B.1). Nisab,
Jenis harta[1] yang
wajib dizakati dan kadarnya.
Telah kita
ketahui bersama bahwa makna dari zakat adalah tumbuh dan bertambah. Selaras
dengan pengertian tersebut, aturan zakat hanya diterapkan dalam harta yang mengalami
pertambahan dan perkembangan. Masa yang diperlukan untuk pengembangan dan
penambahan harta bervariasi tergantung dari ragam dan jenisnya. Menurut standar
‘urf, pertumbuhan harta paling lambat
terjadi dalam rentang waktu setahun. Makanya, kita mengenal adanya sarat haul dalam masalah zakat.
Jenis harta
yang dapat berkembang dikelompokan menjadi lima jenis. Pertama, hewan ternak.
Kedua, emas dan perak. Ketiga, komoditi pertanian. Keempat, buah-buahan. Dan kelima adalah komoditi
dagang.
Ketetapan
atas harta yang wajib dizakati tidak bisa dilepaskan dari pandangan harta
menurut bangsa arab dimana syariat diturunkan. Menurut mereka, sesuatu yang
berharga dikelompokan dalam empat kelompok harta dan berpusar pada kelima hal
tersebut. Berdasarkan apa yang tersurat dari nash,
kelihatannya ada banyak jenis harta yang tidak terkena hukum wajib zakat. Akan
tetapi, kenyatanyaannya malah sebaliknya. Setiap harta yang mengalami
pertumbuhan dan perkembangan akan tetapi tidak masuk dalam kategori hewan
ternak, makanan pokok, alat tukar, dan buah-buahan akan diatur dalam zakat
harta niaga.
Hal
ini tentunya sangat beralasan mengingat harta adalah salah satu dari pemicu
kecemburuan dan sengketa. Dengan adanya cakupan yang menyeluruh dari semua
jenis harta untuk dizakatai, setidaknya kecemburuan diantara para wajib zakat
akan mudah diatasi.
Untuk
prosentase seberapa banyak zakat yang harus dikeluarkan dan berapa batas
minimal suatu harta wajib dizakati, syariat benar-benar menerapkan kaidah keseimbangan. Yaitu tidak
memberatkan bagi si wajib zakat dan benar-benar memperhatikan kebutuhan si
penerima.
Berangkat dari
falsafah zakat tadi, syariat tidak
membebankan zakat kecuali kepada segolongan orang yang sudah dianggap mampu
oleh syarak, yaitu seseorang dengan kepemilikan harta mencapai nisab. Kedudukan orang dengan kriteria seperti
ini dalam kacamata syarak dianggap mampu dan berkewajiban untuk menunaikan
zakat. Disamping itu, kepunyaan atas harta dengan mencapai nisab akan
menjadikan dirinya sebagai orang yang tidak berhak menerima zakat.[2]
Dia dianggap mampu menurut syarak dan tidak berhak menerima bagian zakat dari
pos bagian fakir dan miskin. Sebaliknya,
orang yang hartanya dibawah nisab tidak berkewajiban untuk mengeluarkan zakat. Walaupun
tidak secara otomatis dia akan berhak menerima zakat.
[1] Hanafiah
mendefinisakan harta sebagai barang yang menarik hati seseorang untuk memiliki
dan dapat disimpan untuk diambil manfaatnya di waktu yang akan datang. Menurut Malikiah, harta adalah sesuatu yang
menurut pandangan umum mempunyai nilai dan dapat dijadikan alat tukar. Syafi’ah mendefinisikan harta sebagai
sesuatu yang dapat diambil manfaatya. Hanabilah
mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang dapat diambil manfaatnya secara
mutlak. Al-Imam Abdullah bin Syaikh bin Bayah, Maqâshid al-Mu’amalât wa Marâshid al-Wâqi’at, cet. II, Muassasah
al-Furqan, Kairo, hal. 37.
Zakat mencakup semua harta yang dimiliki oleh orang arab pada waktu turunya.
Karena harta menurut mereka dibagi menjadi empat. Al-mâl al-shamit, al-‘aradh, al-‘aqar dan al-hayawan. Dr. Yusuf Hamid, al-Maqâshid al-‘Amah li al-Syari’ah al-Islamiyah, cet II,
al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, hal. 468.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar