Jumat, 22 Oktober 2010

Haji Rukun Islam Ke Dua?

 

Umat muslim di seluruh dunia telah mengetahui bahwa haji merupakan rukun islam yang ke lima, peringkatnya terletak setelah mengucapkan dua kalimah syhadat, melaksanakan sholat, melaksanakan puasa di bulan Romadhon dan menunaikan zakat. Hanya saja realitas yang ada di masyarakat kita mengatakan bahwa ibadah haji merupakan rukun islam yang ke dua, memarkir sholat dan yang lain pada posisi di belakangnya.

Untuk mengecek pernyataan tadi benar apa tidak, mari kita lihat fakta di sekitar kita. Sering kita lihat orang-orang yang hanya mampu secara materi, tidak didukung dengan pengetahuan yang cukup tentang tata cara pelaksanan dan syarat rukunnya berlomba-lomba naik haji. Mereka seakan mengatakan bahwa ketika uang sudah ada di genggaman maka ibadah haji harus segera ditunaikan. Tidak peduli apakah dirinya sudah melaksanakan tiga hal diatasnya secara sempurna atau belum. Apakah hak-hak masyarkat sekitar yang terdapat dalam hartanya sudah dipenuhi atau belum. Itu tidak jadi alasan untuk menunda keberangkatan barang satu atau dua tahun. Pikir mereka mumpung ada uang (bagi yang aji mumpung) dan mumpung ada keinginan, maka kewajiban ini harus segera di tunaikan, tidak bisa ditunda-tunda. 

Na’uduzu billah ketika kita saksikan saudara-saudara kita yang sholat dan puasanya saja masih bolong-bolong bersikeras mau melaksanakan ibadah haji. Tak ketinggalan juga saudara-saudara kita yang sudah dinyatakan sebagai wajib zakat tanpa peduli sudah melaksanakan kewajibannya apa belum berkeras kepala juga ingin naik haji. Lantas pernyataan yang mengatakan bahwa ibadah haji merupakan ibadah pelengkap dan penyempurna mau ditaruh dimana, apanya yang mau disempurnakan? Ibarat bangunan, ibadah haji merupakan proses finishing. Bagaimana mau mengerjakan finishing tanpa ada bangunannya?

Ibadah haji yang merupakan rukun penyempurna dalam islam sudah sepantasnya di tempatkan pada posisi paling buncit. Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa dalam pelaksanaannya harus terlebih dahulu menyempurnkan rukun-rukun lain yang tingkatannya berada diatasnya. Tidak boleh tidak alias harus. Makanya, deadline pelaksanaannya tidak sesempit sholat, puasa dan zakat. Kalau sholat harus dikerjakan dalam kisaran beberapa jam, puasa dikerjakan dalam waktu satu bulan, zakat ditunaikan dalam batasan satu tahun, maka deadline pelaksanaan rukun yang ke lima ini sangat lama, bertahun-tahun hingga ajal menjemput. Hanya saja jangan terlalu lama dalam menunda.

Mengapa syara’ tidak langsung memutuskan wajib berangkat (waqtun mudhoyyaq) menunaikan ibadah haji bagi orang yang sudah mampu secara financial? Untuk menjawab pertanyaan tadi, kita akan kembali lagi pada istilah penyempurna. Lazimnya sebagai peneyempurna maka barang atau hal yang akan disempurnakan memang benar-benar sudah dalam keadaan yang secara kasat mata berada dalam tahapan penyempurnaan. Inilah hal pokok mengapa pelaksanaan ibadah haji dapat mulur sampai ahir hayat. Bisa saja si bakal calon haji sudah siap secara financial, akan tetapi tidak menutup kemungkinan hal-hal lain selain masalah financial sudah dinyatakan siap.

Berkenaan dengan masalah kesiapan pribadi si bakal calon haji adalah masalah kesiapan mental, kesehatan dan pengetahuan (ilmu) tata pelaksanaan ibadah haji beserta hal-hal yang berkaitan dengannya. Hal ini muthlaq harus dimiliki oleh calon haji, karena ini sangat erat kaitannya dengan pelaksannan ibadah haji yang menuntut kebugaran fisik dan keabsahan ibadah yang bakal ia peroleh. Tak kalah penting dari hal diatas adalah bagi diri calon haji juga sudah melaksanakan sholat dan puasa dengan status layak dalam standar uji kelayakan syara’ agar tidak dianggap melangkahi rukun yang berada di atasnya
.
Dan yang lebih penting lagi dari hal diatas adalah si calon haji sudah menunaikan kewajiban
atas hak-hak kelompok masyarakat yang berhak menerimanya. Bahkan kalau dalam masalah ini si calon haji belum melaksanakan maka status wajib mengerjakan ibadah haji bisa berubah menjadi gugur, dan kalaupun masih tetap menjalankannya status kemabruran hajinya akan dipertanyakan. Hal ini mungkin biasanya diabaikan oleh kita, karena menganggapnya bukan hal yang penting

Sebagai contoh, dalam lingkungan si calon haji terdapat kelompok masyarakat yang sangat membutuhkan kucuran dana untuk melangsungkan usahanya. Atau yang lebih dramatis lagi bila lingkungan dimana si calon haji mengalami musibah dan tidak ada yang dapat membantu kecuali si calon haji tersebut, maka uang yang akan di pergunakan untuk biaya haji harus di ihlaskan untuk membantu masyarakat di sekelilingnya. Syara’ tidak memperkenankan bagi si calon haji untuk tetap bersikukuh menjalankan ibadah haji, sementara orang di sekitarnya sangat membutuhkan uluran tangan darinya. Kewajiban menolong saudara lebih diutamakan dari pada kewajiban yang bersifat pribadi. Atau boleh dikatakan syara’ lebih mendahulukan kepentingan umum (muwaasah;social) dari pada kepentingan pribadi.

Sayangnya dalam kehidupan riil saya belum menemukan kejadian dimana si calon haji lebih mengutamakan kepentingan bersama mengalahkan kepentingan pribadinya.
Walhasil, haji yang merupakan rukun islam kelima sudah sepantasnya di tempatkan pada posisi semula, Menjalankan rukun-rukun islam yang lain sebelum menunaikannya dan lebih mengutamakan hal yang bersifat social kemasyarakatan dari pada kepentingan pribadi.
Semoga saja ini bukan pandangan subyektif penulis.

Pustaka
Fath. Wahab, Roudhotu Tholibin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar