Selasa, 15 April 2014

Mengenal Zakat Sebagai Instrumen Pemerataan Kesejahteraan Part II



B.1). Nisab, Jenis harta[1] yang wajib dizakati dan kadarnya.

Telah kita ketahui bersama bahwa makna dari zakat adalah tumbuh dan bertambah. Selaras dengan pengertian tersebut, aturan zakat hanya diterapkan dalam harta yang mengalami pertambahan dan perkembangan. Masa yang diperlukan untuk pengembangan dan penambahan harta bervariasi tergantung dari ragam dan jenisnya. Menurut standar ‘urf, pertumbuhan harta paling lambat terjadi dalam rentang waktu setahun. Makanya, kita mengenal adanya sarat haul dalam masalah zakat.

Jenis harta yang dapat berkembang dikelompokan menjadi lima jenis. Pertama, hewan ternak. Kedua, emas dan perak. Ketiga, komoditi pertanian.  Keempat, buah-buahan. Dan kelima adalah komoditi dagang.

Ketetapan atas harta yang wajib dizakati tidak bisa dilepaskan dari pandangan harta menurut bangsa arab dimana syariat diturunkan. Menurut mereka, sesuatu yang berharga dikelompokan dalam empat kelompok harta dan berpusar pada kelima hal tersebut. Berdasarkan apa yang tersurat dari  nash, kelihatannya ada banyak jenis harta yang tidak terkena hukum wajib zakat. Akan tetapi, kenyatanyaannya malah sebaliknya. Setiap harta yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan akan tetapi tidak masuk dalam kategori hewan ternak, makanan pokok, alat tukar, dan buah-buahan akan diatur dalam zakat harta niaga.

Hal ini tentunya sangat beralasan mengingat harta adalah salah satu dari pemicu kecemburuan dan sengketa. Dengan adanya cakupan yang menyeluruh dari semua jenis harta untuk dizakatai, setidaknya kecemburuan diantara para wajib zakat akan mudah diatasi.

Untuk prosentase seberapa banyak zakat yang harus dikeluarkan dan berapa batas minimal suatu harta wajib dizakati, syariat benar-benar  menerapkan kaidah keseimbangan. Yaitu tidak memberatkan bagi si wajib zakat dan benar-benar memperhatikan kebutuhan si penerima.

Berangkat dari falsafah zakat tadi,  syariat tidak membebankan zakat kecuali kepada segolongan orang yang sudah dianggap mampu oleh syarak, yaitu seseorang dengan kepemilikan harta mencapai nisab. Kedudukan orang dengan kriteria seperti ini dalam kacamata syarak dianggap mampu dan berkewajiban untuk menunaikan zakat. Disamping itu, kepunyaan atas harta dengan mencapai nisab akan menjadikan dirinya sebagai orang yang tidak berhak menerima zakat.[2] Dia dianggap mampu menurut syarak dan tidak berhak menerima bagian zakat dari pos  bagian fakir dan miskin. Sebaliknya, orang yang hartanya dibawah nisab tidak berkewajiban untuk mengeluarkan zakat. Walaupun tidak secara otomatis dia akan berhak menerima zakat.

Falsafah yang dianut dalam penentuan prosentase zakat yang dibebankan kepada setiap wajib zakat juga berdasarkan kaidah tidak memberatkan apalagi mencekik sebagaimana yang ada dalam pajak. Besar kecilnya prosentase zakat disesuaikan dengan kadar keterlibatan si wajib zakat dalam memperoleh hartanya. Bila kadar keterlibatan si wajib zakat dominan, maka prosentase zakatnya semakin kecil, yaitu berada di lefel paling rendah dua koma lima persen dari hartanya. Sedangkan apabila keterlibatan si wajib zakat semakin sedikit maka, prosentase zakatnya semakin besar.


[1] Hanafiah mendefinisakan harta sebagai barang yang menarik hati seseorang untuk memiliki dan dapat disimpan untuk diambil manfaatnya di waktu yang akan datang. Menurut Malikiah, harta adalah sesuatu yang menurut pandangan umum mempunyai nilai dan dapat dijadikan alat tukar. Syafi’ah mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang dapat diambil manfaatya. Hanabilah mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang dapat diambil manfaatnya secara mutlak. Al-Imam Abdullah bin Syaikh bin Bayah, Maqâshid al-Mu’amalât wa Marâshid al-Wâqi’at, cet. II, Muassasah al-Furqan,  Kairo, hal. 37.
Zakat mencakup semua harta yang dimiliki oleh orang arab pada waktu turunya. Karena harta menurut mereka dibagi menjadi empat. Al-mâl al-shamit, al-‘aradh, al-‘aqar dan al-hayawan. Dr. Yusuf Hamid, al-Maqâshid al-‘Amah li al-Syari’ah al-Islamiyah, cet II, al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, hal. 468.
[2] Pendapat Hanafiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar