Minggu, 09 Oktober 2016

Hadits Kadal

Anak perempuan bertubuh bongsor yang umurnya kutaksir belum genap sembilan tahun itu dengan sigap membelah padatnya penumpang. Tangannya yang seukuran pisang gebrot dengan gesit menyelipkan satu lembar kertas berukuran sepertiga hvs kepada setiap penumpang. Aku yang memilih duduk di jok pojok paling belakang juga ikut kebagian. Tampang kantuk dan tak mau diganggu yang sengaja kupasang sebelum bus milik pelajar itu meluncur meninggalkan terminal Darrasa tidak membuatnya kikuk  untuk membangunkan. Demi koin ia singkirkan malu.

Lembaran sepertiga HVS yang sudah di tanganku itu kubuka. Kata pertama yang nampak adalah nama Fathimah. Ya, dia bernama Fatimah, anak yatim dengan ibu sakit-sakitan. Sedikitnya 300 le perbulan harus dibelanjakan untuk biaya rutin pengobatan ibunya. Entah mengapa ia yang harus mencari. Dimanakah kerabat dan kakak-kakanya. Atau dia cuma punya ibu saja? Entahlah.

Fathimah tidak sendirian. Setelah kran kebebasan bersuara dan bertindak dibuka pada januari 2011 –orang sini menyebutnya revolusi-  makin banyak anak-anak, ibu muda-tua, lelaki cacat yang menyadongkan tangan ‘memerah’ iba. Tidak hanya di jalan dan bus-bus umum saja, para penjaga sandal di sebagian masjid juga sekarang tak ubahnya debt   kolektor yang mewajibkan bayar iuran dengan dalih sandal/sepatu kita tidak boleh ditempatkan di dalam masjid. Padahal, tempat sandal yang berjejer-jejer dan ada di pojok-pojok atau menempel di tiang masih kosong melompong. Suatu kali aku ngeyel. Ku terobos saja blockade penjaga sandal itu. Kekikiranku berbicara; “dengan memberikan 1 le kepada mereka maka saya juga akan ikut fakir”. Tapi, dalam kedalaman hati, aku maklum dengan usaha keras mereka. Nilai mata uang yang terjun bebas dari yang semula cuma 7 Le per 1 USD menjadi 13 Le (di pasar gelap) dapat membuat siapa saja kalap dan gelap hati.

Disini saya jadi ingat hadits “Kâdal faqru an yakûna kufran” yang selanjutnya dinamakan dengan ‘hadits kadal’. Bahwasanya, kefakiran itu akan mendekatkan diri dari tertutupnya rasa malu. Mubarakfuri, Ali al-Qari, al-Munawi, al-Ghazali dan ulama lain mengatakan bahwa maksud dari kata kufr disitu adalah kufr qalbi. Maka tidak berlebihan jika saya menafsirinya dengan tertutupnya rasa malu, tidak malu untuk meminta, tidak malu untuk menjambret, tidak malu menjajakan barang dagangan, tidak malu mengais rejeki, dengan cara apapun.
  
Saya tidak pernah ingkar bahwa meminta, menjajakan tisue, bahkan menjambret dan mencopet sekalipun adalah bagian dari usaha untuk mendulang rejeki. Terlepas dari rejeki itu berkah atau tidak, halal atau haram. Dalam terma Asyai’rah, rejeki memang bisa berupa rejeki halal dan juga bisa haram.


Mereka (dan kebanyakan dari kita), demi mendapatkan ‘isy dengan penuh kesadaran menutup rasa malu dan bahkan menutup untuk sementara. Kalau sudah sementara biasanya menjadi sementahun alias abadan. Apalagi kalau sudah merasakan nyaman dengan profesinya.  

Dipost juga di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar