Selasa, 14 September 2010

Dari Ketiadaan Aku Ada Part I

Sebenarnya perasaan ini sudah muncul jauh sebelum tangan ini berkeinginan menuliskannya. Tepatnya aku tidak tau, tapi yang jelas perasaan ini muncul tiap kali ada momen yang menuntut pemberian berupa materi dari seorang kakak terhadap adiknya. Lebih-lebih mendekati situasi lebaran seperti saat ini.

Kemarin malam, tepatnya malam ke Sembilan belas di bulan Romadhon yang penuh berkah ini, aku tak sengaja melangkahkan kaki di pusat belanja rakyat, pasar Helwan namanya. Sebuah pasar yang menjadi sentra pemenuhan berbagai kebutuhan rakyat. Tepatnya segala macam jenis kebutuhan rakyat, karena disitu menjajakan segala bentuk pemenuhan kebutuhan, atau dalam bahasa saya dapat dikatakan lengkap-lengkip. Ya.. pasar Helwan benar-benar menjadi sentra pemenuhan kebutuhan rakyat.

Pada hari-hari biasa pasar ini biasanya buka dari jam 09.00 pagi sampai tengah malam dan pada hari-hari bulan puasa kegiatannya di rubah menjadi dari waku dzuhur sampai menjelang subuh. Barang-barang yang diperjual belikan tidak jauh beda dari hari-hari biasa. Hanya saja yang mencolok mata adalah geliat masyarakat yang sangat antusias bahkan dapat dikatakan sangat agresif untuk mendatangi pasar ini pada waktu malam. Sesuai dengan pengamatan, pasar ini menjadi lautan manusia dari jam 22.00 sampai jam 01.00. pada waktu ini jangan harap bisa bergerak dengan leluasa, karena disamping kanan, kiri, depan, dan belakang pasti ada orang. Hingga untuk dapat bergerak kedepan perlu perjuangan ekstra. Untung saja saya bertubuh kecil, hingga tidak terlalu repot untuk melewati orang-orang yang tinggi dan berat badannya rata-rata dua setengah kali lipat dari badan saya. Dan disaat itulah mata ini melihat anak kecil yang sedang meronta-meronta dan menangis tersedu karena kepengin dibelikan baju.

Deggg, perasan itu seketika muncul. Diawali dengan remang-remang  bayangan adik-adiku di desa, kemudian dengan bapak, simbok dan klipingan kehidupan yang menyertainya. Butir-butir bening menetes dari pelupuk mata tanpa dapat tertbendung.

Sebagai anak laki-laki tertua dalam keluarga, sudah sepantasnya akulah yang kini dapat dijadikan tumpuan ekonomi keluarga. Disamping statusku tidak dapat dikatakan sebagai seorang remaja lagi, uban di kepala ayahku juga sudah tidak dapat disembunyikan. Tapi, apa hendak dikata, untuk mengganjal perut saja aku masih mengandalkan uluran tangan dari keduanya.

Berbeda dengan acuan rata-rata keluarga di desa yang menitik beratkan pengarahan anak-anaknya terhadap kesejahteraan mereka di masa depan, baik dengan cara menyekolahkannya pada sekolah-sekolah yang nantinya dapat memberikan pekerjaan, atau dengan mengajarinya pekerjaan yang sudah turun menurun diwariskan oleh leluhur atau dengan merantau dan lain sebagainya, keluargaku tidak. Mereka hanya menuntut agar akujadi orang benar. Itu saja, tak lebih. Hal itu ku terjemahkan dengan sekolah dengan rajin dan sekolah diniyah pada sore hari dilanjutkan dengan mengaji al qur'an ba'da maghrib. Kegiatan rutin ini berlanjut hingga aku menamatkan sekolah menengah pertama.

Babak selanjutnya merupakan awal dari perjalanan berliku yang ku tempuh, dan factor utama atas ketidak mampuanku untuk sedikit meringankan beban ekonomi yag menghimpit keluarga. Pilihan pertama untuk melanjutkan jenjang pendidikanku adalah MAPK. Disamping bermaterikan pelajaran agama, sekolah ini juga membekali anak didiknya dengan pelajaran umum. Dengan komposisi pelajaran tersebut tidak menutup kemungkinan setelah tamat dari sekolah ini dapat meretas jalan menuju kemapanan ekonomi dimasa depan. Karena alumnus dari sekolah ini berkesempatan melanjutkan ke perguruan tinggi baik negri ataupun swasta, dan yang berprestasi malah dapat beasiswa ke luar negri. Setahuku dulu perguruan-perguruan tinggi yang mentereng, Al Azhar contohnya. Pandangan mereka terhadap kehidupanku di kemudian hari menggeser prioritas yang sedari semula tertanam. Dari yang semula cukup dengan menjadi orang yang benar, sekarang  bertambah dengan kemapanan di hari mendatang. Mungkin hal itu pengaruh dari hantaman krisis global dimasa itu dan factor-faktor lain yang mengubah pandangan mereka. Bersamaan dengan itu pula, harapan mereka harus kandas karena keterbatasan informasi dan akses menuju MAPK. Usaha mereka tidak serta merta harus berhenti. Niatan untuk menjadikanku seorang yang mempunyai bekal yang cukup dalam bidang umum dan agama mengantarkanku pada sebuah pesantren bahasa. Tapi, lagi-lagi taqdir tidak memuluskan langkahku. Perasaan selalu membuat repot terhadap kedua orang tua selalu menghantui, padahal mereka tidak keberatan harus menggelontorkan biaya demi pendidikanku. Mungkin ini imbas dari kelahiranku yang punya weton selasa wage yang menurut horoskop jawa punya sifat terlalu perasa. Ya.. aku memang selalu dihantui perasaan merepotkan keduanya. Mereka  selalu meyakinkanku agar terus meneruskan pendidikanku disana, akan tetapi perasaan itu selalu menghantuiku sehingga tanpa meminta ijin dari keduanya ku putuskan keluar. Ah,, suatu keputusan yang menenggelamkanku dalam rasa sesal berkepanjangan. Mereka sangat terpukul dengan keputusanku. Sehingga membiarkanku terlunta-lunta dalam kegelapan selama hampir dua tahun. Aku merasa asing di rumahku sendiri. Mereka tidak mau berbicara lagi. Hidup ini tersa sangat sepi. Aku pun menutup diri dari pergaulan. Untung saja Alloh masih berkenan menunjukan jalan yang lurus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar