C.II). Inovasi dalam Mendayagunakan Zakat.
Imam
al-Syirbini (w. 977 H.) dalam al-Iqna
dan imam al-Nawawi (w. 676 H.) dalam al-Majmuk
memberikan gambaran bagaimana penyaluran zakat yang baik dan tepat sasaran.
Penyaluran zakat kepada fakir miskin dengan tujuan konsumsi menurut dua ulama
tersebut dan ulama-ulama yang lain harus dihindari. Mengapa, tujuan pemberian
zakat adalah untuk menopang dan mencukupi kebutuhan hidup mereka agar tidak
masuk dalam daftar penerima zakat tahun berikutnya. Dalam bahasa yang lebih
sederhana, pemberian zakat kepada mereka diharapkan mampu mengentaskan mereka
dari kungkungan kefakiran dan kemiskinan. Makanya, dana zakat yang diperuntukan
bagi mereka harus digunakan dalam kegiatan yang bersifat produktif, bukan
konsumtif.[1]
Sebelum
membicarakan seberapa besar dana zakat yang dapat tersalur kepada para
penerima, terlebih dahulu kita harus mengetahui anggaran umum dan batas
maksimal pemberian zakat. Batas maksimal pemberian zakat dibagi menjadi dua.
Pertama, dibatasi dengan nominal dua ratus dirham. Pendapat yang kedua tidak
membatasi dengan nominal, melainkan batasannya adalah waktu. Ulama Malikiah dan Hanabilah berpendapat bahwa batas maksimal pemberian zakat adalah
sebanyak pengeluaran dalam rentang masa satu tahun. Sedang ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa pemberian
zakat dibatasi dengan umur rata-rata di daerah tempat tinggalnya. Misal saja,
umur rata-rata di daerah penerima zakat adalalah enam puluh tiga tahun dan
sekarang dia berumur tiga puluh tahun, maka batas maksimalnya adalah nominal
yang dapat mencukupi kebutuhannya selama tiga puluh tiga tahun.
Terlepas
dari perbedaan batasan maksimal diatas, pihak amil diberi hak untuk menentukan
pilihan batas maksimal mana yang mau dipakai. Hal yang tidak kalah penting
untuk diperhatikan dalam pemberian zakat tersebut adalah pemberiannya bukan
berupa uang tunai, melainkan berupa modal sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
Jika dia seorang petani, maka dia diberi dana untuk membeli sepetak tanah
beserta bibit dan peralatannya. Jika dia seorang pedagang, maka diberi dana
untuk berdagang. Jika dia seorang tukang, maka diberi dana untuk memberi
peralatan. Jika dia seorang nelayan, dia diberikan kapal dan jaring. Jika dia
seorang tukang becak, dia diberikan dana untuk membeli becak. Jika dia
bisnisman, dia diberi modal untuk berbisnis. Jika dia seorang montir dan
pekerjaan yang memerlukan keterampilan, maka dia diberi dana untuk kursus berikut
dana untuk membeli peralatanya. Dan seterusnya.
Jika dia
tidak mempunyai kemampuan bekerja dalam bidang-bidang yang dapat dijadikan
sandaran hidup, maka dia diberi harta tidak bergerak (semisal sawah dan rumah)
agar dapat dipergunakan untuk menopang
hidupnya. Misal saja, dia diberi rumah atau sawah untuk disewakan. Hasil dari
persewaan yang ia peroleh selanjutnya digunakan untuk menyambung hidupnya. Walhasil, batas maksimal yang tertera
diatas tidak boleh dipahami akan diberikan seluruhnya kepada penerima zakat dan
berupa uang tunai, melainkan pemberiannya berupa modal dengan jumlah
besar-kecilnya melihat latar belakang kemampuan pengelolaan si penerima.
Pengelolaan
zakat dengan metode diatas akan dapat terealisasi dengan sempurna manakala
dikelola oleh pengelola profesional yang dibentuk oleh pemerintah atau pihak
swasta yang telah mendapatkan izin. Mengapa harus dikelola oleh kedua lembaga
tersebut dan tidak boleh dikelola oleh perorangan atau badan yang tidak
memiliki lisensi. Jawabannya adalah karena pengelolaan zakat sepenuhnya dibawah
tanggung jawab pemerintah. Dengan ditunjuknya
pemerintah sebagai pemegang tunggal pengelolaan zakat, maka akan memudahkan
hal-hal yang berhubungan dengan administrasi dan menghindari adanya
tumpang-tindih dalam pengumpulan dan penyaluran zakat. Lebih lanjut, petugas
zakat yang berhak mendapatkan gaji dari bagian amil adalah pegawai zakat yang
diangkat secara resmi oleh pemerintah.
Ada wacana
baru dalam inovasi pemberian zakat kepada golongan fakir miskin. Wacana ini
menggelinding bersamaan dengan tujuan utama dalam pemberian zakat berupa pemerataan
kesejahteraan dan terciptanya lapangan kerja. Hal lain yang mendasari wacana
ini adalah dengan mengacu kepada surat al-Baqarah ayat enam puluh dimana Allah
berfirman “distribusi zakat hanya diperuntukan kepada fakir, miskin, dst”.
Redaksi dari pemberian kepemilikan dalam ayat tadi dengan huruf jar lâm[2]
yang mempunyai makna milkiyah tanpa
menjelaskan secara detail bagaimana prosedur penyerahan kepemilikannya. Apakah penyerahan
zakat kepada fakir miskin harus secara langsung dari amil, atau zakat tersebut boleh
dikelola oleh amil sementara fakir dan miskin akan menerima bagian dari laba
yang dihasilkan oleh pengelolaan tersebut.
Andai
penyerahan harta oleh pihak amil dapat diberikan secara tidak langsung sesuai
dengan gambaran yang kedua, maka bisa saja pihak amil menggunakan harta zakat
untuk membangun pabrik atau usaha produktif lain dimana para karyawan diambil
dari golongan fakir miskin, itu yang pertama. Kedua, pemberian zakat kepada
fakir miskin dapat melalui metode pinjaman tidak berjangka. Yakni, pihak amil
menyerahkan sejumlah dana (misal saja lima puluh juta) kepada pihak penerima untuk
dipergunakan dalam satu bidang usaha. Setelah dia memperoleh laba dari usaha
yang digelutinya dan usahanya akan mampu berdiri tanpa modal awal, si penerima
dana diwajibkan menyerahkan dana awal kepada amil untuk selanjutnya diserahkan
kepada penerima kedua. Setelah penerima zakat kedua berhasil, dana tersebut
akan mengalir ke pihak ketiga dan seterusnya.
Jika pihak
penerima mengalami kebangkrutan, dia tidak dikenai beban untuk mengembalikan
layaknya pinjaman berjangka yang diberikan oleh pihak bank. Hal ini mengingat
harta yang telah digunakan oleh penerima merupakan haknya. Istilah pinjaman
diatas merupakan penyederhanaan istilah saja. Metode ini dapat berhasil
bilamana pihak penerima sungguh-sungguh dalam mengelola disertai adanya audit
dan pantauan serius dari pihak amil.
[1] Muhammad al-Syirbini,
al-Iqna’ ma’a Hasyiyah al-Bujairami, tanpa
tahun, vol III, Maktabah Taufiqiyah, kairo, hal. 95. Muhyidin al-Nawawi, al-Majmu’,
cet. 2010, vol. VII, Dar al-Hadits,
Kairo, hal. 304.
[2] Menurut Ibnu Hisyam al-Anshari, lâm huruf jar mempunyai dua puluh dua
(22) makna: al-istihqâq, al-ikhtishash,
al-milk, al-tamlîk, syibh al-tamlîk, al-ta’lîl, taukîd al-nafyi, sama
dengan makna ilâ, sama dengan makna ‘ala, sama dengan makna fî, bermakna ‘inda, sama dengan makna ba’da,
sama dengan makna ma’a, sama dengan
makna min, al-tablîgh, sama dengan
makna ‘an, al-shairurah, al-qasam,
al-ta’diyah, dan al-taukîd. Dari
makna-makna yang sudah tersebut diatas, jumhur
mufasirin diantaranya imam al-Zamakhsyari memilih makna al-milk. Ibnu Hisyam al-Anshari, Mughni Labib, cet. 2009, vol. I, Dar
al-Thalai’, Kairo, hal. 226-232. Al-Zamakhsyari, al-Kasyaf, vol. II, cet. I, Maktabah Mishr, Kairo, hal. 171-172.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar