Jumat, 12 November 2010

Pandangan Simbah Mengenai Ilmu Umum

Mbah Ghozali berkata bahwa:"Ilmu-ilmu yang termasuk dalam kategori Fardhu Kifayah untuk dipelajari adalah ilmu-ilmu yang memberikan dampak dan manfaat yang besar dalam kehidupan, yakni cabang ilmu yang yang harus dimiliki oleh sebagian anggota masyarakat dikarenakan tanpa ilmu tersebut struktur masyarakat akan pincang dan bangunan kehidupan dalam bermasyarakat tidak akan terbentuk secara utuh, sebaliknya bila ada yang menguasainya maka akan tercipta sebuah keadaan masyarakat yang diinginkan.  Termasuk dalam kategori ini adalah ilmu Thib (kedokteran) dan ilmu hitung (Aritmetika). Al Ghozali memandang bahwa kedua ilmu itu termasuk Fardhu Kifayah di masanya (terlebih dimasa sekarang) karena keduanya tergolong Dhorury. Yang pertama Dhorury dalam menunjang kelangsungan kehidupan manusia dan yang kedua dianggap dhorury dalam bidang mu'amalah seperti perdagangan, pembagian harta warisan, masalah wasiat, penentuan awal bulan dan lain-lain.

Jauh-jauh hari simbah kita yang satu ini sudah mencium gelagat bahwa kedua cabang ilmu itu akan menjadi corong kemajuan dunia. Dunia antariksa, telekomunikasi, dan seabreg kemajuan dalam bidang kesehatan yang dicapai oleh sekelompok negara maju bersumber dari kedua ilmu tersebut. Pantas saja beliau memberikan isyarat dalam karya monumentalnya dengan label Fardhu kifayah untuk mempelajarinya.

Pada awal tahun 1900 an, simbah kita yang lain yaitu mentor NU juga merasakan apa yang telah dicium oleh pendahulunya. Pada saat itu, saat dimana geliat tekhnologi dan kemajuan sains serta penemuan-penemuan dalam bidang kesehatan barat berada di depan mata, ringan saja bagi beliau mengatakan "Harus ada reformasi dalam metode pendidikan islam dan cara pandang terhadap ilmu pengetahuan umum". Hal ini beliau ejawantahkan dengan melakukan reformasi dalam pesantren yang beliau pimpin, diantaranya dengan mengubah sistem pengajaran dari model sorogan ke model klasikal dan menambahkan beberapa pelajaran umum, penerjemahan dari Maqolah Al Muhafadzotu 'Ala al Qodiim Al Solih wal Akhdzu bil Jadid Al Ashlah.

Beberapa tahun kemudian, penciuman tajam Mbah Hasyim terbukti. Pada era tahun 50 an, gerakan dan manuver dari kader-kader dengan penguasaan ilmu umum lebih menonjol (baca: dapat berbicara lebih banyak dalam pentas nasional) dibandingkan dengan tokoh yang hanya mempunyai keahlian dalam bidang agama. Terekam jelas dalam sejarah perjalanan NU bahwa NU yang menduduki peringkat ke tiga dalam pemilu 1955 harus rela memungut kader-kader dari Ormas lain untuk duduk dalam parlemen. Diakui sendiri oleh para pembesar-pembesarnya pada waktu itu bahwa NU hanya mempunyai dua kader yang mumpuni yaitu KH. Wahid Hasyim dan KH. Saifudin Zuhri, tentunya tanpa menafikan tokoh-tokoh besar yang lain dalam tubuh NU.

Keadaan ini menuntut perubahan cara pandang dalam warga NU. Sebagian kecil dari warga NU berupaya memasukan anak-anaknya dalam sekolah-sekolah umum dan tidak ketinggalan pula membekalinya dengan ilmu agama, dengan satu harapan nanti akan muncul generasi baru yang intelek sekaligus agamis. Sementara sebagian besar yang lain masih terkurung dalam anggapan bahwa Ilmu umum tidak terlalu penting untuk dipelajari, malah ada sebagian orang yang menganggap bahwa mempelajari ilmu umum itu berbau makruh.

Dengan kemajuan sains dan tekhnologi yang dicapai oleh barat tanpa dapat disusul oleh kita kaum muslimin, apakah kita masih akan anti pati dengan ilmu umum???

Dapat juga di baca di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar