Senin, 17 Oktober 2011

Gus Emen


Dewasa ini gelar Gus menempati posisi gelar kedua ter-ngetrend dalam ranah publik setelah gelar Kyai Haji. Nama-nama Gus yang berseliweran dalam media diantaranya adalah gus dur, gus mus, gus ipul, gus miek, gus sholah dan gus-gus yang lain. Tidak tau pasti dari mana istilah itu muncul, yang pasti gus adalah sebutan penghormatan kepada putra kyai.

Nama gus mungkin diambil dari bahasa arab yaitu Al Ghauts, nama bagi pemimpin para wali - sebagaimana dipaparkan oleh Ibnu ‘Araby dalam Futuhat al Makkiyah -dan kemudian menjadi istilah tersendiri dalam masyarakat Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Istilah gus ini pada awalnya diperuntukan bagi putra kyai pemangku pondok pesantren sebagai bentuk penghormatan, akan tetapi dewasa ini istilah itu seakan tereduksi, sampai-sampai ada orang yang hanya punya kemampuan pas-pasan dalam bidang perdukunan atau menyadarkan orang yang pingsan (baca;kesurupan) dipanggil dengan nama gus, anak kyai langgar cilik juga dipanggil dengan Gus Lc, anak guru ngaji alif, ba, ta yang kebetulan lama belajar di pesantren juga dipanggil dengan sebutan gus. Juga pada penamaan-penamaan lain yang menyimpang dari wadh’inya. Wal hasil istilah yang dulunya disematkan untuk penghormatan sekarang telah beralih fungsi menjadi bahan olok-olokan atau sebagai sebutan bagi orang yang berprofesi dalam bidang tertentu.

Gus yang akan kita sebut disini adalah gus asli, bukan gus iringan atau gus-gusan. Dia merupakan putra ragil dari salah satu ulama terkenal Banyumas yang wafat pada tahun 1987. Sebut saja namanya gus Emen (e diucapkan seperti pada kata sendok), panggilan akrab untuk beliau dikalangan kerabat, sahabat dan para santri abahnya.

Abah dari gus Emen yang bernama Kyai Muhammad mempunyai undang-undang tidak tertulis yang bersifat wajib, mengikat dan tidak dapat dilanggar sama sekali, satu peraturan yang pada zamannya secara umum diberlakukan oleh para Kyai kepada setiap putra dan putrinya dengan tujuan agar dapat meneruskan perjuangannya, peraturan tersebut adalah harus mondok*. Dalam tanda petik, untuk dapat dinobatkan sebagai salah seorang gus yang sebenar-benarnya, maka putra kyai harus mondok terlebih dahulu. Dan untuk menggugurkan kewajiban tadi serta mengukuhkan diri sebagai gus sejati maka dirinya berangkat mondok ke salah satu pondok yang masyhur pada waktu itu, yaitu pondok pesantren yang diasuh oleh Kyai Sanusi di daerah Langen, Jawa Barat.

“Namanya juga  mondok  untuk menghilangkan taklif, maka tidak perlu berlama-lama, cukuplah satu dua hari saja”. Kelakar gus Emen kepada saudara-saudaranya. Memang benar, ia hanya menghabiskan tujuh malam di pesantren Langen, hal itu tak lain dan tak bukan hanya  untuk melegalkan gelar gus yang sudah tersemat pada dirinya sejak lahir dan menghilangkan ora ilok sebagai putra kyai. “Bah, saya telah mondok, maka saya telah sah menjadi putra abah” Kyai Muhammad tersenyum simpul, beringsut meninggalkan putra ragilnya sembari berkata “Oalahhh…..”.

Dalam pencarian ilmunya yang hanya seumur mayflies ia telah menghatamkan surat Al Fatihah dan muqodimah Al Barzanji, maka pasti dapat dibayangkan seberapa dalam keilmuan gus Emen.   Akan tetapi dalam komunitas santri abahnya beliau malah dianggap mempunyai kemampuan yang lebih dibanding putra-putra abah Muhammad yang lain dan dicap sebagai putra abah Muhammad yang paling keramat. Anggapan ini berlangsung cukup lama, hingga pada suatu saat ada santri yang ingin mengaji kepadanya. Gus Emen berkata: “Kalau mau ngaji, jangan kepada saya. Sama kang mas saya saja..” . Dalam hati ia berujar:  “ Salah satu alasan mengapa dulu saya tidak mondok lama adalah agar saya tidak memiliki kemampuan setara dengan kang mas kang masku, dari sini saya bisa berkilah tidak mengajar dan santripun tidak bingung-bingung menentukan pilihan dalam mengaji.  Kang mas saya itu banyak, ada 6 orang, itu sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan ngaji kalian, makanya saya berinisiatif ambil bagian pada pos yang lain saja”. Naïf memang…

Pos yang  ingin beliau tempati adalah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Langkah awal untuk dapat menyatu dengan lingkungan sekitar adalah dengan cara menyunting gadis dari keluarga biasa. Pikirnya, dengan begitu ia akan dapat bergaul luas dengan masyarakat sekitar, tanpa sekat tanpa batas. Salah satu hal yang membuat dirinya tidak dapat bergaul lepas dengan masyarakat adalah karena ia merasa dirinya sebagai gus dan punya derajat sedikit lebih tinggi dari komunitas masyarakat dimana ia tinggal. Wal hasil ia memilih pasangan dari keluarga sederhana agar dapat mengenal seluk beluk masyarakatnya.

Tidak sulit bagi gus Emen untuk meminang gadis manapun di desanya. Dengan modal ke-gus-annya beliau berhasil meminang gadis ayu plus sholihah, santri dari abahnya sendiri. Pernikahanpun digelar dengan meriah. Dan patut dicatat dengan tinta emas bahwa beliau menikah dalam usia belia dan melangkahi 3 kang masnya.

Memang benar adanya, sifat gengsi yang dulu mengekang dirinya sewaktu bujangan kini luntur tak berbekas. Ia kini pandai bergaul dengan semua orang, bahkan Untuk menafkahi istri dan anaknya, beliau memilih bekerja sebagai supir angkutan umum. Sebuah profesi yang sangat biasa bahkan terkesan tidak terhormat dalam masyarakat, dan biasanya kami menyebut angkutan tersebut dengan nama  doyok** .

Sewaktu ditanya mengapa memilih profesi sebagai sopir angkot beliau menjawab: “Dari profesi ini saya selalu ingat pesan abah sewaktu beliau akan meninggal. Abah saya berkata bahwa ia tidak mewariskan banda dunya kepada putra-putranya, beliau hanya meninggalkan sebuah pesantren yang harus dipelihara dan dijaga. Beliau mengibaratkan pesantren dengan falsafah angkot, yaitu ada yang menyetir, ada yang merawat mesin, ada yang menjadi kondektur yang bertugas memasukan penumpang, mendorong jika macet atau menjadi tukang ganjal ban jika macet atau tidak kuat ditanjakan. Disamping itu dengan manjadi sopir angkot kita akan melihat dengan nyata kondisi sosial masayarakat dimana kita tinggal, bergaul dengan orang dari berbagai macam latar belakang dan banyak manfaat lain dari profesi ini. Dan yang paling penting kita telah berusaha menjadi suami yang bertanggung jawab.”

Memang, pilihan menggantungkan hidup sebagai sopir angkot terlihat cukup aneh bagi keluarga dan masyarakat dimana ia tinggal, akan tetapi ia cuek bebek, ia menikmati profesi barunya dan untuk sementara waktu menanggalkan gelar yang selama ini ia sandang. Terus, dibagian mana ia melaksanakan wasiat abahnya?

Sesuai dengan falsafah angkot yang telah disebutkan diatas, ia memilih sebagai kenek yang bertugas memasukan penumpang kedalam angkot. Disela-sela obrolan ngalor-ngidulnya dengan sesama sopir, tukang ojek, kuli pasar dan para pedagang serta masyarakat bawah lainnya ia menyisipkan tentang pentingnya mencapai kebahagiaan setelah kehidupan di dunia ini. Ia selalu memberi iming-iming kehidupan yang lebih baik setelah kehidupan dunia ini. “Bukankah kalian tidak ingin sengsara untuk kedua kali? Sengsara di dunia sebagai orang yang kekurangan secara materi  dan sengsara di akhirat kelak?”  Dan yang patut diacungi jempol adalah cara gus Emen memberikan pencerahan tidak dengan cara berapi-api sperti macan panggung, tidak pula terkesan menggurui, akan tetapi dengan cara humor dan kelihatan tidak serius tapi tetap berbobot.

Beberapa tahun setelah ia menjadi kenek, akhirnya pesantren peninggalan abah Muhammad kembali penuh sesak dengan santri yang kebanyakan berasal dari anak-anak kenalannya. Begitu juga dengan pengajian rutinan bulanan dan mingguan. Ia mencukupkan diri sebagai kenek, sementara untuk bagian sopir ia serahkan kepada kang masnya begitu juga dengan masalah pendanaan, karena salah satu dari kang masnya ada yang menjadi jutawan.



Terinspirasi oleh kisah nyata


@@@@@@


*Mondok adalah kata yang digunakan orang jawa untuk mengistilahkan menuntut ilmu agama, dikatakan mondok karena biasanya si pelajar yang lazim disebut santri bertempat di pondokan.

**Doyok adalah jenis angkutan umum era 80-an dan awal 90-an, kendaraan ini berbahan bakar solar dengan bentuk seperti kendaraan yang sekarang umum digunakan sebagai travel. Angkotan ini punah setelah adanya mikro bus, yaitu sekitar tahun 95-an. Disebut doyok karena tidak dapat lajunya lambat dan sering macet (ringkih seperti badan doyok). Daerah trayeknya adalah lewas2-longok-barang-ayu. Karang Lews, Cilongok, Ajibarang, Bumiayu

*** Emen merupakan nama asli dari salah satu gus di daerah tempat saya tinggal. Diambil dari huruf depan namanya, seperti esbeye (SBY)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar