Minggu, 07 Agustus 2011

Jahiliyah Dan Pengkafiran

Jahiliyah dan Pengkafiran
 Dr. Muhammad Imaroh

Jika sebagian dari bentuk pemahaman Ustadz Al Maududy (1321-1399H/1903-1979M.) telah terlanjur berinteraksi dengan pemahaman “Kekuasaan” dengan bentuk mencampuraduk dan membuat samar... maka sang ustadz benar-benar telah berinteraksi dengan pemahaman istilah jahiliyah, sebuah interaksi yang membutuhkan kritik tematik dan pembenaran secara berani...
Jahiliyah dalam istilah Arab dan Islam adalah waktu jeda/kosong dan tidak ada syariat islam didalamnya, yakni sebuah periode diantara  dua rosul, dua risalah dan dua syariat, tanpa ada seorang rosulpun pada masa tersebut, dalam periode itu tidak ada agama yang benar sekaligus dapat menuntun umat, yang ada hanya perbuatan syirik dan animisme yang menjadi poros keyakinan mereka.[1] Dan orang-orang yang mengatakan dan mengarahkan gambaran masa jahiliyah pada masyarakat islam modern beserta peradaban, negara dan pemerintahannya, bertolak pada pemahaman bahwa “jahiliyah” adalah sebuah kondisi bukan periode waktu -dan diantaranya adalah Al Maududy dan orang-orang yang sepemahaman dengan beliau- benar-benar telah mengesampingkan kebenaran dari diri mereka sendiri ketika tidak mau untuk membedakan diantara adanya “campuran kotoran jahiliyah” dalam masyarakat islam modern dan adanya praktek “jahiliyah secara menyeluruh”dalam masyarakat. Jahiliyah secara menyeluruh diartikan tidak adanya syariat islam dan perubahan syirik dan animisme menjadi poros keyakinan dalam masyarakat...  Dan hal itu merupakan  statemen yang tidak diucapkan kecuali dari seseorang yang punya pandangan ekstrim.
Kondisi kaum muslimin pada masa beliau masih hidup tidak steril dari “kotoran jahiliyah”. Dan walaupun begitu, bagi orang yang punya akal sempurna tidak mungkin menggambarkannya sebagai masyarakat jahiliyah. Dalam kitab shohih Bukhori disebutkan: -dari hadits Jabir bin Abdillah-

قال: كنا فى غزاة, فسكع رجل من المهاجرين رجلا من الأنصار, فقال الأنصارى: يا للأنصار, وقال المهاجرى: يا للمهاجرين, فسمع ذالك رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: ما بال دعوى الجاهلية....دعوها فإنها منتنة [2]
Artinya: ia berkata: Kita dalam barisan perang, alkisah ada seorang sahabat muhajirin menampar seorang sahabat Ansor, terus sahabat Ansor berkata: celaka wahai sahabat Ansor!! dan sahabat Muhajirin juga berkata dengan ungkapan yang serupa. Rosululloh mendengar ucapan mereka, kemudian berkata: apa bagusnya panggilan dengan ungkapan jahiliyah... tinggalkanlah,sebab ia berbau busuk (tidak sedap didengar).
Adanya panggilan jahilliyah yang tidak enak didengar, dan terlontarnya kata-kata itu sampai-sampai pada lisan sebagian sahabat tidak diartikan bangkitnya  kembali peradaban jahiliyah secara menyeluruh. Contoh lain adalah sebuah hadits yang di ceritakan oleh Abi Dzar Al Ghiffary. Di ceritakan beliau memaki seorang laki-laki pada zaman rosululloh dengan cara menimpakan aib pada ibunya. Setelah kejadian itu laki-laki tersebut  mengadukan perkaranya kepada rosululloh. Rosul berkata pada Abi Dzar: Sungguh kamu seorang laki-laki yang masih menyimpan adat jahiliyah[3]. Masih adanya satu dua hal dari adat jahiliyah pada diri seorang sahabat besar Abi Dzar tidak lantas secara otomatis memasukan dirinya dalam kategori orang jahiliyah, sama sekali tidak! Tetapi Al Maududy  telah berangkat jauh mendahului kita dengan dakwaannya: “Musnah sudah kekuasaan ilahy  dari masyarakat muslim dan negara-negara islam” –apalagi tentang status peradaban masyarakat barat- dari landasan ini beliau berpendapat bahwa setiap masyarakat muslim dan negarannya dihukumi jahiliyah (karena mempraktekan sebagian adat jahiliyah) -dan dari situ kemudian meningkat pada pengkafiran- tanpa mengkafirkan orang perorang atau masyarakatnya  terlebih dahulu.
Bahkan dari poin  tadi beliau berpendapat secara serampangan bahwa dalam sejarah islam dan peradaban kaum muslimin semenjak masa akhir dari pemerintahan sahabat Utsman (47SH.-35H./577-656M.) telah dikuasai oleh cara hidup jahiliyah.
Beliau  telah menulis tentang ke-jahiliyah-an orang barat, ia berkata tentang masa jahiliyahnya: “Sungguh masa ini masa jahiliyah murni, baru, kontemporer dan modern...”[4]
Ia juga menulis tentang mundurnya peradaban islam, kebudayaannya, dan aturan sosial masyarakatnya,  mundur kembali pada masa jahiliyah semenjak akhir pemerintahan khalifah Usman bin Affan. Ia berkata: “Raihan gilang gemilang yang telah ditorehkan oleh nabi telah berjalan sesuai dengan jalurnya pada pemerintahan Abu Bakar (52SH-13H./573-634M.) dan Umar bin Khotob (40SH.-23H./584-644M.). Kemudian tampuk pemerintahan berpindah kepada Utsman bin Affan, dan raihan kegemilangan itu masih tetap terjaga pada beberapa tahun dari awal pemerintahannya...”
Akan tetapi kholifah yang ketiga ini  tidak mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang ada pada dua kholifah besar sebelumnya, sebagian dari sifat yang seharusnya ada pada diri seorang kholifah –untuk memerintah dan membuat kebijaksanaan- tidak melekat dalam dirinya, sifat-sifat yang secara sempurna tercermin dalam diri kholifah Abu Bakar dan Umar. Maka, tradisi jahiliyah menemukan jalannya kembali untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat islam, dan alirannya sungguh deras, walaupun sahabat Usman berusaha keras  membelokkannya dengan segenap kemampuan, akan tetapi beliau tidak sanggup tuk melawannya. Kemudian yang menggantikan beliau adalah sahabat Ali (23SH.-40H./600-661M.). Daya upayanya untuk mencegah prahara ini dan menjaga kekuasaan politik islam dari cengkraman jahiliyah telah dikerahkan semua, akan tetapi beliau tidak mampu untuk membendung kembalinya adat jahiliyah pada tatanan masyarakat. Dengan itu tamatlah masa khilafah yang sesuai dengan sistem kenabian, dan digantikan dengan Tyrant kingdom, dan dimulailah hukum dan kekuasaan yang berdiri atas aturan-aturan  jahiliyah sebagai ganti dari aturan islam.[5]
Kemudian Al Maududy meneruskan pernyataannya yang serampangan, ia menyatakan bahwa setelah pemerintahan Umar bin Abdul Aziz kaum muslimin berada dalam masa jahiliyah untuk selamanya dan dikuasai oleh kesesatan dan kebathilannya, ia berkata: “Krisis politik dan pemerintahan telah beralih setelah pemerintahan Umar bin Abdul Aziz menuju kekuasaan jahiliyah untuk selamanya, berdirilah kekuasaan Bani Umayyah, kemudian Bani Abbas, kemudian raja-raja Turki, capaian keberhasilan pemerintahan ini terangkum dalam wacana mengembalikan kembali filsafat Yunani, Romawi, kaum ajam, dan menyebar luaskannya pada masyarakat islam sesuai dengan bentuk asalnya, dan disisi lain tersebar pula –dengan kekuatan hukum dan keuangan negara- kesesatan-kesesatan era jahiliyah periode pertama dan kebatilannya dalam seluruh cabang ilmu, seni, peradaban, dan sosial.[6]
Al Maududy melanjutkan pernyataannnya, ia berkata tentang kembalinya masyarakat muslim pada era jahiliyah: “Secara alami hal itu berbarengan dengan trik untuk menjual filsafat Yunani, sastra dan seninya agar  laku dalam masyarakat islam, maka diadakanlah pembukuan ilmu-ilmu pengetahuan sesuai dengan gaya orang islam (ala islamy).[7] Peradaban yang berkembang dan menjulang di Cordoba, Baghdad, Delhi, dan Kairo semuanya tidak memasukan unsur islam dan juga tidak berhubungan sama sekali dengan islam, sejarahnya juga bukan sejarah islam, bahkan yang paling pantas adalah menuliskannya dalam catatan kriminal dengan tinta hitam...”!![8]
Dari pernyataan Al Maududy  yang ekstrim ini, -hal yang tidak dapat dibenarkan- Sayyid Quthb (1324-1386H/1906-1966M) dalam masa-masa cobaan dan ketegangan, saat dimana ia menulis buku Ma’alim Fi al Thoriq berkata: “Sungguh, sudah termasuk dalam atmosfir masyarakat jahiliyah sebuah komunitas yang menyangka dirinya sebagai komunitas muslim”
Komunitas ini tidak masuk dalam lingkaran masyarakat muslim bukan karena meyakini adanya Tuhan lain selain Alloh, dan bukan pula karena mereka mengedepankan syiar-syiar penyembahan kepada selain Alloh; akan tetapi mereka masuk dalam klasifikasi jahiliyah karena  tidak murni dalam beragama, yaitu hanya menyembah kepada Alloh saja dalam aturan kehidupannya, mereka –walaupun tidak meyakini adanya Tuhan selain Alloh- memberikan keistimewaan Ketuhanan kepada selain Alloh, kemudian mengikuti aturan lain yang dibuat  kekuasaan selaiNya, dari kekuasaan lain tersebut mereka menerima aturannya, syariatnya, nilai-nilainya, , adat dan tradisinya, dan mata pencaharianya...Posisi islam mengenai masyarakat ini terikat dalam satu ibarat: “Menolak pengakuan keislaman dari komunitas ini secara muthlak”[9]
Stempel islam dari komunitas ini menurut -Sayyid Quthb- hanya sebuah anggapan, karena –walaupun mereka tidak menyembah  selain kepada  Alloh- mereka telah nyata-nyata dekat dengan kekuasaan selain kekuasaanNya dalam segala segi kehidupan, dalam aturan, syariat, norma, pertimbangan, adat, tradisi dan mata pencaharian mereka.
Bahkan Sayyid Quthb lebih serampangan dibanding Al Maududy, disaat dirinya tidak mencukupkan diri  –seperti halnya Al Maududy- menghukumi masyarakat muslim dengan cap jahiliyah beserta negara, sejarah, budaya dan peradabannya, ia menyuarakan dengan lantang: “Wujud masyarakat muslim telah terputus semenjak beberapa abad yang lalu, yang paling penting sekarang adalah mewujudkan kembali umat dan masyarakat islam baru.”
Sayyid Quthb –secara serampangan- telah berpendapat sejauh ini.  Selanjutnya ia menulis dan dalam tulisannya ia berkata:  “Wujud umat islam dianggap sudah musnah sejak beberapa abad yang lalu, wujud umat islam tidak diartikan “bumi” dimana didalamnya islam hidup, juga tidak diartikan sebuah kaum yang secara turun temurun hidup dalam aturan islam, yang dinamakan umat islam adalah segolongan manusia yang kehidupannya, gambaran angan-angannya, bentuknya, nilai-nilainya, aturan-aturannya, pertimbangan dalam segala hal mengacu pada metode islam.
Masyarakat muslim tadi –dengan segala tanda-tandanya- telah terputus keberadaannya semenjak terputusnya pemberlakuan hukum Alloh dari atas muka bumi secara keseluruhan, oleh karena itu, masalah yang sebenarnya kita hadapi adalah masalah kafir dan iman, masalah syirik dan tauhid, masalah jahiliyah dan islam, dan seyogyanya inilah yang dijelaskan. Orang-orang itu bukan orang islam –seperti pengakuan mereka- mereka hidup dengan kehidupan jahiliyah, ini bukan islam sebenarnya, mereka juga bukan umat islam sebenarnya, seruan yang tepat sekarang adalah mengembalikan mereka (orang yang menganggap diri mereka muslim) kepada agama islam sebenarnya dan menjadikan mereka kaum muslimin baru.[10]
Begitulah Sayyid Quthb –Yarhamuhu Alloh- menghakimi umat kita ini -tidak melulu pada negara, masyarakat, dan peradabannya- dengan cap kafir, syirik dan jahiliyah. Melainkan Juga meniadakan keimanan, tauhid dan keislaman dari umat islam. Umat islam, ya... umat islam menurutnya bukan kaum muslimin sebagaimana pengakuan mereka! Tujuan dari seruan yang metodenya terangkum dalam buku Ma’alim Fi Al Thoriq adalah mengembalikan mereka dari kesesatan jahiliyah kepada ajaran islam, menjadikannya sebagai warga muslim yang baru.
Kemudian ia melanjutkan perkataannya dalam rangka mengukuhkan pernyataannya yang mebahayakan umat ini, “Sudah sepantasnya bagi para mubaligh untuk memahami bahwa ketika mereka mengajak umat manusia untuk membangun kembali agama (islam) ini, maka langkah pertama yang wajib mereka lakukan adalah mengajak umat untuk memeluk akidah islam walaupun mereka mengaku telah beragama islam dan catatan kelahiran mereka juga bersaksi atas keislamannya. Jikalau ada segolongan orang yang mau masuk agama islam, maka merekalah yang dinamakan masyarakat muslim sebenarnya.[11]
Apapun yang ada disekitar kita, dan apapun yang berada di dunia ini masuk dalam kategori jahiliyah, bahkan masa jahiliyah yang lebih petang dari jahiliyah yang ada sebelum islam. Meminjam ibarat Sayyid Quthb: “Sekarang, dunia ini (manusia) hidup pada masa jahiliyah ditinjau dari segi hal-hal fundamental yang darinya muncul mata pencaharian dan tatanannya, masa jahiliyah yang tidak mampu memberikan sedikit saja keringanan dan kemudahan dalam materi, pemenuhan kebutuhan pokok yang layak. Kita sekarang hidup pada masa jahiliyah, jahiliyah yang dulu digantikan oleh islam atau bahkan lebih petang dari jahiliyah zaman dahulu, setiap apa yang ada disekitar kita merupakan produk jahiliyah, angan-angan dan keyakinannya, adat dan tradisinya, sumber kebudayaan, seni dan sastra, syariat dan aturan hukumnya, sampai-sampai banyak hal yang kita anggap sebagai warisan budaya islam, sumber-sumber data keislaman, filsafat islam, pemikiran islam... semuanya  adalah produk yang berlabel  jahiliyah.[12]
Ini merupakan tingkatan serampangan yang paling ekstrim, dan pendapat ini belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah islam modern yang cerah, sama sekali belum pernah ada.
 Itu semua merupakan statemen yang ekstrim dalam periode islam modern, hal yang menjadikan tumbuhnya sebuah kelompok pemuda (kelompok ekstrim) yang sangat keterlaluan dan  melampaui batas dalam memahami beberapa elemen –kekuasaan, jahiliyah, pengkafiran-  membangkitkan perlawanan pada pemerintahan dimasanya, dan termasuk contoh dari orang-orang yang berkata  –dalam buku Al faridoh Al Ghoibah- :”Negara ini (Mesir) dihukumi negara kafir, walaupun mayoritas penduduknya beragama islam..dan hukum-hukum yang berlaku pada kaum muslimin sekarang adalah hukum-hukum orang kafir, bahkan hukum-hukum itu merupakan aturan yang dibuat oleh orang kafir dan dijalankan oleh kaum muslimin...setelah robohnya kekuasaan khalifah tahun 1924M, dan  hilangnya hukum-hukum islam secara menyeluruh...Penguasa-penguasa muslim tidak membawa islam kecuali hanya namanya, walaupun mereka sholat, puasa, dan mengaku dirinya seorang muslim. Tujuan kelompok jihad adalah menegakkan kembali  daulah islamiyah, dengan tujuan untuk mengembalikan islam yang benar pada umat islam, dan jalan untuk menuju kesana adalah dengan berperang... sesuatu yang tidak ada keraguan didalamnya  adalah: Berhala-berhala sesembahan di muka bumi ini selamanya tidak mungkin dapat hilang kecuali dengan memeranginya.. dan satu ayat yang membahas tentang peperangan dimana dalam ayat itu Alloh memberi instruksi  dan wejangan pada  kaum muslimin, Alloh berfirman:
فإذا انسلخ الاشهر الحرم فاقتلوا المشركين حيث وجدتموهم وخذوهم واحصروهم واقعدوا لهم كل مرصد5   
Artinya: Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka perangilah orang-orang musyrik dimanapun kau jumpai dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian.(Q.S. At Taubah ayat 5),Telah merombak – menurut  pemahaman anak-anak muda tadi- setiap ayat yang membicarakaan pemberian maaf, pengampunan, dan menghindarkan diri dari berseteru. Mafhum aulawy dari ayat tadi –dalam jihad dan peperangan- adalah serupa dengan penguasa-penguasa kafir itu, tidak serupa dengan penjajahan, penjajahan merupakan musuh yang terbilang jauh, sedang penguasa-penguasa kafir itu musuh yang dekat, maka wajib bagi kita untuk memusatkan perhatian kita pada masalah keislaman yaitu menegakan syariat islam di negara kita dan menjadikan kalimat Alloh sebagai kalimat yang luhur...mengawali kegiatan kita dengan masalah penjajahan terbilang mengerjakan pekerjaan sepele, medan jihad yang pertama adalah mencopot penguasa-penguasa kafir dan menggantinya dengan aturan islam yang sempurna, dari sinilah dimulai babak baru.[13]
Kelompok ini –sebuah kelompok yang suka kekerasan, ambisius dan suka memprotes-  memulai gerakannya dibawah jaket statemen yang ekstrim: kekuasaan... jahiliyah...pengkafiran..tanpa tedeng aling-aling berkoar:
ü  Hukum-hukum islam  secara keseluruhan telah tercabut dari muka bumi
ü  Masyarakat islam telah mengganti hukum-hukum islam dengan aturan-aturan kafir
ü  Pemimipin-pemimpin muslim pada zaman sekarang tidak membawa islam kecuali hanya namanya saja, walaupun mereka sholat, puasa dan mengaku bahwa dirinya termasuk muslim
ü  Perang adalah satu-satunya jalan untuk menghilangkan berhala-berhala sesembahan
Begitulah, silih  berganti statemen-statemen ekstrim mewarnai kehidupan kita dizaman modern ini, untuk selanjutnya menjadi sesuatu yang biasa dalam realitas kehidupan kita. Kisah ini diawali beberapa statemen:
ü  Terjadinya paradoks antara kekuasaan Tuhan dan kekuasaan manusia manapun
ü  Karena masyarakat modern beserta apa yang ada dalam masyarakat islam dan negaranya –dengan tingkatan yang berbeda-beda-  telah menerima kekuasaan manusia, maka komunitas muslim ini beserta negaranya benar-benar telah mundur kembali pada masa jahiliyah, malah lebih parah dan lebih menyimpang bila dibandingkan dengan era jahiliyah pertama, sebuah masa yang berahir dengan munculnya agama islam.
ü  Dari poin diatas maka komunitas muslim yang kita bicarakan tadi telah nyata-nyata kafir, walaupun mereka tetap bersikukuh mengatakan dirinya memeluk agama islam dan bagian dari kaum muslimin; karena gambaran-gambaran komunitas tadi –apalagi kebudayaan dan peradabannya- tidak mencerminkan keislaman.
ü  Perintah yang mewajibkan menghunus senjata –yang mereka (para kaum muda itu) menyangka telah menghapus seluruh ayat yang memerintahkan untuk berbuat kasih sayang, memberi pengampunan, menghindarkan diri dari peperangan, pemberian maaf dan bersabar- adalah dalam rangka untuk mengembalikan kaum muslim kepada agama islam yang sebenar-benarnya (islam yang baru).
ü  Begitulah, telah terbukti perpecahan umat islam menjadi 73 golongan, semuanya celaka kecuali mereka yang berpegang pada poin-poin yang telah tersebut diatas, merekalah satu golongan yang akan selamat!
Itulah perkataan-perkataan ekstrim dalam mengkafirkan segolongan umat, dan menghukumi masyarakatnya dengan cap jahiliyah, pernyataan-pernyataan tadi merupakan pernyataan yang ditarik kembali oleh orang yang mengatakannya –alhamdu lillah- ketika menulis dan menyebarkan pernyataan penarikan kembali atas pemikiran-pemikiran mereka pada akhir abad duapuluh.
Kita patut bersyukur karena pemikiran mayoritas umat islam dengan berbagai aliran pemikiran mereka masing-masing telah terbukti –selamanya- senantiasa berpegang teguh pada jalur tengah dan keseimbangan, menolak dan mengkritik pemikiran ekstrim dalam masalah jahiliyah dan pengkafiran. Mayoritas umat islam dan mayoritas ulamanya senantiasa setia pada manhaj islamy yang menolak  kecendrungan untuk mengkafirkan. Hal itu berdasarkan pada Al Quran, sunnah nabawiyah dan keseimbangan berfikir, hal yang menguasai cara pandang dan aliran-aliran pemikiran sepanjang sejarah islam.
Alloh berfirman:    
يآ أيها الذين آمنوا إذا ضربتم فى سبيل الله فتبينوا ولا تقولوا لمن ألقى إليكم السلام لست مؤمناتبتغون عرض الحيوة الدنيا فعند الله مغانم كثيرة كذالك كنتم من قبل فمن الله عليكم فتبينوا إن الله كان بكم بما تعملون خبيرا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) dijalan Alloh, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu: “kamu bukan seorang mu’min(lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda di dunia, karena disisi Alloh ada harta benda yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Alloh menganugerahkan ni’matNya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Alloh maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S.An Nisa:94)
Imam Al Qurthuby (671H./1273M.) berkata dalam menafsirkan ayat tadi: “Dalam instruksi Ilahy tadi, Alloh menunjukan ada satu bab besar dalam ilmu fiqh yang terkandung didalamnya, yaitu: Pengambilan hukum digantungkan atas masalah-masalah yang bersifat dzohir dan dzonny, tidak digantungkan pada masalah yang bersifat qoth’y dan bathin, makanya Alloh tidak menjadikan selain dari hukum dzohir bagi para hambanya.[14]
وعن أسامة بن زيد, قال: بعثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فى سرية فصبحنا الحرقات(مكان) من جهينة, فأدركت رجلا فقال: لآاله الاالله, فطعنته. فوقع فى نفسى من ذالك, فذكرته للنبى صلى الله علية وسلم, فقال: أقال لآاله الاالله, وقتلته؟؟ قال: قلت يا رسول الله إنما قالها خوفا من السلاح. قال صلى الله عليه وسلم: أفلا شققت عن قلبه لتعلم أقالها أم لا؟ فما زال يكررها حتى تمنيت أنى أسلمت يومئذ.[15]
Diceritakan dari Usamah bin Zaid, ia berkata: Rosululloh mengutus kita dalam barisan perang, dan diwaktu pagi kita semua sudah berada didaerah Juhayna, pada saat itu saya menemukan seorang laki-laki, ia mengucapkan lafadz LAA ILAAHA ILLA ALLOH, dan tanpa pikir panjang saya tusuk laki-laki itu. Kejadian itu mengusik ketenangan hati, sehingga saya mengadukannya kepada Rosululloh. Beliau bersabda: Bukankah ia mengucapkan laa ilaaha illa Alloh dan kau tetap saja membunuhnya? Zaid berkata: saya menjawab: Wahai rosululloh, ia mengucapkan kalimah Laa  ilaaha illa Alloh hanya lantaran takut. Rosul bersabda: Tidakkah kau bedah hatinya supaya kau dapat melihat apakah ia bersungguh-sungguh mengatakannya atau tidak? Rosul berkali-kali mengulangi perkataannya sampai-sampai saya berharap saya dapat masuk islam (lagi) pada hari itu.
Dalam penjelasan hadits tersebut diatas, Imam Nawawy (631-676H./1233-1277M.) mengemukakan pendapatnya: “Kamu hanya dibebani untuk mengamalkan hal yang sudah nyata-nyata jelas (dzohir) dan apa yang dikatakan oleh lisan, adapun masalah hati kau tidak mempunyai jalan untuk bisa mengetahui apa yang ada didalamnya”
Hujjatul Islam Abu Hamid Al Ghozaly (450-505H./1058-1111M.) mengatakan:”Tidak tergesa-gesa dalam mengkafirkan orang lain kecuali segolongan orang-orang bodoh. Sudah seyogyanya kita  menjaga diri dari mengkafirkan orang lain selama masih ada jalan yang bisa ditempuh untuk menghindarinya, karena menghalalkan darah dan harta orang yang masih mau sholat menghadap kiblat, orang yang jelas-jelas mengucapkan Laa ilaaha illa Alloh Muhammad Rosululloh adalah sebuah kesalahan, dan kesalahan dalam meninggalkan seribu orang kafir (membiarkannya tetap hidup) dianggap lebih ringan daripada kesalahan dalam menumpahkan satu gelas darah orang islam.
Syaikh Muhammad  Abduh berkata: ”Sesungguhnya Alloh tidak menjadikan bagi seorang kholifah, seorang mufti, dan tidak pula bagi pemuka islam suatu kekuasaan terendahpun menyangkut masalah akidah dan ketetapan hukum atasnya, dan salah satu dari mereka juga tidak boleh mengaku punya hak kontrol atas keimanan seseorang atau ibadahnya atau merintangi jalan pemikirannya.”
Didalam agama islam, agama hanya diberi ruang untuk memberikan nasihat yang baik, mengajak kepada kebaikan dan menghindar dari hal-hal yang jelek, ini merupakan ruang kekuasaan yang diberikan kepada strata kaum muslim terendah, agar dapat menegur orang yang statusnya berada diatasnya, sebagaimana Alloh menganugerahkan pada orang yang memiliki status yang lebih tinggi memperoleh kekuasaan dari yang lebih rendah. Seorang  muslim tidak punya wewenang/hak (untuk mengatur, apalagi memaksakan kehendaknya)  –selagi kakinya masih berpijak kepada agama islam-  kepada orang lain – dalam keadaan terpuruk didalamnya- kecuali hak menasehati dan memberikan petunjuk.
Masyhur dikalangan kaum muslimin dan juga terkenal dari kaidah hukum agama bahwa jika keluar  satu ucapan yang kelihatannya mengarah kepada kekafiran ditinjau dari seratus segi dan mengarah pada keimanan dari satu segi maka ucapan itu harus diarahkan pada keimanan , tidak boleh diarahkan pada kekafiran.[16]
Begitulah kiranya islam memberitahukan –sepanjang keterangan Al Qur’an dan penjelasan hadits untuk menerangkan Al Qur’an dan sepanjang pemikiran islam- pentingnya menjaga iman dari perbuatan  mengkafirkan secara sembrono dan kesembronoan dalam mengkafirkan.
Jika ini merupakan contoh dari ekstrimisme beragama –sebagaimana tampak jelas dalam kecenderungan dalam mengkafirkan dan menghukumi masyarakatnya dengan cap “Jahiliyah” yang timbul secara otomatis dari pengkafiran tadi, maka ada corak lain dalam ekstrimisme pemikiran  yaitu ekstrimisme ala Atheis yang berjalan menuju sisi lain... dan bersebrangan...
Jikalau orang-orang jumud dan muqollid berhenti pada dzohir nash dan harfiyahnya, menolak corak manapun dari corak-corak ta’wil atau menjaga maqoshid nash, maka ekstrimisme mendasar ala Atheis mengarah pada ta’wil sembrono (absurd) dan tidak kredibel pada semua nash, dengan dalih tidak ditemukan satu nashpun yang tidak mungkin untuk dita’wil.[17]
Jika semua agama.. filsafat ketuhanan.. semuanya telah bersepakat  –sepanjang sejarah manusia- bahwa Tuhanlah pencipta manusia, maka ekstrimisme ala Atheis berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan Tuhan. Hal itu –berdasarkan persangkaan mereka- bahwa manusia yang tersia-sia/gagal, lemah, bodoh, dan diperbudak orang lain  telah menciptakan suatu dzat  yang dalam diri dzat tersebut akan disematkan sifat-sifat yang dulunya terhalang untuk disematkan, untuk kemudian menjadikannya sebagai Tuhan dan sekaligus menyembahnya.  Jikalau manusia itu tidak terbebas dari sifat lemah, kebodohan, perbudakan, dan kegagalan, maka tidak ada gunanya melanggengkan Tuhan yang berbalik menjadi makhluk itu! Malah mereka mengajak untuk menghapus kata ALLOH (TUHAN) dari bahasa dan menggantinya dengan kalimah manusia sempurna. Mengenai hal itu, mereka mengatakan: “Sesungguhnya Alloh tidak mempunyai wujud dzatiyah yang dapat membedakan (antara dirinya dengan makhluknya), dan sifatnya juga bukan sifat-sifat  yang melekat pada dzat yang harus ada (wajibatul wujud) –wujud yang membedakan dengan watak, kenyataan dan manusia. Tuhan hanyalah –menurut pandangan persangkaan mereka- bentuk kreasi manusia yang gagal ketika tidak mampu untuk menggambarkan (menyatakan) dzatNya yang meiliki sifat hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, maha mendengar, maha melihat, berfirman, berbuat sesuai kehendakmu, maka manusia tadi menciptakan dzat yang pantas menerima sifat-sifat yang tidak mampu ia nyatakan, disebabkan kegagalan yang ia alami. Ketika ia bisa bangkit dan mampu mengejawantahkan sifat-sifat tadi pada dzatNya, maka lembaran ini terlipat kepada lembaran-lembaran ilmu ilahy, dan jadilah tembung “manusia sempurna”. Kalimat manusia sempurna ibarat sebaga ganti dan malah lebih cermat dalam menerangkan kalimat Alloh/Tuhan, yang  ternafikan kebenaran wujudnya hingga dalam bahasa.
Ya, pengikut aliran ekstrim ala Atheis menukil maqolah “Pencerahan mendasar orang barat” (attanwir al wad’iy alghorb) dan meleburkannya kepada pemikiran islam, terus mereka berkata: “Sesungguhnya Tuhan adalah lafadz yang digunakan untuk menyuarakan jeritan kepedihan dan teriakan kebahagiaan, yakni sebuah ungkapan sastra yang lebih banyak menggambarkan realita dan ungkapan tulisan yang lebih menggambarkan berita, tidak mengungkapkan tentang makna yang paten.[18]
Alloh, menurut aliran pemikiran mereka merupakan wujud yang tunggal, gambaran abstrak, atau  sumber yang  tersembunyi, semua tashowur ini dalam kenyataannya merupakan elemen manusia yang menjelaskan batas maksimum keistimewaan manusia. Maka, manusia menciptakan bagian dari dzatnya sendiri dan menganggapnya sebagai Tuhan, yakni manusia mencipatakan sesembahan sesuai dengan gambarannya, dia menta’wili mimpinya dan keinginannya, lalu menggambarkannya sebagai sesuatu yang punya wujud  dan menyembahnya, dzat Tuhan merupakan dzat manusia dalam gambarannya yang paling sempurna, dalil manapun yang mengungkapkan ketetapan wujud Alloh hanya akan mengungkapkan kesadaran palsu.[19]
Kemudian beranjak kepada pena’wilan absurd –tidak sesuai dengan aturan bahasa dan keyakinan yang mengakar- mereka menghilangkan akidah “Wahyu Ilahy” terhadap para nabi dan utusan... mengenai hal itu, mereka mengatakan: “Akal sama sekali tidak membutuhkan pertolongan, dan juga tidak ada hal yang dapat menyimpang darinya...[20] wahyu tidak memberikan kepada  kemanusiaan sesuatu yang tidak mampu untuk ia atasi sendiri dari dalam dirinya.[21] Dan gambaran yang diberikan para pendahulu bahwa hal itu (kemampuan mengatasi masalah) berasal dari wahyu Alloh, saya garis bawahi bahwa hal itu merupakan hasil budaya manusia.[22]
Selanjutnya mereka mengklaim tergulungnya lembaran agama dari  wujud (aktifitas) manusia, mereka berkata: “Kemajuan manusia digadaikan pada evolusi manusia dari agama ke filsafat, dari iman ke akal, dan dari Alloh sentris menuju manusia sentris sehingga sampai pada fase sempurna, dan tumbuhlah masyarakat berakal yang cemerlang.”[23]
Terus berlanjut pada provokasi rasa keimanan pada umat, menganulir sakralisasi hal-hal yang diyakini kesuciannya, salah satu dari mereka berkata: “Sungguh Al Qur’an membicarakan  segala  sesuatu, tanpa membicarakan sesuatupun(yang bermanfaat)[24]
Yang lainnya mengatakan: ”Sesungguhnya sakralisasi terhadap kitab-kitab yang disucikan telah terlepas dan terobek dengan lantaran adanya syair-syair, tanda-tanda iklim (keadaan hawa), kesembronoan pemikiran dalam beristidlal... kondisi politik, sosial, budaya.... dan selamanya kita tidak mampu menjauhi problem-problem theologi jikalau pandangan kita terhadap Al Qur’an terus menerus menganggapnya  sebagai nash agama yang tinggi, berisikan kebenaran  yang senantiasa dijadikan sebagai media untuk menghadirkan Alloh dalam hati, seharusnya kita memandang Al Qur’an bukan sebagai suatu perkataan yang datang dari atas, melainkan pada dasarnya Al Qur’an merupakan kreasi baru, sama seperti kejadian fisika dan biologi.[25]
Yang ketiga berkata: “Satu keharusan bagi kita untuk  menghilangkan lingkaran cahaya kesucian dari wahyu Alloh dengan cara menelanjangi kesakralan cerita legenda, anggapan luhur, dan sakralisasi yang biasanya terdapat dalam pesan Al Qur’an.[26] Hal itu untuk merealisasikan fungsi akal sebagai  sumber referensi dan kekuasaannya, dan menempatkan kepemimpinan manusia dan kontrolnya atas alam  pada tempat imprealisme dzat Tuhan dan hegemoninya atas makhluk.[27]
Begitulah, kita dapat menemukan diri kita diantara dua warna dari ekstrimisme:
Ø  Gerakan ekstrimisme orang-orang yang memandang dalam kekuasan Tuhan terdapat pembatalan kekuasaan manusia dan umat. Mereka menghakimi orang-orang yang mempraktekan kekuasan ini dengan sebutan jahiliyah, kufur dan keluar dari agama islam
Ø  Ekstrimisme orang-orang yang menafsiri kekuasaan manusia sebagai bentuk penolakan terhadap kekuasaan Alloh, mereka mengajak kepada penghapusan agama dan beragama dari kehidupan manusia, dimulai dari menghapus Alloh, wahyu, masalah kenabian dan risalah dan dipungkasi dengan masalah akidah, kesakralan, syariat, nilaai-nilai, dan akhlak.
Dan masih tersisa –kita masih berhadapan dengan bermacam-macam ekstrimisme dan radikalisme- kewajiban kita untuk  menjaga keseimbangan yang menyeluruh  diantara kekuasaan ajaran-ajaran samawy dan kekuasaan umat yang diartikan sebagai ganti dari kekuasaan Alloh.
Sungguh Alloh telah menurunkan Al Qur’an dan khikmah.. yakni kebenaran yang di wartakan oleh wahyu .. dan kebenaran yang merupakan hasil penciptaan akal manusia.
Sungguh Alloh telah mengilustrasikan syariat Tuhan sebagai poros bagi kekuasaan manusia baik pribadi atau golongan –dan Alloh memberikan kekuasaan untuk membangun alam ini dalam memutar halal dan haram... dan begitulah seterusnya. Mengkompromikan akal dan agama dalam Al Qur’an, mu’jizat pamungkas dan abadi bagi pungkasan para nabi dan rosul- baginya dan bagi seluruh nabi dan rosul teruntuk sholawat dan salam.

@@@
Tulisan ini terjemahan dari ulasan Dr. Muhammad Imaroh dalam bukunya Izalah Syubhat 'An ma'ani Al Mushtholahat (menghilangkan kesamaran atas arti dari istilah) cet. Dar Salam 



[1] Ibnu Mandzur: Lisanu Al ‘Arab, cet. Dar Al ma’arif, Kairo. Al Mu’jam Al Wasith, Majma’ lughot Al ‘Arabiyyah, cet. Kairo, thn. 1392H./1972M. Dan Mu’jam Alfadz Al Qur’an Al Karim, Majma’ Lughot Al ‘Arabiyyah, cet. Kairo, thn. 1970.
[2] H.R. Bukhori, Muslim, Ibnu Hibban dalam kitab sohihnya
[3] H.R. Buhori, Muslim, Tirmidzi, abu Dawud dan Imam Ahmad
[4] Al Maududy: Al Hukumah Al Islamiyyah hal. 55 dan 113. Dan Mujaz Tarih Tajdid Al Din Wa Ihyaihi hal. 16, terjemah Muhammad Kadzim sabbaq, cet. Beirut, thn. 1975.
[5] Mujaz Tarih Tajdid Al Din Wa Ihyaihi hal. 34-37.
[6] Ibid, hal. 63,64.
[7] Ibid, hal. 39
[8] Al Hukumah Al Islamiyyah, Hal. 171.
[9] Sayyid Quthb: Ma’alim Fi Al Thoriq, Hal. 101,103, cet. Beirut, thn. 1400H./1980M.
[10] Ibid, hal. 8, 173.
[11] Sayyid Quthb: Ma’alim Fi Al Thoriq, hal. 40
[12] Ibid, hal. 10, 21.
[13] Muhammad Addussalam Faraj: Al Faridhoh Al Ghoibah, hal. 3, 7-9, 27, 28, 25, 33. Buku ini diterbitkan secara rahasia. Kita merujuk teks aslinya pada catatan-catatan putusan pembunuhan berencana terhadap Presiden Muhammad Anwar Saadat –Oktober 1981- lht. Buku saya Al Faridhoh Al Ghoibah: ‘Ardhu wa Hiwar wa Taqyim, cet. keII, Beirut, thn. 1983. 
[14] Al Jami’ Liahkamil qur’an(5/339,340) cet. Dar Kutub Al Mashriyah
[15] HR. Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad
[16] Al A’mal Al Kamilah karangan Imam Muhammad Abduh (3/283-289), editing: Dr. Muhammad Imaroh, cet. Beirut thn. 1972.
[17] Dr. Hasan Hanafi: Min Al ‘Aqidah Ilaa Tsauroh(1/397,398) cet. Beirut, Kairo, thn. 1988.
[18] Dr. Hasan Hanafi: Al Turats Wa AT Tajdid, hal. 128, cet. Kairo, thn. 1980.
[19] Dr. Hasan Hanafi: Min Al ‘Aqidah Ilaa Tsaurah(1/88,89)(2/46,639).
[20] Ibid.(4/135, 848)
[21] Dr. Hasan Hanafi: Tarbiyat Al Jinsi Al Basyari, Muqodimah(101), cet. Kairo, thn. 1977.
[22] Dr. Hasan Hanafi: Majalah Qodhoya Mu’ashiroh Islamiyah, edisi 19, Beirut, thn. 1423H/2002M.
[23] Dr. Hasan Hanafi: Dirosat Islamiyah, hal. 127, cet. Beirut, thn. 1982.
[24] Dr. Thoyib Quzainy: An Nash Al Qur’any, hal. 23.

[25] Dr. Muhammad Arkoun: Al Qur’an Min At Tafsir Al Mauruts Ilaa Tahlil Al Khithob Ad Diny, hal. 25,26, cet. Beirut, thn. 2001. Dan Al Islam Wa At Tarih wa Al Hadatsah, hal. 25. Majalah Al Wahdah –Maroko- edisi thn. 1989. Dan Tarihiyyah al Fikri Al ‘Arabi Al Islamy, hal. 284. 
[26] Dr. Ali Harb: Naqdu An Nash, hal. 203, cet. Beirut, thn. 1993.
[27] Dr. Ali Harb: Koran Al Hayat –London- edisi 18 Nopember1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar