Dewasa ini gelar Gus menempati posisi gelar kedua ter-ngetrend
dalam ranah publik setelah gelar Kyai Haji. Nama-nama Gus yang berseliweran
dalam media diantaranya adalah gus dur, gus mus, gus ipul, gus miek, gus sholah
dan gus-gus yang lain. Tidak tau pasti dari mana istilah itu muncul, yang pasti
gus adalah sebutan penghormatan kepada putra kyai.
Nama gus mungkin diambil dari bahasa arab yaitu Al Ghauts,
nama bagi pemimpin para wali - sebagaimana dipaparkan oleh Ibnu ‘Araby dalam Futuhat
al Makkiyah -dan kemudian menjadi istilah tersendiri dalam masyarakat Jawa pada
khususnya dan Indonesia
pada umumnya. Istilah gus ini pada awalnya diperuntukan bagi putra kyai
pemangku pondok pesantren sebagai bentuk penghormatan, akan tetapi dewasa ini
istilah itu seakan tereduksi, sampai-sampai ada orang yang hanya punya
kemampuan pas-pasan dalam bidang perdukunan atau menyadarkan orang yang pingsan
(baca;kesurupan) dipanggil dengan nama gus, anak kyai langgar cilik juga dipanggil dengan Gus Lc, anak
guru ngaji alif, ba, ta yang kebetulan lama belajar di pesantren juga dipanggil
dengan sebutan gus. Juga pada penamaan-penamaan lain yang menyimpang dari
wadh’inya. Wal hasil istilah yang dulunya disematkan untuk penghormatan
sekarang telah beralih fungsi menjadi bahan olok-olokan atau sebagai sebutan
bagi orang yang berprofesi dalam bidang tertentu.
Gus yang akan kita sebut disini adalah gus asli, bukan gus
iringan atau gus-gusan. Dia merupakan putra ragil
dari salah satu ulama terkenal Banyumas yang wafat pada tahun 1987. Sebut saja
namanya gus Emen (e diucapkan seperti pada kata sendok), panggilan akrab untuk
beliau dikalangan kerabat, sahabat dan para santri abahnya.
Abah dari gus Emen yang bernama Kyai Muhammad mempunyai
undang-undang tidak tertulis yang bersifat wajib, mengikat dan tidak dapat
dilanggar sama sekali, satu peraturan yang pada zamannya secara umum
diberlakukan oleh para Kyai kepada setiap putra dan putrinya dengan tujuan agar
dapat meneruskan perjuangannya, peraturan tersebut adalah harus mondok*.
Dalam tanda petik, untuk dapat dinobatkan sebagai salah seorang gus yang sebenar-benarnya,
maka putra kyai harus mondok terlebih
dahulu. Dan untuk menggugurkan kewajiban tadi serta mengukuhkan diri sebagai
gus sejati maka dirinya berangkat mondok ke salah satu pondok yang
masyhur pada waktu itu, yaitu pondok pesantren yang diasuh oleh Kyai Sanusi di
daerah Langen, Jawa Barat.
“Namanya juga mondok untuk menghilangkan taklif, maka tidak perlu
berlama-lama, cukuplah satu dua hari saja”. Kelakar gus Emen kepada saudara-saudaranya.
Memang benar, ia hanya menghabiskan tujuh malam di pesantren Langen, hal itu
tak lain dan tak bukan hanya untuk
melegalkan gelar gus yang sudah tersemat pada dirinya sejak lahir dan
menghilangkan ora ilok sebagai putra
kyai. “Bah, saya telah mondok, maka saya telah sah menjadi putra abah” Kyai
Muhammad tersenyum simpul, beringsut meninggalkan putra ragilnya sembari
berkata “Oalahhh…..”.
Dalam pencarian ilmunya yang hanya seumur mayflies ia telah
menghatamkan surat
Al Fatihah dan muqodimah Al Barzanji, maka pasti dapat dibayangkan seberapa
dalam keilmuan gus Emen. Akan tetapi
dalam komunitas santri abahnya beliau malah dianggap mempunyai kemampuan yang
lebih dibanding putra-putra abah Muhammad yang lain dan dicap sebagai putra
abah Muhammad yang paling keramat. Anggapan ini berlangsung cukup lama, hingga
pada suatu saat ada santri yang ingin mengaji kepadanya. Gus Emen berkata:
“Kalau mau ngaji, jangan kepada saya. Sama kang mas saya saja..” . Dalam hati
ia berujar: “ Salah satu alasan mengapa
dulu saya tidak mondok lama adalah agar saya tidak memiliki kemampuan setara
dengan kang mas kang masku, dari sini saya bisa berkilah tidak mengajar dan
santripun tidak bingung-bingung menentukan pilihan dalam mengaji. Kang mas saya itu banyak, ada 6 orang, itu
sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan ngaji kalian, makanya saya berinisiatif ambil
bagian pada pos yang lain saja”. Naïf memang…
Pos yang ingin beliau
tempati adalah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Langkah
awal untuk dapat menyatu dengan lingkungan sekitar adalah dengan cara menyunting
gadis dari keluarga biasa. Pikirnya, dengan begitu ia akan dapat bergaul luas
dengan masyarakat sekitar, tanpa sekat tanpa batas. Salah satu hal yang membuat
dirinya tidak dapat bergaul lepas dengan masyarakat adalah karena ia merasa
dirinya sebagai gus dan punya derajat sedikit lebih tinggi dari komunitas
masyarakat dimana ia tinggal. Wal hasil ia memilih pasangan dari keluarga
sederhana agar dapat mengenal seluk beluk masyarakatnya.
Tidak sulit bagi gus Emen untuk meminang gadis manapun di
desanya. Dengan modal ke-gus-annya beliau berhasil meminang gadis ayu plus sholihah, santri dari abahnya
sendiri. Pernikahanpun digelar dengan meriah. Dan patut dicatat dengan tinta
emas bahwa beliau menikah dalam usia belia dan melangkahi 3 kang masnya.
Memang benar adanya, sifat gengsi yang dulu mengekang dirinya
sewaktu bujangan kini luntur tak berbekas. Ia kini pandai bergaul dengan semua
orang, bahkan Untuk menafkahi istri dan anaknya, beliau memilih bekerja sebagai
supir angkutan umum. Sebuah profesi yang sangat biasa bahkan terkesan tidak
terhormat dalam masyarakat, dan biasanya kami menyebut angkutan tersebut dengan
nama doyok** .
Sewaktu ditanya mengapa memilih profesi sebagai sopir angkot
beliau menjawab: “Dari profesi ini saya selalu ingat pesan abah sewaktu beliau
akan meninggal. Abah saya berkata bahwa ia tidak mewariskan banda dunya kepada putra-putranya,
beliau hanya meninggalkan sebuah pesantren yang harus dipelihara dan dijaga.
Beliau mengibaratkan pesantren dengan falsafah angkot, yaitu ada yang menyetir,
ada yang merawat mesin, ada yang menjadi kondektur yang bertugas memasukan
penumpang, mendorong jika macet atau menjadi tukang ganjal ban jika macet atau
tidak kuat ditanjakan. Disamping itu dengan manjadi sopir angkot kita akan
melihat dengan nyata kondisi sosial masayarakat dimana kita tinggal, bergaul
dengan orang dari berbagai macam latar belakang dan banyak manfaat lain dari
profesi ini. Dan yang paling penting kita telah berusaha menjadi suami yang
bertanggung jawab.”
Memang, pilihan menggantungkan hidup sebagai sopir angkot
terlihat cukup aneh bagi keluarga dan masyarakat dimana ia tinggal, akan tetapi
ia cuek bebek, ia menikmati profesi barunya dan untuk sementara waktu menanggalkan
gelar yang selama ini ia sandang. Terus, dibagian mana ia melaksanakan wasiat
abahnya?
Sesuai dengan falsafah angkot yang telah disebutkan diatas,
ia memilih sebagai kenek yang bertugas memasukan penumpang kedalam angkot.
Disela-sela obrolan ngalor-ngidulnya dengan sesama sopir, tukang ojek, kuli
pasar dan para pedagang serta masyarakat bawah lainnya ia menyisipkan tentang
pentingnya mencapai kebahagiaan setelah kehidupan di dunia ini. Ia selalu
memberi iming-iming kehidupan yang lebih baik setelah kehidupan dunia ini.
“Bukankah kalian tidak ingin sengsara untuk kedua kali? Sengsara di dunia
sebagai orang yang kekurangan secara materi
dan sengsara di akhirat kelak?” Dan yang patut diacungi jempol adalah cara gus
Emen memberikan pencerahan tidak dengan cara berapi-api sperti macan panggung,
tidak pula terkesan menggurui, akan tetapi dengan cara humor dan kelihatan
tidak serius tapi tetap berbobot.
Beberapa tahun setelah ia menjadi kenek, akhirnya pesantren
peninggalan abah Muhammad kembali penuh sesak dengan santri yang kebanyakan
berasal dari anak-anak kenalannya. Begitu juga dengan pengajian rutinan bulanan
dan mingguan. Ia mencukupkan diri sebagai kenek, sementara untuk bagian sopir
ia serahkan kepada kang masnya begitu juga dengan masalah pendanaan, karena
salah satu dari kang masnya ada yang menjadi jutawan.
Terinspirasi oleh kisah nyata
@@@@@@
*Mondok adalah kata yang digunakan orang jawa untuk
mengistilahkan menuntut ilmu agama, dikatakan mondok karena biasanya si pelajar
yang lazim disebut santri bertempat di pondokan.
**Doyok adalah jenis angkutan umum era 80-an dan awal 90-an,
kendaraan ini berbahan bakar solar dengan bentuk seperti kendaraan yang
sekarang umum digunakan sebagai travel. Angkotan ini punah setelah adanya mikro
bus, yaitu sekitar tahun 95-an. Disebut doyok karena tidak dapat lajunya lambat
dan sering macet (ringkih seperti badan doyok). Daerah trayeknya adalah
lewas2-longok-barang-ayu. Karang Lews, Cilongok, Ajibarang, Bumiayu
*** Emen merupakan nama asli dari salah satu gus di daerah
tempat saya tinggal. Diambil dari huruf depan namanya, seperti esbeye (SBY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar