Selasa, 18 Desember 2012

Haji Umroh Masisir Dalam Tinjauan Fikih


Siapapun muslim tau bahwa haji merupakan pilar agama yang ke lima dan dihukumi wajib 'ain. Sedang hukum umroh tidak semua ulama bersepakat akan kewajibannya, sebagian ulama (Hanafiyah dan Malikiyah) mengatakan bahwa umroh cuma sunnah muakkad, dan perlu diingat bahwa kewajiban (sunah muakkad) melaksanakan haji/umroh  diberi qoyyid "bagi yang mampu menjalankannya', tidak diperuntukan bagi selain yang mampu. Yang menjadi pertanyaan, apakah hukum wajib dari haji dan umroh bersifat absolute, tidak dapat diganggu gugat sehingga berbagai jalan -kalau tidak mau mengatakan menghalalkan berbagai macam cara- dan langkah  ditempuh agar dapat  melaksanakannya. Dan dalam ruang lingkup negara masisir yang kita diami ini apakah rakyatnya sudah ditaklif kewajiban melaksanakannya? Setelah pertanyaan pertama dijawab, selanjutnya  adalah ketika haji dan umroh tidak selamanya wajib, -mungkin juga berubah hukumnya menjadi haram-  dan si calon haji/umroh bersikeras melaksanakannya tanpa mempedulikan rambu-rambu pelaksanaan yang telah diatur oleh pihak yang punya wewenang, apakah haji dan umroh warga masisir sah dan mabrur?.

Dari berbagai kejadian yang terjadi dalam komunitas masisir dan telah dikupas tuntas dalam acara warung kopi di rumah budaya akar pada rabu malam 12/9/12 penulis memetik banyak sekali tashowur permasalahan yang terjadi dalam masyarakat masisir, akan tetapi karena keterbatasan tempat maka yang akan dibahas dalam tulisan ini hanya beberapa poin problematika haji/umroh masisir  menurut sudut pandang fuqoha..

Pertama, kita akan membahas apakah hukum haji dan umroh bersifat absolute dan tidak dapat diganggu gugat.

Sebagaimana perintah-perintah Alloh lain selain haji yang tidak bersifat paten, haji dan umroh juga tidak selamanya dihukumi wajib. Pada satu waktu hukum wajib dari umroh dan haji dapat berubah menjadi haram, misal saja Ibadah haji dengan menggunakan harta haram, dapat pula berubah menjadi makruh, sepeti haji yang dilaksanakan tanpa meminta izin dari orang yang wajib dimintai izin, contoh mudah adalah si calon haji sangat dibutuhkan oleh kedua orang tuanya dalam berbagai hal.

Setelah kita tau bahwa ibadah haji/umroh yang hukum aslinya adalah wajib dan dapat berubah menjadi sunah, makruh, haram dan seterusnya, label apa yang akan kita sematkan pada pelaksanaan haji masisir? Lebih tepatnya apakah masisir sudah (masih) berkewajiban untuk melaksanakan ibadah haji dan umroh, padahal kita ketahui bersama bahwa  pintu haji dan umroh (bulan ramadhan) seolah sudah  tertutup, dan untuk membukanya kadang dengan cara paksa atau masuk dari pintu belakang.

Baiklah, untuk dapat mengetahui apakah komunitas masisir berkewajiban haji/umroh atau tidak maka kita harus memperbincangkan dulu masalah syarat.  Melihat Obyek penerima taklif (mukallaf), syarat di bagi menjadi dua yaitu syarat umum  dan syarat khusus. syarat umum adalah syarat yang dikenakan kepada pria dan wanita, sedangkan syarat khusus adalah syarat yang hanya ditujukan untuk kaum hawa saja. Kita ketahui bersama bahwa konsekwensi dari tidak terpenuhinya syarat adalah mukallaf tidak berkewajiban melaksanakan ibadah haji. Sedangkan apabila si calon haji tetap bersikeras melaksanakan haji maka sah atau tidaknya  ibadah yang dilakukan tergantung pada amaliyah ibadah haji yang dilakukan. Walhasil antara kewajiban dan keabsahan ibadahnya tidak saling terkait satu dengan yang lain.

Kembali ke masalah syarat. Yang tercakup dalam Syarat umum adalah syarat sah, syarat wajib dan syarat ijza". Dari ketiga macam syarat tersebut ada syarat yang tercakup dalam syarat wujub dan sah yaitu berupa islam dan berakalnya si calon haji. Maksudnya adalah selain muslim tidak berkewajiban untuk melaksanakan haji, toh andaikan ia menunaikannya maka hajinya tidak sah. Kedua adalah syarat yang termasuk dalam syarat wujub dan ijza' yaitu baligh dan merdeka. Maksudnya, jika seorang muslim belum baligh atau statusnya adalah budak maka ia tidak berkewajiban melaksanakan ibadah haji, andai saja ia melaksanakan haji maka apabila nanti ia dewasa/merdeka dan mampu melaksanakannya maka ia harus mengulang hajinya. Dan yang terahir adalah syarat yang termasuk dalam  syarat wujub yaitu mampu (Istitho'ah) melaksanakan ibadah haji. Dan Syarat yang terahir inilah yang akan  kita ulas bersama.

Istitho'ah adalah uji kelayakan bagi calon haji agar masuk dalam ranah wajib, yakni standar minimum bagi calon haji agar dirinya masuk pada lingkaran orang-orang yang berkewajiban melaksanakannya. Berkenaan dengan istitho'ah, Rasul menjelaskan bahwa orang yang termasuk dalam kalangan istithoah adalah orang yang punya kemampuan untuk berziarah ke Mekah. Hanya saja, dalam menafsiri kata "mampu" para fuqoha berbeda pendapat.

Ulama hanafiyah mengatakan bahwa kata "istitho'ah" mencakup tiga aspek, yaitu kemampuan fisik dari calon haji (istithoah badaniyah), kemapanan financial (istithoah maliyah), yaitu adanya biaya untuk pulang pergi dari tanah air ke mekah dan adanya alat transportasi yang layak dan terahir adalah istithoah amniyah yaitu adanya stabilitas keamanan di perjalanan dan di tanah haram.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa "istithoah" adalah kemampuan untuk sampai ke tanah haram sesuai dengan cara orang kebanyakan, baik dengan cara berjalan atau menggunakan alat transportasi, yakni kemampuan untuk berziarah ke tanah haram saja, tidak memperhatikan apakah nantinya dapat pulang ke tanah kelahirannya atau tidak. Dari devinisi kata "istithoah'' menurut cara pandang ulama Malikiyah maka seorang muslim yang bermadzhab maliki  berkewajiban untuk melaksanakan ibadah haji bila : pertama, mempunyai kekuatan fisik menuju tanah haram, maka orang yang mampu berjalan menuju mekah ataupun orang buta yang mempunyai seorang penunjuk jalan wajib melaksanakan haji. Kedua, Punya kemampuan  financial, untuk masalah mampu dalam bidang financial ulama malikiyah cenderung tasyadud, sehingga orang yang tidak punya kecukupan dalam finansialnya akan tetapi mampu bekerja ditengah-tengah perjalanan menuju mekah masuk dalam kategori wajib haji. Begitu juga  orang yang hanya punya tanah sepetak dan hasil dari tanah tersebut untuk makan anak istri dan jikalau dijual dapat mencukupi untuk biaya ke mekah maka wajib menjual tanahnya, karena ia termasuk dalam kategori orang yang berkewajiban haji.  Dan ketiga adalah adanya keamanan bagi jiwa dan hartanya dalam perjalanan.

Istitho'ah dalam madzhab Syafi'I dibagi menjadi dua, yaitu Istithoah bi nafsi dan istithoah Bi Al ghoir. Ulama Syafi’iyah memberikan tujuh batasan agar si calon haji masuk dalam kategori wajib haji, yaitu: 1. Mampu secara fisik, 2. Mampu dalam bidang financial 3. Adanya alat transportasi  4. Jaminan keselamatan dalam perjalanan 5. Jaminan logistic 6. Adanya mahrom bagi kaum hawa, dan 7. Cukup waktu untuk melaksanakannya setelah semua sarat diatas terpenuhi

Terahir adalah Istitho’ah menurut Hanabilah. Mereka berpendapat bahwa istithoah adalah tercukupinya biaya untuk haji/umroh dan adanya alat transportasi.
Setelah mengetahui konsep istitho’ah menurut empat madzhab sudah barang tentu kita dapat meraba apakah warga  masisir masuk dalam lingkaran wajib haji atau masih berada diluarnya. Penting untuk digaris bawahi bahwa kemampuan dalam bidang financial diatas adalah si calon haji/umroh punya kemampuan sendiri untuk membiayai perjalanan pulang pergi dari dan menuju mekah, dengan kata lain si calon haji membiayainya dari kocek sendiri tanpa meminta kepada orang lain. Bagi yang punya utang harus melunasi utang-utangnya dulu. Bagi yang sudah ngebet banget nikah maka ia wajib mendahulukan nikahnya, dan masih banyak lagi furu’ fikih yang lahir dari pembahasan syarat-syarat diatas. Dan yang harus diperhatikan sekali adalah kewajiban untuk taat kepada aturan pihak yang berwenang dan tidak menempuh jalur belakang atau jalan yang berliku, apalagi sampai memberikan pungli pada preman untuk sekedar mendapatkan visa. Karena hal-hal semacam ini akan menghambat diterima atau tidaknya ibadah haji/umroh kita.

Hal terahir yang akan kita bahas adalah tentang status sah dan tidaknya ibadah haji/umroh masisir beserta kemabrurannya. Telah disinggung diatas bahwa antara kewajiban melaksanakan ibadah haji/umroh dan status sah tidaknya ibadah yang dilakukan tidak ada talazum diantara keduanya. Walhasil, orang yang tidak berkewajiban haji akan tetapi bersikeras melaksanakannya akan mendapatkan status  haji/umroh yang sah asalkan manasiknya telah dijalankan dengan sempurna. Hal ini sama persis dengan sholat yang dilakukan dengan sempurna akan tetapi si musholi memakai pakaian yang dighosob dari temannya. Sholat orang tersebut sah akan tetapi di satu sisi mendatangkan dosa. Hal ini juga berlaku dalam ibadah haji. Contoh mudah dari kasus ini adalah haji takholuf alias haji mbonek. Jika si calon haji melaksanakan ritual ibadah haji dengan sempurna maka hajinya sah, akan tetapi dilihat dari sudut pandang hukum taklify si calon haji melanggar perjanjian dengan pihak travel dan melanggar aturan hukum Negara. Lantas haji yang sudah terinveksi virus haram tersebut apakah masih layak kita  hukumi sebagai haji yang mabrur?


Dimuat dalam Buletin Terobosan Edisi 348.
Mohon kritik dan sarannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar