Anak perempuan
bertubuh bongsor yang umurnya kutaksir belum genap sembilan tahun itu dengan
sigap membelah padatnya penumpang. Tangannya yang seukuran pisang gebrot dengan
gesit menyelipkan satu lembar kertas berukuran sepertiga hvs kepada setiap
penumpang. Aku yang memilih duduk di jok pojok paling belakang juga ikut
kebagian. Tampang kantuk dan tak mau diganggu yang sengaja kupasang sebelum bus
milik pelajar itu meluncur meninggalkan terminal Darrasa tidak membuatnya kikuk untuk membangunkan. Demi koin ia singkirkan
malu.
Lembaran
sepertiga HVS yang sudah di tanganku itu kubuka. Kata pertama yang nampak
adalah nama Fathimah. Ya, dia bernama Fatimah, anak yatim dengan ibu
sakit-sakitan. Sedikitnya 300 le perbulan harus dibelanjakan untuk biaya rutin
pengobatan ibunya. Entah mengapa ia yang harus mencari. Dimanakah kerabat dan
kakak-kakanya. Atau dia cuma punya ibu saja? Entahlah.
Fathimah tidak
sendirian. Setelah kran kebebasan bersuara dan bertindak dibuka pada januari
2011 –orang sini menyebutnya revolusi-
makin banyak anak-anak, ibu muda-tua, lelaki cacat yang menyadongkan
tangan ‘memerah’ iba. Tidak hanya di jalan dan bus-bus umum saja, para penjaga
sandal di sebagian masjid juga sekarang tak ubahnya debt kolektor
yang mewajibkan bayar iuran dengan dalih sandal/sepatu kita tidak boleh
ditempatkan di dalam masjid. Padahal, tempat sandal yang berjejer-jejer dan ada
di pojok-pojok atau menempel di tiang masih kosong melompong. Suatu kali aku
ngeyel. Ku terobos saja blockade penjaga sandal itu. Kekikiranku berbicara; “dengan
memberikan 1 le kepada mereka maka saya juga akan ikut fakir”. Tapi, dalam kedalaman
hati, aku maklum dengan usaha keras mereka. Nilai mata uang yang terjun bebas
dari yang semula cuma 7 Le per 1 USD menjadi 13 Le (di pasar gelap) dapat
membuat siapa saja kalap dan gelap hati.
Disini saya jadi
ingat hadits “Kâdal faqru an yakûna
kufran” yang selanjutnya dinamakan dengan ‘hadits kadal’. Bahwasanya,
kefakiran itu akan mendekatkan diri dari tertutupnya rasa malu. Mubarakfuri,
Ali al-Qari, al-Munawi, al-Ghazali dan ulama lain mengatakan bahwa maksud dari
kata kufr disitu adalah kufr qalbi. Maka tidak berlebihan jika
saya menafsirinya dengan tertutupnya rasa malu, tidak malu untuk meminta, tidak
malu untuk menjambret, tidak malu menjajakan barang dagangan, tidak malu mengais
rejeki, dengan cara apapun.
Saya tidak pernah
ingkar bahwa meminta, menjajakan tisue, bahkan menjambret dan mencopet
sekalipun adalah bagian dari usaha untuk mendulang rejeki. Terlepas dari rejeki
itu berkah atau tidak, halal atau haram. Dalam terma Asyai’rah, rejeki memang bisa
berupa rejeki halal dan juga bisa haram.
Mereka (dan
kebanyakan dari kita), demi mendapatkan ‘isy dengan penuh kesadaran menutup
rasa malu dan bahkan menutup untuk sementara. Kalau sudah sementara biasanya
menjadi sementahun alias abadan .
Apalagi kalau sudah merasakan nyaman dengan profesinya.
Dipost juga di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar