Selasa, 15 April 2014

Mengenal Zakat Sebagai Instrumen Pemerataan Kesejahteraan Part IV



C.I.) Standardisasi Fakir dan Miskin.

Kata fakir dalam bahasa arab berakar kepada bentuk mashdar fa-q-run (فقر) dengan tiga huruf sebagai pembentuknya, fa, qaf dan ra. Dari ketiga huruf tersebut terciptalah kata fiqâr yang berarti tulang belakang. Hubungan dari kata fakir dan fiqâr adalah hubungan talazum dimana seeorang fakir tidak akan mampu untuk menegakkan tulang belakangnya karena lapar yang melilit. Hal itu diperkuat dengan pengertian fakir dalam bahasa yang berarti orang yang tidak mempunyai makanan untuk mengganjal perut.[1]

Ada banyak ragam pengertian fakir dan miskin menurut istilah. Menurut imam al-Syafi’I (w. 204 H.), fakir adalah golongan orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dari harta yang ia miliki atau dari pekerjaan yang ia punya. Lebih lanjut, ashâbu syafi’I menjelaskan pengertian tadi dengan penjabaran fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta yang dapat mencukupi kebutuhan primer hidupnya sampai ia mati dan juga tidak mempunyai pekerjaan halal yang layak untuknya atau dia mempunyai harta dan pekerjaan akan tetapi masih dalam batas kurang dari 50% dari kecukupan hidupnya.[2] 

Pengertian fakir menurut Hanafiah adalah orang yang memiliki harta[3] akan tetapi kurang dari batas nisab, atau orang-orang yang mempunyai properti  yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan apabila dikalkulasi akan melebihi batasan nisab.

Miskin menurut madzhab yang pertama adalah golongan yang mempunyai harta atau pekerjaan halal yang layak bagi dirinya akan tetapi keduanya tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sampai 100%. Pengertian ini dapat disederhanakan menjadi: miskin adalah orang yang mempunyai harta dan pekerjaan yang dapat digunakan untuk memnuhi  kebutuhan hidupnya sampai digit 50% ke atas akan tetapi belum mencapai lefel 100%.

Berbeda dengan pengertian miskin menurut madzhab pertama yang menempatkan status miskin lebih baik dari fakir, pengertian miskin menurut madzhab yang kedua adalah orang yang tidak mempunyai harta apapun. Miskin menurut pendapat madzhab yang kedua diletakkan dibawah status fakir. Perbedaan interpretasi mengenai fakir dan miskin ini mencapai sembilan pendapat dan dapat diakses secara lengkap dalam tafsir al-Qurthubi.[4]

Dari pengertian fakir dan miskin menurut kedua madzhab diatas, kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

Golongan yang dapat menerima zakat dengan kategori fakir dan miskin menurut madzhab yang pertama adalah:

1. Orang yang sama sekali tidak mempunyai harta dan pekerjaan.
2. Orang yang mempunyai harta atau pekerjaan akan tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya sampai kadar 50%.
3. orang yang mempunyai harta atau pekerjaan untuk memenuhi    kebutuhan hidupnya dan keluarganya sampai pada batas 50% ke atas akan tetapi belum mencapai 100%.[5]

Kesimpulan dari pengertian fakir dan miskin menurut madzhab Hanafi membuahkan hasil sebagai berikut:

1.    orang yang sama sekali tidak mempunyai harta dan pekerjaan.
2.    orang yang mempunyai harta berupa properti yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
3.    orang-orang yang mempunyai harta berupa alat tukar (uang) akan tetapi masih dibawah standar nisab.
4.    orang-orang yang mempunyai harta dari jenis selain alat tukar dan tidak sampai melewati nisab. Syarat dari harta tadi apabila dikalkulasi kurang dari dua ratus dirham.

Sepintas, dua pengertian yang diutarakan oleh dua madzhab yang berlainan kutub itu seakan membawa kita pada pengertian fakir dan miskin di era klasik.   Pendapat itu tidak dapat dibenarkan kalau kita mau mendalami dengan detail setiap kata yang ada dalam pengertian diatas. Tolok ukur fakir dan miskin yang dikemukakan oleh dua pengertian diatas mampu untuk menyegarkan pengertian fakir dan miskin disetiap zaman. Madzhab pertama dengan tolok ukur kecukupan dan madzhab yang kedua dengan tolok ukur nisab dapat dijadikan standar yang paten dalam menentukan mampu dan tidaknya seseorang menurut kacamata syarak.

Sesuai dengan tolok ukur kecukupan dalam masalah fakir, seseorang yang belum mampu mencukupi kebutuhannnya masuk dalam lingkaran penerima zakat, walaupun kekayaan hartanya sudah mencapai nishab. Pun sebaliknya, jika dia sudah cukup dengan hartanya walaupun belum mencapai nisab, dia tidak berhak mengambil zakat.[6]

Kebutuhan pada era klasik hanya mencakup kebutuhan pangan, papan, dan sandang. Melihat standar kelayakan hidup yang berkembang dari masa ke masa maka, di era modern ini kecukupan tidak dapat dipandang dari kecukupan sandang, pangan dan papan saja. Kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan misalanya. Dalam era modern ini jaminan kesehatan dan pendidikan layak untuk dikelompokan dalam kebutuhan primer. Maka, orang dengan pendidikan rendah dan gizi buruk sangat layak untuk menjadi penerima zakat. Orang-orang tersebut masuk dalam kategori fakir dan miskin.



[1] Abu Abdillah Muhamad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran, cet. 2010, vol. IV, Dar al-Hadits, Kairo, hal. 501. Majma’ al-Lughat al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wajiz, cet. 2008, hal. 478.
[2] Muhyidin al-Nawawi, al-Majmu’, cet.  2010, vol. VII, Dar al-Hadits, Kairo, hal. 305. Yusuf al-Qardhawi, Fiqh al-Zakat, cet. XXV, vol II, Maktabah Wahbah, Kairo, hal. 559. Sulaiman al-Bujairami,  Hasyiyah ‘ala al-Iqna, tanpa tahun, vol. III, Maktabah Taufiqiyah, hal. 87-88.
[3] Maksud harta disini adalah harta yang wajib dizakati.
[4] Ahli bahasa dan pakar fikih berselisih pendapat berkenaaan dengan pengertian fakir dan miskin sampai sembilan pendapat.
1.       Fakir adalah orang yang mempunyai sessuatu untuk mencukupi kebutuhannya sedang miskin orang yang tidak mempunyai apapun untuk memenuhi kebutuhannya.
2.       Pendapat yang kedua mengatakan kebalikannya.
3.       Fakir dan miskin mempunyai pengertian yang sama.
4.       Fakir adalah orang yang membutuhkan disertai keengganan untuk meminta-minta sedang miskin adalah para peminta-minta.
5.       Fakir adalah orang yang mempunyai rumah tinggal, pembantu dan segala yang dibutuhkan sehari-hari sedang miskin adalah orang yang tidak berharta.
6.       Fakir adalah golongan muhajirin dan Miskin adalah golongan anshar.
7.       Fakir adalah orang yang menerima kemiskinannya dengan tidak ridha  dan mau menerima pemberian secara sembunyi-sembunyi sedang miskin adalah orang yang ridhadengan kemiskinannya dan tidak mau menerima pemberian.
8.       Fakir adalah golongan fakir dari kaum muslimin sedang miskin adalah orang yang meminta-minta.
9.       Fakir adalah golongan fakir dari kaum muslimin sedang miskin adalah golongan fakir dari ahlul kitab. Abu Abdillah Muhamad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran, cet. 2010, vol. IV, Dar al-Hadits, Kairo, hal. 501-503.
[5] Perlu kami tambahkan disini bahwa kata “mencukupi kebutuhan hidup” adalah kebutuhan hidup selama umur rata-rata manusia didaerah tempat tinggal penerima menurut pendapat Syafi’iyah dan mencukupi kebutuhan hidup selama setahun menurut Malikiah dan Hanabilah.

[6] Pendapat Syafi’iyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar