Selasa, 15 April 2014

Mengenal Zakat Sebagai Instrumen Pemerataan Kesejahteraan Part V



C.II).  Inovasi dalam Mendayagunakan Zakat.

Imam al-Syirbini (w. 977 H.) dalam al-Iqna dan imam al-Nawawi (w. 676 H.) dalam al-Majmuk memberikan gambaran bagaimana penyaluran zakat yang baik dan tepat sasaran. Penyaluran zakat kepada fakir miskin dengan tujuan konsumsi menurut dua ulama tersebut dan ulama-ulama yang lain harus dihindari. Mengapa, tujuan pemberian zakat adalah untuk menopang dan mencukupi kebutuhan hidup mereka agar tidak masuk dalam daftar penerima zakat tahun berikutnya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, pemberian zakat kepada mereka diharapkan mampu mengentaskan mereka dari kungkungan kefakiran dan kemiskinan. Makanya, dana zakat yang diperuntukan bagi mereka harus digunakan dalam kegiatan yang bersifat produktif, bukan konsumtif.[1]

Sebelum membicarakan seberapa besar dana zakat yang dapat tersalur kepada para penerima, terlebih dahulu kita harus mengetahui anggaran umum dan batas maksimal pemberian zakat. Batas maksimal pemberian zakat dibagi menjadi dua. Pertama, dibatasi dengan nominal dua ratus dirham. Pendapat yang kedua tidak membatasi dengan nominal, melainkan batasannya adalah waktu. Ulama Malikiah dan Hanabilah berpendapat bahwa batas maksimal pemberian zakat adalah sebanyak pengeluaran dalam rentang masa satu tahun. Sedang ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa pemberian zakat dibatasi dengan umur rata-rata di daerah tempat tinggalnya. Misal saja, umur rata-rata di daerah penerima zakat adalalah enam puluh tiga tahun dan sekarang dia berumur tiga puluh tahun, maka batas maksimalnya adalah nominal yang dapat mencukupi kebutuhannya selama tiga puluh tiga tahun.    

Terlepas dari perbedaan batasan maksimal diatas, pihak amil diberi hak untuk menentukan pilihan batas maksimal mana yang mau dipakai. Hal yang tidak kalah penting untuk diperhatikan dalam pemberian zakat tersebut adalah pemberiannya bukan berupa uang tunai, melainkan berupa modal sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Jika dia seorang petani, maka dia diberi dana untuk membeli sepetak tanah beserta bibit dan peralatannya. Jika dia seorang pedagang, maka diberi dana untuk berdagang. Jika dia seorang tukang, maka diberi dana untuk memberi peralatan. Jika dia seorang nelayan, dia diberikan kapal dan jaring. Jika dia seorang tukang becak, dia diberikan dana untuk membeli becak. Jika dia bisnisman, dia diberi modal untuk berbisnis. Jika dia seorang montir dan pekerjaan yang memerlukan keterampilan, maka dia diberi dana untuk kursus berikut dana untuk membeli peralatanya. Dan seterusnya.

Jika dia tidak mempunyai kemampuan bekerja dalam bidang-bidang yang dapat dijadikan sandaran hidup, maka dia diberi harta tidak bergerak (semisal sawah dan rumah) agar dapat dipergunakan  untuk menopang hidupnya. Misal saja, dia diberi rumah atau sawah untuk disewakan. Hasil dari persewaan yang ia peroleh selanjutnya digunakan untuk menyambung hidupnya. Walhasil, batas maksimal yang tertera diatas tidak boleh dipahami akan diberikan seluruhnya kepada penerima zakat dan berupa uang tunai, melainkan pemberiannya berupa modal dengan jumlah besar-kecilnya melihat latar belakang kemampuan pengelolaan si penerima.

Pengelolaan zakat dengan metode diatas akan dapat terealisasi dengan sempurna manakala dikelola oleh pengelola profesional yang dibentuk oleh pemerintah atau pihak swasta yang telah mendapatkan izin. Mengapa harus dikelola oleh kedua lembaga tersebut dan tidak boleh dikelola oleh perorangan atau badan yang tidak memiliki lisensi. Jawabannya adalah karena pengelolaan zakat sepenuhnya dibawah tanggung jawab pemerintah.  Dengan ditunjuknya pemerintah sebagai pemegang tunggal pengelolaan zakat, maka akan memudahkan hal-hal yang berhubungan dengan administrasi dan menghindari adanya tumpang-tindih dalam pengumpulan dan penyaluran zakat. Lebih lanjut, petugas zakat yang berhak mendapatkan gaji dari bagian amil adalah pegawai zakat yang diangkat secara resmi oleh pemerintah.

Ada wacana baru dalam inovasi pemberian zakat kepada golongan fakir miskin. Wacana ini menggelinding bersamaan dengan tujuan utama dalam pemberian zakat berupa pemerataan kesejahteraan dan terciptanya lapangan kerja. Hal lain yang mendasari wacana ini adalah dengan mengacu kepada surat al-Baqarah ayat enam puluh dimana Allah berfirman “distribusi zakat hanya diperuntukan kepada fakir, miskin, dst”. Redaksi dari pemberian kepemilikan dalam ayat tadi dengan huruf jar lâm[2] yang mempunyai makna milkiyah tanpa menjelaskan secara detail bagaimana prosedur  penyerahan kepemilikannya. Apakah penyerahan zakat kepada fakir miskin harus secara langsung dari amil, atau zakat tersebut boleh dikelola oleh amil sementara fakir dan miskin akan menerima bagian dari laba yang dihasilkan oleh pengelolaan tersebut.

Andai penyerahan harta oleh pihak amil dapat diberikan secara tidak langsung sesuai dengan gambaran yang kedua, maka bisa saja pihak amil menggunakan harta zakat untuk membangun pabrik atau usaha produktif lain dimana para karyawan diambil dari golongan fakir miskin, itu yang pertama. Kedua, pemberian zakat kepada fakir miskin dapat melalui metode pinjaman tidak berjangka. Yakni, pihak amil menyerahkan sejumlah dana (misal saja lima puluh juta) kepada pihak penerima untuk dipergunakan dalam satu bidang usaha. Setelah dia memperoleh laba dari usaha yang digelutinya dan usahanya akan mampu berdiri tanpa modal awal, si penerima dana diwajibkan menyerahkan dana awal kepada amil untuk selanjutnya diserahkan kepada penerima kedua. Setelah penerima zakat kedua berhasil, dana tersebut akan mengalir ke pihak ketiga dan seterusnya.

Jika pihak penerima mengalami kebangkrutan, dia tidak dikenai beban untuk mengembalikan layaknya pinjaman berjangka yang diberikan oleh pihak bank. Hal ini mengingat harta yang telah digunakan oleh penerima merupakan haknya. Istilah pinjaman diatas merupakan penyederhanaan istilah saja. Metode ini dapat berhasil bilamana pihak penerima sungguh-sungguh dalam mengelola disertai adanya audit dan pantauan serius dari pihak amil.  



[1] Muhammad al-Syirbini,  al-Iqna’ ma’a Hasyiyah al-Bujairami, tanpa tahun, vol III, Maktabah Taufiqiyah, kairo, hal. 95. Muhyidin al-Nawawi, al-Majmu’, cet.  2010, vol. VII, Dar al-Hadits, Kairo, hal. 304.
[2] Menurut Ibnu Hisyam al-Anshari, lâm huruf jar mempunyai dua puluh dua (22) makna: al-istihqâq, al-ikhtishash, al-milk, al-tamlîk, syibh al-tamlîk, al-ta’lîl, taukîd al-nafyi, sama dengan makna ilâ, sama dengan makna ‘ala, sama dengan makna , bermakna ‘inda, sama dengan makna ba’da, sama dengan makna ma’a, sama dengan makna min, al-tablîgh, sama dengan makna ‘an, al-shairurah, al-qasam, al-ta’diyah, dan al-taukîd. Dari makna-makna yang sudah tersebut diatas, jumhur mufasirin diantaranya imam al-Zamakhsyari memilih makna al-milk. Ibnu Hisyam al-Anshari, Mughni Labib, cet. 2009, vol. I, Dar al-Thalai’, Kairo, hal. 226-232. Al-Zamakhsyari, al-Kasyaf,  vol. II, cet. I,  Maktabah Mishr, Kairo, hal. 171-172.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar