Jumat, 05 Juli 2013

Anak Mengkafirkan Bapaknya

Terkait dengan kritik-mengkritik, khazanah islam punya disiplin ilmu tersendiri yang dinamai dengan adabul bahtsi wal munadzoroh, satu disiplin ilmu yang menjelaskan bagaimana tata cara berdialog, mengemukakan pendapat dan mengkritik lawan tanpa saling merendahkan, tanpa ada caci maki dan tanpa ada sikap anarkis dan adu jotos.

Beda pendapat itu hal yang lumrah, fitrah manusia. Maka, tidak  menjadi aib ketika anak dan bapak, atau antara sesama saudara kandung berbeda pendapat. Hal itu masih dalam batas kelumrahan. Maklum, otak mereka berbeda, walaupun jasad mereka tercetak dari cetakan yang sama. Lebih lumrah lagi bila antar mereka tidak terdapat hubungan darah atau hubungan emosional, maka perbedaan adalah sangat wajar terjadi.  

Muhamad bin Sulaiaman Al Kurdi, seorang tokoh Syafi'i yang bermukim dan wafat di Madinah dalam bukunya, Al fawaid al Madaniyah mengatakan bahwa perbedaan pendapat adalah fitrah manusia, perbedaan pendapat diantara anak dan bapak juga termasuk dalam hal yang lumrah dan wajar. Imam Haramain seringkali bersilang pendapat dengan bapaknya dalam masalah hukum. Seringkali imam Haramain mengatakan bahwa pendapat bapaknya adalah keliru, bahkan seringkali beliau dengan pedas mengkritk pendapat bapaknya dan mengatakan bahwa pendapat tersebut sama sekali tak berdasar dan sebagaianya. Akan tetapi, patut diingat, bahwa Imam haramain dalam mengemukkakan pendapatnya selalu  berdasarkan atas dalil dan hujah yang kuat. Disamping itu, beliau hanya mengkrtik pendapatnya saja, bukan mengkritik si pemilik pendapat. Dan juga Imam Haramain berpegang teguh pada kaidah tawashau bil haq, jadi tidak ada unsur pelecehan dan pengurangan kehormatan pada diri orang  yang dikritik.

Jauh sebelum era Imam Haramain, perbedaan pendapat diantara anak dan bapak terjadi pada diri sahabat Umar dan anaknya, Abdullah bin Umar. Umar adalah sosok mujtahid yang berhaluan ahlu ra'yi, sedang anaknya adalah seorang mujtahid yang berhaluan nashi, bahkan sangat masyhur sebagai sahabat yang mempunyai fanatisme tinggi kepada nabi, hal apapun yang dikerjakan nabi pasti dikerjakan oleh Abdullah, sampai-sampai tempat yang pernah dikunjungi nabi pasti didatangi oleh Abdullah. Perbedaan diantara keduanya sudah pasti terjadi, lantaran cara pandang dan proses dalam menelorkan satu hasil ijtihad. Pun begitu, mereka, anak dan bapak tidak berkurang dalam menghormati dan menyayangi, tidak bersambung pada penodaan kehormatan orang tua dan caci maki.

____________________________________

Selama setahun ini, dari Juni 2012 sampai awal Juli 2013, seringkali terjadi kritik tajam dari seorang anak kepada bapaknya. Seorang bapak yang telah diakui ke-ulama-annya dikritik secara frontal oleh anak-anaknya sendiri yang masih baru mengerti huruf hijaiyah. Seringkali sang bapak dituduh sebagai bapak yang dzolim, bapak yang kafir, bapak si penganut bid'ah dan tuduhan-tuduhan lain. Si anak merasa bahwa bapaknya telah keluar dari keislaman yang sebenarnya, maka sudah menjadi kewajibannya untuk melaknat dan memberi cap kafir pada sang bapak. Mereka merasa bahwa ini adalah bagian dari amar maruf nahi munkar, dimana pahala adalah janji yang telah diikrarkan oleh sang pencipta atas perbuatan tersebut.

Mereka tidak sadar bahwa kebenaran versi mereka adalah kebenaran minoritas yang belum dapat dipertanggung jawabkan. Sedang kebenaran yang dijanjikn berada dalam tangan mayoritas. Mereka tidak menyadari bahwa mereka adalah anak kecil yang baru bisa membaca tanpa dapat memahami apa yang mereka baca. Sedang bapaknya adalah seorang pakar, sudah mengetahui manthuq dan mafhumnya.

Mereka tidak merasa bahwa selama ini mereka menyusu dan diberi kehidupan oleh sang bapak. Visa tingal yang mereka peroleh, biaya hidup yag mereka dapatkan, dan kesempatan mereka hidup dan belajar di bumi para nabi ini juga pemberian dari ayah mereka, Al Azhar. 

Sampai detik ini, saya tidak memahami apa yang ada dalam otak mereka. Jikalau mereka ingin belajar di Al Azhar, mengapa mereka tidak belajar di ruak-ruak Al Azhar dan ulamanya. Mereka malah belajar pada orang yang memusuhi dan selalu merongrong martabat bapaknya. Benar kiranya apa yang disampaikan oleh Dr.Sayid Thontowi, grand Syeikh Al Azhar yang wafat pada tahun 2010 silam, bahwa siapapun yang belajar di Azhar dan tidak sesuai dengan manhaj Azhar dalam berpikir dan bertindak, maka sebutan yang layak baginya adalah walad sifah alias anak haram dari Al Azhar. 

Berikut ini penjelasan tentang sikap yang diambil oleh grand Syekh Azhar 





ورد إلينا الكثير من التعليقات التي تتهم #شيخ_الأزهر بأنه كان عضواً في لجنة السياسات بالحزب الوطني.. والكثير يردد هذه الكلمة ولا يعرف معناها، بغرض لإساءة لفضيلته و #الأزهر_الشريف بأنه خضع لحاكم بعينه

وهذا توضيح يرجى نشره ليعرف الناس الحقيقة وتتوقف الإتهامات الزور و المتكررة لفضيلة شيخ الأزهر.. فتحققوا مما تقولون ، وكفى بالمرء إثماً أن يحدّث بكل ما سمع:

الإمام الأكبر لم يكن عضواً بلجنة السياسات مطلقاً

فهناك ما يسمى: "المكتب السياسي"، "ولجنة السياسات"..والثانية هي التي ترسم سياسات الحزب الحاكم وطريقته في إدارة البلاد، أما المكتب السياسي فهو يستشار في المسائل ذات الأهمية في أمور الحكم، هكذا ينبغي أن يكون، ولجنة السياسات كلها ينبغي أن تكون من رجال الحكومة، بينما يصح أن يوجد في المكتب السياسي مجموعة من المدنيين البعيدين عن الحزب أو الحكم.
وفي عهد الدكتور عبد الفتاح الشيخ، طلب شيخ الأزهر طنطاوي من الرئيس أن يجعل رئيس جامعة الأزهر عضواً بالمكتب السياسي كنوع من البروتوكول، فلم يوافق، وتكرر الطلب في عهد عمر هاشم، ووافق الرئيس في أواخر عهد الدكتور عمر، ولم يطبق القرار إلا بعد تولي الشيخ الطيب رئاسة الجامعم للمكتب السياسي ليس لأنه أحمد الطيب، بل لأنه رئيس جامعة الأزهر، واعتبر هذا يومها إحترام للأزهر، فكان الدكتور الطيب والدكتور عائشة راتب وحدهما المدنيان اللذان أُلحقا بالمكتب السياسي.

وللعلم كل أعضاء المكتب السياسي أعضاء بلجنة السياسات، عدا الطيب وعائشة راتب! ولم يحضر الإمام الأكبر إلا مرة واحــدة، في إجتماع المكتب السياسي، والمرة الثانية، تأخر ساعة عن الموعد، فمنعوه من الدخول.

هذا هو الحال، وأظن أن هذا الأمر لا يعرفه كثيرون ممن يسيئون للإمام الأكبر.
ــــــــــــــــ
فضيلة الشيخ حمد الله الصفتي

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar