Tujuh belasan adalah momen membahagiakan
dan sangat kita tunggu-tunggu. Pada saat itulah kita akan diberi uang saku
lebih. Kita juga dapat menikmati keramaian yang datangnya cuma tiga kali dalam
setahun; dua hari raya dan tujuh belasan.
Tujuh belasan akan serasa lebih sempurna
apabila kita memenangkan beberapa cabang perlombaan yang digelar mulai dari
tingkat RT sampai tingkat Desa. Dari kemenangan itu kita dapat nampang disaat acara
pemberian hadiah yang biasanya diadakan bersamaan dengan Panggung Gembira.
Acara ini biasanya digelar pada dua hari setelah tujuh belasan atau kadang beberapa hari setelahnya. Diatas panggung
kita dapat nampang (mungkin sekarang sambil selfi)
dan menggondol hadiah yang biasanya berupa buku tulis, pensil/ballpoin, kaos
atau cuma beberapa lembar piring dan gelas.
Cabang lomba
yang selalu menyedot keramaian adalah lomba pukul air (Banyumas: nampek banyu). Tata cara pelaksanaanya
adalah setiap peserta lomba harus ditutup matanya dan sebelum berjalan menuju
sasaran dia diputar seperti gasing sehingga pusing tujuh keliling. Kedua adalah
lomba balap karung. Dan yang paling seru
adalah lomba panjat pinang atau dalam bahasa kampung saya dinamakan dengan nama
plorodan jambe.
Sumber: THE WALL STREET JOURNAL |
Penamaan ini
menurut saya sangat pas. Sebab, sejatinya pohon pinang alias wit jambe yang sudah dilumuri dengan oli
bekas dan oli baru (keduanya dalam Bahasa Banyumas dinamakan dengan gemuk) tidak dipanjat. Objek yang dipanjat
adalah orang yang berada dibawahnya. Yakni, setiap kelompok yang biasanya
terdiri dari empat sampai lima
orang akan memasang satu anggota dengan tenaga kerbau diurutan paling bawah. Diatasnya
adalah orang yang bisa menahan berat 3 sampai 4 orang dan seterusnya. Orang
yang dibawah tugasnya menahan beban tubuh dari orang yang menaikinya. Sedang
orang yang sudah naik dipundaknya mloroti
gemuk yang melumuri batang pinang dan oli yang meluncur deras dari pucuk
pinang. Jadi, kami menamakannya dengan plorodan
jambe yang bisa diartikan beberapa orang memeloroti pohon pinang dari oli
supaya tidak licin dan satu orang naik keatas untuk mengambil hadiah.
****
Dari ketiga
cabang lomba diatas, kita sebagai penonton akan memanen tawa. Banyak juga dari
kita yang sampai tergelak menyaksikannya. Ya. Namanya juga hiburan. Kalau tidak
terhibur, tidak ada yang tertawa dan tidak ada riuh penonton maka panitia akan
dicap sebagai panitia yang gagal. Sejauh ini adakah yang berpikiran bahwa
hiburan yang mengundang gelak tawa itu mempunyai nilai filosofis walaupun jauh
dari nilai humanis?
Lomba diatas memang
terkesan tidak manusiawi. Kalau kita mau melihat beberapa sisinya, banyak
ketidak adilan yang diterima oleh peserta. Misal saja dalam lomba plorodan jambe, orang yang berada dibawah
seterusnya akan menjadi pijakan dan terinjak oleh orang yang diatasnya. Kedua,
apabila ada celana dari salah satu anggota yang melorot dan maaf pantatnya
sampai kelihatan orang-orang akan rame menyorakinya. Tertawa diatas penderitaan
orang lain bukan?! Belum lagi hadiah yang ditawarkan. Biasanya hanya berupa
payung, sabun colek, sabun mandi, kaos, bebek atau ayam, radio, sepeda atau
barang lain yang nominalnya apabila dikalkulasi tidak selaras dengan rasa
capek, pengorbanan dan resiko yang menghadang.
Sumber: Blog Masto |
Dari lomba balap
karung dan pukul air juga kita akan menemukan hal yang hampir sama. Coba
bayangkan! Peserta dipaksa untuk berlari dalam karung yang lebarnya tidak sampai
satu jangkah kaki. Kalau salah strategi pasti dia akan jatuh tersungkur dan jontor dah tu mulut sama hidung. Pada
saat seperti itu para penonton akan meramu tawa, rasa setengah kasihan dan
tepuk tangan untuk memberikan semangat. Ramuan diatas dengan mengurangi sisi
kasihannya juga ditemukan pada saat peserta lomba tampek banyu berjalan (bahkan
ada yang berlari) menuju tempat kosong. Dia menyambar apa yang ada di kanan,
kiri dan atasnya dengan tangan. Penonton akan berteriak, “Ayo.. ayo… pukul lagi!”,
padahal bungkusan air jauh dari jangkauan. Tidak manusiawi banget kan ? Tapi, tidak apalah.
Plorodan jambe, balap karung dan pukul air sudah terlanjur terkenal dan tidak
rame apabila tujuh belasan tidak dimeriahkan dengannya.
Sebenarnya, apa
sih hikmah yang dapat kita petik dari perlombaan wajib dalam tujuh belasan
tersebut? Apakah terkandung nilai positif sehingga tercetus perlombaan yang
sangat menguras tenaga dan sangat beresiko itu. Apakah ini ajang untuk tertawa
dan bergelak saja? Dan, ngomong-ngomong siapa sih pelopornya dan mulai kapan ada?
Terus terang
saya tidak tahu siapa orang dibalik perlombaan itu dan mulai kapan perlombaan
itu menjadi penyemarak tujuh belasan. Dan untuk menjawab pertanyaan pertama
saya dapat menjawabnya dengan berbagai jawaban. Dibawah ini akan saya sampaikan
nilai-nilai positif yang dapat kita ambil darinya.
Plorodan jambe, nampek banyu dan balapan
karung adalah simbol keuletan dalam mendapatkan hal yang diinginkan. Untuk
konteks kemerdekaan, plorodan jambe dapat dimaknai dengan usaha keras dalam
meraih dan mempertahankan kemerdekaan. Logisnya begini, semua elemen masyarakat
baik yang berada dibawah, tengah dan atas adalah satu kesatuan utuh dalam
mempertahankan dan merebut kemerdekaan. Bila dalam konteks kekinian, plorodan
jambe dapat ditafsiri dengan usaha yang sangat ulet tanpa mengenal lelah untuk
meraih kemajuan dalam berbagai bidang. Walau harus jatuh-bangun, capaian itu
harus diraih.
Sumber: Creatur Magazine |
Plorodan jambe adalah simbol kebersamaan
dan bagi tugas. Iya. Orang yang berada paling bawah adalah simbol dari
masyarakat bawah pada umumnya. Mereka biasanya dijadikan pijakan orang lain
untuk meraih kesuksesan. Dia selalu menjadi bantalan orang lain untuk menggapai
tujuan. Akan tetapi, hal itu tidak mengapa dikarenakan injakan dan bantalan itu
demi tujuan bersama. Jadi, setelah capaian dan kesuksesan berhasil diraih
tentunya juga akan dinikmati bersama.
Selanjutnya
adalah adanya gotong royong untuk meraih tujuan bersama. Keempat, untuk
mendapatkan kemajuan yang diinginkan pasti dipenuhi resiko. Tapi, itu tidak
mengapa. Sebab usaha keras insya allah akan mendekatkan dengan sesuatu yang
diinginkan. Kelima, sportif dalam meraih tujuan.
Tidak berbeda
jauh dari makna filososfis plorodan jambe. Tampek banyu dan balapan karung juga
menyiratkan hal yang sama. Terutama dalam hal keuletan untuk mendapatkan tujuan
waalaupun nilai kebersamaan dan nilai yang lain tidak dapat ditemukan disana.
Ah, penulis
terlalu berprasangkan baik dalam menerka nilai filosofis dari
perlombaan-perlombaan itu. Mungkin saja perlombaan itu diciptakan untuk
refleksi kaum penguasa bahwa apapun dapat dilakukan asal dirinya dapat
menggapai tujuan. Si penguasa akan memanfaatkan suara rakyat dan apapun itu
demi kemaslahatan dirinya sendiri. Si penguasa juga akan berbuat curang seperti
menyongkol teman saat balap karung atau membuka sedikit penutup mata sehingga
nanti akan mendapat tujuan yang diinginkannya. Intinya, biarlah orang lain
menderita dan kita girang, tertawa sepuasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar