ruangan tanpa
atap adalah ruwak Fasyaniah dan musola wanita. Sayap kanannya terdiri dari ruwak Magharibah, ruwak Atrak, ruangan untuk imam yang dulunya bernama ruwak Jabarti, dan ruwak Abbasi.
Ruwak
Magharibah adalah sayap kanan paling depan yang menghubungkan dengan dzullah Fatimiyah. Ruwak ini biasanya
digunakan oleh Prof. Dr. Hasan Syafi’I mengajar al-Lumma’, Syamail Muhamadiyah,
al-Mawaqîf, dan kitab-kitab lain yang pernah diajarkannya. Ulama lain yang
pernah menggunakannya adalah Dr. Yusri, Dr. Abdul Aziz Saiful Nashor, Dr. Hasan
Usman, Dr. ‘Athiyyah Abdul Maujud, Dr. Hisyam Kamil, Syekh Hajin dan masyayikh
yang lain. Pernah juga akan digunakan oleh Dr. abdul Fadhil al-Qushi. Akan
tetapi, karena tidak ada yang mengikuti pengajiannya, beliau jadi urung
mengajar.
Di sebelah barat ruwak Magharibah, kita akan mendapati
ruwak Atrak. Ruwak ini dulu digunakan
oleh Dr. Ali Jum’ah mengkader murid-muridnya. Dari ruwak ini lahir Dr. Amr
al-Wardani, Syekh Sayid Syaltut, Syekh Imad ‘Iffat (alm), Dr. Usama Sayid
al-Azhari dll. Ruwak ini juga menjadi saksi dari pergantian status murid-murid
syeikh Ali Jum’ah yang dulunya duduk mendengarkan sang syekh sekarang menjadi
pengajar. Disini, syekh ‘Imad ‘Iffat, syekh Sayid, syekh Amr, Dr. Jamal Faruq
dll. Mengasuh murid-muridnya. Kebanyakan murid-murid beliau berasal dari asia
tenggara (al-Jawiyyîn). Ruwak ini
dulu pernah direkomendasikan oleh Dr. Ali Jum’ah agar diganti dengan nama ruwak ‘Imad ‘Iffat, akan tetapi sampai
saat ini masih terkenal dengan ruwak
Atrak.
Ruwak
Abbasi merupakan ruangan yang tembok bagian belakangnya setentang dengan pintu
sebelah barat. Ada pintu kecil dari arah luar yang dapat dilalui pada
waktu-waktu tertentu. Ruangan ini dua tahun yang lalu difungsikan sebagai
tempat mushola wanita. Sekarang, ruangan ini difungsikan untuk kegiatan belajar
mengajar. Diantara ulama yang sekarang mengajar di ruwak ini adalah Dr. Hisyam Kamil,
Dr. Muhanna, Dr. Hazim Kailani, dll. Ruangan ini mempunyai mihrab yang indah
dan sangat artistik. Untuk masuk dari bagian masjid tanpa atap, kita akan
melewati ruangan untuk para imam masjid yang biasanya digunakan untuk setoran tahfidz. Didepan pintu itu kita akan
mendapati ada tulisan ruwak al-Jabarti dan
Pas didepannya ada pintu rujen dari kayu. Dari pintu itu kita masuk beberapa
langkah untuk mencapai ruwak Abbasi
tersebut.
Pintu terahir adalah pintu
yang berdiri setentang dengan mihrab
al-Dardir dan mihrab Usmaniyah.
Pintu ini biasanya dilalui oleh orang-orang yang berjalan dari jalan Muhammad
Abduh, jalan yang berada di arah belakang kampus al-Azhar. Jalan ini
menghubungkan kampus dengan masjid al-Azhar dari arah belakang. Jika kita dengan
detail memperhatikan jalan semenjak dari pintu gerbang belakang, kita akan
mendapati beberapa maktabah, markaz tabarak, dan bebrapa penjaja ful dan tha’miyah. Tepat didepan penjual ful ada gang kecil ke arah kiri. Gang itu dinamakan dengan gang
Dawidar (duwaidar menurut lisan orang jawa). Gang ini akan mengajak kita ke
madyafah syekh Ali Jum’ah dengan sebelumnya melewati kafe dan masjid syekh
Dawidar. Dari masjid ini kita melangkah sepuluh meter ke arah depan dan sebelum
tikungan yang ada tukang jilid buku kita masuk ke apartemen. Disitulah tempat madhyafah.
Kembali ke arah depan, beberapa
meter dari gerbang kuliah ke arah masjid (barat), kita akan melewati rumah Zainab Khatun House dan Madrasa al-Ainiy. disebelah kanan
madrasah ada bapak tua penjaja buku-buku tua yang biasanya sering dinamakan
dengan penjaja buku tahta syajarah, nama
ini disematkan dikarenakan penjaja tersebut memilih tempat dibawah rimbun
pepohonan. Lima meter sebelah kiri dari penjaja buku tua kita akan bertemu
dengan maktabah dar al-Maram yang
biasanya menjual talkhisan. Disebelahnya persis ada apotik dan setelahnya ada
kafe. Sebelah depan kafe ada penjual ful dan maktabah dar al-Thala’i. Maktabah ini berbatsan langsung dengan
pintu gerbang masjid al-Azhar dari arah belakang. Didepan pintu gerbang ini ada
jalan yang dinamakan dengan jalan al-Baithâr atau juga dinamakan dengan nama
jalan al-Maqrîzi.
Dari pintu arah selatan ini,
kita akan langsung berada di dzullah
Usmaniyah. Dzullah Usmaniyah merupakan
tempat yang digunakan ulama-ulama dengan pengikut pengajian mencapai ratusan
hingga ribuan. Diantara ulamaa yang mengajar di sini adalah Dr. Ali Jum’ah, Dr.
Yusri Rusydi, Dr. Thaha Rayyan, Dr. Fathi Hijazi dan ulama-ulama kenamaan dari
negara lain, semisal Dr. Nurudin ‘Etr dari Suriah dan Habib Umar dari Yaman. Di
ruangan ini juga ada mihrab yang dinamakan dengan mihrab al-Dardir, tempat dimana syekh Dardir menggembleng
santri-santrinya. Tempat ini luasnya beberapa kali lipat luas ruwak-ruwak yang
telah tersebut diatas sehingga memungkinkan untuk menampung para jama’ah yang
lebih banyak. Fungsi lain dari Dzullah
Usmaniyah adalah untuk melaksanakan shalat jum’at.
Dibelakang dzullah Usmaniyah ada satu ruangan yang
dinamakan dengan dzullah Fathimiyah. Kedua
ruangan ini tidak dibatasi oleh tembok dan yang sejenisnya. Dzullah Fatimiyah merupakan area masjid
yang digunakan untuk pelaksanaan shalat lima waktu, pengajian selepas shalat
jama’ah dan beberapa pengajian lain. Luas tempat ini hampir sama persis dengan dzullah Usmaniyah. Ulama-ulama yang
biasa menempati tempat ini adalah para imam masjid dan ulama kementrian wakaf. Selain
itu, ada juga dirasat hurrah yang
diampu oleh ulama-ulama sepuh semisal Dr. Thaha Rayan dan Dr. Ahmad Umar Hasyim.