Kamis, 14 Maret 2013

Wanita Terpelajar Itu.....

Beristrikan seorang wanita terpelajar adalah impianku semenjak aku mengetahui bahwa wanita tercipta untuk dijadikan pasangan hidup seorang pria. Wanita yang dapat memahamiku dan aku juga dapat memahaminya. Wanita yang dapat berbagi dalam setiap problematika hidup. Dan akhirnya takdir menyandingkan diriku dengannya. Wanita impianku.

Sayang, wanita terpelajar yang ada dirumahku ini adalah wanita yang sama sekali asing, mungkin juga ia berasal dari dunia lain. Wanita yang menghabiskan empat tahun untuk mempelajari satu disiplin ilmu. Satu disiplin ilmu yang dijadikan alat untuk memperdaya kaum pria.

Dia berbicara dengan keras didepan muka, memakai pakaian yang selayaknya dipakai pria, bermain di mall dan lebih sering mencumbu piano dari pada membelai anak-anak dan suaminya. Tidak ada yang ia gandrungi selain itu.

Jika aku bertanya kemana dia mau pergi dan kapan kembali, pasti bibirnya akan menjulur ke depan seraya menyemprotkan beragam kata. Katanya aku tidak percaya seratus persen padanya. Jika aku memberikan kepercayaan, ia mencela. Katanya aku tak pernah mencemburui sebagai sedikit ungkapan cinta. Jika aku memantik rasa cinta dan cemburu ia akan berkata "lebih baik kita berteman saja, sungguh perkawinan dengan asas pertemanan adalah sebaik-baik perkawinan". Jika aku berikan rasa persahabatan ia menyiratkan pentingnya berhubungan jenis. Jika aku bergairah untuk berhubungan jenis ia akan berkata padaku: Ah.... kamu lelaki liar".

Kami berada di kampung. Setiap waktu ia menggerutu. Kapan kita pindah ke kota. Akhirnya  kita pindah ke Kairo. dan setelah di Kairo penyakitnya juga tak kunjung sembuh. Kini ia mendesaku untuk pindah ke Amerika.

Dia wanita bobrok-ambisius sampai pada derajat sakit jiwa. Menginginkan kemustahilan menjadi kenyataan. Ia anggap gelar Diploma sastra Inggris dapat dijadikan alat untuk mendapatkan semuanya. Bekerja sehari penuh sbagaimana lelaki memburu rejeki. Setiap awal minggu ia pasti bergerak menuju rumah mertua. menyerahkan dua putri kami kepada nenek renta. Rumah kami lengang. Ibu mertua beralih profesi menjadi babu bagi menantunya. Walau sudah berusaha sekuat mungkin untuk menjadi pembantu yang baik, tak jarang menantunya menceramahi dengan kata-kata yang tidak pernah ku dengar dari seorang wanita terpelajar.

Kini aku yakin. Dia.. istriku itu bagian dari jiwaku yang selalu membuatku sakit.

Dia tak tahu menahu apa yang akan dia perbuat untuk dirinya sendiri atau dengn titel terpelajarnya,  atau dengan diriku sebagai suaminya. Dia juga sebenarnya tidak faham dengan makna keterpelajaran yang ada dalam dirinya. lantas, apa dosaku .. apa solusinya...



@@@@@@@@@
 

Sungguh dosamu adalah dosa berjuta-juta lelaki dan perempuan, dosa generasi bobrok yang tergesa-gesa menafsirkan arti kemajuan dan kebebasan, hal terpenting adalah perubahan itu. Tak soal beradu dengan goncangan-goncangan  dan letupan gerbong kereta zaman. Bertubrukan tanpa kenal ampun dan akhirnya terpental jauh ke dalam jurang.

Wanita modern yang kaget dengan arus kebebasan bertindak dan berkehendak. Kebebasan ya berbuat sesuai dengan kehendaknya, tanpa dibatasi aturan dan norma. Mereka Linglung, tidak tau apa yang akan diperbuat. Karenanya, pada waktu bersamaan terpental ke beberpa jalan bercabang.  Dia ingin berkeliling dunia. menginginkan cinta, sex, dan hura-hura, ya... cuma hura-hura semata. Dia berpikir akan kekunuoan dengan memandang kekunuon itu. Dia meneriakan hal-hal baru dari optik kebaruannya. Menuntut beribu hak tanpa satu pun memenuhi kewajibannya.

Dia seperti burung yang baru keluar dari sarang. Tak terpikirkans selain melanglang mayapada, mengepakkan dua sayapnya. Terbang ke delapan penjuru mata angin.

Solusinya adalah benturan.  Membenturkan . Tidak ada celah untuk lari dari benturan diantara kalian berdua. bergaulah dengan istrimu yang terpelajar itu seakan dia bukan dari kalangan terpelajar. Beri tahu dia -dengan  cara metode yang dia mengerti- bahwa makna terpelajar dan berbudaya adalah tanggung jawab.


Diterjemahkan dari "Lima Puluh Lima Problematika Cinta", Dr. Mushthafa Mahmud 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar