Kamis, 18 Agustus 2016

Pesan Kemerdekaan dalam Tawa



Tujuh belasan adalah momen membahagiakan dan sangat kita tunggu-tunggu. Pada saat itulah kita akan diberi uang saku lebih. Kita juga dapat menikmati keramaian yang datangnya cuma tiga kali dalam setahun; dua hari raya dan tujuh belasan.

Tujuh belasan akan serasa lebih sempurna apabila kita memenangkan beberapa cabang perlombaan yang digelar mulai dari tingkat RT sampai tingkat Desa. Dari kemenangan itu kita dapat nampang disaat acara pemberian hadiah yang biasanya diadakan bersamaan dengan Panggung Gembira. Acara ini biasanya digelar pada dua hari setelah tujuh belasan atau kadang beberapa hari setelahnya. Diatas panggung kita dapat nampang (mungkin sekarang sambil selfi) dan menggondol hadiah yang biasanya berupa buku tulis, pensil/ballpoin, kaos atau cuma beberapa lembar piring dan gelas.


Cabang lomba yang selalu menyedot keramaian adalah lomba pukul air (Banyumas: nampek banyu). Tata cara pelaksanaanya adalah setiap peserta lomba harus ditutup matanya dan sebelum berjalan menuju sasaran dia diputar seperti gasing sehingga pusing tujuh keliling. Kedua adalah lomba balap karung. Dan yang paling seru adalah lomba panjat pinang atau dalam bahasa kampung saya dinamakan dengan nama plorodan jambe.
Sumber: THE WALL STREET JOURNAL

Penamaan ini menurut saya sangat pas. Sebab, sejatinya pohon pinang alias wit jambe yang sudah dilumuri dengan oli bekas dan oli baru (keduanya dalam Bahasa Banyumas dinamakan dengan gemuk) tidak dipanjat. Objek yang dipanjat adalah orang yang berada dibawahnya. Yakni, setiap kelompok yang biasanya terdiri dari empat sampai lima orang akan memasang satu anggota dengan tenaga kerbau diurutan paling bawah. Diatasnya adalah orang yang bisa menahan berat 3 sampai 4 orang dan seterusnya. Orang yang dibawah tugasnya menahan beban tubuh dari orang yang menaikinya. Sedang orang yang sudah naik dipundaknya mloroti gemuk yang melumuri batang pinang dan oli yang meluncur deras dari pucuk pinang. Jadi, kami menamakannya dengan plorodan jambe yang bisa diartikan beberapa orang memeloroti pohon pinang dari oli supaya tidak licin dan satu orang naik keatas untuk mengambil hadiah.

****

Dari ketiga cabang lomba diatas, kita sebagai penonton akan memanen tawa. Banyak juga dari kita yang sampai tergelak menyaksikannya. Ya. Namanya juga hiburan. Kalau tidak terhibur, tidak ada yang tertawa dan tidak ada riuh penonton maka panitia akan dicap sebagai panitia yang gagal. Sejauh ini adakah yang berpikiran bahwa hiburan yang mengundang gelak tawa itu mempunyai nilai filosofis walaupun jauh dari nilai humanis?

Lomba diatas memang terkesan tidak manusiawi. Kalau kita mau melihat beberapa sisinya, banyak ketidak adilan yang diterima oleh peserta. Misal saja dalam lomba plorodan jambe, orang yang berada dibawah seterusnya akan menjadi pijakan dan terinjak oleh orang yang diatasnya. Kedua, apabila ada celana dari salah satu anggota yang melorot dan maaf pantatnya sampai kelihatan orang-orang akan rame menyorakinya. Tertawa diatas penderitaan orang lain bukan?! Belum lagi hadiah yang ditawarkan. Biasanya hanya berupa payung, sabun colek, sabun mandi, kaos, bebek atau ayam, radio, sepeda atau barang lain yang nominalnya apabila dikalkulasi tidak selaras dengan rasa capek, pengorbanan dan resiko yang menghadang.

Sumber: Blog Masto
Dari lomba balap karung dan pukul air juga kita akan menemukan hal yang hampir sama. Coba bayangkan! Peserta dipaksa untuk berlari dalam karung yang lebarnya tidak sampai satu jangkah kaki. Kalau salah strategi pasti dia akan jatuh tersungkur dan jontor dah tu mulut sama hidung. Pada saat seperti itu para penonton akan meramu tawa, rasa setengah kasihan dan tepuk tangan untuk memberikan semangat. Ramuan diatas dengan mengurangi sisi kasihannya juga ditemukan pada saat peserta lomba tampek banyu berjalan (bahkan ada yang berlari) menuju tempat kosong. Dia menyambar apa yang ada di kanan, kiri dan atasnya dengan tangan. Penonton akan berteriak, “Ayo.. ayo… pukul lagi!”, padahal bungkusan air jauh dari jangkauan. Tidak manusiawi banget kan? Tapi, tidak apalah. Plorodan jambe, balap karung dan pukul air sudah terlanjur terkenal dan tidak rame apabila tujuh belasan tidak dimeriahkan dengannya.

Sebenarnya, apa sih hikmah yang dapat kita petik dari perlombaan wajib dalam tujuh belasan tersebut? Apakah terkandung nilai positif sehingga tercetus perlombaan yang sangat menguras tenaga dan sangat beresiko itu. Apakah ini ajang untuk tertawa dan bergelak saja? Dan, ngomong-ngomong siapa sih pelopornya dan mulai kapan ada?

Terus terang saya tidak tahu siapa orang dibalik perlombaan itu dan mulai kapan perlombaan itu menjadi penyemarak tujuh belasan. Dan untuk menjawab pertanyaan pertama saya dapat menjawabnya dengan berbagai jawaban. Dibawah ini akan saya sampaikan nilai-nilai positif yang dapat kita ambil darinya.

Plorodan jambe, nampek banyu dan balapan karung adalah simbol keuletan dalam mendapatkan hal yang diinginkan. Untuk konteks kemerdekaan, plorodan jambe dapat dimaknai dengan usaha keras dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Logisnya begini, semua elemen masyarakat baik yang berada dibawah, tengah dan atas adalah satu kesatuan utuh dalam mempertahankan dan merebut kemerdekaan. Bila dalam konteks kekinian, plorodan jambe dapat ditafsiri dengan usaha yang sangat ulet tanpa mengenal lelah untuk meraih kemajuan dalam berbagai bidang. Walau harus jatuh-bangun, capaian itu harus diraih.
Sumber: Creatur Magazine

Plorodan jambe adalah simbol kebersamaan dan bagi tugas. Iya. Orang yang berada paling bawah adalah simbol dari masyarakat bawah pada umumnya. Mereka biasanya dijadikan pijakan orang lain untuk meraih kesuksesan. Dia selalu menjadi bantalan orang lain untuk menggapai tujuan. Akan tetapi, hal itu tidak mengapa dikarenakan injakan dan bantalan itu demi tujuan bersama. Jadi, setelah capaian dan kesuksesan berhasil diraih tentunya juga akan dinikmati bersama.

Selanjutnya adalah adanya gotong royong untuk meraih tujuan bersama. Keempat, untuk mendapatkan kemajuan yang diinginkan pasti dipenuhi resiko. Tapi, itu tidak mengapa. Sebab usaha keras insya allah akan mendekatkan dengan sesuatu yang diinginkan. Kelima, sportif dalam meraih tujuan.  

Tidak berbeda jauh dari makna filososfis plorodan jambe. Tampek banyu dan balapan karung juga menyiratkan hal yang sama. Terutama dalam hal keuletan untuk mendapatkan tujuan waalaupun nilai kebersamaan dan nilai yang lain tidak dapat ditemukan disana.


Ah, penulis terlalu berprasangkan baik dalam menerka nilai filosofis dari perlombaan-perlombaan itu. Mungkin saja perlombaan itu diciptakan untuk refleksi kaum penguasa bahwa apapun dapat dilakukan asal dirinya dapat menggapai tujuan. Si penguasa akan memanfaatkan suara rakyat dan apapun itu demi kemaslahatan dirinya sendiri. Si penguasa juga akan berbuat curang seperti menyongkol teman saat balap karung atau membuka sedikit penutup mata sehingga nanti akan mendapat tujuan yang diinginkannya. Intinya, biarlah orang lain menderita dan kita girang, tertawa sepuasnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar