Aku bersyukur bahwa aku terlahir dari pasangan serasi
pegawai tinggi*. Ayahku hanya sempat mengenyam sekolah rakyat. Dan
Simbokku juga pernah mencicipi bangku sekolah sampai dapat membaca dan
menulis. Walaupun keduanya hanya berpendidikan ala kadarnya akan tetapi
mereka berdua mempunyai cita-cita yang luhur, yaitu dapat memberikan
pendidikan yang yang tinggi dan berkwalitas kepada anak-anaknya.
Sehingga kutukan pekerjaan yang selama ini mereka warisi dari para
leluhur dapat terlepas dari anak-anaknya.
Menjadi pegawai tinggi memang penuh resiko. Bila musim penghujan datang,
mereka para pegawai tingi harus mawas diri, satu langkah saja mereka
terpeleset maka nyawa lah taruhannya. belum lagi dengan amukan petir dan
halilintar yang kapan saja siap mencelakakan mereka. Begitu juga resiko
yang kami hadapi bila musim kemarau datang, tak kalah hebatnya dengan
ancaman pada musim penghujan. Toh walaupun begitu mereka para pegawai
tinggi dua kali dalam sehari menekuni profesinya, tanpa pernah absen.
Seringkali kami bertanya “Apakah kami sebagai anak-anak dari pasangan
pegawi tinggi dapat lepas dari bayang-bayang profesi yang sejauh ini
kami warisi dari para leluhur, atau kami harus pasrah pada takdir dan
siap menerima estafet profesi dari mereka ? Profesi ini memang telah
menghidupi kami selama turun temurun beberapa generasi, Sayang sekali
bila tidak ada yang meneruskan. Akan tetapi tuntutan hidup yang semakin
banyak dan komplek setidaknya membuat kami berpikir ulang untuk menerima
profesi tersebut. Mungkin cukup kami wakilkan pada kakak ipar kami saja
yang sudah terlanjur menerima warisan dari kedua orang tuanya.
Ya… setidaknya sudah ada satu dari anggota keluarga kami yang kini
menekuni profesi turun temurun itu. Kakak ipar kami yang tertua. Kakak
tertua kami yang hanya bisa mengenyam satu tingkat pendidikan diatas
ayah sekarang bersuamikan seseorang yang berprofesi sama dengan ayah,
yaitu sama-sama menjadi pegawai tinggi. Hal itu tidak terlepas dari
kondisi ekonomi keluarga kami yang pada saat itu timbul tengelam
dihantam badai moneter, sehingga impian untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi terganjal oleh adik-adiknya yang pada saat itu
juga harus disekolahkan.
Kisah yang hampir sama terjadi pada adik perempuanku yang sekarang
menerima suratan sebagai ibu rumah tangga pada usia yang termasuk muda.
Ya… dia menikah sebelum usianya genap dua puluh tahun. Padahal ia punya
harapan besar untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Ia yang selalu
mendapatkan rangking satu disekolah dan mendapatkan beasiswa sampai
SLTA harus memupus keinginan untuk masuk bangku perguruan tinggi.
Lagi-lagi rupiahlah salah satu penyebabnya. Setelah kesana kemari
mencari beasiswa dan ternyata kandas akhirnya datanglah pinangan dari
seorang guru SD swasta yang juga masih berstatus sebagai guru swasta.
Dan orang tua kami tak pikir panjang menerima pinangan itu.
Awal bulan ini, Juli 2012, kegetiran yang dialami oleh dua saudara
perempuanku seakan mebayang dipelupuk mata. Adik laki-lakiku yang punya
prestasi pernah dua kali membawa piala Tartil Qur’an tingkat propinsi
dan baru saja tamat dari SLTP dengan menggondol prestasi terbaik
disekolahnya serta ingin melanjutkan pada sekolah yang berkwalitas
harus sabar menunggu peruntungan baik untuk dirinya. Hampir semua
sekolah yang menjadi incarannya mematok uang pangkal tidak kurang dari
lima juta. Mungkin, mengeluarkan uang lima juta tidak lah berat bagi
orang yang beruang. Bagi kami juga tidak berat, asalkan sudah tersedia
dikantong dan tinggal memberikannya. Masalahnya, ia belum mau ngandang
di kantong celana. Dan Alhamdulillah setelah usaha kesana-kemari
akhirnya uang sebesar itu terkumpul dan untuk sementara impian adiku
seakan menjadi terang.
Sementara aku sendiri sedang memilih takdirku di Negri Seribu menara setelah memenangkan lotere milik Alloh.
*Istilah kami untuk menyebut penderes (orang yang berprofesi sebagai pengambil air nira dan dijadikan gula merah)
Diposkan di kompasiana dengan judul yang sama tertanggal 8 July 2012.
http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/08/pegawai-tinggi-tak-mampu-sekolahkan-anak-anaknya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar