Minggu, 30 September 2012

Pegawai Tinggi Tak Mampu Sekolahkan Anak-anaknya

Aku bersyukur bahwa aku terlahir dari pasangan serasi pegawai tinggi*. Ayahku  hanya sempat mengenyam sekolah rakyat. Dan Simbokku juga pernah mencicipi bangku sekolah sampai dapat membaca dan menulis. Walaupun keduanya hanya berpendidikan ala kadarnya akan tetapi mereka berdua  mempunyai cita-cita yang luhur, yaitu dapat memberikan pendidikan yang yang tinggi dan berkwalitas kepada anak-anaknya. Sehingga kutukan pekerjaan yang selama ini mereka warisi dari para leluhur dapat terlepas dari anak-anaknya.

Menjadi pegawai tinggi memang penuh resiko. Bila musim penghujan datang, mereka para pegawai tingi harus mawas diri, satu langkah saja mereka terpeleset maka nyawa lah taruhannya. belum lagi dengan amukan petir dan halilintar yang kapan saja siap mencelakakan mereka. Begitu juga resiko yang kami hadapi bila musim kemarau datang, tak kalah hebatnya dengan ancaman pada musim penghujan. Toh walaupun begitu mereka para pegawai tinggi dua kali dalam sehari menekuni profesinya, tanpa pernah absen.

Seringkali kami bertanya “Apakah kami sebagai anak-anak dari pasangan pegawi tinggi dapat lepas dari bayang-bayang profesi yang sejauh ini kami warisi dari para leluhur, atau kami harus pasrah pada takdir dan siap menerima estafet profesi dari mereka ? Profesi ini memang telah menghidupi kami selama turun temurun beberapa generasi, Sayang sekali bila tidak ada yang meneruskan. Akan tetapi tuntutan hidup yang semakin banyak dan komplek setidaknya membuat kami berpikir ulang untuk menerima profesi tersebut. Mungkin cukup kami wakilkan pada kakak ipar kami saja yang sudah terlanjur menerima warisan dari kedua orang tuanya.

Ya… setidaknya sudah ada satu dari anggota keluarga kami yang kini menekuni profesi turun temurun itu.  Kakak ipar kami yang tertua. Kakak tertua kami yang hanya bisa mengenyam satu tingkat pendidikan diatas ayah sekarang bersuamikan seseorang yang berprofesi sama  dengan ayah, yaitu sama-sama menjadi pegawai tinggi. Hal itu tidak terlepas dari kondisi ekonomi keluarga kami yang pada saat itu timbul tengelam dihantam badai moneter, sehingga impian untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi terganjal oleh adik-adiknya yang pada saat itu juga harus disekolahkan.

Kisah yang hampir sama terjadi pada adik perempuanku yang sekarang menerima suratan sebagai ibu rumah tangga pada usia yang termasuk muda. Ya…  dia menikah sebelum usianya genap dua puluh tahun. Padahal ia punya harapan besar  untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Ia yang selalu mendapatkan rangking satu disekolah dan mendapatkan beasiswa sampai SLTA harus memupus keinginan untuk masuk bangku perguruan tinggi. Lagi-lagi rupiahlah salah satu penyebabnya. Setelah kesana kemari mencari beasiswa dan ternyata kandas akhirnya datanglah pinangan dari seorang guru SD swasta yang juga masih berstatus sebagai guru swasta. Dan orang tua kami tak pikir panjang menerima pinangan itu.

Awal bulan ini, Juli 2012,  kegetiran yang dialami oleh dua saudara perempuanku seakan mebayang dipelupuk mata. Adik laki-lakiku yang punya prestasi pernah dua kali membawa piala Tartil Qur’an tingkat propinsi dan  baru saja tamat dari SLTP dengan menggondol prestasi terbaik disekolahnya serta  ingin melanjutkan pada sekolah yang berkwalitas harus sabar menunggu peruntungan baik untuk dirinya. Hampir semua sekolah yang menjadi incarannya mematok uang pangkal tidak kurang dari lima juta. Mungkin, mengeluarkan  uang lima juta tidak lah berat bagi orang yang beruang. Bagi kami juga tidak berat, asalkan sudah tersedia dikantong dan tinggal memberikannya. Masalahnya, ia belum mau ngandang di kantong celana. Dan Alhamdulillah setelah usaha kesana-kemari  akhirnya uang sebesar itu terkumpul dan untuk sementara impian adiku seakan menjadi terang.

Sementara aku sendiri sedang memilih takdirku di Negri Seribu menara setelah memenangkan lotere milik Alloh.


*Istilah kami untuk menyebut penderes (orang yang berprofesi sebagai pengambil air  nira dan dijadikan gula merah)

Diposkan di kompasiana dengan judul yang sama tertanggal 8 July 2012.
 http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/08/pegawai-tinggi-tak-mampu-sekolahkan-anak-anaknya/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar