DALAM Islam terdapat dua hal yang fundamental, yaitu 'aqidah dan
syari'ah. Akidah adalah kepercayaan yang tirnbul di hati manusia
dan tidak dapat dipaksakan kehadirannya. Dari akidah ini dijabarkan beberapa
unsur keimanan. Sedangkan syari'ah adalah hal yang mengatur tata kehidupan
manusia muslim sehari-hari, termasuk di dalamnya soal-soal ibadah. Fiqih
sebagai refleksi syari'ah, memiliki empat pokok komponen ajarannya, yaitu
'ubudiyah (peribadatan), mu'amalah, munakahah, dan
jinayah.
Antara keimanan dan amaliah ibadah mempunyai korelasi yang kuat dan
tidak bisa dipisah-pisahkan. Dengan kata lain, amal ibadah merupakan manifestasi
dari keimanan. Kuat dan lemah atau tebal dan tipisnya keimanan seseorang
dapat diukur dari intensitas amaliah ibadahnya. Sampai sejauh mana ia beribadah,
di situlah ukuran lahiriah keimanannya. Hal ini merupakan titik berangkat
yang diperlukan manakala kita akan mengklasifikasikan seseorang ke dalam
golongan mukmin atau non-muslim. Tanpa pembuktian itu, sama sekali tidak
masuk akal. Bukti tersebut tidak lain adalah amal ibadah, dalam keadaan
suka maupun duka, atau dalam situasi dan kondisi yang bagaimana pun adanya.
Mengenai keterkaitan antara keimanan dan amaliah ibadah, bisa dilihat
juga dari pentingnya niat bagi ibadah. Sebagai makhluk hidup, manusia setiap
saat tentu berbuat sesuatu, atau dalam bahasa pesantren, melakukan amaliah,
terpuji mau pun tercela. Semua amaliah manusia bisa menjadi ibadah, atau
tidak menjadi apa-apa sama sekali. Dengan kata lain, amal itu tidak bernilai
lebih, yang dapat membedakan antara amaliah ibadah dan amaliah biasa.
Apakah sebuah amaliah termasuk ibadah atau tidak, ditentukan oleh motif
dan niat seseorang yang menjalankannya. Sesuatu akan menjadi ibadah, bila
diiringi dengan niat beribadah. Begitu juga sebaliknya. Dengan demikian,
ibadah pada hakikatnya memiliki cakupan yang sangat luas dan mendasar bagi
setiap aspek hidup dan kehidupan. Nabi bersabda, "Semua amal tergantung
pada motif dan niatnya".
Di kalangan para ulama, hadits ini diperselisihkan interpretasinya.
Menurut Imam Abu Hanifah, hadits tersebut memberi pengertian, niat merupakan
syarat amal seseorang. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat, niat adalah
rukun dari amaliah. Menurut jumhur al-ulama' (mayoritas ularna),
pendapat Syafi'i lebih kuat dijadikan sebagai pegangan (al-mu'tamad).
Perbedaan antara rukun dan syarat dapat dilihat dalam banyak kitab fiqih.
Ini mempunyai konsekuensi tertentu, seiring dengan perbedaan definisi syarat
dan rukun dalam ibadah. Secara definitif, syarat adalah sesuatu yang dapat
rnenafikan sesuatu yang disyarati (al-masyrut), bila syarat itu
tidak wujud. Akan tetapi syarat tidak menjadikan wujud tidaknya al-masyrut,
meskipun syarat tersebut wujud.
Sedangkan rukun merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari
sebuah ibadah. Dengan demikian, pendapat Abu Hanifah terasa menjadi lemah
apabila hanya menempatkan niat sebagai syarat sebuah amal. Uraian ini menegaskan
keterkaitan erat antara keimanan (niat) dan amal ibadah.
IBADAH terbagi menjadi dua macam, yakni ibadah yang bermanfaat untak
pribadi (individual/syakhshiyah) dan untuk orang lain atau masyarakat
(sosial/ijtima iyah). Sebelum meningkatkan amaliah ibadah, seseorang
perlu meningkatkan keimanan dan kepercayaan akan wujud Allah dengan segala
perintah dan laranganNya, kepercayaan akan adanya pahala serta keyakinan
akan manfaat dan faedah dari amaliah ibadah.
Dalam konteks sosial yang ada, ajaran syari'at yang tertuang dalam fiqih
sering terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari-hari.
Hal ini pada hakikatnya disebabkan oleh pandangan fiqih yang terlalu formalistik.
Titik tolak kehidupan yang kian hari cenderung bersifat teologis, menjadi
tidak berbanding dengan konsep legal-formalisme yang ditawarkan oleh fiqih.
Teologi di sini bukan hanya dalam arti tauhid yang merupakan pembuktian
ke-Esa-an Tuhan, akan tetapi teologi dalam arti pandangan hidup yang menjadi
titik tolak seluruh kegiatan kaum muslimin. Padahal di balik itu, asumsi
formalistik terhadap fiqih ternyata akan dapat tersisihkan oleh hakikat
fiqih itu sendiri.
Sebagaimana dimaklumi, fiqih dalarn arti terminologisnya adalah ilmu
hukum agama. Kemudian ia diartikan sebagai kumpulan keputusan hukum agama
sepanjang masa, atau dengan kata lain, yurisprudensi dalam Islam. Sebagai
kompendium yurisprudensi, fiqih memiliki sistematikanya sendiri. Ia tidak
berdiri sendiri karena sebagai disiplin ilmu maupun sebagai perangkat keputusan
hukum, fiqih dibantu oleh sejumlah kerangka teoritik bagi pengambilan keputusan
hukurn agama.
Dari sana kita mengenal ushul fiqih yang membahas kategorisasi hal-hal
yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan. Juga kita kenal kaidah-kaidah
fiqih yang menjadi patokan praktis dalam rnemutuskan suatu kasus fiqih.
Belum lagi ilmu-ilmu al qur'an dan Hadits serta ilmu-ilmu bahasa Arab yang
semuanya mendukung terselenggaranya fiqih sebagai disiplin ilmu dan perangkat
keputusan hukum.
Sistematika dan perangkat penalaran yang dimiliki fiqih sebenarnya rnemungkinkannya
dikembangkan secara kontekstual, sehingga tidak akan ketinggalan perkembangan
sosial yang ada. Nabi pernah menganjurkan agar kaum rnuslimin memperbanyak
keturunannya. Dalam era over populasi seperti sekarang ini, anturan Nabi
itu tidak bisa dipahami secara dangkal, yakni bahwa Nabi memerintahkan
untuk memperbanyak anak secara kuantitatif. Akan tetapi sebaliknya, anjuran
tersebut adalah bermakna pada usaha untuk meningkatkan kualitas hidup keturunan
kaum muslimin.
Tidakkah dengan begini, pendekatan fiqih secara kontekstual bukan merupakan
hal yang mustahil dilakukan? Ditambah lagi, bahwa salah satu kaidah fiqih
berbunyi, "Kebijaksanaan penguasa atas rakyatnya berturnpu sepenuhnya pada
kesejahtersan rakyat itu sendiri". Nah, dari kaidah ini tentu dapat dikernbangkan
banyak teori sosial yang komplek dan universal.
ASUMSI formalistik terhadap fiqih seperti di atas sering menjadi masalah
laten. Fiqih oleh sebagian kaum muslimin diperlakukan sebagai norma dogmatis
yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak jarang, fiqih -dalam hal ini kitab
kuning- dianggap sebagai kitab suci kedua setelah al-Qur'an. Bila demikian
halnya, saya teringat akan gagasan teman-teman yang tergabung dalam Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rabithah Ma'ahid Islamiyah
(RMI) untuk memberi input kepada masyarakat kita sendiri -pesantren-
agar memahami kitab kuning secara kontekstual dan mengurangi interpretasi
tekstual yang selama ini cenderung berlebihan.
Gagasan tersebut tidak terlalu berlebihan, mengingat bahwa pemahaman
kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqih secara mutlak.
Justru dengan pemaharnan tersebut, segala aspek perilaku kehidupan akan
dapat terjiwai oleh fiqih secara kontestual dan tidak menyimpang dari rel
fiqih itu sendiri. Atau minimal, kitab kuning akan digemari tidak saja
oleh para santri yang belakangan ini mulai enggan menguaknya, akan tetapi
oleh siapa saja yang berrninat mengaji referensi pemikiran Islam.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, setelah kita mengetahui posisi
fiqih dalam tatanan sosial yang ada dan dibarengi dengan keinginan meningkatkan
amaliah ibadah sosial -yang dalam hal ini lebih utama dari pada ibadah
individual- maka tentu keinginan tersebut akan mudah tercapai atau minimal
akan terkonsepsikan secara proporsional untuk kemudian ditindaklanjuti
pada masa-masa yang akan datang. Sehingga fiqih atau komponen ajaran Islam
lainnya tidak harus selalu disesuaikan dengan keadaan zaman yang ada, akan
tetapi bagaimana mengaplikasikan fiqih secara baik dan benar serta mudah
diterima oleh khalayak awam tanpa keresahan yang berarti.
KHMA. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial
KHMA.
Sahal Mahfudh / Nuansa Fiqih Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar