Mengenal
Zakat Sebagai Instrumen Pemerataan Kesejahteraan
Oleh: Adhi
Maftuhin.
A). Pendahuluan.
Zakat dan
shalat merupakan dua pilar islam yang lahir dalam keadaan kembar siam. Bagian
integral dari syariat yang tak dapat dipisahkan. Kewajiban akan keduanya
seringkali disuguhkan dalam bentuk amaran yang dihubungkan dengan huruf ‘athaf wawu.[1] Melihat kedekatan “biologis” ini, pantas
saja khalifah Abu Bakar (w. 13 H.) melancarkan agresi kepada para kabilah yang
membangkang dalam menunaikan zakat.
Tindakan khalifah
Abu Bakar sepenuhnya dapat diterima
apabila kita memahami dengan benar bagaimana urgensi zakat dan kedudukannya
dalam mengantar manusia menuju kemaslahatan di dunia dan keselamatan di
akhirat. Peran ganda dari pemberlakuan zakat ini ibarat koin dengan dua sisi.
Di satu sisi ia berperan mengantarkan si wajib zakat untuk membersihkan harta
dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Disisi yang lain zakat akan
mencetak orang-orang yang dalam beberapa tahun ke depan diharapkan menjadi
wajib zakat.
Dari adanya
kesejahteraan yang timbul dari pengelolaan zakat, diharapkan syiar keagamaan
akan meningkat dengan signifikan. Efek positif dari tren kesejahteraan akan
berpengaruh juga dalam bidang keamanan, bidang ekonomi, bidang pendidikan,
kesehatan dan yang lain-lain. Karena semuanya ibarat rangkaian listrik paralel
dengan satu saklar. Kemapanan ekonomi sebagai
saklar utama akan mampu menggiatkan syiar keagamaan menjadi katrol stabilitas keamanan, politik
dan bidang-bidang yang lain. Jika yang tersjadi sebaliknya, maka buahnya juga
Sampai
disini, kita melihat bagaimana Allah mengalokasikan zakat sepenuhnya untuk
kemaslahatan umat manusia. Dua paket kemaslahatan yang dibawa oleh zakat tidak
akan ditemukan dalam syariat-syariat yang lain. Makanya, perintah untuk
menunaikan zakat seringkali beriringan dengan perintah untuk menunaikan shalat
sebagaimana termaktub dalam beberapa firmannya.
B). Pengertian
Zakat.
Menurut
bahasa, zakat mempunyai lima makna. Pertama, tumbuh dan berkembang. Kedua, penuh
keberkahan. Ketiga, bertambahnya kebaikan. Keempat, membersihkan dan
mensucikan. Kelima, pujian. pendapat ini dikemukakan oleh al-Syirbini (w. 977
H.) dalam al-Iqna' dan Mughni al-Muhtaj.[2]
Menurut imam
Abul Hasan al-Wahidi (w. 468 H.), zakat dapat diartikan mensucikan harta,
bertambah dan tumbuh serta dapat dimaknai dengan merestorasi harta. Pendapat
yang paling kuat diantara beberapa makna
tadi adalah tumbuh dan bertambah. Perbedaan pendapat dalam memaknai zakat
menurut bahasa ini timbul dari penggunaan kata zakat dalam masyarakat pada
waktu itu dan melihat pada wadh’u lughah-nya.[3]
Hal ihwal
mengapa zakat dimaknai dengan bertambah dan berkembang, padahal dalam hitungan
angka, dengan mengeluarkan zakat si wajib zakat akan kehilangan sebagian
hartanya dapat digambarkan dengan kegiatan memancing. Si tukang pancing hanya
butuh dana tidak seberapa untuk mendapatkan hasil ikan yang melimpah. Sebab
yang lainnya adalah dengan mengeluarkan zakat dipastikan akan meminimalisir
adanya kecemburuan sosial diantara wajib zakat dan pihak yang berhak
menerimanya. Dalam kasus seperti ini fungsi menunaikan zakat ibarat upaya
preventif dari si wajib zakat untuk melindungi entitas hartanya dari hal-hal
yang tidak diinginkan.
Menurut istilah,
zakat adalah nama untuk menyebut jumlah harta tertentu yang diambil dari harta tertentu
dan didistribusikan kepada golongan tertentu sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh syarak.[4] Imam Abul
Hasan al-Mawardi (w. 450 H.) mendefinisikan zakat sebagai nama untuk
pengambilan prosentase tertentu dari harta dengan klasifikasi dan persyaratan
tertentu untuk kemudian dibagikan kepada golongan tertentu pula.[5]
Menurut
devinisi diatas, tema utama dalam pembahasan zakat meliputi empat bagian pokok. Pertama, mengenai prosentase
besar-kecilnya zakat /شيئ مخصوص)قدر مخصوص). Kedua, sumber zakat(مال مخصوص/) Ketiga, golongan yang berhak menerima zakat(أصناف مخصوصة/طائفة مخصوصة)
. Dan keempat,
ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan ketiga hal yang telah tersebut diatas (شرائط/ أوصاف مخصوصة) .
Kedua definisi
diatas mempunyai titik persamaan dan perbedaan. Persamaannya terdapat dalam
konten yang dijadikan bahasan zakat; meliputi empat hal yang telah tersebut
diatas. Sedangkan perbedaannya terletak pada obyek yang dijadikan dalam
penamaan zakat itu sendiri. Dalam definisi pertama, obyek penamaan zakat
terletak pada prosentase harta, yaitu berupa benda. Sedangkan pada definisi
yang kedua, obyek penamaan zakat terletak pada aktifitas pengumpulannya.
Menurut
hemat penulis, perbedaan tersebut adalah perbedaan redaksi (khilaf lafdzi) saja dan tidak mempunyai
pengaruh signifikan dalam jamik-manik-nya
sebuah definisi. Perbedaan tersebut dapat dijembatani dengan dua langkah.
Pertama, dengan cara mengakurkan keduanya melalui penafsiran kata pengumpulan (أخذ) menjadi sesuatu yang dikumpulkan (مأخوذ) . Istilah ini dinamakan dengan
penyebutan masdar dengan makna yang
dituju adalah isim maf’ul. Kedua,
dengan jalan mengakomodasi kedua pendapat tersebut. Yakni, zakat adalah nama
untuk proses pengumpulan dan hasil dari proses pengumpulan tersebut.
[2] Muhammad al-Syirbîni al-Khatib, Mughnil Muhtaj, tanpa tahun, Vol. I, Faishal Isa al-Babi al-Halabi, Kairo, hal.
368. Muhammad al-Syirbini, al-Iqna’ ma’a Hasyiyah al-Bujairami, tanpa
tahun, vol III, Maktabah Taufiqiyah, kairo, hal. 3. Majma’ al-Lughat
al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wajiz,
cet. 2008, hal. 290.
[4] Muhammad al-Syirbîni al-Khatib, Mughnil Muhtaj, tanpa tahun, Vol. I, Faishal Isa al-Babi al-Halabi, Kairo, hal.
368. Redaksi dari pengertian diatas adalah:
اسم لقدر مخصوص
من مال مخصوص يجب صرفه لأصناف مخصوصة بشرائط
[5] Al-nawawi, al-Majmu’,
cet. 2010, vol. IV, Dar al-Hadits,
Kairo, hal.411. Redaksi dari definisi diatas adalah:
اسم
لأخذ شيئ مخصوص من مال مخصوص على أوصاف مخصوصة له لطائفة مخصوصة
Tidak ada komentar:
Posting Komentar