Rabu, 01 Mei 2013

Siapakah Al Azhari Sebenarnya?

Al Azhari adalah gelar yang tidak dapat disematkan kepada sembarang orang, tidak pula dianugerahkan kepada orang sembarangan. Gelar ini sedari dulu hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja, tidak sembarang orang berhak memakainya, dan bukan orang sembarangan jika berani menyematkannya.

Seseorang, dalam hal ini ulama tidak berhak menyematkan gelar Al Azhari di belakang namanya kecuali telah mendapatkan lisensi dari institusi dimana ia menisbatkan diri, atau mendapatkan pengakuan secara personal dari segolongan ulama  yang telah mendapatkan gelar tersebut untuk kemudian diakui secara terbuka oleh masyarakat umum. Tidak seperti akhir-akhir ini, dimana gelar keramat "Al Azhari" dijual untuk kepentingan sesaat dan didakwa oleh orang yang sama sekali tidak pantas menyertakan di belakang namanya.

Dari uraian singkat diatas, dapat dipahami bahwa ada dua jalur agar seseorang sah dan legal memperoleh gelar Al Azhari. Yaitu, pertama dengan menempuh jalur formal, dan kedua melalui jalur non formal. Jalur formal adalah dimana seseorang menjadi bagian dari atmosfer akademik kampus Al Azhar, yaitu terdaftar sebagai anak didik Al Azhar dan mengikuti jenjang demi jenjang sampai meraih strata akademik tertentu. Sedang yang kedua adalah orang-orang yang menempuh pendidikan non formal dalam naungan Al Azhar, semisal para pegiat ruwaq di masjid-masjid dan halaqoh-halaqoh ilmiyah dibawah bendera Al Azhar.  Masuk dalam kelompok ini, mereka yang bermanhaj sama dengan institusi Al Azhar. Contoh sederhananya adalah para ulama yang tidak berguru langsung di Al Azhar akan tetapi mengkaji buah karya ulama-ulama Al Azhar serta  searah dan sepemikiran dalam bermanhaj.

Cakupan dari golongan pertama terasa sempit, sedang cakupan dari golongan yang kedua terbilang sangat longgar. Gelar yang diperoleh dari golongan pertama bisa jadi gelar abal-abal, sedang  gelar yang diperoleh dari golongan yang kedua dapat dipertanggung jawabkan. Dari golongan pertama muncul Al Azhari palsu sedang dari golongan  yang kedua pasti dijamin bermutu.


Kampus dan masjid Al Azhar merupakan satu kesatuan yang berintegrasi dalam membentuk suluk dan mental para anak didiknya. Kehidupan di kampus dengan waktu terbatas dan dengan setumpuk diktat yang diajarkan tidak  dengan  utuh dirasa belum memadai untuk menjadikan anak didiknya siap guna. Maka, digelar lah pengajian dalam ruwak-ruwak masjid Al Azhar untuk menjembatani ransformasi ilmu mentah ya ada di dalam kampus agar menjadi matang. Tanpa adanya proses pematangan, ilmu yang didapat di dalam kampus akan utuh sebagai imu mentah tanpa dapat disantap.

Proses pematangan inilah yang nantinya akan menentukan kwalitas titel Al Azhari pada diri seseorang. Bila prosesnya sempurna maka akan menjadi Al Azhari sebenarnya, bila cuma mendapatkan kulitnya saja maka akan dikatakan Al Azhari imitasi atau boleh juga dinamai Al Azhari aspal, sedang yang sama sekali menjauh dari kegiatan kampus dan masjid Al Azhar kita sebut saja dengan Al Azhari abal-abal.  

Titel "Al Azhari Abal-abal" tersemat kepada mereka yang secara akademik mempunyai titel dari kampus Al Azhar akan tetapi suluk dan manhaj yang dianut sama sekali bersebrangan dan tidak mencerminkan suluk dan manhaj yang dianut oleh bapak dan ibu kandungnya, yaitu Al Azhar. Mereka menyusu dan menikmati pemberian dari bapak ibunya untuk kemudian membalasnya dengan tikaman dari berbagai celah dan arah. Mereka hanya mengunyah diktat tanpa "memamah" dan menelannya, atau pura-pura menelannya kemudian dimuntahkan hingga tak tersisa.  Mereka tidak mau menghadiri muhadhoroh di dalam kampus dan tidak mau berintegrasi dengan saudara tua dari kampus itu sendiri, yaitu masjid Al Azhar dengan ruwak-ruwaknya. Berkenaan dengan hal ini, syeikh Thontowi lebih berkenan menyebutnya dengan nama walad sifah, atau anak jadah dari Al Azhar.

Sependek pengetahuan penulis, ulama yang menyematkan gelar Al Azhari secara tertulis dibelakang namanya dapat dihitung dengan jari. Sederet ulama besar lahir dari Al Azhar akan tetapi, hanya beberapa gelintir saja yang menuliskan dibelakang namanya. Dalam khazanah klasik dan modern sering kali kita mendapati kata-kata "qola Al Azhari", apakah kedua kelompok diatas masuk dalam perkataan ini? jelas tidak. istilah ini mengacu pada satu ulama yaitu Abu Kholid Al Azhary, seorang pakar bahasa dan ahli fikih terkemuka. Di zaman ini ada ulama muda ahli hadits yang dibelakang namanya tersemat gelar Al Azhari, yaitu Usama Sayid Al Azhari. Mungkin juga dibelakang hari kalau dalam literatur hadits disebutkan Qola Al Azhari, pikiran pembaca akan langsung tertuju kepada beliau.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dirasa pantas menyematkan gelar Al Azhari dibelakang namanya. Takaran dan timbangannya sudah jelas. Dalam masalah furu', ushul, dan suluk mereka mengikuti  ulama kredibel yang mempunyai sanad bersambung pada Rasul. Tidak kemaki mengklaim hum rojul wa nahnu rojul, lebih tepatnya hum Ar rajul wa nahnu rojul, dengan adanya al kamaliyah di salah satunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar